Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Aku Mengenalnya

Share

Aku Mengenalnya

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-03-05 21:31:35

Suasana lapangan akademi terasa menegangkan. Semua siswa berdiri tegap di bawah terik matahari, menunggu kedatangan instruktur baru yang kabarnya seorang veteran perang. Desas-desus menyebar bahwa pria ini bukan hanya sekadar tentara biasa, dia seseorang yang selamat dari neraka perang dan kembali dengan reputasi mengerikan.

Reina berdiri di barisan tengah, berusaha tetap tenang seperti siswa lain. Namun, begitu seorang perwira memasuki lapangan dengan langkah tegap dan penuh wibawa, tubuhnya langsung menegang.

Pria itu…

Wajah yang selama tiga bulan ini ia kira sudah mati, kini berdiri di hadapannya dalam balutan seragam militer dengan pangkat Mayor

Jantung Reina berdegup kencang. ‘Tidak mungkin….’ Ia mengira pria itu mati dalam kebakaran.

Pria yang seharusnya sudah tiada, berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menembus barisan para siswa. Reina menelan ludah.

Mayor itu menatap sekeliling sebelum berbicara. “Nama saya Satya. Mulai hari ini, saya akan menjadi instruktur kalian.” Suara beratnya bergema di seluruh lapangan.

Reina hampir tidak bisa berpikir. Nama itu ternyata miliknya. Nama seorang Militer yang sering menjadi bahan pembicaraan rekan-rekannya.

Mayor Satya – Bayangan di Medan Perang

Di medan perang, nama Mayor Satya adalah legenda yang menebar ketakutan. Sebagai perwira di garis depan konflik Ghana, ia dikenal karena taktik brutalnya dan keputusannya yang tak kenal ampun. Lawan-lawannya menyebutnya "Hantu Perbatasan" karena setiap pertempuran yang dipimpinnya selalu berakhir dengan kemenangan mutlak, meskipun jumlah pasukannya lebih sedikit.

Namun, ada satu misteri yang selalu mengiringi namanya, tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa wajahnya atau dari mana asalnya. Prajuritnya sendiri hanya mengenalnya sebagai sosok dengan perintah yang tegas, strategi yang dingin, dan aura yang mendominasi. Ia jarang muncul tanpa perlengkapan tempur lengkap, selalu memakai helm atau masker yang menutupi sebagian besar wajahnya.

Rumor berkembang di antara pasukan dan musuhnya. Ada yang mengatakan ia adalah prajurit bayangan yang direkrut dari luar Ghana, seorang yang tidak memiliki identitas dan sejarah. Ada pula yang percaya bahwa ia adalah anak dari seorang bangsawan yang jatuh dari kekuasaannya dan memilih hidup dalam perang.

Hanya satu hal yang pasti, setiap kali nama Mayor Satya disebut di medan tempur, musuh akan berpikir dua kali sebelum melawan.

Namun, saat mereka bertemu dulu, pria itu tidak pernah menyebutkan siapa dirinya.

‘‘Satya… Jadi itu namanya,’’ batin Reina.

Mayor Satya berjalan perlahan di depan barisan, tatapannya dingin dan penuh wibawa. Setiap langkahnya membawa aura mengancam yang membuat semua siswa menahan napas.

“Saya tidak peduli siapa kalian sebelumnya. Di sini, kalian semua adalah sama! Dan tugas saya adalah memastikan kalian tidak hanya bertahan, tapi juga menjadi prajurit yang pantas dihormati!”

Tiba-tiba, langkahnya terhenti tepat di depan Reina. Jantung Reina semakin berdebar. Mereka bertemu pandang.

Tatapan Mata Satya menyipit sejenak, seperti berusaha mengingat sesuatu.

Reina segera menundukkan pandangannya, berharap pria itu tidak mengenalinya. Namun, senyum tipis muncul di sudut bibir Satya.

“Kau.” Suaranya terdengar rendah, hampir seperti gumaman, tapi cukup membuat bulu kuduk Reina berdiri.

Reina menahan napas. ‘‘Jangan bilang dia mengenaliku….’’

Satya tetap menatapnya, lalu berkata lebih keras. “Kau, kenapa kurus badanmu?”

