Sinopsis: Antara Pasal dan Perasaan Aura Ramadhani adalah seorang siswi SMA yang cerdas, berani, dan penuh prinsip. Dibentuk oleh dunia hukum yang diterapkan ayahnya, ia bertekad untuk memperjuangkan keadilan—terutama bagi mereka yang tak memiliki suara. Namun, hidupnya yang teratur dan penuh tujuan terguncang ketika Ari, seorang siswa pindahan yang misterius dan penuh rahasia, memasuki dunia sekolahnya. Kasus pencemaran nama baik yang melibatkan teman sekelasnya membawa Aura lebih dekat dengan Ari. Di balik topeng dinginnya, Ari menyimpan luka lama yang tak mudah disembuhkan, dan Aura mulai menyadari bahwa mencari kebenaran tak selalu sesederhana yang ia bayangkan. Dalam pencarian keadilan, ia terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia kontrol—perasaan yang berbahaya bagi seorang calon pengacara. Di tengah perdebatan hukum dan dinamika sekolah, Aura harus memilih: apakah ia akan tetap berpegang pada prinsip, atau membiarkan dirinya terseret dalam cinta yang bisa menghancurkan segalanya? Ari, dengan segala misterinya, mulai membuka hati Aura pada kenyataan bahwa cinta, seperti hukum, tak selalu bisa diprediksi—dan kadang, perasaan yang tak terungkap bisa menjadi pelanggaran terberat. Antara Pasal dan Perasaan adalah kisah tentang hukum, cinta pertama, dan menemukan kekuatan dalam ketidakpastian. Ketika pasal-pasal tak cukup memberi jawaban, apakah perasaan bisa menjadi penyelamat? Sinopsis ini akan menggugah rasa penasaran pembaca wanita, mengundang mereka untuk mencari tahu lebih jauh tentang hubungan antara Ari dan Aura, serta bagaimana kisah cinta mereka berkembang di tengah dilema hukum yang kompleks. Selain itu, sinopsis ini menekankan tema-tema utama seperti perjuangan, keadilan, dan emosi remaja.
View MoreHujan tak henti mengguyur Jakarta siang itu, menggambarkan kegelisahan yang menyelimuti Aura Ramadhani. Di ruang OSIS yang biasa sunyi, layar laptopnya menampilkan dokumen yang baru saja ia buka. "Cyberbullying di Kalangan Pelajar dan Perlindungan Hukum Berdasarkan UU ITE"—sebuah topik yang sudah cukup membuatnya tertarik untuk menulis esai hukum. Hukum adalah dunia yang mengalir dalam darahnya. Ayahnya seorang pengacara terkenal, dan sejak kecil, Aura dibesarkan dengan prinsip: keadilan harus dipertahankan, apapun harganya.
Namun hari ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bukan soal esainya, tapi perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
"Ara, nggak usah terlalu serius, deh. Kamu bisa jadi tua sebelum sempat jatuh cinta," celetuk Dito, sahabatnya, sembari menyodorkan secangkir cokelat panas.
Aura menatapnya tanpa sepatah kata, hanya mengangkat alis. Dito memang selalu memiliki cara untuk mencairkan suasana, meski kadang komentarnya tidak tepat. Tetapi hari ini, Aura merasa bahwa komentar itu sedikit menyentuhnya. Apa yang sebenarnya ia cari? Cinta? Atau justru perjuangan yang lebih besar—perjuangan yang tak dapat dipahami orang lain?
Ketika ia kembali menatap layar laptopnya, pintu ruang OSIS terbuka dengan suara berderak. Sebuah bayangan gelap muncul di ambang pintu. Ari—anak pindahan yang baru seminggu ini masuk ke sekolah, dengan rambut basah dan jaket hoodie hitam yang menutupi wajahnya—melangkah tanpa basa-basi.
Aura menatapnya sejenak, tak mengerti mengapa ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam tatapan mata lelaki itu. Ada sesuatu yang gelap, tersembunyi, dan mungkin juga terluka di balik raut wajahnya yang dingin.
"Aku mau bicara soal akun @RatuGosipSMAN7," kata Ari singkat, tanpa senyum, tanpa basa-basi.
"Aku... siapa?" Aura menjawab, ragu.
"Ari," jawabnya tegas. "Aku tahu siapa yang kamu cari. Dan aku juga tahu kenapa kamu menyelidiki kasus itu."
Aura sedikit terkejut. Tak ada yang tahu ia sedang mengerjakan kasus ini, dan tak ada yang tahu bahwa Ari—anak pindahan yang jarang bicara—seperti tahu segalanya.
