Share

4. Teka-teki

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2025-04-08 11:11:00

Ku buka satu persatu bawah baju, laci lemari, dan kembali menelusuri meja rias yang terdapat banyak sekali barang. Mulai dari riasan, make up, dan lainnya. Hingga aku menemukan sebuah kotak berwarna merah, begitu ku buka isinya kalung perak yang tak pernah ku lihat Maya menggunakannya. Dan yang membuat mataku membola adalah liontin kalung itu, berbentuk sebuah kunci kecil. 

"Ini kalung Maya, Nek?" tanyaku mengangkat kalung tersebut. 

Nenek mendekat dengan mata menyipit. "Oh, iya ini kalung masa kecil Maya," ucapnya setelah mengingat-ngingat.

Aku terpaku sejenak. Lalu memasukan kunci tersebut pada buku diary. Terbuka! 

Isinya hanya sebatas curhatan tentang pada siapa dia tertarik, curahan putus cinta, yang diatasnya terdapat tanggal tiga tahun lalu. Sudah lama. Aku terus membuka lembaran demi lembaran, kini tanggal lah yang menjadi pusat perhatianku. Hingga akhirnya kutemukan sebuah curahan terakhirnya yang ditulis dengan acak-acakan. Tak serapi tulisan lain, membuatku bisa membayangkan suasana hati seperti apa saat dia menuangkan perasaannya di sini. 

Di sana tertulis ...

Gue tahu pekerjaan gue apa

Tapi buat terikat hubungan sama seseorang bukanlah tujuan gue, apalagi jadi gundik. Gak sudi!

Gue lebih suka terbang bebas layaknya kupu-kupu di malam hari, daripada diratukan seseorang dengan syarat kepemilikan. Walaupun dia bahaya dan punya kuasa, tapi gue akan mempertahankan hak untuk menentukan pilihan terkait hidup gue sendiri.

Najis!

Keningku mengernyit, bola mataku menari-nari ke sana ke mari. Rasanya aku pernah mendengar Maya mengatakan hal yang sama, bahaya dan punya kuasa ... bahaya dan punya kuasa. Aku terus mengulang kata kunci tersebut sambil mondar mandir berusaha mengingat percakapan utuh saat Maya mengatakan hal itu. Namun nyatanya blank.

"Kalau kamu membutuhkan itu semua untuk mencari pelakunya, bawa saja pulang. Nanti nenek kasih tahu kamu kalau ayahnya Maya mau lapor polisi, biar kesaksian kalian digabung." 

Aku menelan ludah. Selama ini nenek tak tahu kalau aku sebelas dua belas sama Maya. Yang nenek tahu adalah aku gadis baik-baik. Padahal menyimpan keburukan yang tak pernah ia duga. Dan jika yang dikatakan nenek benar-benar terjadi, maka keburukanku akan terbongkar.

Akhirnya aku pulang dengan perasaan gamang dan dilema. Kenapa aku masih melakukan pekerjaan ini jika tidak mau dicap buruk oleh orang lain? Kenapa aku masih bertahan dengan pekerjaan itu jika akalku sendiri saja menyadari bahwa pekerjaan itu salah? Bahkan, aku sendiri menyaksikan bagaimana Maya dicela banyak orang di hari kematiannya. Apa aku pun akan mengalami hal yang sama jika sampai kematian datang nanti masih bertahan dalam dunia gelap ini?

***

Satu persatu chat sudah aku periksa. Tetapi, tak ada yang mengarah pada kemungkinan pembunuhan. Galeri ikut ku telusuri, di sini aku cukup terkejut karena rupanya Maya sempat-sempatnya mengambil gambar setiap melayani pelanggan. Entah dia memang sengaja menyimpannya atau atas permintaan pelanggan, aku tak tahu. Satu persatu wajah pelanggan Maya ku amati. Sebagian besar aku mengenal mereka juga. Namun tak sedikit juga yang asing di mataku. 

Apa aku perlu membuka sosmednya juga?

Tak ada salahnya aku memeriksa. Setelah berhasil masuk, hal yang kulakukan masih sama, menelusuri kolom chat pribadi. 

Ada satu chat yang menarik perhatianku, dari akun Tirtayasa. Dia mengirimkan banyak sekali chat tapi tak ditanggapi sedikitpun oleh Maya. Bahkan, ada chat yang isinya pengancaman, tapi lagi-lagi Maya tak menanggapi apa-apa. Hingga akhirnya, aku baru tahu kalau akun tersebut diblokir. 

Tirtayasa? Siapa itu? Kenapa aku merasa tak pernah mendengar nama itu di Diskotik? Dan Maya ... Dia juga tak pernah menyebut nama itu. 

Kembali aku masuk ke aplikasi hijau dan mencari kontak dengan nama yang sama. Namun tak kutemukan. Tetapi saat ku periksa daftar yang diblokir, lagi-lagi nomor pria itu ada di sana. 

Tirtayasa ... Yang mana dia itu?

Apa dia salah satu pelanggan di diskotik? Tapi kenapa aku tak pernah mendengar namanya? 

Ah, ini rumit sekali. 

Ku buka lagi diary Maya, melihat satu persatu lembar dengan lebih teliti, tak seperti sebelumnya. Sekarang aku tahu harus mencari apa, curhatan yang mungkin mencantumkan nama Tirta, karena interaksi antar Maya dan laki-laki itulah yang paling mencurigakan dari beberapa Minggu terakhir. Setidaknya sekarang pencarianku lebih terarah. 

Penelusuranku berhenti di sebuah list pelanggan VIP Maya, lengkap dengan nomor ponselnya. Ya, dia memang salah satu primadona yang paling dikejar pelanggan VIP di diskotik. Tak heran, dia sampai punya list seperti ini untuk memudahkannya mengingat satu persatu.

Ku baca satu persatu nama di list tersebut, hingga kemudian sebuah nama yang sedari tadi ku cari ada di sana. Tirta Yasa. Tetapi, di sampingnya terdapat keterangan bahwa mereka selalu bertemu di hotel. Berarti, laki-laki bernama Tirta itu memang bukan pelanggan diskotik? Lalu, tragedi pembunuhan di diskotik kemarin itu ... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    ekstra part

    "Wah, gantengnya. Mirip siapa, ya?" "Mirip abinya dong," ucap Mas Haidar. "Nggak, ah. Kaya mirip ... " Hilya menoleh padaku sejenak, kemudian melirik mas Haidar dengan tatapan mencurigakan. "Mirip siapa?" tanya mas Haidar penasaran. "Ah, nggak. Mirip Kak Marisa." "Masa?" mas Haidar mengerutkan kening dan mengamati wajah Azril, bayi kami. "Kamu itu, Dar, gak papa dong mirip uminya ini." Aku tertawa kecil bersama yang lain menanggapi tingkah Mas Haidar yang seperti anak kecil. Kamar ku penuh, seluruh keluarga kini masih anteng melihat dan menggendong Azril bergantian. Tak lupa Umi Hamidah dan Abi Sofyan juga benar-benar menginap di sini malam ini. Mereka tersenyum bahagia sampai menitikkan air mata, dan itu selalu membuatku tak bisa mengendalikan diri. "Mirip Luqman, Bi," bisik Umi yang masih dapat kudengar. Aku menoleh cepat ke arah mas Haidar yang berada tak jauh dari bibi dan pamannya. Hatiku mencelos mendengar bisikan Umi, pasti mas Haidar juga ikut mendengarnya. Keheb

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 90

    "Mas!" Untung saja hanya oleng sedikit. Haduh, jantungku!"Kamu kenapa, sih, Mas?" "Kamu sih, Dek!" "Kok nyalahin aku?" Mas Haidar mengusap wajah dengan gusar. Dia juga pasti kaget sama sepertiku. Jika saja Mas Haidar tak segera mengendalikan mobil pasti kami sudah meleset dari jalur dan .... Huh!"Mas kaget loh denger kamu ngomong kaya gitu tadi."Aku mengernyit dan merenung sesaat. "Aku cuma bilang i love you, loh, Mas. Kamu ini kenapa, sih?" "Ya itu! Mas kaget, jantung Mas berdebar-debar," ucapnya sambil memegang dada. Wajahnya yang tersenyum jahil membuatku mau tak mau juga ikut tersenyum. "Ya ampun, Mas! Hampir aja kita mati konyol. Kamu ini, ih!" Kalau saja mobil nggak lagi maju, udah aku kusek-kusek suami tampanku ini."Kamu sih! Ih, gemes banget!" ucapnya sambil menggerak-gerakkan bahu seperti orang kedinginan. Aku membulatkan mata melihat sikapnya yang baru kali ini kulihat. Sejak kapan Mas Haidar jadi konyol seperti ini? Ini seperti bukan suamiku. Setibanya di rumah

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 89

    "Tenang, Mas."Mas Haidar yang sepanjang jalan berkali-kali menghela nafas kasar mengangguk menanggapi ucapanku. Walaupun ku tahu kalau ucapanku itu tak sedikitpun mempengaruhi hatinya yang kini sedang bergejolak. Kami turun di halaman rumah makan. Suasana ramai seperti biasanya, Mas Haidar masih tenang menggandengku masuk walau ku tahu pasti inginnya saat ini dia berlari mencari Arga. "Mana Arga?" tanyanya tanpa basa-basi pada seorang pegawai perempuan. "Pak Arga ada di dalam, Pak." Pegawai itu mengangguk ramah padaku sambil tersenyum. Para pegawai perempuan di sini Mas Haidar beri peraturan untuk wajib mengenakan hijab. Semuanya rapi dan cantik dengan rok plisket hitam yang dipadukan dengan kaus panjang khusus seragam pegawai. Mungkin ini jadi salah satu ciri khas dari suamiku, karena di cabang kedua pun Mas Haidar menggunakan peraturan yang sama. Sedangkan di toko, pegawainya semua laki-laki. Di antara banyaknya pegawai, dari tadi mataku tak melihat Stefani. Dia adalah pegawai

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 88

    Keresahan kini telah sirna, berganti dengan senyuman yang terlihat dari semua orang. Termasuk aku, aku tersenyum haru dengan apa yang dokter Fera katakan. Ya Allah, aku hamil!Mas Haidar terus mengelus kepalaku dengan sayang, tak peduli ada orang lain di kamar kami, kebahagiaan itu ia tunjukan tanpa sungkan. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Indah melakukan video call padaku. "Iya, Ndah, ada apa?" "Gimana keadaan kamu sekarang, Ris? Kita khawatir." Susan ikut muncul dengan raut wajah yang tak berbeda dengan Indah. "Aku baik, Ndah. Kalian tahu, gak, aku hamil." Aku mengatakannya dengan tersenyum lebar, kemudian menutup mulutku sendiri. Malu juga dilihatin umi, Abi, Jihan, dan Mas Haidar. "Hamil?" pekik keduanya kompak. Ish, malu-maluin. "Kok gitu ekspresinya?" protesku. "Nggak, kita bukannya gak ikut bahagia, Ris, tapi ... Ya Allah, Ris, untung aja tadi kamu gak jatuh beneran pas turun dari benteng!" cerocos Susan panik. "Apalagi kamu tadi juga bilang ngangkat Haris yang berat ke j

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 87

    "Ya ampun Marisa!! Kamu ke mana aja, sih? Kita khawatir, tahu!" sembur Indah dan Susan begitu aku duduk di atas benteng. Tak ku tanggapi lebih dulu cerocosan mereka dan segera turun. "Marisa hati-hati!" teriak Jndah dan Susan saat aku hampir tergelincir. Dadaku sudah berdegup kencang, entah kenapa aku panik sekali, padahal kini posisiku sudah tak terlalu tinggi. Jatuh pun tak akan terlalu sakit. Setelah berhasil menginjakkan kaki di tanah aku menyimpan tangga tadi ke tempat semula."Gimana, Ris? Haris sudah aman, kan?" tanya Indah."Sudah. Dia sudah aman. Tadi sempat kaget karena ternyata saat aku batu Haris ke kamarnya ketahuan sama Deni. Tapi untungnya Deni malah bantu. Semoga saja Deni gak ngasih tau yang lain sebelum Pak Fikri di tangkap polisi.""Ya udah, ayo kita pergi dari sini." ---Esok harinya aku dapat kabar dari Indah kalau Paman Fikri langsung dijemput polisi di kediamannya. Beberapa hari pun polisi melakukan penyelidikan dan menanyai anak-anak satu persatu. Dan terny

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 86

    Aku menemui Indah dan Susan, kami berbicara bertiga di salah satu kamar. "Gila! Jadi sebenarnya begitu?" tanya Indah setelah mendengar ceritaku."Ih! Kebangetan tuh Paman Fikri. Gak takut di tuntut dunia akhirat apa ya?" timpal Susan."Sudah. Sekarang kalian tolongin aku." "Tolongin apa?" Aku membisikkan rencana. Kedua temanku itu langsung mengangguk setuju dan sangat bersemangat. "Kamu bener, Ris. Orang seperti Paman Fikri jangan dikasih kendor. Eh, jangan dikasih kesempatan buat kabur," ucap Susan."Sekarang di mana Harisnya?" tanya Indah."Dia sudah aku suruh masuk ke mobil dan sembunyi. Ayo, kita harus segera keluar dari sini dan mengakhiri kejahatannya. Sebelum paman Fikri datang ke sini dan curiga," jawabku."Iya. Ayo." Kami bertiga pun berpamitan pada anak-anak. Seperti yang sudah dikatakan Indah, semua anak-anak itu terlihat sangat sedih dan tidak mau kami tinggalkan. Hatiku berdenyut sakit melihat itu.Sabar, adik-adikku, Kakak pergi untuk mengakhiri penderitaan kalian.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status