Aku terbangun. Kepalaku terasa pusing akibat hantaman benda tumpul tadi, sekarang dalam keadaan setengah sadar aku mencoba mengamati sekeliling. Dimana ini? Kenapa gelap sekali, tempat ini sangat minim cahaya.
Aku menggeliat menggerakkan tubuhku. Tapi, sekarang rasanya begitu sesak karena tangan dan kaki ku diikat oleh tali. Kenapa aku diikat, sebenarnya aku dibawa kemana.
Menghembuskan nafas panjang, aku putus asa. Pikiranku kembali pada kejadian tadi, saat dimana Mea dengan tega menukarku demi uang. Tak terasa air mataku kembali menetes kala mengingatnya.
Rasanya sakit.
Saat aku sedang melamun, tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Menampakkan tiga laki-laki yang berbadan tinggi dan besar, aku tidak bisa melihat wajah mereka karena ruangan ini terlalu gelap, tapi aku menduga kalau itu Zico dan teman-temannya. Satu diantara mereka beranjak menyalakan lampu, seketika ruangan ini jadi bercahaya.
Mataku beredar menatap sekeliling dengan ragu, ternyata ini digudang bekas. Jadi, aku masih ada di area sekolah.
Aku menelan ludah, benar, itu Zico. Dia berjalan menghampiriku.
"Tutup pintunya!" perintahnya saat sudah berdiri di hadapanku.
Aku menunduk ketakutan saat temannya Zico menutup pintu dan menguncinya. Apa yang akan mereka lakukan. Oh Tuhan, jangan biarkan hal buruk terjadi padaku. Ayah! Aku takut. Sekarang aku hanya bisa berteriak dalam hati, aku tidak punya cukup keberanian untuk minta tolong.
Zico berjongkok dengan menekuk satu lututnya, mencoba mensejajarkan diri denganku yang menunduk.
"Kenapa kau menyembunyikan wajahmu? Apa kau takut?" Suaranya terdengar lembut. Tapi, aku malah semakin takut mendengarnya.
"Maaf karena sudah membuatmu menunggu," ucap Zico.
"Karena aku sudah membayar banyak kepada Mea, jadi ... Hari ini kau milikku." Katanya sambil mengulurkan tangan mencoba menyentuh wajahku.
Segera aku memberontak, menghindari tangannya.
"Lepaskan aku! Aku mohon..." pintaku putus asa.
Zico tersenyum sambil menarik kembali tangannya yang semula mengapung di udara. Dia mengubah posisi menjadi berdiri sekarang.
"Apa kalian dengar? Dia memintaku untuk melepaskannya."
Kedua temannya tertawa, tanpa bisa dicegah aku kembali menangis dalam diam. Bahkan sekarang sudah menjadi isakan kecil, aku meratapi nasib yang pedih ini. Kenapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang jahat seperti mereka. Kenapa tidak ada satu orangpun yang peduli padaku. Apa teman yang lain dan para guru tidak menyadari jika aku tidak berada di kelas? Kenapa mereka tidak berusaha mencariku.
"Aku sudah mengeluarkan uang banyak. Akan sangat rugi jika aku membiarkanmu pergi tanpa meninggalkan bekas terlebih dahulu," ucap Zico sambil tersenyum.
Zico mendekat lalu mencengkeram kedua pipiku dengan kasar, memutarnya ke kanan dan kiri seakan-akan aku mainannya.
"Oh, lihatlah wajah ini. Kenapa kau begitu cantik, hm?"
"Matamu bersih seperti bayi, hidungmu juga mancung, bibirmu tipis berwarna pink. Ini definisi wajah yang Perfect. Kau seperti bidadari yang turun dari tempat penampungan wanita penghibur," ucap Zico, lalu tertawa terbahak-bahak bersama kedua temannya.
Aku menggelengkan kepala, masih memohon agar dia tidak melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.
Zico menghentikan tawanya, kemudian beralih menatapku.
"Kenapa? Apa kau ingin bermain sekarang? Baiklah." Zico melepaskan cengkraman tangannya.
"Cepat lepas ikatannya, tidak seru bukan? Jika kita bermain dengan tubuhnya yang terikat," ucap Zico.
Kedua teman Zico menghampiriku, lalu melepaskan ikatannya. Aku berusaha memberontak, tapi tenaga mereka lebih kuat.
