Share

Bab 3: Mereka membully ku...

"Apa kau gila? Huh! Sayap besar seperti apa sampai kau berteriak melihatnya?" Dari suaranya saja sangat jelas jika Ibuku sangat marah.

Lalu, bagaimana jika mereka tahu bahwa aku yang membawa mahluk itu ke gudang kemarin malam. Oh Tuhan! Matilah aku.

"S-saya juga tidak tahu Bu, tapi sayap itu benar-benar besar. Sepertinya itu bukan sayap hewan." 

Mataku membelalak. Ibuku berjalan menuju pintu gudang, lalu menyuruh Mbok Iyem untuk menyingkir dari depan pintu.

"Minggir! Biar aku yang melihatnya!" ucap Ibuku sambil berusaha membuka pintu.

Brak!

Pintu terbuka dengan lebar, menampakkan semua isi gudang. Ibuku dan Mbok Iyem masuk kedalam, disusul olehku dan Ayah. Aku langsung merasa lega karena ternyata mahluk itu sudah tidak disini. Tapi, kemana dia pergi?

"Lihat! Mana? Dimana sayap itu?" tanya Ibuku karena gudang ini hanya berisi barang bekas.

Mbok Iyem terlihat bingung, dia terus menelusuri gudang ini sampai ke dalam lemari.

"Saya tidak bohong Bu, tadi saya lihat ada sayap besar di belakang lemari tua itu," Sanggahnya membela diri.

"Mana? Tidak ada apapun disini." 

"Kau ini sudah tua Mbok! Bisa saja matamu sekarang sudah tidak berfungsi dengan baik," tambah Ibuku.

"Saya memang sudah tidak muda lagi Bu, tapi jelas-jelas tadi saya melihat ada sayap besar. Lihat! Bu, bahkan ada bercak-bercak darah dilantai!" ucap mbok Iyem sambil menunjukkan ada banyak bercak darah.

Sial. Aku lupa jika semalam kakiku terluka, dan darah yang menetes sekarang sudah mengering. Ibuku mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu tatapannya berhenti tepat di depan mataku.

"Ana! Bukankah semalam kakimu terluka? Jangan bilang kau yang terkahir kali masuk ke gudang kemarin malam?" tanya Ibuku dengan intonasi yang tinggi.

Kedua tanganku terasa dingin, sekarang aku malah jadi gugup. 

"Em... Semalam aku memang ke gudang, karena ban sepedaku bocor. Jadi, aku ke sini untuk mencari ban yang baru, dan aku tidak sengaja meninggalkan bercak darah itu." 

Aku meruntuki diri sendiri didalam hati, alasan macam apa itu? Padahal ban sepedaku baik-baik saja. 

"Apa semalam mba Ana liat ada sayap? Kaya sayap peri gitu mba?" tanya Mbok Iyem memastikan.

Tiba-tiba aku dilanda kebingungan. Haruskah aku jujur? Tapi... Itu tidaklah mungkin. Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Sekarang, aku sudah mengingkari janjiku pada Ayah yaitu, agar selalu jujur ketika mengetahui sebuah kebenaran.

"Ah! Sudah hentikan semua ini." teriak Ibuku .

"Mbok, gajimu bulan ini aku potong. Karena kau sudah mengganggu aktivitas pagi ku dengan hal-hal yang sama sekali tidak masuk akal." Setelah mengatakan itu, Ibuku pergi meninggalkan gudang.

"Lho, Bu? Gaji saya kenapa dipotong, Bu!" 

Mbok Iyem yang tidak terima gajinya dipotong segera beranjak menyusul Ibuku.

Aku jadi merasa bersalah pada Mbok Iyem, karena perbuatanku semalam gajinya yang tidak seberapa harus dikurangi. Tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit, sebenarnya kemana mahluk itu pergi.

Ayah yang sejak tadi hanya diam sekarang membuka suara.

"Ana, apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak sedang menyembunyikan sebuah kebohongan 'kan?" tanya Ayahku yang terlihat khawatir.

Aku membuang nafas  gusar, seharusnya Ayah tidak melihat kejadian ini. Aku jadi bingung bagaimana cara menjelaskannya.

"Ayah, aku tidak menyembunyikan apapun. Mungkin Mbok Iyem hanya salah lihat saja." Sekarang aku jadi sering berbohong padanya.

"Baiklah, jangan terlalu dipikirkan. Sekarang naiklah ke atas lalu siap-siap untuk berangkat ke sekolah." 

                                    ••••

Menelusuri koridor sekolah dengan pikiran kosong. Aku berjalan dengan sedikit pincang karena luka dikakiku masih basah. Semua pasang mata memandangku jijik, seakan-akan aku adalah sebongkah sampah. Tapi, seperti inilah kehidupanku di sekolah. Hampir semua murid yang ada di SMA Tuna Bhakti--- mereka membenciku. 

