Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Hukuman Menikah

Share

Hukuman Menikah

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-03-05 21:46:23

Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.

 

Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.

 

Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.

 

Apa pria itu sengaja menyiksanya?

 

Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan  dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.

 

Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-basi.

 

Tidak ada jawaban.

 

Reina mengernyit. Ia mengetuk lebih keras, tapi tetap sunyi.

 

Merasa makin kesal, ia menarik napas dalam dan bersiap mengetuk sekali lagi—namun sebelum tangannya menyentuh pintu, pintu itu terbuka.

 

Dan di sanalah Satya berdiri, hanya dengan handuk melilit di pinggangnya.

 

Reina langsung membeku. Uap masih mengepul dari tubuhnya, rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit basah dan berantakan. Cahaya lampu dari dalam kamar menerangi kulitnya yang masih lembap, memperjelas otot-ototnya yang terlihat lebih tajam dalam pencahayaan redup.

 

Untuk pertama kalinya sejak tiba di tempat ini, Reina kehilangan kata-kata.

 

Satya menatapnya datar. “Kalau kau datang untuk marah-marah, sebaiknya pilih waktu yang lebih baik.”

 

Reina mengedip, berusaha mengembalikan fokusnya. Ia mengabaikan panas yang merambat ke wajahnya dan berusaha tetap tenang. “Aku ingin tahu kenapa Anda terus memperlakukanku berbeda dari yang lain.”

 

Satya tidak menjawab. Ia justru mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Reina dengan sorot mata tajam.

 

Lalu, tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menarik kerah baju Reina dengan cepat.

 

Reina tersentak, tapi sebelum sempat mundur, Satya sudah berbisik di telinganya. “Kau ingin tahu kenapa?”

 

Jantung Reina berdebar.

 

Satya melepaskannya dan melangkah mundur, ekspresinya tetap setenang sebelumnya. “Karena aku tahu sejak awal bahwa kau perempuan.”

 

Dunia Reina seakan berhenti.

 

“A—apa?”

 

Satya menyeringai tipis, tapi tatapannya tetap tajam. “Aku sudah tahu sejak pertama kali melihatmu. Tapi aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan dengan penyamaran konyol itu.”

 

Reina merasa wajahnya memanas—bukan karena malu, tapi karena marah. Sementara Satya kembali ke kamar mandi untuk mengenakan bajunya.

 

Di dalam kamar yang remang-remang, Reina dan Satya duduk berhadapan. Meja di antara mereka terasa seperti garis tak kasatmata yang memisahkan dua pihak yang saling menilai.

 

Satya bersandar di kursinya, matanya dingin dan penuh perhitungan. Tatapan tajamnya seperti menembus kedalaman pikiran Reina, menuntut jawaban. Reina, yang tadinya sempat tersulut amarah, kini duduk dengan sikap lebih terkendali. Napasnya teratur, ekspresinya datar, seolah telah mengubur emosinya jauh di dalam.

 

“Jelaskan,” perintah Satya dengan nada datar. Reina tetap terdiam.

Satya tidak terburu-buru. Ia menatapnya beberapa saat, lalu dengan tenang, ia mengambil sebuah map dari laci mejanya. Dengan gerakan lambat yang disengaja, ia meletakkannya di atas meja dan membukanya.

 

Di dalamnya, terdapat berkas seseorang—Reihardi. Reina menajamkan matanya, tetapi tidak bereaksi.

 

Satya menyilangkan tangan di dadanya. “Kau ingin tetap diam? Baik. Tapi aku harap kau tahu, dengan menyamar seperti ini, kau telah melanggar banyak aturan. Dan bukan hanya kau yang akan menerima hukuman.”

 

Jari Satya mengetuk berkas itu, menciptakan bunyi yang bergema di kamar yang sunyi. “Aku bisa menghukum kalian berdua. Reihardi, karena bersekongkol denganmu, kau, dan orang tuanya, karena memalsukan identitas.”

 

Reina tetap tenang, meskipun di dalam dirinya, ia sudah memperhitungkan berbagai kemungkinan.

