Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa—dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.
Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang. Pria itu… Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran. Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah. Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kalian.” Suara beratnya bergema di seluruh lapangan. Reina hampir tidak bisa berpikir. Nama itu ternyata miliknya. Nama seorang Militer yang sering menjadi bahan pembicaraan rekan-rekannya. Mayor Satya – Bayangan di Medan Perang Di medan perang, nama Mayor Satya adalah legenda yang menebar ketakutan. Sebagai perwira di garis depan konflik Ghana, ia dikenal karena taktik brutalnya dan keputusannya yang tak kenal ampun. Lawan-lawannya menyebutnya "Hantu Perbatasan" karena setiap pertempuran yang dipimpinnya selalu berakhir dengan kemenangan mutlak, meskipun jumlah pasukannya lebih sedikit. Namun, ada satu misteri yang selalu mengiringi namanya—tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa wajahnya atau dari mana asalnya. Prajuritnya sendiri hanya mengenalnya sebagai sosok dengan perintah yang tegas, strategi yang dingin, dan aura yang mendominasi. Ia jarang muncul tanpa perlengkapan tempur lengkap, selalu memakai helm atau masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Rumor berkembang di antara pasukan dan musuhnya. Ada yang mengatakan ia adalah prajurit bayangan yang direkrut dari luar Ghana, seorang yang tidak memiliki identitas dan sejarah. Ada pula yang percaya bahwa ia adalah anak dari seorang bangsawan yang jatuh dari kekuasaannya dan memilih hidup dalam perang. Hanya satu hal yang pasti—setiap kali nama Mayor Satya disebut di medan tempur, musuh akan berpikir dua kali sebelum melawan. Namun, saat mereka bertemu dulu, pria itu tidak pernah menyebutkan siapa dirinya. ‘‘Satya… Jadi itu namanya,’’ batin Reina. Mayor Satya berjalan perlahan di depan barisan, tatapannya dingin dan penuh wibawa. Setiap langkahnya membawa aura mengancam yang membuat semua siswa menahan napas. “Saya tidak peduli siapa kalian sebelumnya. Di sini, kalian semua adalah sama! Dan tugas saya adalah memastikan kalian tidak hanya bertahan, tapi juga menjadi prajurit yang pantas dihormati!” Tiba-tiba, langkahnya terhenti tepat di depan Reina. Jantung Reina semakin berdebar. Mereka bertemu pandang. Tatapan Mata Satya menyipit sejenak, seperti berusaha mengingat sesuatu. Reina segera menundukkan pandangannya, berharap pria itu tidak mengenalinya. Namun, senyum tipis muncul di sudut bibir Satya. “Kau.” Suaranya terdengar rendah, hampir seperti gumaman, tapi cukup membuat bulu kuduk Reina berdiri. Reina menahan napas. ‘‘Jangan bilang dia mengenaliku….’’ Satya tetap menatapnya, lalu berkata lebih keras. “Kau, kenapa kurus badanmu?” Reina menguatkan dirinya dan melangkah ke depan dengan tegas. “Siap, Pak! Tatapan Satya masih belum lepas darinya. Ada sesuatu dalam cara pria itu memandangnya—campuran rasa penasaran, ketertarikan, dan… mungkin ingatan yang belum sepenuhnya pulih. Reina menegakkan punggungnya, berusaha menjaga ekspresi netral. Satya menyeringai. Tatapan tajamnya seakan menembus penyamaran Reina Dan di saat itulah, Reina tahu… Hari-harinya di akademi akan menjadi jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Suasana