Share

Bab 6: Bunga Lilala

Aku menengok ke kanan dan kiri seperti orang hilang, apa-apaan ini? Kenapa aku ada di pemakaman. Bukankah tadi aku membayangkan toko bunga Bu Syifa, tapi kenapa malah tersesat kemari. Apa portal itu sedang rusak. 

Seketika aku langsung merinding ketakutan, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati lalu sekarang hidup kembali. Tapi apa kedua peri itu juga hanya khayalanku. Mana mungkin hal seperti ini bisa terjadi. 

"Sebenarnya apa yang terjadi padaku." gumanku frustasi sambil mengacak rambutku. 

Tapi aku menyadari sesuatu seperti ada benda yang menyelip ditelinga kanan. Aku langsung mengambilnya dan mendapati bunga cantik yang diberikan oleh Gentara. Ya, bunga Lilala. Yang konon bisa mendatangkan kebahagiaan. 

"Huh? Bunga ini ikut bersamaku? Jadi, ini bukan mimpi? Ini kenyataan?" Aku bertanya-tanya masih tidak percaya.

Jika bunga ini nyata, berarti Gentara dan peri Altara juga nyata. Semoga saja semua keanehan ini segera berakhir. Aku masih memandangi bunga ini warnanya cantik sekali, perpaduan warna biru dan ungu membuat bunga Lilala seperti langit malam yang dihiasi awan warna ungu pekat. 

"Mbak, sedang apa disini?" 

Aku terkejut sampai terhuyung ke belakang ada seseorang bapak tua yang menegurku. Tubuhnya kotor karena tanah, sepertinya dia tukang gali kubur disini. 

"Em ... Saya tersesat, pak." Aku meremas ujung rok seragam karena bingung harus menjawab apa. 

Bapak itu tertawa setelah mendengar jawabanku. Apa aku membuat kesalahan?

Jika dilihat sepertinya dia seumuran dengan Ayahku, tampak sekali dari raut wajahnya bahwa dia sangat kelelahan. Aku jadi merasa iba. Memang sejatinya semua pekerjaan itu melelahkan dan banyak orang-orang kurang beruntung yang sudah bekerja sangat keras tapi hasilnya tidak sepadan. Ya seperti inilah kehidupan. 

Aku masih memandanginya yang sedang tertawa tanpa sadar aku ikut tersenyum melihatnya.

"Kau ini lucu sekali bagaimana bisa tersesat di kuburan? Apa kau tidak ingat lewat jalan mana saat masuk ke sini? Aku kira kau tidak terlalu tua untuk melupakan itu." Ujarnya sambil sesekali menyeka keringat dari balik topi yang ia gunakan. 

Aku tersenyum canggung. Tidak mungkin aku mengatakan padanya bahwa aku datang kemari menggunakan portal. Pasti dia tidak akan percaya. 

"Mari, bapak tunjukkan jalannya." 

"Oh? Apa itu tidak apa-apa?" tanyaku ragu. 

"Tentu saja, kau sedang butuh pertolongan. Dengan senang hati bapak akan membantu." Ujarnya sambil tersenyum lalu berjalan terlebih dahulu, dan aku mengikutinya dari belakang. 

Sekarang, aku menyadari sesuatu. Bahwa ketika aku bertemu dengan orang-orang yang ingin menyakitiku bukan berarti semua orang jahat. Nyatanya ada beberapa dari mereka yang masih punya rasa peduli kepada sesama. 

Aku yakin bahwa disetiap pertemuan pasti ada alasannya.

Setelah berjalan cukup lama akhirnya aku dapat melihat gapura yang bertuliskan 'Pemakaman Teluk Asih' . Ternyata ini adalah pemakaman kota yang letaknya tidak jauh dari toko bunga Bu Syifa. Aku tertawa kecil berarti portal itu tidak salah hanya saja tempatnya yang sedikit berbeda. 

Saat sudah sampai ditepi jalan raya aku bisa melihat tempat kerjaku dari seberang. Untung saja ada bapak ini yang menolongku, jika tadi aku nekad mencari jalan sendiri bisa-bisa aku malah tidak keluar dari pemakaman. Mengingat ini adalah pemakaman kota yang cukup luas dan jalannya berliku-liku. 

"Terimakasih atas bantuannya, maaf merepotkan, pak."

"Tidak masalah. Ini juga salah satu pekerjaanku," balasnya. 

"Sekali lagi terimakasih, sampai jumpa." Aku berpamitan sambil melambaikan tangan. Semoga dilain waktu aku bisa bertemu dengannya kembali. 