 

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia berbicara. “Aku tidak bersekongkol dengan Reihardi.”

 

Satya menaikkan satu alis. “Jadi?”

 

Reina menarik napas, lalu menatap Satya dengan mata penuh keyakinan. “Aku adalah kakak sepupunya.”

Satya tetap diam, menunggu.

“Saat kecil, aku hampir kehilangan nyawa. Keluargaku tidak mampu membiayai pengobatan. Tapi keluarga Reihardi mengambilku, merawatku, dan memastikan aku bertahan.” Reina menegakkan punggungnya. “Aku berhutang nyawa pada mereka.”

 

Satya mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Reina, mencoba mencari kebohongan di sana.

 

“Reihardi tidak cukup kuat untuk mengikuti pelatihan ini,” lanjut Reina. “Aku tidak bisa diam saja melihatnya dipaksa menjalani sesuatu yang tidak sanggup ia tanggung. Jadi aku menggantikannya.”

 

Satya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak ada kejutan, tidak ada amarah. Yang ada hanyalah tatapan tajam yang seolah masih menimbang-nimbang kata-kata Reina.

 

Hening menyelimuti ruangan.

 

Setelah beberapa saat, Satya menghela napas pelan. “Kau pikir tindakanmu bisa dibenarkan?”

 

Reina tidak menghindari tatapannya. “Aku tahu ini melanggar aturan, tapi jika harus memilih, aku tetap akan melakukan hal yang sama.”

 

Mata mereka bertemu, dan kali ini, Reina merasa sesuatu yang berbeda dari tatapan Satya.

 

Reina menatap Satya dengan mata yang penuh harap. “Jangan libatkan mereka. Aku yang bertanggung jawab. Aku yang seharusnya dihukum, bukan mereka.”

 

Satya tetap duduk dengan tenang di kursinya, tatapannya dingin dan tajam. Ia tak tergerak oleh permohonan Reina. “Aturan tetap aturan, Nona. Tidak ada pengecualian.”

 

Reina mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya terasa berat. “Mereka tidak tahu apa-apa! Jika kau menghukum mereka, itu tidak adil!”

 

Satya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya tanpa belas kasihan. “Keadilan bukan soal perasaan. Ini tentang aturan. Reihardi dan keluarganya akan menerima konsekuensinya, karena dia telah menyelundupkanmu di sini.”

 

Reina merasa tubuhnya melemas. Ia telah memperkirakan segala kemungkinan, tetapi ia tidak menyangka bahwa Satya akan begitu tegas dan tanpa kompromi.

 

“Tidak, aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,” batin Reina.

 

Matanya mulai berkabut, tetapi ia menolak menangis. Ia harus tetap kuat. Ia harus mencari jalan keluar.

 

Satya memperhatikannya dalam diam, lalu akhirnya ia berbicara lagi dengan suara yang lebih tenang, namun tetap tajam. “Namun, aku bisa memberimu satu pilihan.”

 

Reina mengangkat wajahnya, menatapnya penuh harapan. Namun, saat Satya melanjutkan, tubuhnya seketika membeku.

 

“Terima hukuman militer seperti yang seharusnya... atau menikah denganku.”

 

Ruangan itu tiba-tiba terasa begitu sunyi.

 

Reina menatap Satya dengan mata membelalak, pikirannya mendadak kosong. “Menikah?”

 

Tubuhnya melemas seketika. Napasnya tercekat. Ia ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar, tetapi dari ekspresi Satya, ia tahu pria itu benar-benar serius.

 

“Kenapa…?” suaranya nyaris tak terdengar.

 

Satya tetap menatapnya tanpa ekspresi. “Kau tidak perlu tahu alasannya. Pilih salah satu.”

 

Reina menggigit bibirnya, tangannya gemetar di pangkuannya. Ia tidak tahu apa yang lebih menakutkan—menghadapi hukuman militer yang kejam atau harus menikahi pria yang sama sekali tidak ia pahami.

