Pagi itu, Aura dan Ari berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang terletak di salah satu sudut kota. Di balik dinding beton yang dingin dan pintu kaca berlapis, ada dunia yang tak pernah mereka bayangkan—dunia yang terhubung dengan orang-orang berkuasa, yang tak ragu untuk menghapus jejak siapa saja yang menghalangi mereka.
"Apa kita benar-benar harus masuk ke sini?" tanya Aura, suara penuh keraguan. Ia memandang gedung dengan pandangan penuh tanda tanya. Gedung itu tampak biasa saja di luar, tetapi Aura merasakan ada sesuatu yang gelap di dalamnya.
Ari menatapnya dengan serius. "Ini adalah tempat pertama yang harus kita tuju. Luna Putri bekerja di sini dulu—di ruang redaksi sebuah media besar yang sering mengungkapkan kasus-kasus gelap yang melibatkan Dimas."
Aura menggigit bibirnya, menatap Ari dengan campuran ketegangan dan kecemasan. "Tapi ini bukan hanya tentang Luna, kan? Kita sedang melibatkan diri dalam hal yang lebih besar."
Ari mengangguk pelan. "Betul. Tapi kita nggak punya pilihan. Kalau kita nggak temukan Luna, kita nggak bisa menyelesaikan ini. Kita butuh informasi darinya."
Langkah kaki mereka berdua bergema di lorong gedung yang sepi. Teriakan dari kantor-kantor yang masih kosong, suara ketikan keyboard yang jauh, membuat suasana semakin suram. Pintu depan terbuka dengan senyum ramah dari resepsionis yang tampaknya tak mengetahui bahwa mereka adalah orang yang sedang mencari informasi terlarang.
"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan senyum lebar.
Ari tersenyum tipis. "Kami mencari Luna Putri. Dia dulu bekerja di sini, kan?"
Resepsionis itu mengernyitkan dahi, jelas terlihat kebingungannya. "Luna Putri? Saya belum pernah mendengarnya. Namun, ada beberapa karyawan yang telah lama tidak bekerja di sini. Mungkin Anda bisa mencari di arsip."
Ari mengangguk, mengarahkan Aura menuju lift. "Ayo, kita cek di arsip. Di sana biasanya ada jejak yang lebih jelas."
Saat pintu lift menutup, Aura merasa dada terasa sesak. Ia tahu bahwa semakin dalam mereka mencari, semakin berbahaya langkah yang mereka ambil. "Ari, apa menurutmu Luna masih hidup?" tanya Aura dengan suara rendah, penuh ketakutan yang ia coba sembunyikan.
Ari menatapnya, lalu menjawab dengan nada yang lebih tenang. "Aku nggak tahu, Aura. Tapi satu hal yang pasti, dia tahu sesuatu yang bisa merubah segalanya. Jika kita bisa menemukannya, kita akan menemukan jawabannya."
Begitu pintu lift terbuka di lantai arsip, udara dingin langsung menyambut mereka. Hanya ada lampu neon yang redup dan rak-rak tinggi penuh dengan tumpukan dokumen yang sepertinya tidak pernah disentuh oleh siapa pun selama bertahun-tahun.
Ari segera menuju rak yang paling jauh, mengambil beberapa file yang tampaknya sudah sangat usang. Aura mengikuti di belakangnya, merasa semakin terjebak dalam labirin masa lalu yang penuh dengan rahasia gelap.
"Ini dia," Ari berkata, membuka sebuah file yang terlihat lebih tua dari dokumen lainnya. Di dalamnya terdapat artikel-artikel yang ditulis oleh Luna Putri, semuanya terkait dengan berbagai skandal yang melibatkan Dimas Santoso.