kantin akademi malam itu lebih ramai dari biasanya. Para siswa duduk berkelompok, berbicara pelan dengan ekspresi serius. Namun, setiap beberapa detik, tatapan mereka melirik ke satu arah—ke Reina. Reina berusaha mengabaikan itu semua. Ia mengambil nampan makanannya dan duduk di sudut kantin, menjauh dari pusat perhatian. Namun, ketenangannya tak bertahan lama. Seorang perwira berdiri di tengah ruangan dan mengetuk mikrofon, menarik perhatian semua orang. “Ada pengumuman penting.” Semua percakapan langsung terhenti. Reina meneguk airnya dengan tenang, tapi firasat buruk mulai muncul di hatinya. Perwira itu melanjutkan, suaranya terdengar tegas, “Mulai malam ini, Siswa Reihardi akan dipindahkan ke kamar baru.” Seluruh kantin terdiam. Lalu… BRAK! Seorang siswa menjatuhkan sendoknya, sementara yang lain saling berpandangan dengan ekspresi tegang. Reina mengerutkan kening. “Apa masalahnya? Memangnya kenapa kalau pindah kamar?” Desas-desus mulai menyebar di antara para siswa. “Astaga… dia pasti kena masalah besar.” “Pindah kamar tiba-tiba? Pasti ada hukuman.” “Jangan-jangan dia ketahuan melanggar aturan?” “Bukan. Kau tahu kan, siapa yang mengatur pemindahan kamar?” Tatapan Reina menyipit. “Apa maksudnya?” bisiknya pada Malik yang duduk di sebelahnya. Malik menatap Reina seolah ia sudah mati. “Rei… kau dipindahkan ke bagian khusus.” “Bagian khusus?” Daniel, yang biasanya santai, terlihat agak pucat. “Itu artinya kau sekarang… di bawah pengawasan langsung Mayor Satya.” Reina terdiam. Baru saja ia ingin menikmati malam dengan tenang, dan kini… Apa pria itu benar-benar berusaha membuat hidupnya lebih sulit? Sementara itu, dari sudut kantin, Mayor Satya duduk dengan santai, menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Reina dari kejauhan. Tatapannya dingin, tak terbaca. Namun, bagi Reina, satu hal sudah jelas. Pria itu tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. *** Reina berdiri di depan pintu kamarnya yang baru, masih berusaha mencerna situasi yang terjadi. Kamar ini… bukan untuk siswa biasa. Sebuah plakat kecil di pintu menunjukkan bahwa ini adalah kamar pribadi—kamar yang biasanya digunakan oleh para pelatih atau perwira tinggi. Malik, yang membantunya membawa koper, menelan ludah. “Rei… kau pasti sudah menyinggung seseorang tanpa sadar.” Rei mendesah, “Aku bahkan tidak tahu kenapa ini terjadi…” Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Seketika, matanya membelalak. Kamarnya terlalu luas untuk seorang siswa biasa. Namun, keheranannya belum selesai. Begitu ia melihat pintu di sebelah kiri, firasat buruk langsung muncul di benaknya. Ia berjalan mendekat dan mencoba menempelkan telinganya ke pintu tersebut. Tidak ada suara. Dengan hati-hati, ia memutar pegangan pintu. Tidak terkunci. Reina membuka sedikit celah dan mengintip… Brak! Pintu di sisi lain terbuka lebih dulu, memperlihatkan sosok Satya yang berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatapnya dengan tatapan tajam. Jantung Reina hampir lompat ke tenggorokan. Sial. Mereka bertemu pandang, hanya terpisah oleh ambang pintu yang menghubungkan kedua kamar. “Kau ingin menyelinap masuk ke kamarku, siswa Rei?” tanya Satya dengan suara dingin, nadanya mengandung sedikit sindiran. Reina buru-buru menegakkan punggungnya. “Siapa yang mau menyelinap? Aku