Alasannya hanya satu. Ya, karena mereka tahu bahwa Ibuku adalah seorang pelacur.

Namun, seburuk apapun pekerjaan Ibuku. Aku akan tetap menyayanginya. Meskipun hati ini sebenarnya sudah tidak kuat menerima olokan dan umpatan kasar yang mereka berikan.

Sekali lagi. Aku tidak masalah.

Belum sempat aku menginjakan kaki di area kelas, segerombolan anak perempuan menghadangku. Tanpa diberitahu aku juga sudah mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ada yang pincang, nih!" seru salah satu wanita yang berambut pendek. Namanya Laras. Seperti biasa dia tetap terlihat cantik dengan make up tebal, tapi sayangnya sikap Laras sangat kontras dengan kecantikan wajahnya. 

Mereka semua adalah teman sekelas ku, dan Laras adalah pemimpin dari para antek-anteknya. Ada mawar, Riska, dan Claire. Dulu aku orang yang pendiam, beberapa temanku berasal dari jurusan yang berbeda. Jadi, bisa dibilang aku tidak akrab dengan siapapun di kelasku. Terutama mereka.

"Apa yang terjadi pada kaki mu? Kau tidak boleh sakit, Ana. Karena kau harus melayani para lelaki hidung belang," sahut Mawar membuat semua orang yang ada di sekelilingku tertawa mendengarnya.

Diam. Itulah yang selalu aku lakukan. Melawan pun akan menjadi hal yang sia-sia. Karena dari dulu mereka tidak pernah menyesal telah membully ku. Para guru juga sudah memperingati mereka, tapi tetap saja, hari berikutnya mereka akan melakukannya lagi. Sebenarnya aku tidak masalah jika mereka menghinaku. Tapi, terkadang mereka sudah melewati batas. 

"Hey! Kenapa pagi ini kau terlihat tidak bersemangat, cantik? Bukankah semalam kau sudah mendapatkan uang banyak. Harusnya kau senang." Claire berucap sambil memainkan rambut ikalnya.

Tanganku mengepal. Nafasku sekarang sudah tidak beraturan, sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak emosi. 

"Tolong menepi, aku ingin lewat," ucapku sambil menatap mereka satu per satu.

"Oh, lihatlah! Sepertinya si anak jalang ini sudah mulai marah." 

Laras memajukan langkahnya, "Untuk apa kau marah? Jika kenyataannya kau memang anak seorang jalang." Ucapnya sambil tersenyum miring, lalu berjalan melewati ku. Mereka berempat berlalu meninggalkan ku yang masih terdiam dengan mata berkaca-kaca. Sedetik kemudian, setetes cairan bening keluar tanpa permisi.

Aku menangis.

Untuk sekian kalinya aku meneteskan air mata hanya karena perkataan mereka yang menyakitkan. Semua itu omong kosong, aku tidak pernah menjual diri. Karena pekerjaan Ibuku lah yang menjadikan mereka berpikir bahwa aku juga seorang pelacur. Sekarang dada ku terasa sesak. Sudah satu tahun aku mengalami perundungan di sekolah, tidak ada teman, tidak ada penyemangat dikala aku terpuruk. 

Aku melanjutkan langkah menuju kelas. Kini aku jadi pusat perhatian karena masuk ke kelas dengan kaki pincang. Tanpa mempedulikan mereka, aku langsung mendudukan diri di bangku yang penuh dengan coretan bolpoin. Semua coretan itu berisi olokan dan kata-kata kasar. Bahkan coretan itu hampir memenuhi meja dan kursi ku. Biarkan lah, yang terpenting aku masih mendapat tempat duduk untuk belajar. 

Aku menenggelamkan kepala pada kedua tangan yang bertumpu. Terbesit di pikiran tentang mahluk yang semalam aku temui, sepertinya dia sudah kembali ke tempat asalnya.

Namun, bagaimana jika sebenarnya dia masih di bumi? 

Atau jangan-jangan dia malah ditangkap oleh manusia, dan sekarang sedang dikurung di Museum atau kebun binatang. Entah mengapa aku jadi merasa khawatir padanya, semoga saja semua pikiran burukku tentang mahluk itu tidak benar-benar terjadi. Sekarang aku mengubah posisi duduk ku agar kembali tegap, menghembuskan nafas berat berulang kali. 

"Ana!" seru seseorang dari balik pintu. Dia Edward, salah satu teman kelasku yang sikapnya tidak jauh beda dari Laras. 

Tidak jarang dia juga sering menanyakan berapa harga jika dirinya menyewaku untuk semalam. Tanpa bisa dicegah, aku sangat membencinya. Dia tipe laki-laki yang sama sekali tidak pernah menghargai seorang perempuan, bergonta ganti pacar adalah hobinya. Sungguh aku sangat muak dengan lelaki yang memandang remeh wanita, seakan-akan wanita hanya ajang untuk memuaskan nafsu. 