Namun, ada satu artikel yang menarik perhatian Aura—sebuah artikel yang mengungkapkan bahwa Luna hampir berhasil mengungkapkan hubungan gelap antara Dimas dan sejumlah pejabat tinggi, namun artikel itu tidak pernah terbit. Di akhir artikel itu tertulis catatan kecil, yang tampaknya ditulis tangan oleh Luna sendiri:
"Jika kamu menemukan ini, hati-hati. Mereka sedang mengawasi kita. Jangan percayakan semuanya pada yang terlihat."
Aura merasa tubuhnya seperti membeku. Pesan itu jelas—Luna telah tahu bahwa mereka akan mengejar jejaknya. "Ari, kita harus berhati-hati. Luna menulis pesan ini seolah dia tahu kita akan mencari dia."
Ari mengangguk, matanya tajam menatap artikel itu. "Luna tahu lebih dari yang kita kira. Sekarang kita hanya perlu mencari petunjuk terakhir yang dia tinggalkan."
Mereka kembali ke meja arsip, dan saat Ari membuka salah satu dokumen terakhir, matanya terfokus pada sebuah foto kecil yang menempel di pojok dokumen. Foto itu memperlihatkan seorang pria—seorang pria yang sangat familiar di mata Aura. Itu adalah Dimas Santoso.
"Apa ini?" tanya Aura, menunjukkan foto itu kepada Ari.
Ari terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Luna pasti sudah hampir mengungkapkan semuanya sebelum dia menghilang. Dimas tahu ini, dan itu kenapa dia berusaha menghapus semua bukti yang ada."
Aura menggenggam dokumen itu dengan tangan yang gemetar. "Kita sudah terlalu dekat, kan? Tapi... bagaimana kita tahu kalau kita nggak akan hilang seperti Luna?"
Ari menatapnya, lalu berkata dengan suara yang lebih serius dari sebelumnya. "Karena kita nggak akan berhenti. Kita harus melangkah lebih jauh, bahkan jika itu berarti melawan kekuatan yang lebih besar dari apa yang kita bayangkan."
Dengan penuh tekad, mereka berdua melangkah keluar dari ruang arsip itu, membawa petunjuk-petunjuk baru yang dapat membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang tersembunyi—dan semakin dekat pada bahaya yang mengancam mereka.
Aura merasakan setiap langkah mereka terasa semakin berat. Setiap detik yang berlalu seolah mempersempit ruang gerak mereka. Petunjuk yang mereka temukan di arsip itu jelas—mereka semakin dekat dengan sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang bisa mengguncang dunia yang selama ini mereka kenal. Tetapi semakin dalam mereka menggali, semakin banyak penghalang yang muncul. Dan di balik setiap sudut, ada ancaman yang siap menunggu.
Mereka berjalan cepat, keluar dari gedung, dengan langkah yang semakin mantap, namun Aura tak bisa menghilangkan rasa cemas yang mulai merayap. Dimas Santoso, orang yang selama ini tampaknya tak tersentuh oleh hukum dan tak terjangkau oleh siapapun, kini menjadi pusat dari semua teka-teki ini. Setiap petunjuk baru yang mereka temukan semakin mengarah padanya.
“Ari…” Aura berkata, suaranya tegang. “Kalau kita terus melangkah seperti ini, kita bisa saja terjebak. Dimas punya banyak pengaruh, dia bisa menghancurkan kita.”
Ari berhenti sejenak di depan mobilnya, menatap Aura dengan tatapan yang penuh keyakinan. “Aku tahu risikonya, Aura. Tapi kita nggak bisa mundur sekarang. Ini bukan hanya soal Luna. Ini tentang keadilan yang harus ditemukan. Kita berdua sudah terlalu jauh untuk berhenti.”
Aura menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kacau. “Tapi kita nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku merasa kita sedang berjalan di atas garis tipis antara hidup dan mati.”
Ari menarik napas dalam, matanya berkilau dengan ketegasan. “Kita harus memikirkan langkah berikutnya. Dimas punya banyak orang yang siap melindunginya, tapi kita juga punya bukti yang bisa meruntuhkan semuanya. Kita hanya perlu menemukannya sebelum mereka menghentikan kita.”