hanya—” “Kepo?” Satya menyela, satu alisnya sedikit terangkat. Reina mengepalkan tangan, menahan dorongan untuk membantah dengan nada tinggi. Hari-harinya di akademi baru saja berubah menjadi jauh lebih rumit.Reina sudah merasa ada yang aneh sejak latihan pagi tadi.Sejak tiba di kamp pelatihan ini, ia telah berusaha menyamar dengan baik—mengenakan pakaian longgar, merendahkan suaranya, dan menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi mencolok. Namun, entah kenapa, sejak pertemuan pertamanya dengan Satya, pria itu memperlakukannya dengan berbeda.Latihan fisik yang seharusnya biasa tiba-tiba menjadi lebih berat. Dan yang paling menyebalkan, setiap kali ia mulai kelelahan, Satya hanya akan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah mengamati sesuatu yang tidak ia mengerti.Apa pria itu sengaja menyiksanya?Reina mendengus kesal. Ia telah berhasil menyusup ke berbagai tempat sebelumnya, jadi kenapa sekarang justru merasa seperti tikus percobaan di tangan dingin itu? Ketika akhirnya latihan berakhir, Reina merasa cukup.Ia menuju barak perwira, mengabaikan tatapan heran dari beberapa prajurit. Langkahnya cepat, penuh tekad, dan begitu ia sampai di depan kamar Satya, ia mengetuk pintu tanpa basa-
Malam itu, Reina tak bisa memejamkan mata. Ia berguling ke sana kemari, memikirkan dua pilihan yang diberikan kepadanya—menerima hukuman atau menikah dengan Mayor Satya. Baginya, keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Namun, saat mengingat keluarga Reihardi yang telah menerimanya, hatinya goyah. Ia harus membuat keputusan sebelum fajar.Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Setelah apel pagi, Reina melangkah dengan hati berat menuju kamar Satya. Ia memastikan tak ada orang yang melihat sebelum mengetuk pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung masuk tanpa menunggu undangan, membuat Satya sedikit terkejut."Kau mau apa?" Satya bertanya dengan suara dingin.Reina menelan ludah, berdiri tegak di hadapan pria itu. "Aku setuju menikah denganmu. Tapi ada tiga syarat."Alis Satya sedikit terangkat, tapi ia tetap mempertahankan ekspresinya yang datar. "Syarat?""Pertama, kau harus menjamin keselamatan keluarga Reihardi, dan aku tidak mau kamu memaksaku melayanimu secara... fisik," uja
“Biar aku yang bawa,” suara Satya dingin dan tak terbantahkan. Sersan Hendra terkejut ketika Satya tiba-tiba mengulurkan tangan, mencegahnya membopong Reina.Hendra mengerutkan kening, ragu sejenak, tapi ia tak berani membantah. Dengan cekatan, Satya mengangkat Reina ke dalam gendongannya dan berjalan cepat menuju mobilnya.Perjalanan berlangsung dalam diam. Satya mengemudi tanpa ekspresi, sementara Reina yang masih setengah sadar hanya bisa menggeliat lemah.Namun, saat kesadarannya perlahan kembali, Reina merasakan sesuatu yang aneh. Bau antiseptik rumah sakit yang seharusnya tercium, tidak ada. Sebaliknya, ia merasakan aroma bunga dan udara yang lebih hangat.Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit kayu berukir serta lampu gantung klasik.Ini… bukan rumah sakit.Dengan cepat, Reina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Ia menoleh ke samping dan langsung terkejut melihat sosok Satya duduk di kursi, membaca dokumen dengan ekspresi