Tanpa menunggu jawaban, Ari melangkah lebih dekat, matanya tak pernah lepas dari Aura. Perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan—perasaan yang tidak bisa ia jelaskan—tiba-tiba menguar begitu saja.
"Kau mencari kebenaran, Aura. Tapi hati-hati, terkadang kebenaran bisa menghancurkanmu."
Saat itu juga, Aura merasa ada sesuatu yang tak bisa ia hindari. Suasana di ruang itu menjadi tegang, dan ia tahu, hari ini adalah awal dari perjalanan yang tak hanya melibatkan hukum—tapi juga perasaan yang tak ia duga.
Aura menatap Ari dengan ragu. Kata-katanya terdengar penuh teka-teki, seolah-olah ada rahasia besar yang disembunyikan di baliknya. Namun, ia tak ingin terlihat cemas. Aura bukan tipe yang mudah terpengaruh oleh kata-kata misterius. Sebagai siswi dengan tujuan besar—menjadi pengacara yang membela hak-hak orang kecil—ia selalu percaya bahwa fakta lebih penting daripada rumor.
"Tunggu dulu, kamu tahu tentang akun itu?" Aura akhirnya bertanya, menahan napas. Hatinya mulai berdetak lebih cepat, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran yang mulai muncul.
Ari hanya mengangguk, matanya tetap fokus pada Aura. "Aku tahu lebih dari yang kamu kira. Tapi ini bukan hanya soal akun itu. Kamu terlalu terobsesi dengan membuktikan siapa yang salah, sampai-sampai kamu melupakan satu hal penting." Suaranya rendah, namun ada ketegasan yang membuat Aura semakin ingin tahu.
"Apa itu?" tanya Aura, berusaha menahan emosi yang mulai menguasainya.
Ari sedikit tersenyum, namun senyum itu terasa aneh—lebih seperti senyum penuh pemahaman daripada kebahagiaan. "Kadang, kita mencari kebenaran dengan cara yang salah. Dan itu bisa menyakiti orang yang tidak bersalah." Ia berhenti sejenak, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. "Mungkin kamu harus berhenti mencari di tempat yang salah."
Aura merasa kalimat Ari menyentuh sisi dalam dirinya yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain. Sebagai seorang yang terbiasa mengandalkan logika, ini adalah perasaan yang asing baginya. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa apa yang Ari katakan bukan tanpa alasan.
"Dengar, aku tahu kamu mungkin merasa aku hanya siswa pindahan yang tidak berhak mengganggu urusanmu," lanjut Ari, matanya mulai melunak. "Tapi aku cuma ingin memastikan kamu tidak kehilangan dirimu sendiri hanya karena ingin membuktikan siapa yang salah."
Aura diam, mencerna kata-kata Ari. Ada sesuatu yang membuatnya merasa disinggung, dan sekaligus membuatnya penasaran. Apa maksudnya? Mengapa ia merasa seperti ada lebih dari sekadar pembicaraan tentang akun gosip ini?
"Jadi, apa yang kamu inginkan?" akhirnya Aura bertanya, suaranya lebih tenang dari yang ia duga. "Kamu tahu siapa yang membuat akun itu?"
Ari mengangguk pelan, seolah sedang memikirkan apakah ia harus melanjutkan pembicaraan ini atau tidak. "Ya, aku tahu. Tapi, mungkin lebih baik kalau kamu tidak tahu," jawabnya dengan suara datar.
Sebelum Aura bisa menanggapi, suara pintu ruang OSIS terbuka lagi, mengalihkan perhatian mereka. Dito muncul dengan senyum lebar, seolah tak terjadi apa-apa.
"Ah, kalian berdua sudah mulai bicara serius, ya?" Dito menggoda, menyadari ketegangan yang ada di udara. "Ayo, jangan buat aku jadi tukang ojek di antara kalian."
Aura melirik ke arah Ari, dan melihat tatapan kosong yang diberikan Ari padanya. Ada banyak yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu terasa tertahan. Apakah perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya benar-benar hanya karena kasihan atau ada sesuatu yang lebih besar? Bagaimana jika ia benar-benar salah menilai?
Ari berbalik perlahan, bersiap untuk pergi. Sebelum keluar, ia menoleh dan menambahkan dengan suara yang hampir tak terdengar, "Jangan terlalu percaya pada apa yang terlihat di luar, Aura."
Dan begitu saja, Ari menghilang di balik pintu, meninggalkan Aura dalam kebingungannya.
