Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Hukuman Menikah

Share

Hukuman Menikah

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-03-05 21:46:23

Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.

 

Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.

 

Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.

 

Apa pria itu sengaja menyiksanya?

 

Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan  dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.

 

Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-basi.

 

Tidak ada jawaban.

 

Reina mengernyit. Ia mengetuk lebih keras, tapi tetap sunyi.

 

Merasa makin kesal, ia menarik napas dalam dan bersiap mengetuk sekali lagi—namun sebelum tangannya menyentuh pintu, pintu itu terbuka.

 

Dan di sanalah Satya berdiri, hanya dengan handuk melilit di pinggangnya.

 

Reina langsung membeku. Uap masih mengepul dari tubuhnya, rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit basah dan berantakan. Cahaya lampu dari dalam kamar menerangi kulitnya yang masih lembap, memperjelas otot-ototnya yang terlihat lebih tajam dalam pencahayaan redup.

 

Untuk pertama kalinya sejak tiba di tempat ini, Reina kehilangan kata-kata.

 

Satya menatapnya datar. “Kalau kau datang untuk marah-marah, sebaiknya pilih waktu yang lebih baik.”

 

Reina mengedip, berusaha mengembalikan fokusnya. Ia mengabaikan panas yang merambat ke wajahnya dan berusaha tetap tenang. “Aku ingin tahu kenapa Anda terus memperlakukanku berbeda dari yang lain.”

 

Satya tidak menjawab. Ia justru mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Reina dengan sorot mata tajam.

 

Lalu, tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menarik kerah baju Reina dengan cepat.

 

Reina tersentak, tapi sebelum sempat mundur, Satya sudah berbisik di telinganya. “Kau ingin tahu kenapa?”

 

Jantung Reina berdebar.

 

Satya melepaskannya dan melangkah mundur, ekspresinya tetap setenang sebelumnya. “Karena aku tahu sejak awal bahwa kau perempuan.”

 

Dunia Reina seakan berhenti.

 

“A—apa?”

 

Satya menyeringai tipis, tapi tatapannya tetap tajam. “Aku sudah tahu sejak pertama kali melihatmu. Tapi aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan dengan penyamaran konyol itu.”

 

Reina merasa wajahnya memanas—bukan karena malu, tapi karena marah. Sementara Satya kembali ke kamar mandi untuk mengenakan bajunya.

 

Di dalam kamar yang remang-remang, Reina dan Satya duduk berhadapan. Meja di antara mereka terasa seperti garis tak kasatmata yang memisahkan dua pihak yang saling menilai.

 

Satya bersandar di kursinya, matanya dingin dan penuh perhitungan. Tatapan tajamnya seperti menembus kedalaman pikiran Reina, menuntut jawaban. Reina, yang tadinya sempat tersulut amarah, kini duduk dengan sikap lebih terkendali. Napasnya teratur, ekspresinya datar, seolah telah mengubur emosinya jauh di dalam.

 

“Jelaskan,” perintah Satya dengan nada datar. Reina tetap terdiam.

Satya tidak terburu-buru. Ia menatapnya beberapa saat, lalu dengan tenang, ia mengambil sebuah map dari laci mejanya. Dengan gerakan lambat yang disengaja, ia meletakkannya di atas meja dan membukanya.

 

Di dalamnya, terdapat berkas seseorang—Reihardi. Reina menajamkan matanya, tetapi tidak bereaksi.

 

Satya menyilangkan tangan di dadanya. “Kau ingin tetap diam? Baik. Tapi aku harap kau tahu, dengan menyamar seperti ini, kau telah melanggar banyak aturan. Dan bukan hanya kau yang akan menerima hukuman.”

 

Jari Satya mengetuk berkas itu, menciptakan bunyi yang bergema di kamar yang sunyi. “Aku bisa menghukum kalian berdua. Reihardi, karena bersekongkol denganmu, kau, dan orang tuanya, karena memalsukan identitas.”

