Hana menjerit kala melihat isi paket itu dan refleks melemparnya. Bu Ratna yang mendengar jeritan menantunya bergegas menghampiri.
“Ada apa, Hana?” Bu Ratna khawatir melihat menantunya ketakutan.“Itu.” Hana menunjuk paket kardus yang baru saja di lemparnya.“Apa itu?” tanya Bu Ratna.“Tadi ada orang kirim paket.”Bu Ratna mendekati kardus itu dan mengambilnya. Bu Ratna terkejut melihat isi paket itu dan juga melemparnya.“Astagfirullah, siapa yang mengirimkan itu dan apa maksudnya?”“Hana gak tahu, Bu.”“Panggil tukang, suruh dia bantu untuk buang itu.”Hana memanggil tukang untuk meminta tolong membuangkan paket itu.“Ini teror, Bu,” ucap pak Tukang ketika melihat isi di dalam kardus.“Teror?” ucap Hana dan Bu Ratna serempak.Keinginan Maida, tak lagi sekedar ambisi memiliki Razi. Namun, baginya ini tentang harga diri. Seorang Maida, anak dari pemilik salah satu perusahaan terbesar di Jakarta harus kalah dengan seorang gadis sederhana dari kampung.●●●Razi termenung di balik jendela kamar yang baru selesai diperbaiki. Pandangannya tertuju ke sekumpulan anak-anak yang berlarian di jalanan. Sesekali lelaki itu menarik napas dan mengembuskannya pelan, berharap segala penatnya ikut terbuang.“Apa ada sesuatu?” tanya Hana saat melihat suaminya tengah melamun. Wanita pemilik senyum manis itu menghampiri dan berdiri di sampingnya.Razi menggeleng, tak ingin wanita di sampingnya ikut merasakan beban beratnya.“Kalo mau, Aa bisa cerita. Mungkin ... Hana memang gak bisa banyak membantu, tapi paling tidak beban Aa sedikit berkurang.”“Hana.” Razi menjeda kata-katanya. “Aku ... tidak ingin kehilan
Maida turun dari mobil dan bergegas menuju ruangannya. Di sana, sudah menunggu Bu Regina dan Andrean.“Sayang, kamu dari mana? Kok baru nyampe kantor?” tanya Bu Regina saat melihat putrinya.“Habis ketemu sama seseorang,” jawab Maida lalu duduk di kursi.“Siapa?”“Hana.”“Hana, istrinya Razi?”Maida mengangguk malas.“Ada apa?” tanya Bu Regina penasaran.“Dia menawarkan solusi ... kalau aku tidak berhenti mengejar Razi, dia memintaku jadi istri kedua aja,” sahut Maida diiringi tawa.“Apa? Istri kedua?” Bu Regina terkejut.“Iya, lucu kan?” sahut Maida sambil menggelengkan kepala.“Sepertinya di keluarga kita tidak ada perempuan yang jadi istri kedua,” timpal Andrean.Bu Regina mengangguk. “Mai, apa sebaikny
Pak Robi memandang Razi dengan tak biasa.“Jika suatu saat kamu menjadi seorang ayah, kamu akan mengerti dengan apa yang saya lakukan sekarang. Kebahagiaan terbesar bagi seorang ayah adalah melihat putrinya bahagia,” ujar Pak Robi.“Meski harus mengorbankan orang lain?” sahut Razi.“Saya yakin, pengorbananmu tidak akan sia-sia. Jika saat ini cintamu terhadap Maida semakin terkikis, suatu saat cinta itu akan tumbuh kembali seiring kalian bersama. Bukankah seperti itu munculnya perasaanmu terhadap Hana?”Razi tak ingin menjawab pertanyaan pak Robi. Hatinya teriris, harga dirinya terkoyak. Dia tak bisa membela keinginannya, bahkan meski hanya untuk menegakkan kepalanya.Razi keluar ruangan Pak Robi dengan gontai. Dia tak lagi bisa berpikir jernih.[Hana, jangan menungguku, aku ada lembur sampai malam]Razi mengirimkan pesan kepada Hana lalu mematikan ponselnya.