"Aku mohon jangan lakukan ini, lepaskan aku. Aku mohon..."
Kedua tanganku dicekal oleh mereka, lalu ditarik agar mendekat pada Zico yang sedang berdiri dengan senyum seramnya.
"Kau sungguh cantik, Ana. Aku berubah pikiran, aku ingin memilikimu untuk selamanya. Bukan hanya hari ini." Zico mengatakan itu sambil mengelus rambut panjang ku yang terurai.
Aku menggeleng ketakutan saat Zico mulai mendekatkan wajahnya, aku masih setia menunduk sambil memberontak. Usahaku tetap gagal, bagaimana pun tenagaku tidak cukup untuk melawan lelaki. Aku hampir putus asa ketika jarak wajah kami sudah tinggal beberapa senti, tapi sedetik kemudian muncul sebuah cahaya besar diantara aku dan Zico yang membuat dia dan teman-temannya terpental saling menjauh. Mereka menghantam barang-barang bekas di sekitar gudang.
Aku menganga tak percaya, cahaya apa ini? Tapi disisi lain aku menghela nafas lega karena hal yang aku takutkan tadi tidak terjadi. Mataku menyipit saat cahaya itu semakin membesar.
Heran. Kenapa aku tidak ikut terpental, padahal posisiku sangat dekat dengan mereka.
Aku memundurkan langkah saat cahaya besar itu semakin lama terlihat seperti portal. Ada apa ini, kenapa ada portal? Tapi, entah mengapa aku yakin jika itu adalah jalan keluar.
"P-portal?" gumanku tercekat.
Haruskah aku masuk? Tapi kemana portal itu akan membawaku pergi. Namun, di zaman seperti ini aku masih tidak percaya jika ada portal. Gila! Itu hanya di dunia dongeng.
Saat sedang bimbang, aku sadar jika Zico dan teman-temannya berusaha untuk bangkit. Seketika aku kembali panik.
"Cahaya apa itu?" teriak salah satu dari mereka.
Tubuhku mengeluarkan keringat dingin, aku bimbang sekarang. Tidak mungkin aku terus berdiam diri seperti ini, bisa-bisa Zico melancarkan aksi bejadnya kembali. Baiklah. Aku tidak peduli kemana portal ini akan membawaku pergi, yang terpenting aku bisa kabur dari Zico.
Aku mengambil ancang-ancang untuk memasuki portal.
"Ana! Jangan!" teriak Zico.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuju portal, seketika tubuhku hilang bersamaan dengan itu cahayanya lenyap.
••••
Mataku terpejam, penglihatan ku dipenuhi oleh cahaya. Beberapa saat kemudian aku merasakan bahwa kaki ku sudah menapak pada tanah. Sekarang, aku di mana?
Perlahan aku membuka mata, alangkah terkejutnya saat mata ini disuguhi dengan hamparan taman bunga yang luas dan indah. Banyak pohon besar tumbuh disini, bahkan ada yang berwarna warni. Awan yang harusnya berwarna putih juga berubah warna seperti campuran warna pelangi. Tempat ini sangat sejuk dan juga harum. Aku masih diam di tempat, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya.
"Tempat apa ini? Apa ini surga?"
Kenapa aku sendirian, apa benar portal itu membawaku ke surga. Jadi, apa aku sudah mati?
"Ya Tuhan! Apa aku sudah tiada sekarang?"
Aku tidak kuasa menahan tangis, seketika aku langsung mengingat Ayahku. Bagaimana perasaannya jika tahu aku sudah tidak ada? Kenapa ini terjadi secara tiba-tiba. Portal sialan. Ditengah-tengah kebimbangan yang aku rasakan, dari arah depan muncul seseorang yang memiliki sayap besar. Tunggu! Kenapa dia mirip dengan makhluk yang aku temui kemarin. Tapi, kali ini jenisnya perempuan.
Sayapnya besar berwarna putih keemasan. Aku terkagum, dia cantik sekali. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai indah. Dia juga memakai hiasan di atas kepala yang terbuat dari bunga.
"Selamat datang di dunia peri, Ana. Apa kau baik-baik saja?"
Aku memicingkan mata, bagaimana wanita ini bisa mengetahui namaku. Lalu apa tadi? Dunia peri.