Dito mendekat dan duduk di samping Aura, memberikan secangkir cokelat panas yang baru saja ia buat. "Wah, Ari itu orangnya misterius banget ya. Kalian ngobrol tentang apa?" tanyanya dengan santai, meski Aura tahu bahwa Dito tahu lebih banyak tentang perasaannya terhadap Ari daripada yang ia ungkapkan.
Aura hanya menggelengkan kepala, memandangi layar laptopnya yang sudah kembali terbuka dengan tulisan esai hukum yang belum selesai. Hukum dan perasaan—dua dunia yang seolah tidak bisa bersatu, namun justru membuatnya semakin bingung. Ia ingin fokus pada kasus ini, tapi hatinya terasa tak menentu. Apa yang sebenarnya ia cari? Perasaan atau kebenaran?
Aura memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya setelah Dito pergi, tetapi pikirannya terus terhenti di satu nama: Ari. Kata-katanya terus terputar di kepala Aura, seperti sebuah lagu yang tidak bisa ia hentikan meski ia ingin. “Jangan terlalu percaya pada apa yang terlihat di luar, Aura.”
Apa maksudnya? Apakah ini hanya peringatan biasa atau ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin ia ungkapkan? Aura menutup laptopnya dengan keras, tidak tahan lagi dengan kebingungannya. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela, menatap hujan yang masih turun deras di luar.
Ari—anak yang baru saja masuk ke sekolah ini, dengan ekspresi dingin dan misterius. Meskipun Aura merasa dia seharusnya tidak terlibat dalam urusan pribadinya, perasaan yang berkembang di hatinya sepertinya tidak bisa ia bendung.
Di sisi lain, ada Dito, sahabatnya yang selalu ada, yang selalu mencoba menghiburnya dan memberikan perhatian. Tapi, di antara keduanya, Aura tahu bahwa perasaannya untuk Dito adalah perasaan persahabatan. Dito selalu ada ketika ia butuh teman, namun hatinya belum pernah bergetar untuknya, seperti yang ia rasakan saat melihat Ari.
Ari bukan tipe orang yang mudah didekati. Bahkan, ketika mereka pertama kali bertemu, ia lebih memilih untuk menyendiri daripada bergaul dengan teman-teman sekelas. Tiba-tiba, Aura merasa ada yang hilang—sesuatu yang sangat berarti dalam dirinya—dan ia tak bisa menanggalkan perasaan itu.
Aura berbalik dan duduk di meja, kembali menatap esai yang belum selesai. Namun, pikirannya kembali mengembara ke kata-kata Ari. Kebenaran bisa menghancurkan, katanya. Namun apakah itu berarti Ari memiliki alasan tertentu untuk berkata begitu? Apakah mungkin ada lebih banyak cerita di balik kata-katanya yang penuh misteri?
Sementara itu, Ari sendiri sedang berjalan pulang, menyusuri jalan setapak yang basah oleh hujan. Pikirannya bercampur aduk. Aura—gadis yang penuh semangat dan cerdas—membuatnya merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tak bisa jelaskan. Tapi ia tahu betul, semakin dekat ia dengan Aura, semakin besar bahaya yang mengancam.
Ari berhenti sejenak di bawah pohon besar, menatap ke jalan yang kosong. Ia teringat masa lalunya yang gelap, yang selalu membayangi setiap langkahnya. Orang-orang tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ia hadapi. Ia merasa terbebani oleh masa lalunya yang penuh luka, dan ia tidak ingin Aura terjebak dalam dunia kelam itu.
Namun, di balik rasa takut dan penyesalan itu, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Aura membuatnya merasa hidup kembali—setelah sekian lama merasa hampa. Ia ingin melindunginya, tetapi ia tahu bahwa seringkali, keinginan untuk melindungi seseorang bisa menjadi bumerang.
Hari itu, hujan tidak hanya membawa dingin pada tubuh mereka, tetapi juga menggugah rasa yang lebih dalam dalam hati mereka. Dua dunia yang seharusnya tidak bertemu—dunia hukum dan dunia perasaan—akhirnya saling bertabrakan tanpa mereka bisa hindari. Dalam diam, keduanya menyadari bahwa mereka sudah berada dalam perjalanan yang tidak akan mudah.
Pagi itu, Aura merasa dunia sekitarnya sedikit berbeda. Meski hujan semalam sudah reda, ada sesuatu dalam dirinya yang terus mengganggu. Sesuatu yang tumbuh perlahan dan tak bisa ia cegah. Ia mencoba menepis perasaan itu, tapi setiap kali ia berusaha, bayangan Ari kembali muncul di benaknya.
