Ari dan Aura melaju melewati jalanan yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kota yang redup. Waktu sudah larut malam, namun suasana hati mereka jauh dari tenang. Ketegangan yang mereka rasakan semakin menyelimuti, seolah ada sesuatu yang besar menunggu mereka di depan. Setiap detik berlalu semakin mempercepat langkah mereka menuju takdir yang tak bisa dihindari.
“Ari…” suara Aura terdengar ragu. “Apakah kamu benar-benar yakin kita bisa menghadapinya? Semua ini sudah terlalu besar. Aku merasa seperti kita berjalan menuju jurang.”
Ari menatap lurus ke depan, meskipun hatinya juga dipenuhi keraguan. Semua bukti yang mereka temukan hanya membuka lebih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Setiap petunjuk yang mereka gali semakin menunjukkan adanya permainan yang jauh lebih besar dari yang mereka duga. Nama-nama yang mereka temui dalam dokumen itu bukan hanya orang biasa, tetapi pemain penting di dunia ini—orang yang tak segan-segan untuk menghancurkan siapapun yang menghalangi jalan mereka.
“Aura, kita sudah sampai sejauh ini. Sudah terlalu banyak yang kita ketahui untuk mundur sekarang,” jawab Ari dengan suara yang sedikit lebih tegas. “Kita harus terus maju. Kita punya bukti yang bisa mengungkap semuanya.”
Aura menghela napas panjang. “Tapi jika kita melangkah lebih jauh, apakah kita akan aman? Apa kita akan bisa menghadapinya sendiri?”
Ari berdiam sejenak, berpikir keras. “Aku tahu kita tidak bisa sendirian dalam ini. Kita butuh lebih banyak dukungan. Tapi kita harus pintar memilih siapa yang bisa kita percayai.”
Aura menunduk, lalu menatap ke luar jendela, matanya penuh dengan kebingungan. “Dan jika mereka malah mengkhianati kita?”
Ari menatap ke arah Aura, lalu menggenggam setir dengan lebih erat. “Kalau kita takut akan kemungkinan terburuk, kita tidak akan pernah bisa mengungkap kebenaran. Kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.”
Mereka berdua terdiam sejenak, merenung tentang apa yang telah mereka temui sejauh ini. Keputusan yang mereka ambil akan menentukan arah hidup mereka selanjutnya. Mereka tahu bahwa mengungkap kebenaran ini bukanlah hal yang mudah, dan risiko yang mereka hadapi semakin besar setiap harinya.
Setelah beberapa saat, mereka sampai di sebuah rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota. Rumah ini milik seorang mantan kolega Ari yang pernah bekerja di dunia hukum, seorang yang kini hidup jauh dari sorotan publik. Sumber informasi yang satu ini tidak hanya penting, tapi juga berisiko. Namun, Ari merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk mencari bantuan.
Mereka keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Aura menatap Ari dengan pandangan yang sedikit ragu. “Apakah ini aman? Apa dia bisa dipercaya?”
Ari mengangguk, meskipun dia tahu bahwa kepercayaan ini datang dengan harga yang mahal. “Dia satu-satunya orang yang bisa memberi kita jawaban lebih dalam. Kita tidak punya pilihan lain.”
Ketika mereka sampai di depan pintu, Ari mengetuk dengan pelan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seorang pria paruh baya dengan wajah yang lebih keras dari yang mereka ingat muncul di hadapan mereka.
“Ini kalian, ya?” pria itu berkata dengan suara berat. “Aku sudah tahu kalian akan datang. Masuklah.”
Mereka masuk ke dalam rumah yang sederhana itu, namun suasana di dalamnya terasa berat. Pria ini, yang dulu merupakan bagian dari dunia hukum yang sangat berbeda, kini tinggal jauh dari keramaian kota, mungkin untuk menyembunyikan dirinya dari orang-orang yang ingin menutup mulutnya.
Ari memandang sekeliling, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang ada di balik kehidupan pria ini sekarang. Tentu saja, dia tidak bisa hanya percaya pada kata-kata. Tapi jika ada seseorang yang tahu lebih banyak, itu adalah pria ini.
