Pak Robi memandang Razi dengan tak biasa.
“Jika suatu saat kamu menjadi seorang ayah, kamu akan mengerti dengan apa yang saya lakukan sekarang. Kebahagiaan terbesar bagi seorang ayah adalah melihat putrinya bahagia,” ujar Pak Robi.“Meski harus mengorbankan orang lain?” sahut Razi.“Saya yakin, pengorbananmu tidak akan sia-sia. Jika saat ini cintamu terhadap Maida semakin terkikis, suatu saat cinta itu akan tumbuh kembali seiring kalian bersama. Bukankah seperti itu munculnya perasaanmu terhadap Hana?”Razi tak ingin menjawab pertanyaan pak Robi. Hatinya teriris, harga dirinya terkoyak. Dia tak bisa membela keinginannya, bahkan meski hanya untuk menegakkan kepalanya.Razi keluar ruangan Pak Robi dengan gontai. Dia tak lagi bisa berpikir jernih.[Hana, jangan menungguku, aku ada lembur sampai malam]Razi mengirimkan pesan kepada Hana lalu mematikan ponselnya.Dua minggu berlalu, Bu Ratna kembali ke Jakarta. Wanita paruh baya itu membawa oleh-oleh yang banyak untuk anak dan menantunya.“Cape sekali,” ujar Bu Ratna seraya menghempaskan bobotnya di sofa.Razi menatap ibunya, dia sudah menyiapkan mental jika saat ini ibunya akan memarahi karena menceraikan Hana.“Hana! Hana!” Bu Ratna memanggil-manggil Hana. Dia heran kenapa menantunya itu tak menyambut kedatangannya.“Razi, istrimu mana?” tanya Bu Ratna sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan koran yang dia ambil dari meja.Razi mengernyitkan dahi. Dia berpikir bahwa ibunya sudah tahu kalau dirinya dan Hana sudah bercerai.“Ibu sedang bercanda, ya? Kalo ibu mau marah, Razi sudah siap, Bu,” ujar Razi seraya menunduk.“Marah kenapa kamu ini!” Bu Ratna tak mengerti.“Apa Hana tidak memberi tahu ibu?”“M
Dada Maida menyesak, tak menyangka bahwa lelaki yang duduk di sampingnya masih mengingat mantan istrinya.“Nak Razi,” ucap Pak Penghulu sembari menepuk pelan punggung tangan Razi. Tampaknya dia tak mendengar apa yang diucapkan Razi.Razi terperanjat.“Bisa dimulai sekarang?” tanya Pak Penghulu.Razi mengangguk pelan.Kedua telapak tangan Razi dan Pak Robi saling bertaut untuk mengucapkan akad suci sebuah pernikahan. Razi tak bisa fokus hingga ijab kabulnya harus diulang.“Saya ... terima nikah dan kawinnya ... Maida ... Friscilia Putri binti Robi Prima Diningrat dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram, tunai.”“Sah?”“Sah!”Beberapa keluarga dan tamu ikut mengucap kata “sah”. Namun, ada juga yang saling berbisik mengenai jumlah maskawin yang diberikan oleh Razi. Tentu sa
Maida dan Razi berencana pindah ke rumah baru yang dibelikan oleh Pak Robi sebagai hadiah pernikahan mereka. Razi juga mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Selain itu, dia mendapat hadiah mobil mewah untuk kendaraan pribadinya. Namun, segala fasilitas dan kemudahan yang didapatkannya tak lantas membuat hatinya senang. Ada kegersangan yang melanda hatinya. Sejak awal, tujuan dia menikahi Maida memang bukan untuk masalah dunia, tapi karena dia tak ingin orang yang dicintainya terluka.“Sayang, kamu sudah putuskan mau bulan madu ke mana?” tanya Maida saat di hotel setelah resepsi pernikahan mereka usai.“Terserah kamu aja,” jawab Razi malas.“Bagaimana kalau ke Switzerland? Di sana sedang winter, jadi pasti menyenangkan,” ujar Maida dengan mata yang berbinar.“Switzerland?” bisik Razi. ‘Bukankah itu tempat yang ingin dikunjungi oleh Hana?’ dirinya membatin. Mem
Danau biru berkilauan dikelilingi pegunungan nan megah. Zurich, sebuah kota abad pertengahan yang identik dengan perbankan dan keuangan ini dialiri oleh sungai Lammat, sungai kecil yang berasal dari Danau Zurich dan bermuara di sungai Aare. Pesona keindahan alamnya tak diragukan lagi. Danau yang bersih, kawasan pejalan kaki di tepi danau, dan bangunan bersejarah, memang begitu pas disinggahi untuk berwisata, terutama bagi pengantin baru untuk berbulan madu.“Jauh-jauh ke sini percuma kalau di kamar terus.” Maida mendengkus kesal karena sejak sampai, mereka hanya di hotel, dan keluar hanya untuk mencari makan.“Di luar dingin,” jawab Razi seraya menarik selimut lagi.“Trus ngapain kita ke sini? Di kamar kamu juga cuma tidur!”“Dingin gini enaknya ya tidur, ngapain lagi?”Maida menghentakkan kakinya karena kesal.“Ya apa, jalan-jalan kek. Kamu kok jadi berubah