"S-siapa kau?" tanyaku ragu.
"Namaku peri Altara, aku yang membawamu kemari menggunakan portal."
Jadi, dia yang membantuku. Tapi kenapa, aku seperti orang bodoh sekarang. Ini aku sedang bermimpi atau bagaimana. Kepalaku kembali terasa sakit, aku bingung dengan semua khayalan ini. Kenapa dari kemarin banyak sekali kejadian aneh dan tidak masuk akal terjadi.
"Tenanglah, aku hanya ingin membantu. Aku tau kau pasti masih tidak percaya, tapi apa yang kau alami sekarang adalah kenyataan," ucapnya mencoba menenangkan ku.
"Kau bilang ini dunia peri? Jadi, aku belum mati?" tanyaku memastikan.
Peri yang konon katanya bernama Altara itu tertawa kecil, aku terdiam melihatnya. Kenapa dia sangat cantik, wajahnya semakin sempurna saat dia tertawa.
"Kau masih hidup, Ana. Nanti, kau bisa kembali lagi ke bumi," jawabnya.
Mendengar itu aku langsung lega. Tapi ini masih terasa aneh, kenapa tiba-tiba hidupku dipenuhi dengan para peri.
"Gentara yang memintaku untuk membantumu."
Aku langsung mengangkat wajah saat mendengar nama asing itu.
"Gentara? Siapa dia?" tanyaku penasaran.
"Dia adalah peri yang jatuh kemarin malam, dan kau menolongnya. Jadi, sekarang dia ingin membalas budi dengan membantumu dari manusia jahat," jawabnya sambil tersenyum.
"APA!" pekikku terkejut.
"Mahluk itu yang menyelamatkanku?" Aku masih tidak percaya dengan semua ini.
"Sebenarnya kalian ini siapa? Kenapa kalian datang ke kehidupanku. Ini sungguh tidak masuk akal."
Ya, aku tahu. Meskipun mereka baik dan tidak menyakitiku. Tapi, tetap saja. Mereka ini bukan manusia.
"Ini takdir, Ana. Kau adalah manusia pertama yang bisa bertemu kami. Dunia kita berbeda, tapi kemarin malam ada masalah di alam peri yang menyebabkan Gentara jatuh di depan rumahmu," Jawab peri Altara.
"Tapi, aku yakin kau adalah orang baik. Buktinya kau mau menolongnya, dan tidak memberitahukan kejadian itu pada orang lain," lanjutnya.
Apa katanya? Takdir? Takdir macam apa ini. Kenapa aku seperti masuk ke dunia dongeng. Harusnya sekarang aku sedang belajar lalu setelahnya pergi ke toko bunga untuk bekerja.Tunggu dulu, aku langsung teringat jika tadi Zico berniat untuk melakukan hal buruk padaku. Mengingat itu aku jadi takut, seharusnya aku bersyukur karena bertemu para peri ini.
"Lalu, di mana mahluk itu? Em ... Maksudku di mana Gentara? Apa dia baik-baik saja. Karena kemarin aku lihat sayapnya terluka."
Peri Altara hanya tersenyum menanggapi, membuatku jadi merasa canggung.
"Aku disini."
Aku langsung membalikkan badan saat mendengar suara itu. Ternyata mahluk itu ada disini, ah maksudku Gentara. Dia tampak baik-baik saja dan sayapnya pun sudah menyatu kembali. Wajahnya terlihat berseri dengan senyuman yang merekah. Kenapa para peri memiliki wajah yang mempesona seperti ini?"Apa kau baik-baik saja?" Gentara bertanya padaku saat kami sudah saling berhadapan."Aku baik-baik saja, terimakasih atas bantuannya," jawabku sambil tersenyum lebar.Gentara hanya tersenyum menanggapi."Oh, tadi pagi kau bersembunyi di mana? Hampir saja ketahuan oleh orang-orang rumah," ujarku.Gentara berjalan melewati ku lalu berdiri di samping peri Altara."Sebenarnya aku tidak bersembunyi, kakakku lah yang datang menolongku sebelum kalian datang ke gudang,""Huh? Kalian kakak beradik?"Keduanya mengangguk bersamaan.Pantas saja, wajah mereka seperti pinang dibelah dua. Bahkan
Aku menengok ke kanan dan kiri seperti orang hilang, apa-apaan ini? Kenapa aku ada di pemakaman. Bukankah tadi aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, tapi kenapa malah tersesat kemari. Apa portal itu sedang rusak.Seketika aku langsung merinding ketakutan, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati lalu sekarang hidup kembali. Tapi apa kedua peri itu juga hanya khayalanku. Mana mungkin hal seperti ini bisa terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi padaku." gumanku frustasi sambil mengacak rambutku.Tapi aku menyadari sesuatu seperti ada benda yang menyelip ditelinga kanan. Aku langsung mengambilnya dan mendapati bunga cantik yang diberikan oleh Gentara. Ya, bunga Lilala. Yang konon bisa mendatangkan kebahagiaan."Huh? Bunga ini ikut bersamaku? Jadi, ini bukan mimpi? Ini kenyataan?" Aku bertanya-tanya masih tidak percaya.Jika bunga ini nyata, berarti Gentara dan peri Altara juga nyata. Semoga saja semua keanehan ini segera berakhir.
Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya."Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut.Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba."Dasar bocah nakal," ketusnya.Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini."Apa maksudmu?""Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatla
Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku."Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya."H-hentikan! Ini aku!"Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin."Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Entah sial apa yang sedang menghampiri kami saat ini. Di depan sana terdapat dua ekor anjing besar yang sedang menatap ku dan gentara. Lidah panjangnya menjulur mengeluarkan air liur, tatapan mata kedua anjing itu membuatku panas dingin.Sekilas aku melirik Gentara yang nampak ketakutan, tangannya juga sedikit gemetar. "Jangan panik! Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir."Anjing adalah musuh terbesar para peri. "Guk! "Lari. " Gentara langsung menarik tanganku dan kami berlari memutar arah.Aku yang belum siap hanya bisa mengikuti langkahnya yang panjang. Dan kedua anjing itu ternyata mengejar, itu membuatku semakin mempercepat larian. Tapi apalah daya kakiku ini pendek. Sekarang aku seperti seekor domba yang dipaksa berlari. Kami terus berlari tanpa tentu arah, menabrak apapun yang menghalangi jalan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati kedua anjing i
Di waktu jam istirahat pertama aku memilih berdiam diri di dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan untuk menjauh dari kerumunan para murid. Tapi beberapa orang yang berada di sini juga tetap berbisik buruk tentang diriku mereka seakan tidak peduli bagaimana perasaanku yang mendengarkannya. Tanganku memegang satu buku, tapi tatapanku justru kosong menatap hamparan buku yang tertata rapi di rak.Kenapa kehidupan sekolahku sangat pahit seperti ini, aku pikir selama ini sudah menjadi murid yang baik. Aku juga tidak berbuat semena-mena pada murid lain. Namun, kenapa semua orang membenciku hanya karena ibuku seorang pelacur. Ya, pekerjaan itu memang tidak baik, tapi apa pantas mereka ikut menghakimi aku yang statusnya anak pelacur. Itu pekerjaan ibuku, bukan aku yang melakukannya. Tapi kenapa aku juga ikut dibenci. Kenapa? Ini menyakitkan. Aku juga manusia biasa yang akan terluka jika dibenci dan dikucilkan s
Alih-alih membantu kakek Ridin, justru malah aku dan Gentara yang dikejar oleh induk ayam. Kami berlarian ke sana kemari menghindari kejaran ayam yang marah. Sesekali aku tertawa terbahak -bahak karena melihat Gentara sangat ketakutan dan terus membuntuti ku. Katanya, dia tidak ingin bertemu dengan ayam lagi. Dan disinilah aku dan Gentara melepas penat, disebuah kedai ice cream sederhana bernuansa biru laut. Aku mengajak Gentara untuk mencicipi ice cream, dia pasti suka. "Ayo! Coba makan," bujukku pada Gentara yang sejak tadi hanya diam. Matanya menjelajahi setiap sudut ice cream. Seolah-olah makanan itu adalah hal asing baginya. "Wah! Kenapa makanan ini begitu dingin?" Gentara menyendok satu suapan, tapi dia meniupnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Sontak aku tersenyum geli melihatnya, kenapa harus ditiup? "Kenapa kau meniupnya? Ice cream itu tidak panas," ujarku sambil tertawa. "Oh, tapi