“Sudah lama sekali sejak kita terakhir bertemu,” kata pria itu, mengarahkan mereka ke ruang tamu yang sederhana. “Kau pasti punya banyak pertanyaan, Ari.”
Ari duduk di kursi yang disediakan, dan Aura duduk di sebelahnya. “Kita menemukan sesuatu yang besar, dan kami butuh bantuanmu untuk memahaminya,” jawab Ari, langsung pada intinya. “Ada lebih banyak hal yang terjadi daripada yang kami duga. Kami butuh informasi lebih lanjut.”
Pria itu mengangguk, kemudian menghela napas panjang. “Aku tahu kalian akan datang padaku suatu hari nanti. Semua yang kalian temukan itu benar, tapi kalian harus berhati-hati. Ada lebih banyak yang sedang dipertaruhkan di sini daripada yang kalian pikirkan.”
Aura merasa ketegangan di udara, namun dia menahan diri untuk tidak bertanya lebih banyak. Semuanya sudah terlalu rumit. Mereka hanya bisa berharap pria ini punya jawaban yang mereka cari.
“Kami siap untuk apa pun yang ada,” Ari berkata dengan penuh tekad. “Kita harus mengungkap semua ini, apa pun harganya.”
Pria itu menatap mereka berdua dengan serius. “Kalian tidak tahu seberapa dalam kalian terjebak dalam permainan ini. Tapi kalau kalian benar-benar ingin tahu kebenaran, kalian harus siap untuk menerima konsekuensinya.”
Pria paruh baya itu duduk di seberang mereka, wajahnya dipenuhi kerutan, matanya tajam meneliti setiap kata yang keluar dari mulut Ari. Rumahnya yang sederhana seakan menjadi tempat perlindungan yang penuh dengan misteri, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota, namun suasana di dalamnya terasa menekan. Setiap detik yang berlalu semakin menambah tekanan yang mereka rasakan.
“Ari, Aura…” Pria itu mulai berbicara, suaranya dalam dan tegas. “Aku tahu apa yang kalian temukan. Dan aku juga tahu bahwa kalian sudah terlalu jauh terlibat. Tapi ada satu hal yang harus kalian pahami, sebelum kita melangkah lebih jauh: Kebenaran yang kalian cari, itu bukan hanya sekadar fakta yang harus diungkap. Itu akan mengguncang dunia yang kalian kenal.”
Ari mengatur napasnya, menahan diri agar tidak terburu-buru. Setiap kata pria ini terdengar semakin berat, dan Ari bisa merasakan betapa dalamnya lubang yang akan mereka masuki.
“Kami siap,” jawab Ari, matanya penuh dengan tekad yang tak goyah. “Kami sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur.”
Aura mengangguk, meskipun raut wajahnya penuh dengan keraguan. “Tapi apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang kami hadapi?”
Pria itu menatap mereka sejenak, seolah mengukur seberapa siap mereka untuk menerima apa yang akan datang. “Kalian akan menghadapi lebih dari sekadar lawan. Ini bukan sekadar tentang mengungkapkan korupsi atau kejahatan yang kalian temui. Ini tentang sebuah jaringan yang sudah dibangun selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Apa yang kalian cari bukan hanya sekadar bukti, tapi juga kebenaran yang lebih besar, yang jika terbongkar, akan mengguncang fondasi negara ini.”
Ari dan Aura saling berpandangan, terkejut dengan kata-kata pria itu. Mereka sudah menduga bahwa situasinya lebih rumit dari yang mereka bayangkan, tapi kalimat-kalimat ini mengungkapkan kenyataan yang jauh lebih menakutkan.
“Jadi, apa yang harus kami lakukan?” tanya Ari dengan nada yang lebih serius. “Apa langkah selanjutnya?”
Pria itu menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah map besar yang sudah terlihat usang. Dia membuka map itu di hadapan mereka, menunjukkan tumpukan dokumen yang sudah mulai menguning. “Ini adalah bagian dari jaringan yang kalian hadapi. Di sini, ada lebih banyak nama, lebih banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan orang-orang besar. Ini bukan hanya tentang Dimas atau orang-orang yang kalian temui. Ini tentang sebuah kekuatan yang lebih besar, yang telah mengendalikan banyak hal di luar kendali kita.”