 

Namun satu hal yang pasti, ia tidak bisa membiarkan keluarga Reihardi menanggung akibat dari kesalahannya.

 

Dan itu berarti… Ia harus memilih.

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Antara Misi Dan Hati    Tiga Syarat

    Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja

    Last Updated : 2025-03-24
  • Antara Misi Dan Hati    Tak Terduga

    “Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi

    Last Updated : 2025-03-25
  • Antara Misi Dan Hati    Rasa Penasaran

    Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d

    Last Updated : 2025-03-26
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 9

    Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad

    Last Updated : 2025-03-27
  • Antara Misi Dan Hati    bab 10

    Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber

    Last Updated : 2025-03-28
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 11 Rumah Sakit

    Satya membawa Reina ke dalam kamar begitu mereka tiba. Tanpa banyak bicara, dia membuka laci meja dan mengambil kotak P3K. Gerakannya cepat dan efisien, seperti seseorang yang sudah terbiasa menangani luka di medan tempur."Duduk," perintahnya, suaranya tetap tegas, tapi ada nada lembut yang sulit ia sembunyikan.Reina menurut, duduk di tepi ranjang. Satya berlutut di hadapannya, membuka botol antiseptik dan menuangkannya ke kapas. Dia tidak terburu-buru, memastikan setiap gerakannya tidak menambah rasa sakit.Saat kapas menyentuh luka di lengan Reina, Satya bisa merasakan tubuh perempuan itu menegang sesaat."Sakit?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan."Enggak," jawab Reina cepat, tapi wajahnya jelas berkata lain.Satya hanya mendesah pelan. Dia tahu Reina selalu berusaha terlihat kuat, tapi itu tidak mengurangi kepeduliannya. Dengan cekatan, dia mulai membalut luka itu. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sesuatu—sebuah bekas luka lama di lengan Reina. Suda

    Last Updated : 2025-03-29
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 12 Alam Bebas

    Sersan Hendra menggerutu sepanjang perjalanan menuju akademi. Sudah seminggu ini ia tidak diizinkan menjenguk Reina di rumah sakit. “Mayor Satya benar-benar aneh. Dia menahan seorang siswa di rumah sakit hanya karena pingsan. Apa dia pikir Rei itu siapa?” Di sampingnya, Reina hanya tersenyum tipis sambil melihat ke luar jendela. Dalam hati, ia justru lega karena drama ini akhirnya selesai. Setibanya di akademi, Reina langsung menuju kamarnya. Teman-temannya yang sudah lama tak melihatnya segera menyambut dengan antusias. “Reihardi! Akhirnya kamu kembali! Kami pikir kamu diculik alien!” seru Daniel sambil berusaha memeluknya, tapi Reina dengan lincah menghindar. Reina terkekeh. “Rasanya lebih parah daripada diculik alien. Aku sendirian di rumah sakit tanpa boleh dijenguk siapa pun!” Teman-temannya mendekat, penasaran ingin tahu lebih banyak. “Jadi kenapa kamu sampai pingsan? Apa benar karena kelelahan?” tanya salah satu dari mereka. Reina mengangkat bahu. “Mungkin. Aku jug

    Last Updated : 2025-03-30
  • Antara Misi Dan Hati    Bab 13

    Reina menarik napas panjang sebelum melangkah keluar menuju lapangan. Ia merasa pandangan Satya kembali tertuju padanya, tapi ia tetap menatap lurus ke depan, bergabung dengan barisan siswa lain."Baik, dengarkan baik-baik!" suara lantang Mayor Satya menggema di lapangan, membuat semua siswa terdiam. "Latihan bertahan hidup ini akan berlangsung selama tujuh hari. Kalian akan dikelompokkan dalam tim kecil, dan setiap tim harus mampu bertahan di hutan tanpa bantuan eksternal. Siapa pun yang tidak mampu mengikuti aturan, akan dievaluasi lebih lanjut dan akan menjadi tentara barusan terdepan."Suasana semakin tegang. Beberapa siswa menelan ludah, sementara yang lain tampak berusaha tetap tenang. Reina tetap diam, tetapi pikirannya berputar cepat. Ia harus tetap fokus, tidak boleh menunjukkan tanda-tanda kelemahan.Satya melanjutkan, "Setiap tim akan mendapatkan satu kompas, satu pisau, dan satu kantong air. Tidak ada makanan. Kalian harus mencari sendiri. Jangan lupa, dalam kondisi darura