Lantunan azan Ashar mengalir lembut membelai telinga. Hana beranjak dari kursi lalu mengambil air wudu dan salat empat rakaat. Setelah selesai, dia duduk di kursi samping jendela dengan sekat kaca persegi yang terbuka. Wanita yang tengah hamil itu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Entah kenapa sejak tadi perasaannya tak enak, pikirannya terus tertuju kepada mantan suaminya.“Hana, sore ini kamu ngajar, gak?” tanya Fatimah.Hana mengangguk. “Iya, ngajar. Tapi ... perasaanku gak enak, Bi. Kok tiba-tiba, inget A Razi terus, ya? Apa jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengannya?”“Kamu kangen kali,” timpal Fatimah.“Ah, Bibi.”“Jangan dipikirkan, kamu fokus aja dengan hidup kamu sekarang,” tukas Fatimah.“Kalau gak salah tebak, sekarang mereka pasti sedang bulan madu di luar negeri,” bisik Hana lirih. Ada perasaan teriris
Delapan bulan berlalu. Kehidupan Razi dan Maida mulai banyak diisi dengan pertengkaran. Maida memang tak terbiasa melayani orang lain, karena sejak kecil ada pembantu yang biasa menyiapkan semua keperluannya. Sedang keinginan Razi juga tak terlalu sulit sebenarnya, dia ingin istrinya menyiapkan baju atau sekedar menyiapkan makanan. Tak perlu memasak, cukup menghidangkannya saja itu sudah cukup baginya.Di luar, mereka memang tampak baik-baik saja. Maida memang ingin membuat kesan bahwa mereka adalah pasangan bahagia dan romantis. Sedang dalam hati mereka, begitu sepi dan keropos.“Mana istrimu?” tanya Bu Ratna yang melihat Razi tengah sendiri menyesap kopi.“Masih ada urusan di kantor, Bu.”Bu Ratna menarik napas dalam-dalam.“Sampai malam begini?” Wanita itu menggeleng.Bu Ratna menatap putra semata wayangnya.“Razi, ibu tahu mungkin ibu gak pantas bertanya hal i
Bu Ratna menetap lekat wajah anaknya.“Apa yang akan kamu lakukan jika makanan itu memang benar dari Hana?” tanya Bu Ratna pelan.Razi balik menatap ibunya, dia sendiri pun tak tahu apa yang akan dilakukannya jika itu benar dari Hana.“Razi gak tahu, Bu.”Bu Ratna menepuk pundak anaknya. “Sudahlah, cepat berangkat.”“Kok lama sih? Aku udah selesai sarapan.” Maida sudah berdiri di depan pintu dapur.“Razi berangkat dulu, ya, Bu.” Lelaki itu mencium punggung tangan ibunya. “Assalamualaikum.”●●●Sepasang suami istri itu telah sampai di kantor. Razi masuk ke ruangannya. Lelaki itu melonggarkan dasi, pikirannya masih tertuju kepada mantan istrinya. ‘Bagaimanakah jika dia kembali, apakah dia masih membenciku, atau mungkin dia sudah menikah lagi?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalan
Razi turun dari mobilnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pandangannya tak lepas dari wanita yang hingga kini tak pernah sirna dari hatinya. Kabut di netranya tak terbendung lagi, buru-buru dia mengusapnya sebelum jatuh ke tebing pipi. Lelaki itu menyiapkan mental untuk segala kemungkinan yang akan terjadi.Hana menyadari kehadiran Razi, dia menoleh, diikuti oleh yang lainnya.“Razi ....” Bu Ratna tak menyangka bahwa putranya mengikuti dari belakang.Razi melangkah semakin dekat. “Hana, kamu ... hamil anak kita?”Hana bergeming, tak sedikit pun dia ingin menjawab pertanyaan Razi.“Sebaiknya kita masuk ke dalam dulu,” ujar Fatimah mengajak semuanya masuk.Mereka semua duduk di ruang tamu, melingkar, mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu. Tak satu pun dari mereka yang memulai percakapan.Hana tak sedikit pun menoleh ke arah Razi, ada pilu dan sak