Ari mengambil beberapa lembar dokumen dari map tersebut, matanya membaca cepat setiap baris yang tertulis. Ada nama-nama yang tidak asing baginya, beberapa di antaranya adalah tokoh-tokoh berpengaruh di dunia politik dan bisnis. Namun, ada juga nama-nama yang belum pernah ia dengar, yang tampaknya terhubung dengan orang-orang yang berada jauh di balik layar.
“Jadi, apa yang kami harus lakukan dengan semua ini?” tanya Aura, suaranya sedikit gemetar. “Apakah kami harus membongkar semuanya?”
Pria itu mengangguk pelan. “Itu pilihan kalian, tapi jika kalian memutuskan untuk melanjutkan, kalian harus siap dengan konsekuensinya. Tidak hanya hidup kalian yang terancam, tapi juga orang-orang di sekitar kalian. Banyak orang akan berusaha menghentikan kalian, dan tidak semua orang yang kalian anggap sebagai teman benar-benar bisa dipercaya.”
Ari menatap pria itu dengan tegas. “Kami sudah sampai sejauh ini. Kami tidak bisa mundur. Apa yang harus kami lakukan untuk memulai?”
Pria itu menghela napas panjang, lalu menatap Ari dengan tatapan serius. “Kalian perlu bertemu dengan seseorang yang lebih tahu tentang jalur ini. Tapi hati-hati, karena pertemuan ini akan membuka jalan baru yang tak bisa kalian kembali setelah melangkah. Orang ini memiliki informasi yang lebih dalam, dan hanya dia yang bisa memberi kalian peta untuk menavigasi dunia ini. Namun, kalian harus siap menghadapi siapa pun yang menghalangi kalian.”
Aura dan Ari saling pandang. Mereka tahu bahwa keputusan ini bisa menjadi titik balik dalam perjalanan mereka. Jika mereka melangkah lebih jauh, mereka tidak hanya akan mengungkapkan kebenaran, tetapi juga menjadi bagian dari permainan yang sangat berbahaya. Mereka sudah berada di titik yang tidak bisa kembali.
“Siapa orang itu?” tanya Ari, matanya semakin tajam.
Pria itu menatap mereka lama, lalu menjawab, “Namanya Rani. Dia seorang mantan anggota tim yang pernah bekerja dengan Dimas. Tetapi dia juga orang yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Kalian harus mencari dia, tetapi jangan pernah memberi tahu siapa pun tentang pertemuan ini.”
Ari dan Aura menyadari bahwa mereka telah memasuki dunia yang sangat berbahaya. Setiap langkah mereka akan membawa mereka lebih dekat kepada kebenaran yang tak hanya akan mengubah hidup mereka, tetapi juga bisa mengguncang seluruh sistem yang ada.
Pria itu menatap mereka sekali lagi, seolah memberi peringatan terakhir. “Ingat, kebenaran ini akan memecah segala sesuatu yang kalian kenal. Kalian sudah masuk ke dalam permainan yang lebih besar. Berhati-hatilah.”
Dengan itu, pria itu berdiri, menuntun mereka keluar dari rumahnya. Aura masih merasa tidak yakin, tapi Ari tahu bahwa mereka sudah tidak bisa mundur lagi.
Saat mereka berjalan kembali menuju mobil, Ari berbicara dengan suara rendah, “Kita harus segera bertemu dengan Rani.”
Aura mengangguk, meskipun ada keraguan di matanya. “Tapi, apakah kita siap? Semua ini terasa seperti terlalu banyak.”
Ari menatapnya, suara penuh tekad. “Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus melakukannya.”
Dengan langkah yang mantap, mereka berdua melaju menuju tujuan berikutnya. Namun, mereka tahu bahwa jalan yang akan mereka tempuh semakin berbahaya, dan kebenaran yang mereka cari mungkin jauh lebih gelap daripada yang mereka duga.