Aura mengangguk pelan, walaupun rasa takutnya tak bisa disembunyikan. “Apa yang kita lakukan sekarang?”
Ari membuka pintu mobil dan masuk, diikuti oleh Aura. “Kita pergi ke tempat yang bisa memberikan kita lebih banyak petunjuk. Aku tahu seseorang yang bisa membantu kita. Seorang sumber yang sudah lama bekerja dengan Luna. Dia berada di luar kota, tapi kita harus segera menemui dia.”
Di dalam mobil, suasana terasa semakin sunyi. Aura merenung, mencoba memproses semuanya. Semua informasi yang mereka dapatkan begitu banyak, dan meskipun mereka semakin dekat dengan kebenaran, ia merasa semakin terjebak dalam situasi yang tak bisa mereka kendalikan.
Ari menghidupkan mesin mobil, dan mereka mulai bergerak menjauh dari kota yang semakin gelap. Di luar jendela mobil, lampu-lampu kota mulai memudar, digantikan oleh jalanan yang sepi dan kabut tipis yang perlahan menutupi pandangan mereka.
Aura berpaling ke Ari. “Apa yang akan kita lakukan jika kita menemui orang itu? Apa yang kita harapkan akan kita temukan?”
Ari menghela napas panjang. “Kita akan mendapatkan informasi lebih dalam tentang apa yang benar-benar terjadi dengan Luna. Dan jika dia masih hidup, dia pasti akan memberi kita petunjuk yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini.”
Di tengah perjalanan yang terasa panjang, Ari tiba-tiba menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Aura menoleh ke arah Ari dengan bingung. “Kenapa berhenti?”
Ari melihat ke luar jendela, matanya menyapu area sekitar dengan penuh perhatian. “Aku merasa kita sedang diawasi.”
Aura merasakan ketegangan di udara, matanya langsung mencari-cari ke segala arah. “Dari mana kamu tahu?”
Ari mengangkat bahu, kemudian membuka pintu mobil dengan hati-hati. “Aku tidak tahu, tapi sesuatu di sini terasa tidak benar. Kita perlu lebih berhati-hati.”
Aura mengikuti Ari keluar dari mobil, merasa dunia seakan semakin sempit di sekitar mereka. Di tengah malam yang sunyi, mereka berdiri di pinggir jalan, menunggu sesuatu yang tak mereka tahu pasti.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari mereka. Aura merasakan jantungnya berdebar semakin cepat. Ari menoleh ke arah Aura, memberikan isyarat untuk tetap tenang. Mobil itu berhenti, dan seorang pria bertubuh tegap keluar, mengenakan jas hitam dan kacamata gelap meskipun sudah larut malam.
“Ari, kita tidak punya waktu untuk bermain-main,” kata pria itu dengan suara rendah yang menggema di udara malam.
Ari melangkah maju, matanya tetap tajam. “Apa yang kamu inginkan?”
Pria itu tersenyum tipis. “Sama seperti kalian. Saya ingin tahu kebenaran. Tapi saya juga tahu bahwa ada orang-orang yang lebih kuat dari kita yang tidak ingin kebenaran itu terungkap.”
Aura merasa tubuhnya tegang, namun ia berusaha untuk tetap tenang. “Siapa kamu?”
Pria itu tetap diam sejenak, lalu menjawab, “Saya adalah orang yang bisa membantu kalian menemukan Luna. Tapi kalian harus tahu bahwa perjalanan ini tak akan mudah. Bahkan, bisa jadi lebih berbahaya dari yang kalian bayangkan.”
Ari melirik Aura sejenak, dan akhirnya mengangguk. “Kami siap.”
Pria itu memberikan sebuah senyuman misterius dan mengangguk. “Kalian harus siap menghadapi kenyataan yang tak terduga. Sekarang ikuti saya.”