 

Reina tetap tenang, meskipun di dalam dirinya, ia sudah memperhitungkan berbagai kemungkinan.

 

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia berbicara. “Aku tidak bersekongkol dengan Reihardi.”

 

Satya menaikkan satu alis. “Jadi?”

 

Reina menarik napas, lalu menatap Satya dengan mata penuh keyakinan. “Aku adalah kakak sepupunya.”

Satya tetap diam, menunggu.

“Saat kecil, aku hampir kehilangan nyawa. Keluargaku tidak mampu membiayai pengobatan. Tapi keluarga Reihardi mengambilku, merawatku, dan memastikan aku bertahan.” Reina menegakkan punggungnya. “Aku berhutang nyawa pada mereka.”

 

Satya mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Reina, mencoba mencari kebohongan di sana.

 

“Reihardi tidak cukup kuat untuk mengikuti pelatihan ini,” lanjut Reina. “Aku tidak bisa diam saja melihatnya dipaksa menjalani sesuatu yang tidak sanggup ia tanggung. Jadi aku menggantikannya.”

 

Satya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak ada kejutan, tidak ada amarah. Yang ada hanyalah tatapan tajam yang seolah masih menimbang-nimbang kata-kata Reina.

 

Hening menyelimuti ruangan.

 

Setelah beberapa saat, Satya menghela napas pelan. “Kau pikir tindakanmu bisa dibenarkan?”

 

Reina tidak menghindari tatapannya. “Aku tahu ini melanggar aturan, tapi jika harus memilih, aku tetap akan melakukan hal yang sama.”

 

Mata mereka bertemu, dan kali ini, Reina merasa sesuatu yang berbeda dari tatapan Satya.

 

Reina menatap Satya dengan mata yang penuh harap. “Jangan libatkan mereka. Aku yang bertanggung jawab. Aku yang seharusnya dihukum, bukan mereka.”

 

Satya tetap duduk dengan tenang di kursinya, tatapannya dingin dan tajam. Ia tak tergerak oleh permohonan Reina. “Aturan tetap aturan, Nona. Tidak ada pengecualian.”

 

Reina mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya terasa berat. “Mereka tidak tahu apa-apa! Jika kau menghukum mereka, itu tidak adil!”

 

Satya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya tanpa belas kasihan. “Keadilan bukan soal perasaan. Ini tentang aturan. Reihardi dan keluarganya akan menerima konsekuensinya, karena dia telah menyelundupkanmu di sini.”

 

Reina merasa tubuhnya melemas. Ia telah memperkirakan segala kemungkinan, tetapi ia tidak menyangka bahwa Satya akan begitu tegas dan tanpa kompromi.

 

“Tidak, aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,” batin Reina.

 

Matanya mulai berkabut, tetapi ia menolak menangis. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar.

 

Satya memperhatikannya dalam diam, lalu akhirnya ia berbicara lagi dengan suara yang lebih tenang, namun tetap tajam. “Namun, aku bisa memberimu satu pilihan.”

 

Reina mengangkat wajahnya, menatapnya penuh harapan. Namun, saat Satya melanjutkan, tubuhnya seketika membeku.

 

“Terima hukuman militer seperti yang seharusnya... atau menikah denganku.”

 

Ruangan itu tiba-tiba terasa begitu sunyi.

 

Reina menatap Satya dengan mata membelalak, pikirannya mendadak kosong. “Menikah?”

 

Tubuhnya melemas seketika. Napasnya tercekat. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar, tetapi dari ekspresi Satya, ia tahu pria itu benar-benar serius.

 

“Kenapa…?” suaranya nyaris tak terdengar.

 

Satya tetap menatapnya tanpa ekspresi. “Kau tidak perlu tahu alasannya. Pilih salah satu.”

 

Reina menggigit bibirnya, tangannya gemetar di pangkuannya. Ia tidak tahu apa yang lebih menakutkan—menghadapi hukuman militer yang kejam atau harus menikahi pria yang sama sekali tidak ia pahami.