Saat bel masuk, Aura berjalan ke kelas dengan langkah terburu-buru. Hari itu adalah hari yang penting—rapat OSIS untuk membahas kegiatan sekolah. Tapi pikiran Aura lebih sering melayang ke topik yang belum selesai: Ari dan kata-katanya yang terus bergema dalam pikirannya.
Begitu duduk di bangkunya, Dito sudah duduk di sebelahnya, dengan ekspresi wajah yang penuh tanya. "Aura, kamu kenapa? Kok kayaknya nggak fokus banget hari ini?" tanyanya sambil menyodorkan buku catatan.
Aura menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Dit. Ada sesuatu yang nggak bisa aku lupain." Suaranya hampir berbisik, seolah takut kata-katanya akan terdengar oleh orang lain.
Dito menatapnya dengan tajam. "Ari, kan?"
Aura menoleh cepat, terkejut. "Kamu tahu?"
Dito hanya tersenyum, meski senyumnya itu terasa lebih seperti simpati daripada kebahagiaan. "Nggak susah nebaknya. Kamu kelihatan beda dari biasanya. Tapi kamu harus hati-hati, Aura. Jangan sampai kamu terjebak dalam sesuatu yang nggak kamu pahami."
Aura mengerutkan kening. "Aku cuma… bingung. Dia kayak tahu semuanya tentang aku, dan tiba-tiba ngomong soal kebenaran dan perasaan. Itu bikin aku mikir, apa yang sebenarnya dia tahu tentang aku?"
Dito hanya menggelengkan kepala. "Kebenaran kadang memang nggak selalu bisa disampaikan dengan cara yang kamu harapkan. Tapi ingat, kamu bisa menjaga diri, kan?"
Aura mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaannya terhadap Ari? Ia tidak ingin terjebak dalam permainan yang lebih besar dari dirinya.
Rapat OSIS berjalan lancar, tetapi perasaan tidak tenang masih mengganggu Aura. Sepulang sekolah, saat ia berjalan pulang, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Ari.
"Aku ingin bicara lebih banyak tentang akun itu. Temui aku di perpustakaan setelah sekolah."
Ari, dengan misterinya, mengundangnya kembali ke dalam dunia yang belum sepenuhnya ia pahami. Hati Aura berdebar kencang. Apa yang akan terjadi kali ini? Apakah ini kesempatan untuk mengetahui lebih banyak? Atau justru dia akan terjebak dalam sesuatu yang lebih rumit dari yang ia bayangkan?
Sesaat, Aura merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk pergi, meskipun rasa takut itu mulai merayap. Hukum dan perasaan, dua hal yang seharusnya tak saling bertemu, kini sudah bercampur dalam dirinya. Dan mungkin, hari ini adalah saatnya ia harus memilih—antara mengejar kebenaran atau mengikuti perasaan yang sulit ia kendalikan.
Ia menghela napas dalam-dalam dan menekan tombol "Balas" di ponselnya.
"Aku datang."
Bab pertama ini ditutup dengan sebuah keputusan besar yang akan membawa Aura pada perjalanan baru. Perasaan, kebenaran, dan dunia yang tak selalu bisa diprediksi. Apakah ia akan terus mengikuti alur yang sudah digariskan untuknya, ataukah ia akan memilih untuk mengambil risiko dalam perjalanan yang lebih tak pasti?