Reina duduk di sofa hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa pernikahan itu benar-benar terjadi. Satya yang duduk di seberangnya tampak serius berbicara dengan Letnan Dito.Reina yang awalnya malas mendengarkan, tiba-tiba merasa penasaran. Perlahan, ia bangkit dan berusaha mendekat tanpa suara. Ia merapatkan tubuh ke tembok di dekat mereka, memasang telinga sebaik mungkin."Kau yakin ini keputusan yang tepat?" suara Dito terdengar serius."Aku tak punya pilihan lain. Ini harus dilakukan," jawab Satya tegas."Kalau begitu, aku akan mengurus dokumen-dokumennya."Reina semakin menajamkan pendengarannya. Apa yang harus dilakukan? Dokumen apa? Jangan-jangan Satya sedang merencanakan sesuatu yang buruk?Ia berjinjit lebih dekat, namun sialnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan karena gaun pengantinnya dan...Bruk! Reina jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.Dito dan Satya langsung menoleh. Dito menahan tawa sementara Satya hanya menatapnya d
Tengah malam, Reina yang baru saja berusaha memejamkan mata dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka pelan. Ia menoleh dan melihat Satya masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dengan langkah tenang, pria itu langsung merebahkan diri di sisi tempat tidur, membelakangi Reina seolah kehadirannya bukan masalah besar.Reina yang masih dalam keadaan setengah mengantuk langsung terjaga sepenuhnya. Ia bangkit dan menatap Satya dengan tatapan tak percaya. “Hei, kau salah kamar!” bisiknya tajam.Tanpa mengubah posisi, Satya hanya menghela napas. “Tidur saja. Tak perlu cemas, aku tidak akan mengganggumu.”Mata Reina menyipit curiga. “Kau pikir aku akan percaya begitu saja?”“Sebagai siswa tentara, bukankah seharusnya kau lebih berani? Dan bukankah kamu di asrama terbiasa tidur dengan banyak pria,” balas Satya santai.Reina mendengus, tapi ia tidak bisa membantah. Benar, sebagai tentara, ia tidak boleh takut, apalagi hanya berbagi tempat tidur dengan pria yang—sialnya—sekarang ad
Reina berjalan-jalan untuk mencari cara agar bisa melarikan diri dari Satya dan kembali ke perbatasan. Namun, upayanya terasa sia-sia. Tidak ada celah untuk kabur, dan penjagaan di sekitar markas begitu ketat. Setiap sudut wilayah ini dijaga oleh tentara yang siap siaga, membuat Reina frustasi.Kesempatan datang ketika Letnan Dito menawarkan untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar markas. Dengan penuh perhitungan, Reina berusaha memanfaatkan situasi itu. Saat mereka sampai di tempat yang cukup sepi, Reina berpura-pura lelah dan meminta untuk meminjam ponsel Dito."Sebentar saja, aku hanya ingin mengecek sesuatu," katanya dengan wajah meyakinkan.Dito sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan ponselnya. Dengan cepat, Reina mengetik nomor Arian dan mencoba menghubunginya. Namun, setiap kali ia menelepon, panggilannya selalu gagal tersambung. Ia menghela napas panjang, lalu segera menghapus jejak panggilannya dari daftar riwayat."Tolong, jangan ber