Reina menguatkan dirinya dan melangkah ke depan dengan tegas. “Siap, Pak!

Tatapan Satya masih belum lepas darinya. Ada sesuatu dalam cara pria itu memandangnya dengan penuh rasa penasaran, ketertarikan, dan… mungkin ingatan yang belum sepenuhnya pulih.

Reina menegakkan punggungnya, berusaha menjaga ekspresi netral.

Satya menyeringai. Tatapan tajamnya seakan menembus penyamaran Reina

Dan di saat itulah, Reina tahu… Hari-harinya di akademi akan menjadi jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.

Suasana kantin akademi malam itu lebih ramai dari biasanya. Para siswa duduk berkelompok, berbicara pelan dengan ekspresi serius. Namun, setiap beberapa detik, tatapan mereka melirik ke satu arah ke Reina.

Reina berusaha mengabaikan itu semua. Ia mengambil nampan makanannya dan duduk di sudut kantin, menjauh dari pusat perhatian. Namun, ketenangannya tak bertahan lama.

Seorang perwira berdiri di tengah ruangan dan mengetuk mikrofon, menarik perhatian semua orang.

“Ada pengumuman penting.” Semua percakapan langsung terhenti.

Reina meneguk airnya dengan tenang, tapi firasat buruk mulai muncul di hatinya.

Perwira itu melanjutkan, suaranya terdengar tegas, “Mulai malam ini, Siswa Reihardi akan dipindahkan ke kamar baru.” Seluruh kantin terdiam. Lalu…

BRAK!

Seorang siswa menjatuhkan sendoknya, sementara yang lain saling berpandangan dengan ekspresi tegang.

Reina mengerutkan kening. “Apa masalahnya? Memangnya kenapa kalau pindah kamar?”

Desas-desus mulai menyebar di antara para siswa. “Astaga… dia pasti kena masalah besar.”

“Pindah kamar tiba-tiba? Pasti ada hukuman.”

“Jangan-jangan dia ketahuan melanggar aturan?”

“Bukan. Kau tahu kan, siapa yang mengatur pemindahan kamar?”

Tatapan Reina menyipit. “Apa maksudnya?” bisiknya pada Malik yang duduk di sebelahnya.

Malik menatap Reina seolah ia sudah mati. “Rei… kau dipindahkan ke bagian khusus.”

“Bagian khusus?”

Daniel, yang biasanya santai, terlihat agak pucat. “Itu artinya kau sekarang, di bawah pengawasan langsung Mayor Satya.”

Reina terdiam. Baru saja ia ingin menikmati malam dengan tenang, dan kini… Apa pria itu benar-benar berusaha membuat hidupnya lebih sulit?

Sementara itu, dari sudut kantin, Mayor Satya duduk dengan santai, menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Reina dari kejauhan. Tatapannya dingin, tak terbaca. Namun, bagi Reina, satu hal sudah jelas. Pria itu tidak akan membiarkannya lolos begitu saja.

***

Reina berdiri di depan pintu kamarnya yang baru, masih berusaha mencerna situasi yang terjadi. Kamar ini… bukan untuk siswa biasa.

Sebuah plakat kecil di pintu menunjukkan bahwa ini adalah kamar pribadi, kamar yang biasanya digunakan oleh para pelatih atau perwira tinggi.

Malik, yang membantunya membawa koper, menelan ludah. “Rei… kau pasti sudah menyinggung seseorang tanpa sadar.”

Rei mendesah, “Aku bahkan tidak tahu kenapa ini terjadi…”

Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Seketika, matanya membelalak. Kamarnya terlalu luas untuk seorang siswa biasa.

Namun, keheranannya belum selesai.

Begitu ia melihat pintu di sebelah kiri, firasat buruk langsung muncul di benaknya. Ia berjalan mendekat dan mencoba menempelkan telinganya ke pintu tersebut. Tidak ada suara.

Dengan hati-hati, ia memutar pegangan pintu. Tidak terkunci. Reina membuka sedikit celah dan mengintip…

Brak!