    Last Updated : 2025-03-31

Latest chapter

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 51

    Cahaya pagi menyusup lewat jendela, menari di sela-sela tirai putih yang melambai pelan. Reina duduk di tepi ranjang, mengenakan pakaian latihan, tapi belum juga beranjak. Pandangannya terpaku ke lantai, bibirnya mengatup tegang.Pertemuan semalam masih berputar di kepalanya."Kalau kau pergi, mereka akan menganggapku berkhianat," katanya waktu itu. Dan wajah Satya—atau siapapun dia sebenarnya—saat itu... tegang, marah, tapi juga cemas.Reina menggigit bibir, lalu berdiri cepat. Ia membuka laci kecil dan menarik keluar gulungan kain tempat menyimpan belatinya. Tangannya sedikit gemetar saat mengikat sarung senjata di pergelangan pahanya.“Bodoh... kenapa aku malah menyuruhnya menemui Pangeran Satya?” gumamnya lirih, penuh sesal. “Bagaimana kalau dia tertangkap? Bagaimana kalau—”Pintu kamar diketuk dua kali.Reina refleks berdiri dan meraih belatinya.Suara dari balik pintu. “Putri Aliya, latihan pagi akan dimulai sepuluh menit lagi.”“Segera,” jawab Reina, suaranya tenang meski jantu

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 50

    Langit mendung. Cahaya lampu hanya separuh menerangi lorong batu tua. Satya melangkah cepat, jubah panjang digulung ke lengan, sepatu botnya dibungkam kain hitam.Dua pengawal berjaga di depan kamar Reina. Ia menghentikan langkah di balik pilar batu.Isyarat tangan. Tiga jari.Satu napas. Dua langkah.Gerak cepat—pengawal pertama dihantam dengan bokong belati ke tengkuk. Satya menangkap tubuhnya sebelum jatuh. Pengawal kedua menoleh, sempat mengangkat senjata—Braak!Satya menjatuhkannya dengan hantaman lutut ke dada. Pistol terlepas. Ia hempaskan tubuh si penjaga ke dinding tanpa suara.Napasnya masih stabil. Ia buka pintu pelan-pelan.Di atas ranjang, seseorang duduk membelakanginya. Rambut digelung rapi, mengenakan gaun tidur tipis khas bangsawan Ghana. Reina menoleh kaget.“Mas Satya?”Dia berdiri setengah, bingung. “Bagaimana kau bisa di sini? Kau tak bisa—”Satya melangkah cepat, menutup pintu dan menguncinya.“Kita bicara sekarang,” katanya tegas.Reina beringsut mundur. “Apa y

  • Antara Misi Dan Hati    bab 49 Rebut Dia

    Pintu terbuka cepat. Ditto masuk tanpa diizinkan.Satya, yang sedang mengikat sarung pedangnya, menoleh tajam. “Berani sekali masuk tanpa laporan," ucap Satya tersenyum bercanda .”“Maaf, Yang Mulia. Ini darurat,” kata Ditto cepat, napasnya masih belum teratur.Satya diam sejenak, lalu menaruh pedangnya ke meja. “Bicara.”Ditto menelan ludah. “Ada kemungkinan penyamaran Nyonya terbongkar.”Satya berhenti sejenak. “Sejak kapan?”“Tiga bulan lalu. Keluarga aslinya menghilang dari wilayah perbatasan. Rumah mereka dibakar habis. Tapi baru kemarin laporan lengkapnya sampai ke tangan saya.”Suara Satya turun dua oktaf. “Kenapa baru sekarang kau laporkan?”“Saya baru temukan salinan catatan pengungsi dari distrik timur. Sebelumnya... data itu disembunyikan oleh petugas lokal.”Satya mengepalkan tangan. Napasnya berat.“Dia tahu?”Ditto menggeleng. “Sepertinya tidak, Mayor. Dia terus jalankan tugas. Tidak ada tanda dia curiga.”Satya membalik badan, mengambil mantel, lalu melangkah cepat ke a