Satya membawa Reina ke dalam kamar begitu mereka tiba. Tanpa banyak bicara, dia membuka laci meja dan mengambil kotak P3K. Gerakannya cepat dan efisien, seperti seseorang yang sudah terbiasa menangani luka di medan tempur."Duduk," perintahnya, suaranya tetap tegas, tapi ada nada lembut yang sulit ia sembunyikan.Reina menurut, duduk di tepi ranjang. Satya berlutut di hadapannya, membuka botol antiseptik dan menuangkannya ke kapas. Dia tidak terburu-buru, memastikan setiap gerakannya tidak menambah rasa sakit.Saat kapas menyentuh luka di lengan Reina, Satya bisa merasakan tubuh perempuan itu menegang sesaat."Sakit?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan."Enggak," jawab Reina cepat, tapi wajahnya jelas berkata lain.Satya hanya mendesah pelan. Dia tahu Reina selalu berusaha terlihat kuat, tapi itu tidak mengurangi kepeduliannya. Dengan cekatan, dia mulai membalut luka itu. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sesuatu—sebuah bekas luka lama di lengan Reina. Suda
Sersan Hendra menggerutu sepanjang perjalanan menuju akademi. Sudah seminggu ini ia tidak diizinkan menjenguk Reina di rumah sakit. “Mayor Satya benar-benar aneh. Dia menahan seorang siswa di rumah sakit hanya karena pingsan. Apa dia pikir Rei itu siapa?” Di sampingnya, Reina hanya tersenyum tipis sambil melihat ke luar jendela. Dalam hati, ia justru lega karena drama ini akhirnya selesai. Setibanya di akademi, Reina langsung menuju kamarnya. Teman-temannya yang sudah lama tak melihatnya segera menyambut dengan antusias. “Reihardi! Akhirnya kamu kembali! Kami pikir kamu diculik alien!” seru Daniel sambil berusaha memeluknya, tapi Reina dengan lincah menghindar. Reina terkekeh. “Rasanya lebih parah daripada diculik alien. Aku sendirian di rumah sakit tanpa boleh dijenguk siapa pun!” Teman-temannya mendekat, penasaran ingin tahu lebih banyak. “Jadi kenapa kamu sampai pingsan? Apa benar karena kelelahan?” tanya salah satu dari mereka. Reina mengangkat bahu. “Mungkin. Aku jug
Cahaya pagi menyusup lewat jendela, menari di sela-sela tirai putih yang melambai pelan. Reina duduk di tepi ranjang, mengenakan pakaian latihan, tapi belum juga beranjak. Pandangannya terpaku ke lantai, bibirnya mengatup tegang.Pertemuan semalam masih berputar di kepalanya."Kalau kau pergi, mereka akan menganggapku berkhianat," katanya waktu itu. Dan wajah Satya—atau siapapun dia sebenarnya—saat itu... tegang, marah, tapi juga cemas.Reina menggigit bibir, lalu berdiri cepat. Ia membuka laci kecil dan menarik keluar gulungan kain tempat menyimpan belatinya. Tangannya sedikit gemetar saat mengikat sarung senjata di pergelangan pahanya.“Bodoh... kenapa aku malah menyuruhnya menemui Pangeran Satya?” gumamnya lirih, penuh sesal. “Bagaimana kalau dia tertangkap? Bagaimana kalau—”Pintu kamar diketuk dua kali.Reina refleks berdiri dan meraih belatinya.Suara dari balik pintu. “Putri Aliya, latihan pagi akan dimulai sepuluh menit lagi.”“Segera,” jawab Reina, suaranya tenang meski jantu
Langit mendung. Cahaya lampu hanya separuh menerangi lorong batu tua. Satya melangkah cepat, jubah panjang digulung ke lengan, sepatu botnya dibungkam kain hitam.Dua pengawal berjaga di depan kamar Reina. Ia menghentikan langkah di balik pilar batu.Isyarat tangan. Tiga jari.Satu napas. Dua langkah.Gerak cepat—pengawal pertama dihantam dengan bokong belati ke tengkuk. Satya menangkap tubuhnya sebelum jatuh. Pengawal kedua menoleh, sempat mengangkat senjata—Braak!Satya menjatuhkannya dengan hantaman lutut ke dada. Pistol terlepas. Ia hempaskan tubuh si penjaga ke dinding tanpa suara.Napasnya masih stabil. Ia buka pintu pelan-pelan.Di atas ranjang, seseorang duduk membelakanginya. Rambut digelung rapi, mengenakan gaun tidur tipis khas bangsawan Ghana. Reina menoleh kaget.“Mas Satya?”Dia berdiri setengah, bingung. “Bagaimana kau bisa di sini? Kau tak bisa—”Satya melangkah cepat, menutup pintu dan menguncinya.“Kita bicara sekarang,” katanya tegas.Reina beringsut mundur. “Apa y