Muhammad Ari Pratomo, yang dikenal juga dengan nama pena MuhammadAriLaw, adalah seorang pengacara, penulis, musisi, dan podcaster yang sangat berdedikasi dalam menciptakan karya-karya yang mendalam dan menggugah. Lahir di Indonesia, Ari dikenal tidak hanya di dunia hukum, tetapi juga di kalangan masyarakat luas sebagai sosok yang aktif menyuarakan keadilan dan kebenaran melalui berbagai platform, baik digital maupun langsung.Sebagai seorang pengacara, Ari memiliki tekad untuk membuat hukum lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum dan lebih terjangkau. Dia juga terkenal karena perannya dalam memberikan edukasi hukum melalui media sosial dan podcast, menjangkau audiens yang lebih luas dengan tujuan untuk memberdayakan mereka agar memahami hak-hak mereka. Dalam dunia hukum, Ari dikenal karena pendiriannya yang teguh dalam memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.Namun, Ari tidak hanya berhenti pada dunia hukum. Sebagai penulis, dia memanfaatkan kemampuannya untuk menyent
Beberapa bulan setelah pengungkapan besar yang mengguncang dunia, hidup Ari dan Aura tidak pernah kembali sama. Mereka berdua kini menjadi simbol bagi banyak orang yang menginginkan keadilan, walaupun dunia mereka tetap penuh dengan ketegangan.Ari kini tidak hanya dikenal sebagai pengacara yang berani, tetapi juga sebagai seorang pembela kebenaran yang tak pernah takut menghadapi kekuatan besar. Nama keluarga Nusa, yang dulu tak tersentuh, kini sudah tercoreng. Bukti yang mereka ungkapkan telah mengguncang pemerintahan, merubah banyak aturan, dan membuat banyak tokoh politik yang terlibat di dalamnya harus menghadapi hukum.Namun, kebenaran itu datang dengan harga yang mahal.Ari masih teringat jelas malam itu, ketika mereka pertama kali memutuskan untuk membuka folder berisi kebenaran yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ketika semua terungkap, ketika mereka merasa seolah dunia telah berakhir, namun justru mereka menyadari bahwa mereka hanya berada di awal perjalanan yang le
Ari dan Aura duduk di mobil, mata mereka terpaku pada folder tebal yang tergeletak di antara mereka. Malam yang sebelumnya terasa gelap dan sunyi kini berubah menjadi lebih menekan, seolah-olah dunia di luar mobil turut mempersiapkan diri untuk apa yang akan mereka hadapi. Setiap detik yang berlalu seolah membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang semakin kompleks.“Jadi, ini dia…” Aura berkata dengan suara gemetar, jarinya bermain dengan ujung folder itu, ragu-ragu untuk membukanya. “Kebenaran yang kita cari. Tapi, apakah kita siap untuk apa yang ada di dalamnya?”Ari menatap Aura, wajahnya serius namun penuh ketegasan. “Kita sudah terlalu jauh, Aura. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang kebenaran yang harus diketahui, meskipun itu berbahaya.”Ari menggenggam kemudi dengan erat, seolah mencari kekuatan dalam gerakan kecil itu. Mereka sudah menyaksikan kejahatan yang mengakar kuat dalam sistem, dan kini, mereka harus berhadapan dengan sisi gelap yang lebih dalam. Keben
Ari dan Aura melaju melewati jalanan yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kota yang redup. Waktu sudah larut malam, namun suasana hati mereka jauh dari tenang. Ketegangan yang mereka rasakan semakin menyelimuti, seolah ada sesuatu yang besar menunggu mereka di depan. Setiap detik berlalu semakin mempercepat langkah mereka menuju takdir yang tak bisa dihindari.“Ari…” suara Aura terdengar ragu. “Apakah kamu benar-benar yakin kita bisa menghadapinya? Semua ini sudah terlalu besar. Aku merasa seperti kita berjalan menuju jurang.”Ari menatap lurus ke depan, meskipun hatinya juga dipenuhi keraguan. Semua bukti yang mereka temukan hanya membuka lebih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Setiap petunjuk yang mereka gali semakin menunjukkan adanya permainan yang jauh lebih besar dari yang mereka duga. Nama-nama yang mereka temui dalam dokumen itu bukan hanya orang biasa, tetapi pemain penting di dunia ini—orang yang tak segan-segan untuk menghancurkan siapapun yang menghalangi jalan mere
Langit masih gelap saat Ari dan Aura melaju menembus malam yang sepi, menuju tempat yang mereka yakini bisa memberi mereka jawaban yang lebih jelas. Mobil hitam yang mereka naiki terasa seperti menjadi penghalang antara dunia yang mereka kenal dan dunia yang penuh dengan intrik serta bahaya yang semakin mendalam. Tak ada kata yang terucap di antara mereka; masing-masing terperangkap dalam pemikiran mereka sendiri, merenungkan langkah yang akan mereka ambil berikutnya.Ari memegang kuat amplop coklat yang berisi informasi yang baru saja mereka peroleh. Setiap halaman di dalamnya seolah menggugah perasaan yang bertentangan—antara harapan dan ketakutan. Bukti-bukti itu terlalu kuat untuk diabaikan, namun mereka tahu bahwa semakin mereka menggali, semakin mereka terjebak dalam jaringan besar yang melibatkan banyak orang yang berkuasa.“Ari,” suara Aura pecah dalam keheningan mobil. “Apa yang kita lakukan setelah ini? Apa kita benar-benar siap untuk menghadapi mereka?”Ari menatap jalan ya