Pintu di sisi lain terbuka lebih dulu, memperlihatkan sosok Satya yang berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatapnya dengan tatapan tajam. Jantung Reina hampir lompat ke tenggorokan.

Sial.

Mereka bertemu pandang, hanya terpisah oleh ambang pintu yang menghubungkan kedua kamar.

“Kau ingin menyelinap masuk ke kamarku, siswa Rei?” tanya Satya dengan suara dingin, nadanya mengandung sedikit sindiran.

Reina buru-buru menegakkan punggungnya. “Siapa yang mau menyelinap? Aku hanya—”

“Kepo?” Satya menyela, satu alisnya sedikit terangkat.

Reina mengepalkan tangan, menahan dorongan untuk membantah dengan nada tinggi. Hari-harinya di akademi baru saja berubah menjadi jauh lebih rumit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Misi Dan Hati    Langkah Terakhir

    Ghana, dua bulan setelah peralihan tahta. Hari itu, aula istana tak lagi menjadi ruang untuk pertumpahan darah, tapi ruang upacara pelantikan yang damai. Kursi rakyat kembali terisi. Bendera tua yang sempat dibakar, kini dijahit ulang dan berkibar di atas menara istana. Rakyat berkumpul, bukan karena takut… tapi karena harapan. Di tengah barisan para bangsawan, mantan prajurit, dan wakil rakyat, seorang bocah berdiri di atas podium kecil. Di belakangnya berdiri dua sosok yang kini tak lagi dianggap buronan, melainkan pelindung bangsa: Satya dan Ardian. Maydiasta menatap ke arah rakyat yang memadati pelataran. Nafasnya bergetar, tapi tangan Satya menyentuh pundaknya. “Kau tidak sendiri,” bisik Satya. Dan Ardian menambahkan, “Kau akan jadi raja… bukan karena tahta. Tapi karena kau mencintai mereka.” Maydiasta pun melangkah maju, membuka mulut kecilnya dengan suara yang masih jernih: “Aku bukan pangeran yang hebat. Tapi aku adalah anak Ghana. Dan aku berjanji akan belajar,

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 112 Akhir Peperangan

    Satya berdiri tegap. Seragam gelap yang ia kenakan tak memuat satu pun lencana. Bukan karena tak layak, tapi karena hari ini bukan soal pangkat. Di sampingnya, Ardian bersandar di meja, lengannya masih diperban. Wajahnya tenang, tetapi mata menyimpan bara. “Rakyat Ghana…” suara Satya menggema dari mikrofon kecil yang terhubung ke jaringan siaran bawah tanah. “Hari ini, kalian berhak tahu kebenaran.” Kamera menyorot wajahnya. Tidak ada keraguan. Tidak ada kebohongan. Hanya keyakinan. “Selama ini, kalian dibohongi. Kami disebut pengkhianat. Kami dikurung. Difitnah. Tapi siapa dalangnya?” Ardian mengangkat sebuah dokumen dan menyodorkannya ke arah kamera. “Ini… bukti asli dari Kolonel Indra, yang disembunyikan sebelum ia tewas. Bima ingin menjadikan keponakannya anak dari adik perempuannya, sebagai pewaris takhta. Dia membunuh Arvid, memfitnahku, dan menjadikan Satya kambing hitam.” Layar di belakang mereka menampilkan wajah Tuan Halim, rekaman suara, dan data penyadapan. Semua dir

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 111 Akar yang tak Pernah Mati

    Dua tahun lalu, di Distrik Riven yang suram dan dilupakan, seorang pria tua bernama Letkol Anwar, pensiunan militer yang dulunya menjaga gerbang istana, tinggal di balik rak-rak jam rusak. Dari luar, tempat itu tampak seperti toko barang antik yang tak penting. Tapi di balik lantai kayu reyotnya, terhampar jaringan lorong rahasia yang membentang ke segala arah, tempat di mana sisa-sisa kekuatan yang disingkirkan oleh istana masih bernapas.Mereka menyebut diri mereka 'Tulang Akar'.Bagi Anwar dan para mantan prajurit yang setia pada kerajaan, tapi bukan pada kekuasaan, akar yang tersembunyi jauh lebih penting daripada cabang yang menjulang tinggi.Pada suatu malam yang dingin dan sunyi, seorang pangeran berdarah, dengan tatapan kosong dan napas berat, muncul di ambang lorong itu. Pangeran Ardian yang dituduh pemberontak, yang dibuang dari darah biru, duduk di lantai batu dengan lutut penuh lumpur.Letkol Anwar mendekatinya tanpa ragu.“Kau bukan pengkhianat, Pangeran,” katanya sambil