Dengan perasaan campur aduk—antara harapan dan ketakutan—Aura mengikuti Ari dan pria itu menuju jalan yang tak pasti, dengan langkah yang semakin penuh ketegangan.
Pria misterius itu memimpin mereka menuju sebuah bangunan tua yang terletak di ujung kota, jauh dari keramaian. Lingkungannya gelap, dan udara terasa dingin seolah menyelimuti setiap langkah mereka. Aura tak bisa menahan rasa cemas yang terus berkembang di dalam dadanya. Ia merasa mereka semakin terperangkap dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
Mereka berjalan melewati lorong-lorong sempit dan berliku, hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan berbagai dokumen dan file. Di meja kayu tua di tengah ruangan, terlihat sebuah komputer tua yang terlihat sudah tidak terpakai lagi. Tidak ada yang mencolok, hanya atmosfer penuh rahasia yang terasa begitu kuat di sana.
“Ini tempat yang aman untuk berbicara,” kata pria itu, mengarahkan mereka duduk di kursi di sekitar meja. Wajahnya tetap misterius, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aura merasa bahwa ia adalah seseorang yang memiliki banyak informasi.
Ari duduk dengan tenang, sementara Aura merasakan kepalanya berputar. “Jadi, apa yang kamu ketahui tentang Luna?” tanya Ari langsung, matanya tajam menatap pria itu.
Pria itu menghela napas, menatap mereka bergantian sebelum akhirnya berkata, “Luna Putri bukan hanya seorang wartawan biasa. Dia tahu banyak hal yang bisa menghancurkan orang-orang berkuasa. Dia punya informasi yang sangat berbahaya—terutama tentang Dimas Santoso.”
Aura menyilangkan tangan, memiringkan kepala. “Kenapa dia bisa tahu itu? Apa yang membuat dia begitu penting?”
Pria itu tersenyum samar. “Luna selalu ingin mengungkapkan kebenaran. Dia bekerja untuk mengungkap sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kalian kira. Dan kalian sudah menginjakkan kaki di dunia yang sangat berbahaya.”
Ari tetap tenang, tidak terpengaruh oleh kata-kata pria itu. “Kami sudah siap menghadapi apapun. Tapi kami perlu tahu apa yang Luna temukan.”
Pria itu mengangguk, lalu membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal. “Ini adalah salinan dari beberapa dokumen penting yang dia temukan. Tetapi hati-hati—kalian sudah berada di jalur yang sangat berbahaya. Ada orang-orang yang siap melakukan apapun untuk menghentikan kalian.”
Ari menerima amplop itu dan membuka isinya. Di dalamnya ada beberapa halaman yang tampaknya berisi dokumen-dokumen resmi, termasuk laporan-laporan investigasi, foto-foto, dan bahkan rekaman audio yang tampaknya sangat mencurigakan. Salah satu foto yang paling mencolok adalah gambar Dimas Santoso berdiri dengan beberapa orang berpakaian resmi—pada sebuah acara yang tampaknya mencurigakan.
“Ini…” Aura terkejut. “Ini dia, kan? Bukti yang kami butuhkan.”
Pria itu mengangguk. “Ya, tapi ingat—jika kalian memutuskan untuk mengungkapkan ini, kalian akan melawan lebih dari sekadar Dimas. Ada jaringan yang jauh lebih besar yang terlibat. Dimas hanyalah bagian kecil dari kekuatan yang lebih besar.”
Ari menatap foto itu lebih dalam, menyadari bahwa apa yang mereka hadapi lebih rumit daripada yang mereka bayangkan. “Kami tidak punya pilihan. Kami harus melanjutkan ini.”
Pria itu berdiri dan membuka pintu, memberi isyarat kepada mereka untuk mengikuti. “Kalian sudah tahu jalan ini penuh risiko. Tapi jangan berharap kalian akan mendapat bantuan dari siapa pun. Semakin kalian mencari kebenaran, semakin berbahaya perjalanan kalian. Kalian telah masuk ke dalam perangkap yang lebih besar daripada yang kalian bayangkan.”