Pintu terbuka cepat. Ditto masuk tanpa diizinkan.Satya, yang sedang mengikat sarung pedangnya, menoleh tajam. “Berani sekali masuk tanpa laporan," ucap Satya tersenyum bercanda .”“Maaf, Yang Mulia. Ini darurat,” kata Ditto cepat, napasnya masih belum teratur.Satya diam sejenak, lalu menaruh pedangnya ke meja. “Bicara.”Ditto menelan ludah. “Ada kemungkinan penyamaran Nyonya terbongkar.”Satya berhenti sejenak. “Sejak kapan?”“Tiga bulan lalu. Keluarga aslinya menghilang dari wilayah perbatasan. Rumah mereka dibakar habis. Tapi baru kemarin laporan lengkapnya sampai ke tangan saya.”Suara Satya turun dua oktaf. “Kenapa baru sekarang kau laporkan?”“Saya baru temukan salinan catatan pengungsi dari distrik timur. Sebelumnya... data itu disembunyikan oleh petugas lokal.”Satya mengepalkan tangan. Napasnya berat.“Dia tahu?”Ditto menggeleng. “Sepertinya tidak, Mayor. Dia terus jalankan tugas. Tidak ada tanda dia curiga.”Satya membalik badan, mengambil mantel, lalu melangkah cepat ke a
Suara tongkat kerajaan menjejak marmer, memantulkan gema yang membuat ruang balairung terasa makin hening. Raja Mahesa berdiri tegak di hadapan para penasihat dan bangsawan istana."Sudah cukup waktu kita beri pada Pangeran Satya," katanya dengan suara yang dalam dan tenang, tapi menyiratkan ultimatum. "Musim perjanjian akan datang. Tanpa pernikahan kerajaan, persekutuan dengan Malaca terancam."Beberapa penasihat saling pandang, tapi tak ada yang berani menyela."Ayahanda," suara tegas menyela dari sisi ruangan.Satya melangkah masuk. Rambutnya masih agak basah, jelas ia datang terburu-buru. Setengah wajahnya masih tertutup topeng perak."Apa maksud Ayahanda ingin menikahkan saya tanpa persetujuan saya?" tanyanya dingin, tapi sopan. "Tidakkah itu melanggar hak saya sebagai putra mahkota?"Raja Mahesa menatapnya tajam. “Kau telah menolak Salima. Kau tidak memberi pilihan pada kami. Jika kau tidak bertunangan dengan Salima dalam tiga hari, maka aku yang akan menentukan pernikahan tanpa
Angin malam berembus lembut di puncak Bukit Aeloria. Lampu lentera bergoyang pelan menggantung di dahan-dahan pohon, menerangi jalan setapak menuju sebuah tempat duduk kayu beratapkan bunga anggrek liar. Di kejauhan, danau tampak berkilau tertimpa cahaya bulan. Tempat itu sunyi, damai, dan nyaris seperti lukisan.Reina berdiri dengan jubah panjang, gugup. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. "Kenapa Salima belum datang juga..." gumamnya. Ia menyiapkan semuanya agar Salima bisa berbicara dari hati ke hati dengan Pangeran Satya. Tapi sudah hampir satu jam berlalu.Langkah kaki terdengar dari arah belakang.Reina buru-buru berdiri. "Salima?" tanyanya.Yang muncul... bukan Putri Salima.Melainkan sosok tinggi menjulang dengan mantel gelap dan topeng separuh wajah yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang.Pangeran Satya.Reina langsung menunduk sopan. “Yang Mulia… mohon maaf, seharusnya ini—”"Tempat yang sangat romantis untuk pertemuan rahasia," potong Satya dengan nada rendah namun menggoda.