 

Namun satu hal yang pasti, ia tidak bisa membiarkan keluarga Reihardi menanggung akibat dari kesalahannya.

 

Dan itu berarti… Ia harus memilih.

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Misi Dan Hati    Langkah Terakhir

    Ghana, dua bulan setelah peralihan tahta. Hari itu, aula istana tak lagi menjadi ruang untuk pertumpahan darah, tapi ruang upacara pelantikan yang damai. Kursi rakyat kembali terisi. Bendera tua yang sempat dibakar, kini dijahit ulang dan berkibar di atas menara istana. Rakyat berkumpul, bukan karena takut… tapi karena harapan. Di tengah barisan para bangsawan, mantan prajurit, dan wakil rakyat, seorang bocah berdiri di atas podium kecil. Di belakangnya berdiri dua sosok yang kini tak lagi dianggap buronan, melainkan pelindung bangsa: Satya dan Ardian. Maydiasta menatap ke arah rakyat yang memadati pelataran. Nafasnya bergetar, tapi tangan Satya menyentuh pundaknya. “Kau tidak sendiri,” bisik Satya. Dan Ardian menambahkan, “Kau akan jadi raja… bukan karena tahta. Tapi karena kau mencintai mereka.” Maydiasta pun melangkah maju, membuka mulut kecilnya dengan suara yang masih jernih: “Aku bukan pangeran yang hebat. Tapi aku adalah anak Ghana. Dan aku berjanji akan belajar,

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 112 Akhir Peperangan

    Satya berdiri tegap. Seragam gelap yang ia kenakan tak memuat satu pun lencana. Bukan karena tak layak, tapi karena hari ini bukan soal pangkat. Di sampingnya, Ardian bersandar di meja, lengannya masih diperban. Wajahnya tenang, tetapi mata menyimpan bara. “Rakyat Ghana…” suara Satya menggema dari mikrofon kecil yang terhubung ke jaringan siaran bawah tanah. “Hari ini, kalian berhak tahu kebenaran.” Kamera menyorot wajahnya. Tidak ada keraguan. Tidak ada kebohongan. Hanya keyakinan. “Selama ini, kalian dibohongi. Kami disebut pengkhianat. Kami dikurung. Difitnah. Tapi siapa dalangnya?” Ardian mengangkat sebuah dokumen dan menyodorkannya ke arah kamera. “Ini… bukti asli dari Kolonel Indra, yang disembunyikan sebelum ia tewas. Bima ingin menjadikan keponakannya anak dari adik perempuannya, sebagai pewaris takhta. Dia membunuh Arvid, memfitnahku, dan menjadikan Satya kambing hitam.” Layar di belakang mereka menampilkan wajah Tuan Halim, rekaman suara, dan data penyadapan. Semua dir

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 111 Akar yang tak Pernah Mati

    Dua tahun lalu, di Distrik Riven yang suram dan dilupakan, seorang pria tua bernama Letkol Anwar, pensiunan militer yang dulunya menjaga gerbang istana, tinggal di balik rak-rak jam rusak. Dari luar, tempat itu tampak seperti toko barang antik yang tak penting. Tapi di balik lantai kayu reyotnya, terhampar jaringan lorong rahasia yang membentang ke segala arah, tempat di mana sisa-sisa kekuatan yang disingkirkan oleh istana masih bernapas.Mereka menyebut diri mereka 'Tulang Akar'.Bagi Anwar dan para mantan prajurit yang setia pada kerajaan, tapi bukan pada kekuasaan, akar yang tersembunyi jauh lebih penting daripada cabang yang menjulang tinggi.Pada suatu malam yang dingin dan sunyi, seorang pangeran berdarah, dengan tatapan kosong dan napas berat, muncul di ambang lorong itu. Pangeran Ardian yang dituduh pemberontak, yang dibuang dari darah biru, duduk di lantai batu dengan lutut penuh lumpur.Letkol Anwar mendekatinya tanpa ragu.“Kau bukan pengkhianat, Pangeran,” katanya sambil