Aura merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. “Lalu, apa yang harus kami lakukan sekarang?”
Pria itu berbalik dan memberikan senyuman tipis. “Kalian harus bertindak cepat. Tidak ada waktu untuk berpikir terlalu lama. Kalian harus menyusun rencana, dan segera mencari lebih banyak bukti sebelum mereka mengetahui apa yang kalian temukan.”
Dengan itu, pria itu menghilang ke dalam bayang-bayang, meninggalkan mereka berdua di ruangan yang terasa semakin sempit dan penuh ketegangan.
Ari menatap amplop di tangannya, merasa tekanan semakin besar di dadanya. “Kita harus segera mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini,” kata Ari dengan suara yang penuh tekad.
Aura mengangguk, meskipun hatinya merasa lebih berat dari sebelumnya. “Aku tahu, tapi ini bukan hanya tentang kita lagi, kan? Ini tentang Luna… dan banyak orang yang sudah terjebak dalam permainan ini.”
Ari menatapnya dengan tajam. “Betul. Kita harus mengungkap semuanya—sebelum semuanya terlambat.”
Dengan langkah mantap, mereka berjalan keluar dari ruangan itu, siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Di luar, malam semakin larut, namun perjalanan mereka baru saja dimulai.
Bab 4 mengakhiri ketegangan di bab ini dan membuka pintu bagi ancaman yang lebih besar di bab berikutnya. Kebenaran semakin dekat, namun begitu juga bahaya yang akan mereka hadapi. Bagaimana menurutmu? Apakah sudah cukup menegangkan dan penuh misteri untuk melanjutkan cerita ke bab berikutnya?
Muhammad Ari Pratomo, yang dikenal juga dengan nama pena MuhammadAriLaw, adalah seorang pengacara, penulis, musisi, dan podcaster yang sangat berdedikasi dalam menciptakan karya-karya yang mendalam dan menggugah. Lahir di Indonesia, Ari dikenal tidak hanya di dunia hukum, tetapi juga di kalangan masyarakat luas sebagai sosok yang aktif menyuarakan keadilan dan kebenaran melalui berbagai platform, baik digital maupun langsung.Sebagai seorang pengacara, Ari memiliki tekad untuk membuat hukum lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum dan lebih terjangkau. Dia juga terkenal karena perannya dalam memberikan edukasi hukum melalui media sosial dan podcast, menjangkau audiens yang lebih luas dengan tujuan untuk memberdayakan mereka agar memahami hak-hak mereka. Dalam dunia hukum, Ari dikenal karena pendiriannya yang teguh dalam memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.Namun, Ari tidak hanya berhenti pada dunia hukum. Sebagai penulis, dia memanfaatkan kemampuannya untuk menyent
Beberapa bulan setelah pengungkapan besar yang mengguncang dunia, hidup Ari dan Aura tidak pernah kembali sama. Mereka berdua kini menjadi simbol bagi banyak orang yang menginginkan keadilan, walaupun dunia mereka tetap penuh dengan ketegangan.Ari kini tidak hanya dikenal sebagai pengacara yang berani, tetapi juga sebagai seorang pembela kebenaran yang tak pernah takut menghadapi kekuatan besar. Nama keluarga Nusa, yang dulu tak tersentuh, kini sudah tercoreng. Bukti yang mereka ungkapkan telah mengguncang pemerintahan, merubah banyak aturan, dan membuat banyak tokoh politik yang terlibat di dalamnya harus menghadapi hukum.Namun, kebenaran itu datang dengan harga yang mahal.Ari masih teringat jelas malam itu, ketika mereka pertama kali memutuskan untuk membuka folder berisi kebenaran yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ketika semua terungkap, ketika mereka merasa seolah dunia telah berakhir, namun justru mereka menyadari bahwa mereka hanya berada di awal perjalanan yang le