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 48 Surat Rahasia

    Suara tongkat kerajaan menjejak marmer, memantulkan gema yang membuat ruang balairung terasa makin hening. Raja Mahesa berdiri tegak di hadapan para penasihat dan bangsawan istana."Sudah cukup waktu kita beri pada Pangeran Satya," katanya dengan suara yang dalam dan tenang, tapi menyiratkan ultimatum. "Musim perjanjian akan datang. Tanpa pernikahan kerajaan, persekutuan dengan Malaca terancam."Beberapa penasihat saling pandang, tapi tak ada yang berani menyela."Ayahanda," suara tegas menyela dari sisi ruangan.Satya melangkah masuk. Rambutnya masih agak basah, jelas ia datang terburu-buru. Setengah wajahnya masih tertutup topeng perak."Apa maksud Ayahanda ingin menikahkan saya tanpa persetujuan saya?" tanyanya dingin, tapi sopan. "Tidakkah itu melanggar hak saya sebagai putra mahkota?"Raja Mahesa menatapnya tajam. “Kau telah menolak Salima. Kau tidak memberi pilihan pada kami. Jika kau tidak bertunangan dengan Salima dalam tiga hari, maka aku yang akan menentukan pernikahan tanpa

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 47 Malam di Bukit Aeloria

    Angin malam berembus lembut di puncak Bukit Aeloria. Lampu lentera bergoyang pelan menggantung di dahan-dahan pohon, menerangi jalan setapak menuju sebuah tempat duduk kayu beratapkan bunga anggrek liar. Di kejauhan, danau tampak berkilau tertimpa cahaya bulan. Tempat itu sunyi, damai, dan nyaris seperti lukisan.Reina berdiri dengan jubah panjang, gugup. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. "Kenapa Salima belum datang juga..." gumamnya. Ia menyiapkan semuanya agar Salima bisa berbicara dari hati ke hati dengan Pangeran Satya. Tapi sudah hampir satu jam berlalu.Langkah kaki terdengar dari arah belakang.Reina buru-buru berdiri. "Salima?" tanyanya.Yang muncul... bukan Putri Salima.Melainkan sosok tinggi menjulang dengan mantel gelap dan topeng separuh wajah yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang.Pangeran Satya.Reina langsung menunduk sopan. “Yang Mulia… mohon maaf, seharusnya ini—”"Tempat yang sangat romantis untuk pertemuan rahasia," potong Satya dengan nada rendah namun menggoda.

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 46 Dia ingin Menikahiku

    Ketika Reina mengetuk pintu kamar Putri Salima, ia tidak menyangka akan mendengar suara lemari dibanting dan koper terbuka.“Putri Salima?” Reina memanggil hati-hati.Pintu terbuka dengan cepat, menampilkan wajah Putri Salima yang memerah, bukan karena bedak, tapi amarah.“Aku sedang sibuk! Kalau kau mau bergosip tentang pangeran sialan itu, lebih baik—”“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi,” potong Reina cepat, mencoba tetap tenang.Matanya terarah pada beberapa koper besar di ranjang. Gaun-gaun, sepatu, kotak perhiasan, dan semuanya berantakan. Jelas bukan sekadar ingin ganti baju.“Kamu mau pergi?” tanya Reina, menutup pintu perlahan.Salima menoleh, matanya basah. “Apa gunanya aku di sini kalau hanya dijadikan bahan lelucon?”Reina mendekat hati-hati. “Apa yang dia katakan?”Salima langsung duduk, napasnya berat. “Kemarin malam... dia datang ke kamarku. Setelah semua orang menyuruhku memilih dia, dia malah—” suara Salima tercekat, lalu berkata dengan penuh rasa sakit, “dia bilan