Setelah menyeberang, aku berjalan beberapa meter hingga sampailah di depan toko. Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega sekarang setelah melalui beberapa kejadian aneh. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam dan mendapati Bu Syifa sang pemilik toko sedang duduk di meja kasir.

"Selamat sore bunda ...." Sapaku tersenyum manis. 

Jika kalian heran mengapa aku memanggilnya dengan kata bunda, itu adalah permintaan Bu Syifa sendiri. Dia tau semua permasalahan yang menimpaku. Sejak saat itu juga semua pegawai harus memanggilnya dengan sebutan bunda. Karena mengingat Bu Syifa sama sekali tidak memiliki keturunan. 

"Kau telat dua detik, kemana saja?" tanyanya dengan raut wajah galak. 

"Hanya dua detik, bunda," jawabku pura-pura cemberut. 

Sedetik kemudian Bu Syifa tertawa. Dia memang suka sekali bercanda, meskipun dia tidak menunjukkan kasih sayang dengan cara yang dilakukan seorang Ibu pada umumnya, tapi aku tau kasih sayangnya bahkan melebihi seorang Ibu kandung.

"Sudah ... Sudah. Sekarang ganti bajumu dan makan. Setelah itu baru boleh mulai bekerja." Dia berdiri dari duduknya lalu mengusap kepalaku sebelum akhirnya berlalu pergi. 

Aku berbalik menatap punggungnya yang tak lama mulai menghilang dari pandanganku. Andai saja Ibuku tidak berubah, mungkin aku akan sangat bahagia karena memiliki dua Ibu.

                   ••••

Setelah makan dan berganti baju. Aku mengeluarkan bunga yang Gentara berikan dari balik saku seragam. Aneh, kenapa bunga ini tidak layu atau berubah warna seperti bunga pada umumnya jika baru dipetik. Tiba-tiba aku mendapatkan ide. 

Aku keluar ruangan dan berjalan menuju gudang penyimpanan bunga. Lalu mencari pot bunga yang sudah tidak terpakai. 

Memasukkan segenggam tanah pada pot, lalu menancapkan bunga Lilala ke dalamnya. Aku juga menambahkan air dan pupuk agar bunga ini bisa hidup. Setelah selesai aku menaruhnya di jendela agar terkena sinar matahari. 

Aku tersenyum geli, apa mungkin bunga itu bisa hidup tanpa akar? Mungkin saja, jika Tuhan sudah berkehendak apapun bisa terjadi. Sekalipun itu adalah sesuatu yang bagimu tidaklah mungkin bisa terjadi. 

Semoga saja bunga itu bisa tumbuh dan bercabang banyak. Jadi, kebahagiaan akan selalu bersamaku.

"Ana?" 

Aku menoleh saat ada seseorang yang memanggil. Ternyata itu salah satu pegawai disini, namanya Andre. 

"Ada apa?" 

"Sedang apa kau disini?" tanyanya 

"Aku sedang menanam bunga. Lihat! Cantik sekali bukan?" 

Andre langsung membulatkan matanya, nampak sekali jika dia juga terkagum dengan kecantikan bunga Lilala ini. Dia sampai membungkukkan badannya berkali-kali hanya untuk melihatnya dari jarak dekat. 

Andre adalah salah satu pegawai di toko ini yang sangat dekat denganku umurnya sekarang sudah 24 tahun, dia masih menempuh pendidikan di Universitas Gunadarma. Universitas ini memang bukan yang paling terbaik di kotaku, tapi mereka memberikan kesempatan kepada siapapun yang berprestasi untuk ikut bergabung dan mewujudkan impiannya. Andre menjadi salah satu orang yang bisa masuk ke sana dengan jalur prestasi, dia adalah panutanku. Saat ini, dan seterusnya.

Meskipun umurnya delapan tahun lebih tua dariku, dia sama sekali tidak ingin dipanggil dengan sebutan 'kakak' atau kata lainnya. Alasannya sendiri membuatku tersenyum heran, karena dia bilang umur 25 tahun itu masa dimana kita semua harus mencoba semua kepahitan dalam hidup agar ketika kita sudah bertambah dewasa kita tidak terkejut dengan masalah yang lebih besar, karena dari dulu kita sudah menghabiskan banyak waktu untuk menghadapi masalah. 

Apa yang dia katakan memang ada benarnya. 

Jadi, jangan terburu-buru untuk menikah. Kejarlah dulu semua impianmu sampai akhirnya ada seseorang yang mendampingi hingga akhir hayat. 

"Hey! Apa yang kau lakukan pada bunga secantik ini?" Aku terkejut mendengarnya berteriak. Apa salahku?