Ari dan Aura duduk di mobil, mata mereka terpaku pada folder tebal yang tergeletak di antara mereka. Malam yang sebelumnya terasa gelap dan sunyi kini berubah menjadi lebih menekan, seolah-olah dunia di luar mobil turut mempersiapkan diri untuk apa yang akan mereka hadapi. Setiap detik yang berlalu seolah membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang semakin kompleks.“Jadi, ini dia…” Aura berkata dengan suara gemetar, jarinya bermain dengan ujung folder itu, ragu-ragu untuk membukanya. “Kebenaran yang kita cari. Tapi, apakah kita siap untuk apa yang ada di dalamnya?”Ari menatap Aura, wajahnya serius namun penuh ketegasan. “Kita sudah terlalu jauh, Aura. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang kebenaran yang harus diketahui, meskipun itu berbahaya.”Ari menggenggam kemudi dengan erat, seolah mencari kekuatan dalam gerakan kecil itu. Mereka sudah menyaksikan kejahatan yang mengakar kuat dalam sistem, dan kini, mereka harus berhadapan dengan sisi gelap yang lebih dalam. Keben
Ari dan Aura melaju melewati jalanan yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kota yang redup. Waktu sudah larut malam, namun suasana hati mereka jauh dari tenang. Ketegangan yang mereka rasakan semakin menyelimuti, seolah ada sesuatu yang besar menunggu mereka di depan. Setiap detik berlalu semakin mempercepat langkah mereka menuju takdir yang tak bisa dihindari.“Ari…” suara Aura terdengar ragu. “Apakah kamu benar-benar yakin kita bisa menghadapinya? Semua ini sudah terlalu besar. Aku merasa seperti kita berjalan menuju jurang.”Ari menatap lurus ke depan, meskipun hatinya juga dipenuhi keraguan. Semua bukti yang mereka temukan hanya membuka lebih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Setiap petunjuk yang mereka gali semakin menunjukkan adanya permainan yang jauh lebih besar dari yang mereka duga. Nama-nama yang mereka temui dalam dokumen itu bukan hanya orang biasa, tetapi pemain penting di dunia ini—orang yang tak segan-segan untuk menghancurkan siapapun yang menghalangi jalan mere
Langit masih gelap saat Ari dan Aura melaju menembus malam yang sepi, menuju tempat yang mereka yakini bisa memberi mereka jawaban yang lebih jelas. Mobil hitam yang mereka naiki terasa seperti menjadi penghalang antara dunia yang mereka kenal dan dunia yang penuh dengan intrik serta bahaya yang semakin mendalam. Tak ada kata yang terucap di antara mereka; masing-masing terperangkap dalam pemikiran mereka sendiri, merenungkan langkah yang akan mereka ambil berikutnya.Ari memegang kuat amplop coklat yang berisi informasi yang baru saja mereka peroleh. Setiap halaman di dalamnya seolah menggugah perasaan yang bertentangan—antara harapan dan ketakutan. Bukti-bukti itu terlalu kuat untuk diabaikan, namun mereka tahu bahwa semakin mereka menggali, semakin mereka terjebak dalam jaringan besar yang melibatkan banyak orang yang berkuasa.“Ari,” suara Aura pecah dalam keheningan mobil. “Apa yang kita lakukan setelah ini? Apa kita benar-benar siap untuk menghadapi mereka?”Ari menatap jalan ya