Pagi itu, Aura dan Ari berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang terletak di salah satu sudut kota. Di balik dinding beton yang dingin dan pintu kaca berlapis, ada dunia yang tak pernah mereka bayangkan—dunia yang terhubung dengan orang-orang berkuasa, yang tak ragu untuk menghapus jejak siapa saja yang menghalangi mereka."Apa kita benar-benar harus masuk ke sini?" tanya Aura, suara penuh keraguan. Ia memandang gedung dengan pandangan penuh tanda tanya. Gedung itu tampak biasa saja di luar, tetapi Aura merasakan ada sesuatu yang gelap di dalamnya.Ari menatapnya dengan serius. "Ini adalah tempat pertama yang harus kita tuju. Luna Putri bekerja di sini dulu—di ruang redaksi sebuah media besar yang sering mengungkapkan kasus-kasus gelap yang melibatkan Dimas."Aura menggigit bibirnya, menatap Ari dengan campuran ketegangan dan kecemasan. "Tapi ini bukan hanya tentang Luna, kan? Kita sedang melibatkan diri dalam hal yang lebih besar."Ari mengangguk pelan. "Betul. Tapi kita nggak punya
Pagi itu, hujan yang semalam turun terus membasahi kota. Udara yang dingin dan lembab terasa menusuk ke kulit, membuat Aura merapatkan jaket hitamnya. Ia berjalan cepat menyusuri jalanan kota, matanya tertuju pada layar ponsel yang menunjukkan pesan dari Ari."Temui aku di kafe dekat kampus. Aku punya informasi yang mungkin bisa membantu kita."Aura merasa ketegangan merayap di tubuhnya. Informasi? Apa yang bisa Ari temukan? Seberapa dalam ia terlibat dalam permainan ini?Setelah beberapa menit berjalan, Aura akhirnya tiba di kafe yang dimaksud. Sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan dengan jendela besar yang menghadap ke taman kampus. Di dalam, suasananya lebih hangat, dengan aroma kopi yang menyenangkan mengisi udara. Ia melihat Ari duduk di meja pojok, menatap layar laptop dengan ekspresi serius.Ari mengangkat pandangannya ketika Aura mendekat, memberikan senyuman tipis yang terasa tidak sepenuhnya tulus. "Kamu datang juga," katanya, suara rendah namun penuh arti."Ada apa
Aura berdiri di depan pintu perpustakaan sekolah dengan rasa cemas yang tak bisa ia bendung. Hujan yang reda tadi siang kini berganti dengan udara yang sejuk, dan suara langkah kaki pelan terdengar di lorong sepi. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya.Ini hanya sebuah percakapan biasa, pikirnya, meskipun jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Ia memasuki perpustakaan dengan langkah mantap, mencari sosok yang sudah dikabarkan akan menunggunya. Sebuah meja di sudut ruangan terlihat kosong, namun di sana, duduk seorang pemuda dengan punggung membungkuk, tampak sedang membaca sebuah buku tebal.Ari.Aura mendekat pelan, tak ingin mengganggu suasana yang sudah tercipta. Ari, yang duduk dengan tenang, mengangkat wajahnya perlahan, matanya menatap tajam. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya—sebuah keraguan samar yang tersirat di dalam tatapannya."Aura," katanya dengan suara rendah, namun cukup jelas, "Kamu datang juga."Aura hanya mengangguk, mencoba u
Hujan tak henti mengguyur Jakarta siang itu, menggambarkan kegelisahan yang menyelimuti Aura Ramadhani. Di ruang OSIS yang biasa sunyi, layar laptopnya menampilkan dokumen yang baru saja ia buka. "Cyberbullying di Kalangan Pelajar dan Perlindungan Hukum Berdasarkan UU ITE"—sebuah topik yang sudah cukup membuatnya tertarik untuk menulis esai hukum. Hukum adalah dunia yang mengalir dalam darahnya. Ayahnya seorang pengacara terkenal, dan sejak kecil, Aura dibesarkan dengan prinsip: keadilan harus dipertahankan, apapun harganya.Namun hari ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bukan soal esainya, tapi perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia kendalikan."Ara, nggak usah terlalu serius, deh. Kamu bisa jadi tua sebelum sempat jatuh cinta," celetuk Dito, sahabatnya, sembari menyodorkan secangkir cokelat panas.Aura menatapnya tanpa sepatah kata, hanya mengangkat alis. Dito memang selalu memiliki cara untuk mencairkan suasana, meski kadang komentarnya tidak tep
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments