Ku buka satu persatu bawah baju, laci lemari, dan kembali menelusuri meja rias yang terdapat banyak sekali barang. Mulai dari riasan, make up, dan lainnya. Hingga aku menemukan sebuah kotak berwarna merah, begitu ku buka isinya kalung perak yang tak pernah ku lihat Maya menggunakannya. Dan yang membuat mataku membola adalah liontin kalung itu, berbentuk sebuah kunci kecil.
"Ini kalung Maya, Nek?" tanyaku mengangkat kalung tersebut. Nenek mendekat dengan mata menyipit. "Oh, iya ini kalung masa kecil Maya," ucapnya setelah mengingat-ngingat. Aku terpaku sejenak. Lalu memasukan kunci tersebut pada buku diary. Terbuka! Isinya hanya sebatas curhatan tentang pada siapa dia tertarik, curahan putus cinta, yang diatasnya terdapat tanggal tiga tahun lalu. Sudah lama. Aku terus membuka lembaran demi lembaran, kini tanggal lah yang menjadi pusat perhatianku. Hingga akhirnya kutemukan sebuah curahan terakhirnya yang ditulis dengan acak-acakan. Tak serapi tulisan lain, membuatku bisa membayangkan suasana hati seperti apa saat dia menuangkan perasaannya di sini. Di sana tertulis ... Gue tahu pekerjaan gue apa Tapi buat terikat hubungan sama seseorang bukanlah tujuan gue, apalagi jadi gundik. Gak sudi! Gue lebih suka terbang bebas layaknya kupu-kupu di malam hari, daripada diratukan seseorang dengan syarat kepemilikan. Walaupun dia bahaya dan punya kuasa, tapi gue akan mempertahankan hak untuk menentukan pilihan terkait hidup gue sendiri. Najis! Keningku mengernyit, bola mataku menari-nari ke sana ke mari. Rasanya aku pernah mendengar Maya mengatakan hal yang sama, bahaya dan punya kuasa ... bahaya dan punya kuasa. Aku terus mengulang kata kunci tersebut sambil mondar mandir berusaha mengingat percakapan utuh saat Maya mengatakan hal itu. Namun nyatanya blank. "Kalau kamu membutuhkan itu semua untuk mencari pelakunya, bawa saja pulang. Nanti nenek kasih tahu kamu kalau ayahnya Maya mau lapor polisi, biar kesaksian kalian digabung." Aku menelan ludah. Selama ini nenek tak tahu kalau aku sebelas dua belas sama Maya. Yang nenek tahu adalah aku gadis baik-baik. Padahal menyimpan keburukan yang tak pernah ia duga. Dan jika yang dikatakan nenek benar-benar terjadi, maka keburukanku akan terbongkar. Akhirnya aku pulang dengan perasaan gamang dan dilema. Kenapa aku masih melakukan pekerjaan ini jika tidak mau dicap buruk oleh orang lain? Kenapa aku masih bertahan dengan pekerjaan itu jika akalku sendiri saja menyadari bahwa pekerjaan itu salah? Bahkan, aku sendiri menyaksikan bagaimana Maya dicela banyak orang di hari kematiannya. Apa aku pun akan mengalami hal yang sama jika sampai kematian datang nanti masih bertahan dalam dunia gelap ini? *** Satu persatu chat sudah aku periksa. Tetapi, tak ada yang mengarah pada kemungkinan pembunuhan. Galeri ikut ku telusuri, di sini aku cukup terkejut karena rupanya Maya sempat-sempatnya mengambil gambar setiap melayani pelanggan. Entah dia memang sengaja menyimpannya atau atas permintaan pelanggan, aku tak tahu. Satu persatu wajah pelanggan Maya ku amati. Sebagian besar aku mengenal mereka juga. Namun tak sedikit juga yang asing di mataku. Apa aku perlu membuka sosmednya juga? Tak ada salahnya aku memeriksa. Setelah berhasil masuk, hal yang kulakukan masih sama, menelusuri kolom chat pribadi. Ada satu chat yang menarik perhatianku, dari akun Tirtayasa. Dia mengirimkan banyak sekali chat tapi tak ditanggapi sedikitpun oleh Maya. Bahkan, ada chat yang isinya pengancaman, tapi lagi-lagi Maya tak menanggapi apa-apa. Hingga akhirnya, aku baru tahu kalau akun tersebut diblokir. Tirtayasa? Siapa itu? Kenapa aku merasa tak pernah mendengar nama itu di