Malam semakin larut, dan mobil Ari melaju dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan yang sudah sepi, menyusuri jalanan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang redup. Suasana di dalam mobil terasa semakin tegang. Aura duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari jalan yang terbentang di depan mereka. Meski berusaha tenang, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Mereka semakin dekat dengan seseorang yang bisa memberikan informasi penting, namun juga semakin jauh dari jalan yang aman.
“Ari, apakah kita benar-benar tahu siapa Rani itu?” tanya Aura, suaranya terdengar penuh keraguan.
Ari menatap lurus ke depan, matanya berfokus pada jalan. “Kita tidak tahu sepenuhnya, Aura. Tapi jika kita ingin tahu lebih banyak, kita harus bertemu dengannya. Tidak ada pilihan lain.”
Aura terdiam, matanya masih penuh pertanyaan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini bukan tanpa risiko. Mereka sudah terlibat dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari apa yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka menuju kebenaran seakan membawa mereka lebih dekat ke bahaya.
Setelah beberapa menit, mobil mereka akhirnya berhenti di sebuah jalan kecil yang terpencil. Di ujung jalan, terdapat sebuah bangunan tua yang tampak hampir terlupakan, tersembunyi di balik pepohonan yang lebat. Rani, seperti yang dikatakan pria paruh baya itu, sudah menunggu mereka di sana.
Mereka keluar dari mobil, dan Aura menggigil saat udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Ari menyadari ketegangan di antara mereka berdua. Meskipun mereka tidak tahu sepenuhnya apa yang akan mereka hadapi, mereka tahu bahwa mereka sudah terlalu jauh untuk mundur.
Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati pintu bangunan tua itu. Ari mengetuk pintu dengan pelan, dan beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar di dalam, disusul dengan pintu yang terbuka sedikit.
Seorang wanita, berusia sekitar tiga puluh tahun, berdiri di balik pintu dengan pandangan yang tajam. Rambutnya hitam legam, mengenakan pakaian sederhana, namun sikapnya menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang mudah dipandang remeh. Rani, seperti yang mereka duga, tampak sangat berbeda dari apa yang mereka bayangkan.
“Masuk,” katanya dengan suara datar, memberi isyarat agar mereka masuk.
Ari dan Aura melangkah masuk, dan Rani menutup pintu dengan pelan. Di dalam ruangan yang sederhana itu, ada beberapa buku yang tersusun rapi di meja, serta sebuah komputer yang tampaknya sering digunakan untuk mencari informasi. Ada beberapa foto yang tergantung di dinding, beberapa di antaranya menunjukkan orang-orang yang pernah bekerja bersama Dimas.
“Kalian datang jauh-jauh untuk menemui saya,” kata Rani dengan nada yang tak terbaca. “Ada apa yang ingin kalian ketahui?”
Ari dan Aura saling pandang. Semua yang mereka temui selama ini membawa mereka ke titik ini. Mereka harus mendapatkan jawaban yang jelas, dan mereka tahu Rani adalah kunci untuk itu.
“Kami ingin tahu lebih banyak tentang Dimas dan siapa yang terlibat dalam jaringan ini,” kata Ari dengan suara yang penuh tekad. “Kami sudah menemukan beberapa nama, tapi kami butuh lebih banyak informasi.”
Rani mengangguk pelan, matanya menatap mereka dengan tajam. “Kalian sudah tahu banyak lebih dari yang seharusnya kalian tahu,” jawabnya, suara Rani semakin dalam. “Tapi kalian juga harus sadar. Ini bukan hanya tentang Dimas. Ini jauh lebih besar.”
Aura menegakkan tubuhnya, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Apa maksudmu? Apa yang lebih besar dari ini?”
Rani tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan. “Ini tentang kekuatan yang sudah mengendalikan banyak hal jauh sebelum kalian terlibat. Dimas hanyalah bagian kecil dari puzzle ini. Tapi jika kalian ingin tahu lebih banyak, kalian harus siap untuk menanggung apa yang akan datang.”
Ari menatap Rani dengan serius. “Kami siap.”