Ketika Reina mengetuk pintu kamar Putri Salima, ia tidak menyangka akan mendengar suara lemari dibanting dan koper terbuka.“Putri Salima?” Reina memanggil hati-hati.Pintu terbuka dengan cepat, menampilkan wajah Putri Salima yang memerah, bukan karena bedak, tapi amarah.“Aku sedang sibuk! Kalau kau mau bergosip tentang pangeran sialan itu, lebih baik—”“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi,” potong Reina cepat, mencoba tetap tenang.Matanya terarah pada beberapa koper besar di ranjang. Gaun-gaun, sepatu, kotak perhiasan, dan semuanya berantakan. Jelas bukan sekadar ingin ganti baju.“Kamu mau pergi?” tanya Reina, menutup pintu perlahan.Salima menoleh, matanya basah. “Apa gunanya aku di sini kalau hanya dijadikan bahan lelucon?”Reina mendekat hati-hati. “Apa yang dia katakan?”Salima langsung duduk, napasnya berat. “Kemarin malam... dia datang ke kamarku. Setelah semua orang menyuruhku memilih dia, dia malah—” suara Salima tercekat, lalu berkata dengan penuh rasa sakit, “dia bilan
Angin malam berembus lembut lewat jendela yang terbuka separuh. Reina duduk di kursi dekat meja rias, menatap kosong bayangan dirinya di cermin. Matanya kosong, pikirannya kacau.Apa yang kulihat tadi...? Mereka sedekat itu... Ia mendesah pelan, lalu menggigit bibir bawahnya. Kenapa aku peduli...?Pintu kamar mengeluarkan bunyi halus—nyaris tak terdengar. Tapi langkah kaki itu... Reina terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk menyadari.Satya masuk diam-diam, mengenakan pakaian malam biasa berlengan panjang, wajahnya tak tertutup topeng. Kali ini bukan Pangeran Satya yang masuk ke kamar itu. Tapi seorang suami.Matanya menemukan Reina. Duduk diam. Membisu.Dan Satya mengira... istrinya sedang cemburu.Ia mendekat perlahan, langkahnya tenang, lalu berhenti tepat di belakang Reina.“Reina,” bisiknya rendah.Tak ada jawaban.Satya tersenyum samar. Ia menyentuhkan tangannya perlahan ke bahu Reina. Lalu—tanpa aba-aba—ia memeluknya dari belakang. “Aku minta maaf.”Tubuh Reina menegang seke
Langit siang cerah di balik jendela kaca patri, tapi suasana meja makan istana jauh dari hangat. Pembicaraan diplomatik berlangsung tegang, tapi perhatian Reina terpusat pada satu hal—satu orang. Pangeran Satya. Pria itu duduk di ujung meja panjang, mengenakan topeng perak yang menutup sisi kiri wajahnya. Tegap, diam, penuh aura gelap. Dari tadi tak banyak bicara. Suaranya berat, datar, nyaris tanpa emosi. Dan itu membuat Reina... penasaran setengah mati. “Katanya dia diserang, Beruang” bisik Salima pelan. “Atau semacam kutukan. Lihat saja topengnya. Mereka bilang, wajahnya setengah hancur.” Reina menoleh, nyaris tersedak anggur. “Beruang? Yang benar saja…” “Dan konon,” Salima menambahkan dramatis, “wajah buruknya mencerminkan hatinya. Dingin. Kejam. Sempurna untuk jadi suamiku, kalau aku mau bunuh diri.” Reina hampir meledak tertawa, tapi buru-buru mengatup mulut. Wajah buruk. Dingin. Kejam. Jangan-jangan... dia cemburuan juga? Hah. Mirip seseorang... Matanya kembali m
Cahaya mentari menyelinap masuk melalui tirai tipis kamar Putri Alliya. Udara pagi membawa aroma bunga lavender dari taman istana, namun ketenangan itu tidak mampu menenangkan hati Reina yang duduk di tepi ranjang, memandangi jendela dengan mata kosong.Ia masih memikirkan kejadian semalam—kehadiran Satya yang tiba-tiba muncul di kamarnya dengan penyamaran dan ekspresi yang tak biasa. Dingin. Mencurigai. Dan diam-diam melindungi.Reina menggigit bibirnya. Ia tahu Satya menahan banyak hal—pertanyaan, rasa penasaran, dan mungkin… kekhawatiran. Tapi ia tidak bisa menjelaskan apapun. Misinya sebagai Putri Alliya adalah perintah langsung dari raja dan Kolonel Bram. Rahasia negara. Bahkan kepada suaminya sendiri, ia tak boleh membocorkannya.Suara ketukan di pintu menyentaknya dari lamunan.“Putri Alliya,” suara Malik dari luar, “Putri Salima meminta Anda menemaninya sarapan pagi.”Reina menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Sudah dimulai lagi, pikirnya.Dengan cepat, ia mengenakan