Diskotik? Dan Maya ... Dia juga tak pernah menyebut nama itu. Kembali aku masuk ke aplikasi hijau dan mencari kontak dengan nama yang sama. Namun tak kutemukan. Tetapi saat ku periksa daftar yang diblokir, lagi-lagi nomor pria itu ada di sana. Tirtayasa ... Yang mana dia itu? Apa dia salah satu pelanggan di diskotik? Tapi kenapa aku tak pernah mendengar namanya? Ah, ini rumit sekali. Ku buka lagi diary Maya, melihat satu persatu lembar dengan lebih teliti, tak seperti sebelumnya. Sekarang aku tahu harus mencari apa, curhatan yang mungkin mencantumkan nama Tirta, karena interaksi antar Maya dan laki-laki itulah yang paling mencurigakan dari beberapa Minggu terakhir. Setidaknya sekarang pencarianku lebih terarah. Penelusuranku berhenti di sebuah list pelanggan VIP Maya, lengkap dengan nomor ponselnya. Ya, dia memang salah satu primadona yang paling dikejar pelanggan VIP di diskotik. Tak heran, dia sampai punya list seperti ini untuk memudahkannya mengingat satu persatu. Ku baca satu persatu nama di list tersebut, hingga kemudian sebuah nama yang sedari tadi ku cari ada di sana. Tirta Yasa. Tetapi, di sampingnya terdapat keterangan bahwa mereka selalu bertemu di hotel. Berarti, laki-laki bernama Tirta itu memang bukan pelanggan diskotik? Lalu, tragedi pembunuhan di diskotik kemarin itu ...Aku masuk ke dalam kamar, terlihat Haidar sedang khusyuk membaca ayat suci. Suaranya hanya bisa terdengar sayup-sayup olehku. Namun, aku tahu dia begitu menghayati setiap kalimat dan ayat yang dia lantunkan. Apakah Haidar mengerti arti dari apa yang baca?Selesai membaca Al-Qur'an, Haidar langsung menoleh ke arahku. Tatapannya datar seperti biasa. Nampaknya dia berusaha mengalihkan rasa gugupnya setelah tadi digoda keluarga dengan membaca Al-Qur'an itu. "Apa kamu?" tanyanya sambil bangkit. Aku tertegun. Maksudnya gimana?"Aku manusia." "Bukan markisa?" Aku nyengir sebal. "Jangan merusak namaku seperti itu." Haidar tak menyahut lagi, tapi dia berjalan ke arah pintu keluar. "Tidur!" ucapnya membuatku merasa dihardik. Dia ini kenapa jutek sekali, sih?Pintu tertutup kemudian. Aku menghela nafas. Sabar, Marisa. Aku beringsut naik ke atas tempat tidur, kemudian menarik selimut. Baru saja hendak berbaring, pintu kembali terbuka. Haidar masuk lagi dengan wajah kacau. Aku langsung dudu
Selesai mandi, aku celingukan dengan panik saat tak mendapati baju ganti. Aku menepuk jidat ketika teringat aku lupa tak membawanya. Dan, tak ada kimono juga di sini. Hanya ada handuk biasa yang hanya membalut tubuhku dari dada hingga paha. Bagaimana ini?? "Cepat, Markisa! Aku ingin mandi sekarang." Teriakan Haidar itu membuatku semakin panik dan ketar ketir. Ah! Sial sekali aku. Bagaimana sekarang? Apa aku harus keluar dengan handuk ini? Toh, dia sudah sah menjadi suamiku? Tetapii ... Rasanya aku belum berani. Dan kalau aku tetap diam di sini, dia pasti marah dan mendobrak pintunya. Ah, bagaimana ini?"Markisa! Kamu sedang apa sih?" Kleeekk ...Kubuka pintu sedikit saja, menampilkan sebelah mataku mengintip ke balik pintu. Seketika Haidar muncul dan mendorong pintu cukup kuat hingga membuatku terkejut, dengan segera ku dorong pintu tersebut hingga kami pun saling dorong mendorong beberapa saat."Eh, ini perempuan maunya apa, sih?" ucapnya sambil terus berusaha mendorong pintu. Den
