Home / Rumah Tangga / Antara Hormat dan Hasrat / Getaran yang Ia Rencanakan

Share

Getaran yang Ia Rencanakan

Author: Jihan Jaya
last update Last Updated: 2025-11-27 13:51:24

Arsa tidak menyangka tubuh manusia bisa mengingat sesuatu lebih cepat daripada kepala. Ia baru saja keluar dari ruang briefing sore itu, ruangan sempit dengan bau kertas, tinta printer, dan sisa debu lapangan, tapi yang pertama kali muncul di kepalanya bukan laporan, bukan suara komandan, melainkan… wangi samar yang ia kenal.

Bukan parfum.
Bukan sabun.
Wangi kulit seseorang yang ia ingat terlalu baik.

Ia berhenti di koridor. Ada hembusan angin tipis dari ventilasi atas. Dingin, tapi anehnya membuat tengkuknya seperti terbakar.

Nara berjalan dari arah berlawanan, langkahnya pelan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Rambutnya terurai lembut, jatuh di bahunya dengan gerakan yang tidak berlebihan tapi justru membuat Arsa kehilangan napas sesaat, karena rambut itu bergerak tepat seperti terakhir kali yang ia ingat: alami, lembut, seperti tidak pernah menunggu siapa pun.

Yang membuatnya kaget adalah:
bukan rambut itu yang pertama kali membuat jantungnya naik.

Tapi cara Nara berhenti menatap
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Antara Hormat dan Hasrat   Bayangan Sensual Di Tempat Tidur

    Arsa terbangun sebelum matahari benar-benar naik. Nafasnya berat, seperti baru menyelam terlalu dalam ke mimpi yang tubuhnya sendiri belum siap lepaskan. Ada panas yang membekas di dada, sisa sesuatu yang ia tahu bukan sekadar mimpi, tapi keinginan yang hampir pecah.Ia duduk perlahan, memijit pelipis, tapi yang muncul bukan keheningan.Yang muncul adalah Nara.Nara dengan rambut panjangnya yang jatuh sedikit berantakan, seperti selesai dilepas dari ikatannya. Rambut itu selalu jadi awal kehancuran Arsa. Halus, hitam, jatuh di sepanjang punggung yang lembut. Dan dalam mimpinya barusan, rambut itu bukan hanya jatuh. tapi menyapu bahunya sendiri… pelan… seperti angin yang sengaja menggoda.Arsa menelan ludah, napasnya tersengal setengah detik.Bayangan itu kembali: Nara berdiri sangat dekat, hanya beberapa inci dari tubuhnya, tangan perempuan itu hampir menyentuhnya di dada. Bukan menyentuh… tapi hampir. Cukup dekat membuat kulit Arsa bereaksi, tapi cukup jauh sehingga ia terbangun den

  • Antara Hormat dan Hasrat   Saat Suara Itu Mendesah

    Aku tidak tahu kenapa malam ini suaranya terdengar berbeda.Biasanya Arsa hanya terdengar pelan, tenang, seperti seseorang yang tidak pernah kehilangan kendali atas apa pun. Tapi sejak telepon itu berdering lagi malam ini, suara itu masuk ke telingaku dengan cara lain. Lebih berat. Lebih dalam. Lebih dekat.
Seolah dia berdiri tepat di belakangku, padahal sebenarnya masih di markas.Aku duduk di tepi ranjang, rambutku tergerai turun sampai menutupi bahu dan lengan. Udara kamar hangat, namun kulitku terasa seperti ditimpa angin dingin dari balik jendela yang tertutup. Ada sesuatu yang tidak bisa kutahan sejak nada pertama suaranya.“Nara,” katanya pelan.
Hanya itu. Namaku.
Tapi entah kenapa, aku merinding dari tengkuk sampai punggung bawah.Aku tahu seharusnya aku menjaga jarak. Aku tahu. Bukan hanya karena aku istri seorang kolonel… tetapi karena aku sedang berjalan di garis tipis yang jika kutapaki terlalu jauh, aku akan sulit kembali.Namun suara Arsa…
Suara itu seperti tali yang m