Dua minggu berlalu, Bu Ratna kembali ke Jakarta. Wanita paruh baya itu membawa oleh-oleh yang banyak untuk anak dan menantunya.“Cape sekali,” ujar Bu Ratna seraya menghempaskan bobotnya di sofa.Razi menatap ibunya, dia sudah menyiapkan mental jika saat ini ibunya akan memarahi karena menceraikan Hana.“Hana! Hana!” Bu Ratna memanggil-manggil Hana. Dia heran kenapa menantunya itu tak menyambut kedatangannya.“Razi, istrimu mana?” tanya Bu Ratna sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan koran yang dia ambil dari meja.Razi mengernyitkan dahi. Dia berpikir bahwa ibunya sudah tahu kalau dirinya dan Hana sudah bercerai.“Ibu sedang bercanda, ya? Kalo ibu mau marah, Razi sudah siap, Bu,” ujar Razi seraya menunduk.“Marah kenapa kamu ini!” Bu Ratna tak mengerti.“Apa Hana tidak memberi tahu ibu?”“M
Dada Maida menyesak, tak menyangka bahwa lelaki yang duduk di sampingnya masih mengingat mantan istrinya.“Nak Razi,” ucap Pak Penghulu sembari menepuk pelan punggung tangan Razi. Tampaknya dia tak mendengar apa yang diucapkan Razi.Razi terperanjat.“Bisa dimulai sekarang?” tanya Pak Penghulu.Razi mengangguk pelan.Kedua telapak tangan Razi dan Pak Robi saling bertaut untuk mengucapkan akad suci sebuah pernikahan. Razi tak bisa fokus hingga ijab kabulnya harus diulang.“Saya ... terima nikah dan kawinnya ... Maida ... Friscilia Putri binti Robi Prima Diningrat dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram, tunai.”“Sah?”“Sah!”Beberapa keluarga dan tamu ikut mengucap kata “sah”. Namun, ada juga yang saling berbisik mengenai jumlah maskawin yang diberikan oleh Razi. Tentu sa
Maida dan Razi berencana pindah ke rumah baru yang dibelikan oleh Pak Robi sebagai hadiah pernikahan mereka. Razi juga mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Selain itu, dia mendapat hadiah mobil mewah untuk kendaraan pribadinya. Namun, segala fasilitas dan kemudahan yang didapatkannya tak lantas membuat hatinya senang. Ada kegersangan yang melanda hatinya. Sejak awal, tujuan dia menikahi Maida memang bukan untuk masalah dunia, tapi karena dia tak ingin orang yang dicintainya terluka.“Sayang, kamu sudah putuskan mau bulan madu ke mana?” tanya Maida saat di hotel setelah resepsi pernikahan mereka usai.“Terserah kamu aja,” jawab Razi malas.“Bagaimana kalau ke Switzerland? Di sana sedang winter, jadi pasti menyenangkan,” ujar Maida dengan mata yang berbinar.“Switzerland?” bisik Razi. ‘Bukankah itu tempat yang ingin dikunjungi oleh Hana?’ dirinya membatin. Mem
Danau biru berkilauan dikelilingi pegunungan nan megah. Zurich, sebuah kota abad pertengahan yang identik dengan perbankan dan keuangan ini dialiri oleh sungai Lammat, sungai kecil yang berasal dari Danau Zurich dan bermuara di sungai Aare. Pesona keindahan alamnya tak diragukan lagi. Danau yang bersih, kawasan pejalan kaki di tepi danau, dan bangunan bersejarah, memang begitu pas disinggahi untuk berwisata, terutama bagi pengantin baru untuk berbulan madu.“Jauh-jauh ke sini percuma kalau di kamar terus.” Maida mendengkus kesal karena sejak sampai, mereka hanya di hotel, dan keluar hanya untuk mencari makan.“Di luar dingin,” jawab Razi seraya menarik selimut lagi.“Trus ngapain kita ke sini? Di kamar kamu juga cuma tidur!”“Dingin gini enaknya ya tidur, ngapain lagi?”Maida menghentakkan kakinya karena kesal.“Ya apa, jalan-jalan kek. Kamu kok jadi berubah
Lantunan azan Ashar mengalir lembut membelai telinga. Hana beranjak dari kursi lalu mengambil air wudu dan salat empat rakaat. Setelah selesai, dia duduk di kursi samping jendela dengan sekat kaca persegi yang terbuka. Wanita yang tengah hamil itu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Entah kenapa sejak tadi perasaannya tak enak, pikirannya terus tertuju kepada mantan suaminya.“Hana, sore ini kamu ngajar, gak?” tanya Fatimah.Hana mengangguk. “Iya, ngajar. Tapi ... perasaanku gak enak, Bi. Kok tiba-tiba, inget A Razi terus, ya? Apa jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengannya?”“Kamu kangen kali,” timpal Fatimah.“Ah, Bibi.”“Jangan dipikirkan, kamu fokus aja dengan hidup kamu sekarang,” tukas Fatimah.“Kalau gak salah tebak, sekarang mereka pasti sedang bulan madu di luar negeri,” bisik Hana lirih. Ada perasaan teriris