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 110

    Lokasi: Barak tua di batas utara Ghana, jam 20.11TV kecil berdebu itu masih menyala di sudut ruangan. Gambarnya tak stabil, tapi suara penyiar itu terdengar jelas.“…pemerintah kerajaan menetapkan dua buronan negara Pangeran Ardian dan Pangeran Satya. Dituduh menghasut pemberontakan, membunuh Pangeran Arvid, serta bekerja sama dengan militer asing…”Ditto menjatuhkan botol air di tangannya. Suara dentingnya memantul tajam.“Apa… ini bercanda?”“Ini…” Malik terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya menyapu layar seperti menolak percaya.“Satya?” Ditto mengulang, lebih ke dirinya sendiri.Malik bangkit. Langkahnya berat, tapi tegas. Ia mematikan TV.“Mereka memutar balik semuanya. Raja tidak bicara sepatah kata. Ini suara dewan.”“Tuan Halim,” gumam Ditto. “Itu dia... sialan itu...”Keduanya saling pandang. Dalam diam mereka mengerti Ini bukan sekadar pengkhianatan... ini pemusnahan karakter.“Kita harus cari Pangeran Satya,” ujar Ditto.“Dan Pangeran Ardian,” Malik menambahkan.“Bagaimana

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 109 Kota Yang Tertidur

    Istana Ghana, Ruang Rapat DalamRaja Mahesa duduk di kursi takhta kecil, matanya sembab. Tangannya memegang laporan kematian Arvid. Di sekitarnya duduk para menteri dalam negeri, penasihat senior, dan seorang pria berambut putih mengenakan jubah biru tua: Tuan Halim.“Yang Mulia,” ujar Tuan Halim, suaranya pelan namun berisi racun. “Kami telah menyelidiki lebih dalam... dan menemukan indikasi bahwa Ardian dan Satya tengah merancang pemberontakan.”Raja Mahesa mengerutkan kening. “Laporan itu tak cukup. Ardian terluka parah, Satya dalam pemulihan.”Tuan Halim melangkah maju. Ia meletakkan dua dokumen di meja raja.Satu berupa rekaman audio.Satu lagi foto-foto hasil pengawasan drone.“Mereka pernah bertemu dengan utusan Malaca di perbatasan. Dan ini...” Ia menekan tombol kecil.Dari alat pemutar suara, terdengar percakapanArdian (suara hasil suntingan). “Jika raja tak menyerahkan tahta, kita akan ambil dengan pak

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 108 Surat yang Tak Pernah Sampai

    Malam di Ghana begitu senyap. Lampu-lampu istana telah dipadamkan, dan gerbang utama dijaga dua kali lebih ketat dari biasanya. Namun di sebuah kediaman tua milik mantan penasihat militer yang sudah pensiun, Ardian duduk di bawah cahaya redup lentera minyak, membuka sepucuk surat dengan segel lilin yang tak ia kenali. Surat itu dikirim dengan tangan, tanpa nama, dan diselipkan ke dalam laporan logistik yang dibawa oleh salah satu pasukan cadangan dari selatan. Isinya singkat tapi mencabik. “Pangeran Arvid bukan satu-satunya calon pewaris. Di luar sana, Raja Mahesa telah menyembunyikan seorang anak dari darahnya sendiri, lahir dari saudara perempuan Kolonel Bima. Kau dan Satya hanya bagian dari permainan lebih besar. Jaga dirimu. – E” Ardian mengerutkan kening. Surat itu tidak membawa jawaban—justru menambah pertanyaan. Ia segera membakar surat itu setelah membacanya tiga kali. Tapi kata-kata terakhir masih terngiang dalam benaknya: “Kau dan Satya hanya bagian dari permainan leb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status