Pagi itu, Aura dan Ari berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang terletak di salah satu sudut kota. Di balik dinding beton yang dingin dan pintu kaca berlapis, ada dunia yang tak pernah mereka bayangkan—dunia yang terhubung dengan orang-orang berkuasa, yang tak ragu untuk menghapus jejak siapa saja yang menghalangi mereka."Apa kita benar-benar harus masuk ke sini?" tanya Aura, suara penuh keraguan. Ia memandang gedung dengan pandangan penuh tanda tanya. Gedung itu tampak biasa saja di luar, tetapi Aura merasakan ada sesuatu yang gelap di dalamnya.Ari menatapnya dengan serius. "Ini adalah tempat pertama yang harus kita tuju. Luna Putri bekerja di sini dulu—di ruang redaksi sebuah media besar yang sering mengungkapkan kasus-kasus gelap yang melibatkan Dimas."Aura menggigit bibirnya, menatap Ari dengan campuran ketegangan dan kecemasan. "Tapi ini bukan hanya tentang Luna, kan? Kita sedang melibatkan diri dalam hal yang lebih besar."Ari mengangguk pelan. "Betul. Tapi kita nggak punya
Pagi itu, hujan yang semalam turun terus membasahi kota. Udara yang dingin dan lembab terasa menusuk ke kulit, membuat Aura merapatkan jaket hitamnya. Ia berjalan cepat menyusuri jalanan kota, matanya tertuju pada layar ponsel yang menunjukkan pesan dari Ari."Temui aku di kafe dekat kampus. Aku punya informasi yang mungkin bisa membantu kita."Aura merasa ketegangan merayap di tubuhnya. Informasi? Apa yang bisa Ari temukan? Seberapa dalam ia terlibat dalam permainan ini?Setelah beberapa menit berjalan, Aura akhirnya tiba di kafe yang dimaksud. Sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan dengan jendela besar yang menghadap ke taman kampus. Di dalam, suasananya lebih hangat, dengan aroma kopi yang menyenangkan mengisi udara. Ia melihat Ari duduk di meja pojok, menatap layar laptop dengan ekspresi serius.Ari mengangkat pandangannya ketika Aura mendekat, memberikan senyuman tipis yang terasa tidak sepenuhnya tulus. "Kamu datang juga," katanya, suara rendah namun penuh arti."Ada apa
Aura berdiri di depan pintu perpustakaan sekolah dengan rasa cemas yang tak bisa ia bendung. Hujan yang reda tadi siang kini berganti dengan udara yang sejuk, dan suara langkah kaki pelan terdengar di lorong sepi. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya.Ini hanya sebuah percakapan biasa, pikirnya, meskipun jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Ia memasuki perpustakaan dengan langkah mantap, mencari sosok yang sudah dikabarkan akan menunggunya. Sebuah meja di sudut ruangan terlihat kosong, namun di sana, duduk seorang pemuda dengan punggung membungkuk, tampak sedang membaca sebuah buku tebal.Ari.Aura mendekat pelan, tak ingin mengganggu suasana yang sudah tercipta. Ari, yang duduk dengan tenang, mengangkat wajahnya perlahan, matanya menatap tajam. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya—sebuah keraguan samar yang tersirat di dalam tatapannya."Aura," katanya dengan suara rendah, namun cukup jelas, "Kamu datang juga."Aura hanya mengangguk, mencoba u
Hujan tak henti mengguyur Jakarta siang itu, menggambarkan kegelisahan yang menyelimuti Aura Ramadhani. Di ruang OSIS yang biasa sunyi, layar laptopnya menampilkan dokumen yang baru saja ia buka. "Cyberbullying di Kalangan Pelajar dan Perlindungan Hukum Berdasarkan UU ITE"—sebuah topik yang sudah cukup membuatnya tertarik untuk menulis esai hukum. Hukum adalah dunia yang mengalir dalam darahnya. Ayahnya seorang pengacara terkenal, dan sejak kecil, Aura dibesarkan dengan prinsip: keadilan harus dipertahankan, apapun harganya.Namun hari ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bukan soal esainya, tapi perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia kendalikan."Ara, nggak usah terlalu serius, deh. Kamu bisa jadi tua sebelum sempat jatuh cinta," celetuk Dito, sahabatnya, sembari menyodorkan secangkir cokelat panas.Aura menatapnya tanpa sepatah kata, hanya mengangkat alis. Dito memang selalu memiliki cara untuk mencairkan suasana, meski kadang komentarnya tidak tep