  • Antara Hormat dan Hasrat   Resah yang Tak Bisa Ditahan

    Arsa tahu ia harus tidur. Sudah lewat tengah malam, udara barak lembap, dan lampu temaram hanya tinggal garis kuning redup di atas meja kecilnya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ada gelisah yang menjalar dari dadanya turun ke perut, lalu berhenti di pangkal napasnya setiap kali bayangan Nara muncul lagi.Bukan bayangan yang besar, justru yang kecil.
Cara Nara tadi siang menyibak rambutnya ke belakang telinga.
Cara jemari perempuan itu menyentuh kerah baju, seolah merapikan, padahal tidak ada yang berantakan.
Dan cara bahunya naik sedikit setiap kali ia tertawa pelan.Hal-hal kecil itu sekarang berubah menjadi denyut yang berulang di kepala Arsa.Ia menutup mata.
Salah.
Begitu tertutup, ia justru melihat lebih jelas, rambut Nara yang basah di bagian ujung, garis lehernya yang halus, nada suaranya saat menyebut namanya… tanpa gelar. Hanya “Arsa.”Nama yang biasanya kaku itu tiba-tiba terdengar seperti bisikan.Arsa mengusap wajahnya, frustrasi.Kenapa tubuhnya bereaksi begini cepat?
Ken

  • Antara Hormat dan Hasrat   Jarak yang Tidak Lagi Netral

    Arsa tidak tahu sejak kapan napasnya mulai mengikuti ritme langkah Nara. Malam itu, lorong barak seperti menyusut; cahaya lampu kuning pucat membuat kulit Nara tampak lebih hangat dari seharusnya. Rambut panjangnya jatuh ke satu sisi, seakan sengaja memberi ruang bagi leher halus yang selama ini hanya berani ia lihat sekilas.Nara berhenti dua langkah di depannya. Tidak jauh. Tidak aman juga.
Cukup untuk membuat dada Arsa terasa sempit.“Ada yang mau kamu sampaikan?” suara Nara rendah, bukan berbisik, tapi dampaknya lebih dari itu.
Seperti seseorang baru saja menggeser udara di antara mereka.Arsa menelan ludahnya. “Aku… cuma memastikan kamu pulang dengan aman.”Nara menoleh pelan. Gerakan kecil itu membangunkan seluruh indra Arsa.
Rambutnya bergeser, menyentuh pundak dan jatuh ke punggung.
Dan di bawah cahaya itu, kulit Nara seolah punya bahasa sendiri, halus, lembut, sedikit berkilau.Tidak ada yang vulgar.
Tapi justru itu yang membuat Arsa hampir kehilangan kontrol.“Pulangku aman

  • Antara Hormat dan Hasrat   Nafas yang Mencari Kulit

    Arsa tidak pernah menyangka, hanya karena Nara berdiri sedikit lebih dekat dari biasanya, tubuhnya bisa berubah seperti ini, tegang, hangat, seperti sesuatu di dadanya sedang mengetuk minta dilepaskan.Nara hanya ingin menyerahkan map laporan. Hanya itu. Tapi saat tangannya meraih pergelangan tangan Arsa agar map itu tidak jatuh, semuanya berubah.Sentuhan itu sangat pelan. Tidak sampai satu detik. Tapi entah bagaimana, kulit Arsa seperti menyimpan jejaknya.“Nara…” suaranya tercekat, tidak seharusnya terdengar seperti itu, seperti seseorang yang hampir hilang kendali.“Aku cuma mau kasih map-nya,” katanya pelan, tapi suaranya sendiri goyah seolah ia sadar, ia pun merasakannya.Arsa menunduk sedikit, melihat pergelangan tangannya sendiri, tempat jari Nara tadi sempat menempel. Area itu seperti menyala. Hangat. Hidup.“Nara, tadi… kamu sentuh aku?” tanyanya, napas setengah keluar.Wajah Nara memerah. “Refleks.”“Refleksnya terlalu manis,” desis Arsa nyaris tidak terdengar.Nara menela

  • Antara Hormat dan Hasrat   Merinding Tak Karuan Karena Nara

    Ada bagian tubuh perempuan yang lebih berbahaya daripada bibir:, yaitu pergelangan tangannya.
Arsa baru sadar itu ketika jemari nya dan Nara bersentuhan sedetik… dan tubuhnya seperti kehilangan kendali.Nara sedang berdiri dekat jendela ketika Arsa datang. Sore itu sunyi, cuma suara kipas angin kecil dan cicit burung dari luar. Cahaya yang masuk jatuh tepat di kulit Nara, membuat bagian pergelangan tangannya terlihat sangat halus, lembut, dan berdenyut pelan.Arsa tidak bermaksud mendekat. Tidak bermaksud menatap terlalu lama.
Tapi tubuhnya bergerak lebih cepat dari akalnya.“Nara,” suaranya pelan, seperti takut mengganggu udara.Nara menoleh, rambut panjangnya jatuh di bahu dan sebagian menutupi dada. Ia menyibakkannya perlahan, gerakan yang selalu membuat Arsa sulit bernapas.Ada berkas ragu di mata Nara, tapi bukannya mundur… ia justru memutar sedikit tubuhnya, seolah memberikan ruang bagi Arsa untuk mendekat. Dua langkah saja jaraknya, dan Arsa bisa mencium aroma rambutnya—hangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status