Share

Tiga Syarat

Penulis: Fei Adhista
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-24 21:42:03

Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.

Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut.

"Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.

Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."

Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?"

"Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," ujar Reina tegas.

Sejenak mereka terdiam, seketika suasana menjadi hening.

Lalu, yang tidak ia duga terjadi—Satya tersenyum. Bahkan, tak lama kemudian, ia tertawa kecil dan Reina menatapnya dengan penuh curiga.

"Apa yang lucu?"

Satya melipat tangannya di dada, menatapnya dengan sorot mata penuh misteri. "Kau pikir aku menginginkan tubuhmu? Tidak, Nona. Aku hanya membutuhkan surat nikah. Setelah semua yang kuinginkan tercapai, aku akan menceraikanmu."

Reina masih terdiam di tempatnya, mencerna kata-kata Satya. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya merasa tak nyaman, seolah ia hanya alat dalam rencananya.

Satya berjalan melewatinya, lalu berhenti tepat di belakangnya. Suara beratnya terdengar di dekat telinganya, dingin namun penuh keyakinan.

“Aku hanya butuh pernikahan ini untuk kepentinganku, Rei. Tidak lebih.”

Reina mengepalkan tangan. Ia sudah menduganya, tapi mendengar langsung dari mulut Satya membuat dadanya sedikit sesak.

Ia menarik napas dalam, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Baik. Tapi aku belum menyebutkan syarat kedua.”

Satya berbalik menatapnya. “Apa lagi?”

Reina menegakkan tubuhnya, menatap lurus ke mata pria itu. “Aku ingin kebebasan. Aku tidak mau hidup seperti tahanan setelah menikah denganmu.”

Satya mengamati wajahnya sejenak sebelum tersenyum tipis. “Kebebasan, ya?”

“Ya,” jawab Reina mantap.

Lelaki itu mengangguk, lalu berjalan mendekatinya hingga jarak mereka hanya beberapa jengkal. Reina bisa merasakan hawa dingin yang selalu menyelimuti pria ini.

“Baik. Aku terima syarat keduamu. Lantas syarat terakhir apa?”

“Syarat ketiga akan kusampaikan nanti.” Satya pun mengangguk

Reina sempat terkejut karena Satya tidak banyak berdebat. Ia mengira pria itu akan menolaknya atau setidaknya memberikan syarat balasan.

“Tapi ingat satu hal, Rei,” lanjut Satya, nadanya terdengar lebih serius. “Meski kita menikah tanpa perasaan, begitu kau menyandang namaku, kau tetap istriku di mata dunia. Jangan pernah melakukan hal yang membuatku menyesali keputusanku. Lalu, ceritakan siapa dirimu?”

Reina menatapnya tajam, lalu mengangguk.

“Jangan khawatir, Mayor. Aku pun tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu dari yang diperlukan.”

Satya menyunggingkan senyum tipis. “Bagus.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Reina hendak melangkah keluar, meninggalkan Satya yang masih berdiri di tempatnya. Hatinya terasa berat, tapi ia tahu ini adalah keputusan terbaik untuk saat ini.

Saat Reina hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik pergelangan tangannya. Tatapan pria itu tajam, penuh selidik.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” katanya tenang. “Kamu belum memberitahuku siapa dirimu?”

Reina mengangkat dagunya sedikit, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar. “Namaku Reina Wardhani.”

“Asalmu?”

Sekilas, Reina ragu. Ia tak mungkin mengaku sebagai tentara perdamaian, apalagi di daerah konflik seperti ini. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap memakai identitas yang lebih aman.

“Aku tidak punya asal,” jawabnya. “Sejak kecil aku hanyalah seorang pengemis. Aku diselamatkan oleh keluarga Reihardi dan mereka merawatku, di sana aku menggunakan identitas anak perempuanya yang sudah meninggal.”

Satya menyipitkan mata, menatapnya dengan tajam. “Tidak punya identitas, ya?”

Reina mengangguk. “Bagaimana kita bisa mendapatkan surat nikah jika aku bahkan tidak memiliki dokumen resmi?”

Satya menyeringai, seolah itu bukan masalah besar baginya. Namun, sebelum pria itu sempat berbicara, Reina menambahkan sesuatu yang membuatnya terdiam.

“Tapi kalau kita menikah, aku ingin pernikahan ini dilakukan sesuai agamaku. Meskipun pernikahan kita hanyalah formalitas, dan sah di mata hukum tetap aku harus kaunikahi secara agama. Ijab Qabul”

Satya menatapnya dalam diam. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil, entah mengejek atau benar-benar tertarik dengan permintaan itu.

“Jadi kau ingin dinikahkan oleh seorang naib?” tanyanya.

Reina mengangguk tegas. “Ya.”

Tawa kecil lolos dari bibir Satya. “Aku pikir kau akan meminta sesuatu yang lebih sulit. Itu artinya kau akan benar – benar menjadi istriku baik di mata hukum atau agama.”

Reina mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba tersenyum seperti itu.