"Kau! Tidakkah kau punya mulut? Aku memanggilmu!" tanyanya. Sekarang dia berjalan menuju mejaku lalu duduk diatasnya.

"Tidak usah sok sibuk. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Mea sekarang berada di belakang gudang bersama Zico," ucap Edward sambil tersenyum culas.

Aku tidak merespon apapun. Tapi sebenarnya hatiku merasa gelisah mendengarnya. Mea pernah berteman baik denganku, sebelum akhirnya dia memilih menjauh karena dia tahu pekerjaan Ibuku yang sebenarnya. Parahnya, dia bersama Zico? Aku dengar dia suka sekali meniduri perempuan, bahkan sudah banyak sekali catatan kejahatan Zico di sekolah. Hampir semua karena tuduhan pelecehan seksual, dia juga pernah tidak naik kelas selama dua kali. 

Tapi, apa Mea benar-benar dalam bahaya? Atau ini hanya omong kosong.

"Pergilah! Jangan ganggu aku!" 

Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tanganku sibuk mencari buku di dalam tas, lebih baik aku membaca buku daripada harus berurusan dengan Edward. 

"Hey, respon macam apa itu? Temanmu Mea sedang dalam kesusahan. Kau tau persis bagaimana Zico jika sudah berdua dengan perempuan, bukan?" 

Tanganku meremas buku dengan kuat, aku tidak bisa diam saja. Bisa jadi Mea sedang butuh bantuanku sekarang. Awalnya aku tidak peduli, tapi bagaimanapun Mea pernah menjadi salah satu sumber kebahagiaanku. Meskipun sekarang sudah tidak lagi. Kini dia malah menjadi sumber luka yang tidak aku sadari. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aku langsung berdiri dan beranjak dari kelas menuju belakang gudang. Sesekali aku merintih kesakitan saat berjalan, apa mungkin lukanya malah semakin parah.

Tak butuh waktu lama aku sudah sampai di belakang gudang. Mataku membelalak. Ternyata Edward tidak bohong, Mea dan Zico memang ada disini. 

Aku menghampiri mereka dengan setengah berlari.

"Mea, apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau bersama Zico?" Aku bertanya dengan nafas yang memburu. 

Bukannya menjawab, Mea malah tertawa. Terdengar menakutkan.

"Lihatlah! Dia sudah disini bukan? Sekarang, berikan uangnya kepadaku." Ucap Mea sambil mengangkat tangannya. 

Zico tersenyum miring, lalu mengeluarkan segepok uang yang dibungkus dengan amplop coklat dari balik saku celananya. Aku masih terdiam dengan perasaan cemas, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Uang? Jangan-jangan Mea menjadikanku umpan untuk Zico, dan dia menerima imbalan. 

"Aku tidak menyangka, kalau dia akan datang secepat itu saat tahu kau sedang bersamaku," Zico menatapku dengan tatapan mesumnya. 

Aku memundurkan langkah, rasa takut tiba-tiba menyelimuti diriku. 

"Mea ... Apa yang kau lakukan?" Lirihku. 

"Aku menjualmu!" 

Singkat, tapi menyakitkan. Dadaku bergemuruh menahan rasa sakit, sebenarnya sebesar apa kebencian Mea terhadapku. Sampai-sampai dia tega menggiringku ke dalam bahaya seperti ini, apalagi itu semua demi uang. Padahal dulu aku sangat menyayanginya, bahkan aku sempat berpikir bahwa Mea adalah teman terbaik yang pernah Tuhan kirimkan untukku. Sekarang, waktu telah menjelaskan semuanya. 

"Kenapa kau tega? Bukankah kita teman?" Bodohnya, aku masih berharap jika ini adalah kebohongan. 

Mea tersenyum sinis, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. 

"Teman? Itu dulu. Sekarang, kau hanyalah sumber uangku." 

"Lihat! Cukup dengan meminta Edward agar membujukmu datang kemari, sekarang aku sudah mendapatkan uang banyak." Ucap Mea menunjukkan segepok uang itu dihadapanku, lalu memasukkannya ke dalam tas. 

Edward. Ternyata laki-laki itu juga terlibat dalam hal ini. Aku menggelengkan kepala tidak percaya, aku harus pergi. 

Namun, saat aku hendak pergi ada dua orang yang menghadang ku. Aku yakin mereka pasti teman-temannya Zico. Tubuhku gemetar, aku bingung harus bagaimana. 

Baru saja aku ingin berteriak, tiba-tiba ada seseorang yang memukul kepalaku dari belakang. Kepalaku terasa sangat sakit, aku langsung bersimpuh. Tidak lama setelahnya, kegelapan memenuhi memenuhi mataku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status