"Ya Allah, Marisa, kamu cantik sekali." Ibu Panti langsung berhambur memelukku. Tanganku bersambut membalas pelukannya dengan hati mengambang."Kakak Marisa sangat cantik." Beberapa anak panti yang memang dekat denganku pun ikut mengatakan hal yang sama. Aku tersenyum tipis, lalu mengusap kepala mereka satu persatu."Iya, Kakak Marisa sangat cantik. Dan Kakak Suami juga sangat tampan," celoteh Gina, balita berusia empat tahun. Pujian mereka seakan sebuah angin lalu bagiku. Aku tahu, mereka hanya ingin menghiburku saja. "Marisa ... " Aku memutar badan ke belakang, Umi dan Abi dari A Luqman tersenyum bahagia menatapku. Ku peluk mereka satu persatu, mau tak mau aku menangis di sini. "Jangan nangis, semoga pernikahan kalian dirahmati Allah, dan kalian bahagia selamanya."Aku tersenyum tipis. "Aamiiin.""Ayo duduk di sana, Kak." Jihan menegurku. Lalu ia menuntunku semakin mendekati pria yang sudah merusak namaku itu. Haidar langsung menggeser duduknya begitu aku duduk. Tidak masalah,
Setidaknya melihat orang lain bahagia karena aku itu yang terbaik. Karena jujur, aku sudah tak memikirkan apapun lagi untuk kebahagiaanku. Tak ada yang aku harapkan, tak ada yang kuinginkan. Entahlah ... Aku tak putus asa. Tetapi, aku hanya takut untuk mengharapkan kebahagiaan lagi. Setiap kali aku hendak mencecap manisnya sebuah kebahagiaan, malah pahit yang aku rasakan. Jadi, biarlah kini semua berlalu seperti air yang mengalir. Mau aku bahagia atau tidak nantinya, aku hanya akan melakukan semuanya semata-mata untuk meraih ridho Allah dan kebahagiaan keluargaku. Seperti nasehat Abi, aku harus tegar dan ikhlas, inilah jalan takdir yang harus aku jalani.Semua orang sangat bahagia mendengar persetujuanku. Mereka langsung mempersiapkan seluruh persiapan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tapi baik aku dan Haidar sepakat untuk tidak membuat pesta, hanya acara ijab kabul dan syukuran saja. Kini, untuk kedua kalinya rumah megah ini dihias dengan sedemikian rupa untuk pernikahanku. Tet
"Markisa buka!" Aku memeluk guling, itu benar Haidar. Mau apa dia sampai mengetuk pintu kamarku? Apa dia masih mau menghajarku?Ketukannya tak kunjung berhenti walaupun sedari tadi ku abaikan. Dia bahkan semakin keras mengetuk pintu. "Markisa?" panggilnya, kini suaranya sedikit melunak. Seolah sedang mengecek apakah aku ada di sini atau tidak. Setidaknya dia bisa menyebutkan namaku dengan benar, bukan? Tapi ini ..."Markisa buka, atau aku tinggal saja di sini."Aku masih diam. Setidaknya ditinggal laki-laki seperti dia itu lebih baik bagiku. "Umi nyuruh kita ke rumah Bibi. Kamu mau ikut, gak?" Aku tertegun sejenak. Oh, jadi semua orang sedang di rumah Umi? Apa Umi dan Abi sudah pulang? Aku harus ke sana juga. "Heh!" hardiknya. "Aku ke sana sendiri aja. Kamu duluan!" teriakku. Suasana hening kemudian. Aku rasa dia sudah pergi. Aku segera siap-siap. Pintu ku buka perlahan, celingak-celinguk terlebih dulu takut pria menyeramkan itu sembunyi dariku. Hingga turun dari tangga aku
"Aduh, sebenarnya Neng ini mau ke mana?" tanya abang tukang ojek entah sudah ke berapa kalinya. Aku tak tahu mobil Haidar yang mana dan tak bisa membedakannya juga dengan yang lain. Dari tadi, aku celingak celinguk ke sana ke mari, tetapi tetap tidak ketemu. Perjalanan sudah terlalu jauh untuk seorang tukang ojek. Mungkin itulah yang membuat Abang ojek ini terus bertanya."Bang, aku gak bisa menemukan orang yang sedang aku cari. Gak papa deh, Abang anterin aku ke Tengerang ya?""Hah? Apa kata Neng? Tangerang? Jauh itu, Neng!" Abang ojek protes dan berteriak-teriak kencang sambil nengok-nengok ke samping."Tolong dong, Bang ... Nanti saya bayar, kok. Anggap aja saya nyewa abang sama motornya." "Ampuun ... Si Neng ... " Bang ojek itu tetap melajukan motornya mengikuti arahan dariku walau sambil merengut. Bahkan macet pun tak berpengaruh untuk motor yang bisa salip menyalip. Aku harus bisa sampai di depan rumah Jihan sebelum Haidar. Harus!Dua jam kemudian, aku sampai di tempat yang ku