“Satu hal lagi, setelah kita menikah izinkan aku tetap di sini mengikuti pelatihan dan ikut ke perbatasan.”

“Apakah ini syarat ketiga?”

“Tidak.”

Satya menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatapnya penuh arti. “Baiklah, Reina. Aku akan memenuhi permintaanmu.”

Meskipun nadanya ringan, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat Reina tahu—ini bukan hanya sekadar pernikahan palsu bagi Satya. Pria itu jelas punya rencana sendiri.

Dan ia harus siap menghadapinya.

Sudah dua hari berlalu sejak perjanjian pernikahan mereka, tetapi Satya sama sekali tak pernah menyapa Reina. Pria itu memperlakukannya seolah mereka adalah dua orang asing yang tak saling mengenal.

Reina sebenarnya tidak peduli. Ia tahu pernikahan ini hanya formalitas. Namun, tetap saja, sikap Satya yang seolah tak peduli membuatnya sedikit kesal.

Hari ini pun sama. Satya berlalu begitu saja tanpa kata, tanpa lirikan. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi. Saat Reina sedang duduk sendirian di taman belakang asrama, tiba-tiba sebuah botol jus dingin diletakkan di sampingnya.

Tanpa suara.

Tanpa sepatah kata.

Reina melirik ke arah tangan yang meletakkan jus itu, lalu mendongak menatap pemiliknya. Satya.

Pria itu hanya berdiri di sana selama beberapa detik sebelum melengos pergi begitu saja. Diam-diam.

Reina menghela napas, menatap botol jus itu dengan bingung.

“Apa-apaan ini?” gumamnya.

Meski heran, ia tetap mengambil botolnya dan membuka tutupnya. Ia tak mau terlalu memikirkan maksud Satya. Lagipula, ia memang haus.

Tanpa ragu, Reina menenggak jus itu dalam beberapa tegukan. Rasa dingin segar langsung mengalir ke tenggorokannya.

Namun, hanya dalam hitungan menit, sesuatu terasa aneh.

Perutnya mual.

Kepalanya mulai berputar.

Tangan Reina bergetar saat memegang botol jus itu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

“Ugh…”

Ia buru-buru berdiri, tetapi tubuhnya goyah. Dunia terasa berputar. Napasnya memburu, dan sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, pandangannya mulai kabur.

Suara panik dari orang-orang di sekitarnya terdengar samar.

Seseorang meraih tubuhnya yang hampir ambruk.

Lalu segalanya menjadi gelap.

Bisa dibuat jika fokus di pemeran pria alias Satya

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 71 Laki laki Yang kupilih dalam diam

    Mentari baru saja menyelusup malu-malu di balik tirai kain tipis, mewarnai langit barak dengan semburat jingga pucat. Satya membuka mata perlahan, lengannya masih terulur ke sisi ranjang yang biasanya hangat… tapi kini kosong.“Rei?” gumamnya parau, mencari kehangatan itu yang seharusnya masih bersandar di dadanya.Ia bangkit duduk. Selimut terjatuh ke bawah, dingin menyergap kulitnya, tapi jauh lebih dingin adalah kenyataan bahwa ranjang itu terlalu rapi untuk seseorang yang baru saja tidur bersamanya semalaman.“Rei…” suaranya lebih lantang, kini disertai langkah cepat menuju pintu.Tak ada jejak. Tak ada suara air di kamar mandi. Tak ada piring sarapan di meja. Hanya keheningan yang memekakkan.Dan di atas meja kerja—tepat di bawah cahaya matahari pagi—terletak sepucuk surat, dilipat rapi, dengan lipstik samar yang menandai tepi kertasnya. Satya menatapnya sejenak. Ada sesuatu dalam dada yang mengeras seketika. Tangannya gemetar saat mengambilnya.Ia buka perlahan. Matanya membaca

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 70

    Raja Mahesa menatap Reina dari balik tirai emas, sosoknya berdiri dengan kekuasaan yang tak terbantahkan. Di tangannya, selembar surat perjanjian telah ditandatangani oleh Reina—berisi janji bahwa ia akan meninggalkan Satya dan memutus pernikahan mereka secara diam-diam.“Keluar sekarang,” ucap Raja kepada ajudannya.Reina masih berdiri mematung di hadapan sang raja, hingga akhirnya Raja Mahesa berkata tanpa menoleh, “Mereka akan bebas… mulai besok pagi.”Reina menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Yang Mulia.”Tapi saat ia hendak pergi…Pintu terbuka cepat.Salima melangkah masuk, dengan ponsel di tangannya dan wajah yang gelisah.“Yang Mulia,” katanya sambil melirik sekilas ke arah Reina, “Saya baru saja mendapat pesan dari Ardian.”Raja mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”Salima mendekat, menaruh ponsel di meja, dan memutar layar ke arah raja."Tawanan ini... keluarganya punya hubungan dengan seseorang yang kalian lindungi. Jika Ghana ingin mereka kembali hidup, kirim seseorang yang c