"Apa? Memangnya aku melakukan apa?" tanyaku bingung. 

Bukannya menjawab dia malah berlalu mencari sesuatu, sedangkan aku masih menatapnya yang berjalan ke sana kemari . Dia kembali dengan sebuah toples bening berisi air. 

Aku masih diam memperhatikannya. Apa yang dia lakukan?

Andre meletakkan penyangga ke dalam toples lalu mencabut bunga Lilala itu dan memasukkannya ke dalam toples. Seketika aku membulatkan mata.

"Kau .... " belum sempat aku melanjutkan perkataanku, Andre sudah terlebih dulu memotongnya. 

"Apa?" 

"Kau pikir bunga yang sudah dipetik lalu ditanam di dalam tanah bisa tumbuh lagi? Huh?" 

"Aku tidak tahu." Aku tertawa kikuk sambil menggaruk tengkuk. Dari awal aku tidak yakin akan tumbuh.

"Jika kau memetik bunga dan ingin bunganya berkembang lagi, pertama bunganya harus diletakkan diair kurang lebih sepuluh hari hingga tumbuh akar. Jika akar sudah tumbuh kau baru bisa menanamnya di tanah." 

Aku mengangguk mendengarkan, ternyata menanam bunga juga banyak prosesnya. Kenapa aku baru tahu? Seketika aku merasa malu karena hal sepele seperti ini saja aku tidak mengetahuinya. 

"Aneh. Kau bekerja di toko bunga tapi hal seperti ini saja tidak tahu," ketusnya. 

Aku tertawa kecil, bisa membuat seorang Andre merasa kesal adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Mengingat dia adalah seseorang yang sangat periang dan jarang marah. Meski aku tidak memiliki kakak laki-laki, tapi bertemu dengannya membuatku seperti merasakan kasih sayang seorang kakak kandung. 

"Sebenarnya aku tahu, tapi tadi lupa," jawabku mencari alasan agar tidak terlalu terlihat bodoh. Sebenarnya aku memang tidak tahu. 

Dia hanya berdecih menanggapi, lalu pandangannya kembali tertuju pada bunga Lilala yang ujung batangnya sudah terendam air.

"Eh, darimana kau mendapatkan bunga secantik ini? Seumur hidup aku baru melihatnya sekarang." 

Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba otakku seperti berhenti bekerja. Manusia seperti Andre mana mungkin percaya pada dunai peri. Pasti dia hanya akan tertawa terbahak-bahak jika aku mengatakan bahwa bunga Lilala itu diberikan oleh seorang peri. 

"Em ... Itu" belum sempat aku menjawab. Lagi-lagi ada yang memotongnya.

"Ana!" 

Aku dan Andre menoleh bersamaan dan mendapati Ningsih yang berdiri di belakang pintu. Dia pegawai yang bertugas untuk membersihkan gudang. 

"Iya? Ada apa?" tanyaku.

"Ada seseorang lelaki yang mencarimu di depan cepatlah, dia menunggumu." Setelah mengatakan itu dia langsung pergi dengan raut wajah kesal. Ya aku tau, Ningsih pasti cemburu karena aku sedang bersama Andre. Padahal dari dulu semua orang tau jika kami sudah seperti adik kakak. Tapi sepertinya Ningsih mempunyai pandangan yang berbeda. 

Ningsih menyukai Andre, tapi Andre tidak. Alasan Andre hanya karena setiap Ningsih bertemu denganku, dia tidak pernah tersenyum. Maka dari itu Andre tidak bisa membalas perasaannya. 

Apakah itu alasan yang masuk akal? Kupikir tidak. 

Tapi, siapa lelaki yang mencariku.

"Aku akan menemuinya, tolong jaga anakku sebentar," Aku menepuk bahunya lalu berlalu untuk cuci tangan.

"Apa? Anak?" Pekiknya.

Aku terkekeh kecil, lalu berlalu pergi meninggalkannya. Saat sudah sampai di depan toko aku sama sekali tidak menemukan siapapun. Hanya ada beberapa pelanggan dan semuanya perempuan. Lalu, siapa lelaki yang mencariku? 

Mataku masih menelusuri setiap tempat dipinggir jalan, tapi aku tidak menemukan seseorang lelaki itu. Apa Ningsih hanya iseng saja? 

Menghembuskan nafas panjang. Aku berniat masuk ke dalam toko. Tapi ada seseorang yang menepuk pundaku. Sontak aku langsung berbalik dan mendapati seseorang yang sedang tersenyum padaku. 

'Apa-apaan ini!' batinku berteriak.

D

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status