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 45 Aku bukan pawang Birahi

    Angin malam berembus lembut lewat jendela yang terbuka separuh. Reina duduk di kursi dekat meja rias, menatap kosong bayangan dirinya di cermin. Matanya kosong, pikirannya kacau.Apa yang kulihat tadi...? Mereka sedekat itu... Ia mendesah pelan, lalu menggigit bibir bawahnya. Kenapa aku peduli...?Pintu kamar mengeluarkan bunyi halus—nyaris tak terdengar. Tapi langkah kaki itu... Reina terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk menyadari.Satya masuk diam-diam, mengenakan pakaian malam biasa berlengan panjang, wajahnya tak tertutup topeng. Kali ini bukan Pangeran Satya yang masuk ke kamar itu. Tapi seorang suami.Matanya menemukan Reina. Duduk diam. Membisu.Dan Satya mengira... istrinya sedang cemburu.Ia mendekat perlahan, langkahnya tenang, lalu berhenti tepat di belakang Reina.“Reina,” bisiknya rendah.Tak ada jawaban.Satya tersenyum samar. Ia menyentuhkan tangannya perlahan ke bahu Reina. Lalu—tanpa aba-aba—ia memeluknya dari belakang. “Aku minta maaf.”Tubuh Reina menegang seke

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 44 Dia mengkhianati ku.

    Langit siang cerah di balik jendela kaca patri, tapi suasana meja makan istana jauh dari hangat. Pembicaraan diplomatik berlangsung tegang, tapi perhatian Reina terpusat pada satu hal—satu orang. Pangeran Satya. Pria itu duduk di ujung meja panjang, mengenakan topeng perak yang menutup sisi kiri wajahnya. Tegap, diam, penuh aura gelap. Dari tadi tak banyak bicara. Suaranya berat, datar, nyaris tanpa emosi. Dan itu membuat Reina... penasaran setengah mati. “Katanya dia diserang, Beruang” bisik Salima pelan. “Atau semacam kutukan. Lihat saja topengnya. Mereka bilang, wajahnya setengah hancur.” Reina menoleh, nyaris tersedak anggur. “Beruang? Yang benar saja…” “Dan konon,” Salima menambahkan dramatis, “wajah buruknya mencerminkan hatinya. Dingin. Kejam. Sempurna untuk jadi suamiku, kalau aku mau bunuh diri.” Reina hampir meledak tertawa, tapi buru-buru mengatup mulut. Wajah buruk. Dingin. Kejam. Jangan-jangan... dia cemburuan juga? Hah. Mirip seseorang... Matanya kembali m

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 43 Beri Alasan

    Cahaya mentari menyelinap masuk melalui tirai tipis kamar Putri Alliya. Udara pagi membawa aroma bunga lavender dari taman istana, namun ketenangan itu tidak mampu menenangkan hati Reina yang duduk di tepi ranjang, memandangi jendela dengan mata kosong.Ia masih memikirkan kejadian semalam—kehadiran Satya yang tiba-tiba muncul di kamarnya dengan penyamaran dan ekspresi yang tak biasa. Dingin. Mencurigai. Dan diam-diam melindungi.Reina menggigit bibirnya. Ia tahu Satya menahan banyak hal—pertanyaan, rasa penasaran, dan mungkin… kekhawatiran. Tapi ia tidak bisa menjelaskan apapun. Misinya sebagai Putri Alliya adalah perintah langsung dari raja dan Kolonel Bram. Rahasia negara. Bahkan kepada suaminya sendiri, ia tak boleh membocorkannya.Suara ketukan di pintu menyentaknya dari lamunan.“Putri Alliya,” suara Malik dari luar, “Putri Salima meminta Anda menemaninya sarapan pagi.”Reina menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Sudah dimulai lagi, pikirnya.Dengan cepat, ia mengenakan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status