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 69 Nyala Yang Tersembunyi

    Putri Naila masih berdiri di ambang lorong, angkuh dan penuh ejekan. Kedua pengawalnya mempersempit ruang gerak Reina. Lorong marmer istana berubah jadi arena tekanan. Tapi Reina... sudah cukup menahan. “Aku bertanya, apa kau yakin bisa berdiri di sisi Satya tanpa membuka semuanya?” ulang Naila dengan suara menekan. Reina menunduk sejenak. Napasnya berat. Tapi ketika ia angkat kepala, matanya bukan lagi mata seorang putri penyamar, melainkan mata prajurit. Mata yang dulu menembus kabut hutan, mata yang bertahan di bawah tembakan musuh. Satu tarikan napas. Satu langkah cepat. BRAK! Tangan Reina menyambar ke depan dan mendorong salah satu pengawal ke dinding, keras, membuat tubuhnya terpelanting dan terengah. Satu lagi mencoba menarik lengannya, tapi Reina berputar, menekuk siku lawannya dan menjatuhkannya dengan gerakan cepat, khas pasukan elite. Putri Naila mundur dua langkah dengan kaget. “Apa... kau—?!” Reina maju satu langkah, rambutnya berantakan, napasnya memburu. “Aku tid

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 68 Diam Yang Menggores

    Lorong istana terasa lebih panjang dari biasanya. Satya berjalan cepat di belakang Reina yang terus melangkah tanpa menoleh, gaunnya menyapu lantai dengan gerakan terburu. Para pelayan yang mereka lewati langsung membungkuk, namun keheningan tajam menyelimuti mereka. “Reina, tunggu dulu,” Satya akhirnya bersuara, menyentuh lengan istrinya dengan lembut. Tapi Reina hanya diam. Ia menepis tangan Satya dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Satya menyusul, namun pintu dibanting tepat di depan wajahnya dan Satya hanya bisa menggertakkan gigi. Tak menyerah, ia memutar kenop pintu dan masuk begitu saja. Reina berdiri di dekat jendela, membelakangi suaminya. Bahunya naik-turun. Entah karena marah, atau karena menahan tangis. “Kenapa kamu diam? Katakan sesuatu,” desak Satya. “Aku tidak ingin bicara sekarang,” suaranya lirih, namun tajam seperti pisau. Satya melangkah mendekat. “Apa ini karena Salima?” Reina menoleh cepat, matanya merah. “Bukan hanya karena Salima! Tapi karena semua in

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 67 Bisik Yang Mengiris

    Matahari belum sepenuhnya naik ketika suara derit pintu kamar itu memecah kesunyian lorong utama sayap timur istana. Seorang pria bertubuh tegap keluar dengan langkah pasti, rambutnya masih sedikit acak, dan seragam militernya belum sepenuhnya rapi. Tapi siapa pun bisa mengenalinya—Mayor Satya, adik Pangeran Arvid. Atau, bagi sebagian kecil dari mereka yang tahu, satu-satunya pangeran yang masih memiliki hak pewaris yang sah.Tiga pelayan wanita yang baru saja membawa nampan sarapan untuk tamu-tamu bangsawan sontak menghentikan langkah. Mata mereka membelalak. Satu di antaranya terperangah melihat dari kamar mana sang Mayor keluar. Bukan dari ruang dinas. Bukan dari ruang sidang militer. Tapi dari kamar... Putri Aliya.“Y-Yang Mulia Satya... keluar dari kamar itu?” bisik salah satu pelayan dengan napas tercekat.“Dia menginap di situ? Atau… jangan-jangan…?” gumam yang lain, menatap dua temannya dengan mata penuh spekulasi.Satya melirik sekilas ke arah mereka, namun tak berkata apa-ap

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 66 Racun Dalam Cinta

    Istana terasa sunyi malam itu. Jamuan makan malam yang digelar secara pribadi oleh Putri Salima untuk Satya tampak mewah. Anggur merah dalam gelas kristal, lilin beraroma rempah menyala lembut, dan musik klasik mengalun pelan. “Terima kasih sudah datang,” kata Salima lembut, mengenakan gaun merah anggun yang menonjolkan lekuk tubuhnya. “Aku hanya ingin kita bicara… sebagai dua calon pasangan masa depan Ghana.” Satya diam. Tatapannya dingin. Tapi ia tetap duduk, menjaga sopan di hadapan utusan kerajaan asing. Salima menuangkan minuman untuknya, matanya penuh rencana. “Cobalah ini. Anggur spesial dari tanah Malaka. Konon bisa meredakan beban dan luka,” katanya. Satya menyesap sedikit. Rasanya manis, lebih manis dari biasanya. Tapi ia terlalu lelah untuk curiga… hingga kepalanya mulai berat. Napasnya melambat. Dunia berputar pelan. Ia sadar, ada yang tidak beres. “Apa yang kau—” gumamnya, setengah bangkit dari duduk. Salima mendekat. Tangannya menyentuh dada Satya. “Tenang saja...

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status