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 110

    Lokasi: Barak tua di batas utara Ghana, jam 20.11TV kecil berdebu itu masih menyala di sudut ruangan. Gambarnya tak stabil, tapi suara penyiar itu terdengar jelas.“…pemerintah kerajaan menetapkan dua buronan negara Pangeran Ardian dan Pangeran Satya. Dituduh menghasut pemberontakan, membunuh Pangeran Arvid, serta bekerja sama dengan militer asing…”Ditto menjatuhkan botol air di tangannya. Suara dentingnya memantul tajam.“Apa… ini bercanda?”“Ini…” Malik terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya menyapu layar seperti menolak percaya.“Satya?” Ditto mengulang, lebih ke dirinya sendiri.Malik bangkit. Langkahnya berat, tapi tegas. Ia mematikan TV.“Mereka memutar balik semuanya. Raja tidak bicara sepatah kata. Ini suara dewan.”“Tuan Halim,” gumam Ditto. “Itu dia... sialan itu...”Keduanya saling pandang. Dalam diam mereka mengerti Ini bukan sekadar pengkhianatan... ini pemusnahan karakter.“Kita harus cari Pangeran Satya,” ujar Ditto.“Dan Pangeran Ardian,” Malik menambahkan.“Bagaimana

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 109 Kota Yang Tertidur

    Istana Ghana, Ruang Rapat DalamRaja Mahesa duduk di kursi takhta kecil, matanya sembab. Tangannya memegang laporan kematian Arvid. Di sekitarnya duduk para menteri dalam negeri, penasihat senior, dan seorang pria berambut putih mengenakan jubah biru tua: Tuan Halim.“Yang Mulia,” ujar Tuan Halim, suaranya pelan namun berisi racun. “Kami telah menyelidiki lebih dalam... dan menemukan indikasi bahwa Ardian dan Satya tengah merancang pemberontakan.”Raja Mahesa mengerutkan kening. “Laporan itu tak cukup. Ardian terluka parah, Satya dalam pemulihan.”Tuan Halim melangkah maju. Ia meletakkan dua dokumen di meja raja.Satu berupa rekaman audio.Satu lagi foto-foto hasil pengawasan drone.“Mereka pernah bertemu dengan utusan Malaca di perbatasan. Dan ini...” Ia menekan tombol kecil.Dari alat pemutar suara, terdengar percakapanArdian (suara hasil suntingan). “Jika raja tak menyerahkan tahta, kita akan ambil dengan pak

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 108 Surat yang Tak Pernah Sampai

    Malam di Ghana begitu senyap. Lampu-lampu istana telah dipadamkan, dan gerbang utama dijaga dua kali lebih ketat dari biasanya. Namun di sebuah kediaman tua milik mantan penasihat militer yang sudah pensiun, Ardian duduk di bawah cahaya redup lentera minyak, membuka sepucuk surat dengan segel lilin yang tak ia kenali. Surat itu dikirim dengan tangan, tanpa nama, dan diselipkan ke dalam laporan logistik yang dibawa oleh salah satu pasukan cadangan dari selatan. Isinya singkat tapi mencabik. “Pangeran Arvid bukan satu-satunya calon pewaris. Di luar sana, Raja Mahesa telah menyembunyikan seorang anak dari darahnya sendiri, lahir dari saudara perempuan Kolonel Bima. Kau dan Satya hanya bagian dari permainan lebih besar. Jaga dirimu. – E” Ardian mengerutkan kening. Surat itu tidak membawa jawaban—justru menambah pertanyaan. Ia segera membakar surat itu setelah membacanya tiga kali. Tapi kata-kata terakhir masih terngiang dalam benaknya: “Kau dan Satya hanya bagian dari permainan leb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status