“Baik,” Rani berkata, sambil berdiri dan membuka laci meja di depannya. Ia mengeluarkan sebuah folder tebal berisi berbagai dokumen, beberapa di antaranya tertutup rapat dengan segel. “Ini adalah informasi yang kalian cari. Tapi ingat, apa yang ada di sini bisa menghancurkan segalanya yang kalian kenal. Jika kalian membuka ini, kalian akan terlibat dalam permainan yang tidak ada jalan keluarnya.”
Ari mengambil folder itu dengan hati-hati, merasakannya terasa berat di tangannya. “Kami tidak bisa mundur lagi.”
Rani memandang mereka satu per satu, kemudian berkata, “Jika kalian ingin mengungkapkan kebenaran, kalian harus siap menghadapi lebih banyak pengkhianatan. Tidak semua yang kalian percayai bisa kalian andalkan. Jangan terlalu bergantung pada siapa pun.”
Mereka bertiga terdiam sejenak. Saat itu, Ari dan Aura tahu bahwa mereka baru saja membuka pintu menuju kebenaran yang jauh lebih gelap daripada yang mereka duga. Mereka telah melangkah terlalu jauh, dan tidak ada jalan kembali.
Dengan folder itu di tangan, mereka meninggalkan bangunan tua itu dan kembali ke mobil. Aura duduk dengan wajah serius, matanya penuh dengan pertanyaan.
“Ari, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanyanya, suaranya rendah.
Ari menatap folder itu, dan dengan suara yang mantap, dia menjawab, “Kita akan membuka semuanya. Kita harus menemukan kebenaran, apapun yang harus kita hadapi.”
Mobil mereka melaju kembali, tetapi kini mereka tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Jalan yang mereka pilih akan membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan, dan mereka harus siap menghadapi konsekuensinya.
Bab 6 mengakhiri bab ini dengan keputusan penting yang harus diambil oleh Ari dan Aura. Mereka sekarang memiliki informasi yang dapat membuka kebenaran yang lebih besar, tetapi juga membuka jalan berbahaya yang akan membawa mereka lebih dekat kepada ancaman yang tak terbayangkan. Langkah mereka selanjutnya akan menentukan bagaimana mereka menghadapi kebenaran yang datang.
Muhammad Ari Pratomo, yang dikenal juga dengan nama pena MuhammadAriLaw, adalah seorang pengacara, penulis, musisi, dan podcaster yang sangat berdedikasi dalam menciptakan karya-karya yang mendalam dan menggugah. Lahir di Indonesia, Ari dikenal tidak hanya di dunia hukum, tetapi juga di kalangan masyarakat luas sebagai sosok yang aktif menyuarakan keadilan dan kebenaran melalui berbagai platform, baik digital maupun langsung.Sebagai seorang pengacara, Ari memiliki tekad untuk membuat hukum lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum dan lebih terjangkau. Dia juga terkenal karena perannya dalam memberikan edukasi hukum melalui media sosial dan podcast, menjangkau audiens yang lebih luas dengan tujuan untuk memberdayakan mereka agar memahami hak-hak mereka. Dalam dunia hukum, Ari dikenal karena pendiriannya yang teguh dalam memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.Namun, Ari tidak hanya berhenti pada dunia hukum. Sebagai penulis, dia memanfaatkan kemampuannya untuk menyent
Beberapa bulan setelah pengungkapan besar yang mengguncang dunia, hidup Ari dan Aura tidak pernah kembali sama. Mereka berdua kini menjadi simbol bagi banyak orang yang menginginkan keadilan, walaupun dunia mereka tetap penuh dengan ketegangan.Ari kini tidak hanya dikenal sebagai pengacara yang berani, tetapi juga sebagai seorang pembela kebenaran yang tak pernah takut menghadapi kekuatan besar. Nama keluarga Nusa, yang dulu tak tersentuh, kini sudah tercoreng. Bukti yang mereka ungkapkan telah mengguncang pemerintahan, merubah banyak aturan, dan membuat banyak tokoh politik yang terlibat di dalamnya harus menghadapi hukum.Namun, kebenaran itu datang dengan harga yang mahal.Ari masih teringat jelas malam itu, ketika mereka pertama kali memutuskan untuk membuka folder berisi kebenaran yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ketika semua terungkap, ketika mereka merasa seolah dunia telah berakhir, namun justru mereka menyadari bahwa mereka hanya berada di awal perjalanan yang le
Ari dan Aura duduk di mobil, mata mereka terpaku pada folder tebal yang tergeletak di antara mereka. Malam yang sebelumnya terasa gelap dan sunyi kini berubah menjadi lebih menekan, seolah-olah dunia di luar mobil turut mempersiapkan diri untuk apa yang akan mereka hadapi. Setiap detik yang berlalu seolah membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang semakin kompleks.“Jadi, ini dia…” Aura berkata dengan suara gemetar, jarinya bermain dengan ujung folder itu, ragu-ragu untuk membukanya. “Kebenaran yang kita cari. Tapi, apakah kita siap untuk apa yang ada di dalamnya?”Ari menatap Aura, wajahnya serius namun penuh ketegasan. “Kita sudah terlalu jauh, Aura. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang kebenaran yang harus diketahui, meskipun itu berbahaya.”Ari menggenggam kemudi dengan erat, seolah mencari kekuatan dalam gerakan kecil itu. Mereka sudah menyaksikan kejahatan yang mengakar kuat dalam sistem, dan kini, mereka harus berhadapan dengan sisi gelap yang lebih dalam. Keben
Ari dan Aura melaju melewati jalanan yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kota yang redup. Waktu sudah larut malam, namun suasana hati mereka jauh dari tenang. Ketegangan yang mereka rasakan semakin menyelimuti, seolah ada sesuatu yang besar menunggu mereka di depan. Setiap detik berlalu semakin mempercepat langkah mereka menuju takdir yang tak bisa dihindari.“Ari…” suara Aura terdengar ragu. “Apakah kamu benar-benar yakin kita bisa menghadapinya? Semua ini sudah terlalu besar. Aku merasa seperti kita berjalan menuju jurang.”Ari menatap lurus ke depan, meskipun hatinya juga dipenuhi keraguan. Semua bukti yang mereka temukan hanya membuka lebih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Setiap petunjuk yang mereka gali semakin menunjukkan adanya permainan yang jauh lebih besar dari yang mereka duga. Nama-nama yang mereka temui dalam dokumen itu bukan hanya orang biasa, tetapi pemain penting di dunia ini—orang yang tak segan-segan untuk menghancurkan siapapun yang menghalangi jalan mere
Langit masih gelap saat Ari dan Aura melaju menembus malam yang sepi, menuju tempat yang mereka yakini bisa memberi mereka jawaban yang lebih jelas. Mobil hitam yang mereka naiki terasa seperti menjadi penghalang antara dunia yang mereka kenal dan dunia yang penuh dengan intrik serta bahaya yang semakin mendalam. Tak ada kata yang terucap di antara mereka; masing-masing terperangkap dalam pemikiran mereka sendiri, merenungkan langkah yang akan mereka ambil berikutnya.Ari memegang kuat amplop coklat yang berisi informasi yang baru saja mereka peroleh. Setiap halaman di dalamnya seolah menggugah perasaan yang bertentangan—antara harapan dan ketakutan. Bukti-bukti itu terlalu kuat untuk diabaikan, namun mereka tahu bahwa semakin mereka menggali, semakin mereka terjebak dalam jaringan besar yang melibatkan banyak orang yang berkuasa.“Ari,” suara Aura pecah dalam keheningan mobil. “Apa yang kita lakukan setelah ini? Apa kita benar-benar siap untuk menghadapi mereka?”Ari menatap jalan ya
Pagi itu, Aura dan Ari berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang terletak di salah satu sudut kota. Di balik dinding beton yang dingin dan pintu kaca berlapis, ada dunia yang tak pernah mereka bayangkan—dunia yang terhubung dengan orang-orang berkuasa, yang tak ragu untuk menghapus jejak siapa saja yang menghalangi mereka."Apa kita benar-benar harus masuk ke sini?" tanya Aura, suara penuh keraguan. Ia memandang gedung dengan pandangan penuh tanda tanya. Gedung itu tampak biasa saja di luar, tetapi Aura merasakan ada sesuatu yang gelap di dalamnya.Ari menatapnya dengan serius. "Ini adalah tempat pertama yang harus kita tuju. Luna Putri bekerja di sini dulu—di ruang redaksi sebuah media besar yang sering mengungkapkan kasus-kasus gelap yang melibatkan Dimas."Aura menggigit bibirnya, menatap Ari dengan campuran ketegangan dan kecemasan. "Tapi ini bukan hanya tentang Luna, kan? Kita sedang melibatkan diri dalam hal yang lebih besar."Ari mengangguk pelan. "Betul. Tapi kita nggak punya
Pagi itu, hujan yang semalam turun terus membasahi kota. Udara yang dingin dan lembab terasa menusuk ke kulit, membuat Aura merapatkan jaket hitamnya. Ia berjalan cepat menyusuri jalanan kota, matanya tertuju pada layar ponsel yang menunjukkan pesan dari Ari."Temui aku di kafe dekat kampus. Aku punya informasi yang mungkin bisa membantu kita."Aura merasa ketegangan merayap di tubuhnya. Informasi? Apa yang bisa Ari temukan? Seberapa dalam ia terlibat dalam permainan ini?Setelah beberapa menit berjalan, Aura akhirnya tiba di kafe yang dimaksud. Sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan dengan jendela besar yang menghadap ke taman kampus. Di dalam, suasananya lebih hangat, dengan aroma kopi yang menyenangkan mengisi udara. Ia melihat Ari duduk di meja pojok, menatap layar laptop dengan ekspresi serius.Ari mengangkat pandangannya ketika Aura mendekat, memberikan senyuman tipis yang terasa tidak sepenuhnya tulus. "Kamu datang juga," katanya, suara rendah namun penuh arti."Ada apa
Aura berdiri di depan pintu perpustakaan sekolah dengan rasa cemas yang tak bisa ia bendung. Hujan yang reda tadi siang kini berganti dengan udara yang sejuk, dan suara langkah kaki pelan terdengar di lorong sepi. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya.Ini hanya sebuah percakapan biasa, pikirnya, meskipun jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Ia memasuki perpustakaan dengan langkah mantap, mencari sosok yang sudah dikabarkan akan menunggunya. Sebuah meja di sudut ruangan terlihat kosong, namun di sana, duduk seorang pemuda dengan punggung membungkuk, tampak sedang membaca sebuah buku tebal.Ari.Aura mendekat pelan, tak ingin mengganggu suasana yang sudah tercipta. Ari, yang duduk dengan tenang, mengangkat wajahnya perlahan, matanya menatap tajam. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya—sebuah keraguan samar yang tersirat di dalam tatapannya."Aura," katanya dengan suara rendah, namun cukup jelas, "Kamu datang juga."Aura hanya mengangguk, mencoba u
Hujan tak henti mengguyur Jakarta siang itu, menggambarkan kegelisahan yang menyelimuti Aura Ramadhani. Di ruang OSIS yang biasa sunyi, layar laptopnya menampilkan dokumen yang baru saja ia buka. "Cyberbullying di Kalangan Pelajar dan Perlindungan Hukum Berdasarkan UU ITE"—sebuah topik yang sudah cukup membuatnya tertarik untuk menulis esai hukum. Hukum adalah dunia yang mengalir dalam darahnya. Ayahnya seorang pengacara terkenal, dan sejak kecil, Aura dibesarkan dengan prinsip: keadilan harus dipertahankan, apapun harganya.Namun hari ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bukan soal esainya, tapi perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia kendalikan."Ara, nggak usah terlalu serius, deh. Kamu bisa jadi tua sebelum sempat jatuh cinta," celetuk Dito, sahabatnya, sembari menyodorkan secangkir cokelat panas.Aura menatapnya tanpa sepatah kata, hanya mengangkat alis. Dito memang selalu memiliki cara untuk mencairkan suasana, meski kadang komentarnya tidak tep