Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 5 – Rahasia yang Tak Bisa Dibagi

Share

Bab 5 – Rahasia yang Tak Bisa Dibagi

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 11:00:44

Pagi itu, Nara terbangun lebih awal. Bukan karena alarm, tapi karena mimpi. Atau lebih tepatnya, ingatan—yang berwujud seperti mimpi tapi lebih tajam dari duri. Ia melihat wajah seseorang yang lama ingin ia lupakan: Alvino.

Nama itu tak pernah disebut lagi sejak dua tahun lalu. Tak pernah dibicarakan. Tak pernah dikubur dengan benar. Dan kini, wajah itu kembali muncul, menyusup ke sela-sela kebahagiaan pura-pura yang sedang ia bangun.

Nara menggenggam ujung selimut. Ia tahu cepat atau lambat rahasia itu akan mengusik rumah kontrak ini. Ia hanya belum siap jika waktunya sekarang.

Di ruang makan, Raydan sedang menyentuh layar tabletnya, membaca laporan keuangan per kuartal sambil mengaduk teh dengan gerakan lambat. Pagi-pagi pun ia tetap CEO.

Nara menarik kursi dan duduk di seberangnya. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi tak tahu cara menyampaikannya tanpa membongkar dirinya sendiri. Maka ia hanya bertanya hal lain—hal yang lebih aman.

“Aku boleh tetap kerja di yayasan?”

Raydan mendongak, ekspresinya netral. “Kamu pikir aku akan melarang?”

“Entahlah. Kita menikah. Secara teknis.”

“Secara teknis juga, kamu bukan properti,” sahut Raydan datar. “Kalau itu membuatmu waras, lakukan.”

Nara mengangguk pelan. “Terima kasih.”

“Dengan satu syarat,” tambahnya. “Kalau media tanya, kamu resign dari kantor untuk fokus sebagai istri.”

Nara menahan senyum getir. Peran, tetap peran. Tapi setidaknya ia masih diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri—di balik layar.

Siang harinya, saat Raydan pergi ke kantor dan apartemen kembali hening, Nara menyalakan laptop. Inbox-nya penuh pesan dari tim yayasan, tapi satu pesan membuatnya terpaku:

From: sekretariat@yayasantunasananda.org

Subject: Permintaan Donasi Khusus – A.N. Alvino Haris

Jantung Nara nyaris berhenti. Nama itu seperti hantaman keras di dada. Ia membuka emailnya dengan tangan gemetar.

“Kak Nara, mohon pertimbangannya untuk kasus khusus ini. Alvino sedang menjalani perawatan psikiatri dan sedang dalam masa pemulihan. Ia butuh bantuan tempat tinggal sementara dan konseling lanjutan. Kami tahu ini sensitif, tapi ia sendiri menyebut namamu sebagai salah satu orang yang mungkin bisa dipercaya...”

Layar terasa kabur. Nafas Nara tercekik oleh masa lalu yang tiba-tiba hadir tanpa undangan.

Alvino. Lelaki yang pernah ia cintai. Lelaki yang dulu hampir menghancurkan semuanya—hidupnya, kepercayaannya, bahkan tubuhnya. Ia tak pernah bercerita pada siapa pun. Tidak pada keluarganya. Tidak pada Raydan. Tidak pada dirinya sendiri, yang terus mengelak bahwa luka itu masih menganga.

Tapi sekarang, nama itu datang dengan wajah memelas, meminta bantuan.

Malamnya, saat Raydan pulang, ia menemukan Nara sedang termenung di balkon, seperti malam-malam sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya terlihat letih. Matanya bercerita tentang badai yang baru saja disembunyikan.

Raydan meletakkan tas kerja dan menyusulnya. Ia tidak duduk, hanya berdiri di ambang pintu balkon, memandangi siluet Nara yang diterpa cahaya kuning kota.

“Kamu terlihat seperti seseorang yang baru bertemu hantu,” ujarnya ringan.

“Bukan hantu,” balas Nara pelan. “Tapi seseorang yang harusnya sudah lama mati dalam ingatanku.”

Raydan diam. Ia tahu ini bukan lelucon.

“Apa kamu percaya kalau ada hal-hal dalam hidup seseorang yang terlalu gelap untuk dibagi?” tanya Nara tanpa menoleh.

Raydan menarik napas panjang. “Aku tidak percaya semua luka harus dibagikan. Tapi aku percaya luka yang tidak ditangani akan membusuk.”

Nara menggenggam sandaran kursi dengan erat. Suaranya mulai pecah.

“Kalau aku bilang ada seseorang dari masa laluku yang bisa menghancurkan semua ini... semua yang sedang kita bangun. Kamu akan apa?”

Raydan akhirnya duduk di sampingnya. Sorot matanya tenang, nyaris tak tergoyahkan.

“Aku akan bilang: kita sedang membangun panggung. Tapi panggung juga butuh fondasi. Kalau ada sesuatu yang bisa membuat panggung ini ambruk, lebih baik kamu ceritakan sekarang sebelum semuanya telanjur terlalu tinggi.”

Diam. Angin malam kembali hadir, seolah menjadi perantara kata-kata yang tertunda.

“Aku... pernah hampir menikah,” bisik Nara. “Dengan seseorang yang—di akhir segalanya—menjadi luka.”

Raydan menunggu. Ia tahu itu belum seluruhnya. Tapi ia juga tahu, tak semua rahasia bisa dibuka sekaligus.

Maka ia hanya berkata, “Kalau suatu hari kamu siap menceritakan sisanya, aku akan di sini. Dengan telinga terbuka dan tanpa penghakiman.”

Malam itu, Nara tidur dengan dada yang lebih ringan. Belum sepenuhnya lega, tapi cukup untuk bernapas. Ia belum tahu bagaimana menghadapi Alvino. Ia belum tahu bagaimana masa lalunya akan bertabrakan dengan masa kini.

Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa tidak sendirian dalam menanggung rahasia itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 14 – Hati yang Tak Lagi Pura-Pura

    Raydan bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia tidak bergegas membuka laptop, tidak langsung membaca laporan, tidak mencari jadwal meeting yang harus dikejar.Yang ia lakukan: memasak sarapan.Nasi goreng sederhana. Telur mata sapi yang agak gosong di pinggir. Dan teh manis panas yang diseduh terlalu manis karena ia tidak yakin berapa sendok seharusnya.Saat Nara muncul dari balik pintu kamar, rambutnya masih setengah basah, mata masih mengantuk, ia menemukan meja makan yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya soal menu, tapi tentang siapa yang menyusunnya. Dan niat di baliknya.“Tumben,” katanya singkat.Raydan menoleh. Ia nyaris terlihat canggung, tapi tetap menjaga gaya tenangnya yang biasa.“Mulai hari ini, aku pikir… aku mau mencoba menjadi suami. Yang beneran.”Nara duduk, mengamati piringnya. “Telurnya gosong.”Raydan tersenyum. “Cinta juga kadang gosong kalau dimasak buru-buru, kan?”Nara tak bisa menahan senyum. “Kamu baru aja nyontek

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 13 – Jejak yang Tak Bisa Dihapus

    Nara tidak tidur malam itu. Setelah Raydan tertidur di sofa, tubuhnya masih setengah basah dan dilingkupi mimpi buruk yang tak bersuara, Nara berjalan pelan ke kamar kerja. Ia duduk di depan laptop dan mengetik satu nama yang sejak beberapa jam terakhir mengendap dalam pikirannya:Aluna Maheswari.Tak banyak hasil yang muncul di mesin pencarian. Tidak ada foto, tidak ada berita besar. Hanya satu tautan menuju blog lama yang tak lagi aktif. Judul terakhirnya bertanggal empat tahun lalu, dengan judul yang menyayat:“Untuk yang Tak Pernah Datang Kembali.”Nara mengeklik.Tulisan di sana adalah catatan kehilangan. Tentang seorang perempuan yang kehilangan bayinya. Tentang laki-laki yang tak bisa ia benci, karena ia terlalu ia cintai. Tentang harapan-harapan yang patah tapi tak pernah ia kutuk.Kalimat terakhirnya membekas tajam di benak Nara.“Jika dia masih hidup, mungkin hari ini dia memanggilmu Ayah. Tapi kamu memilih menjadi asing.”Nara menutup laptop. Udara di ruangan terasa lebih b

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 12 – Tawar-Menawar Takdir

    Gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Nara, menjuntai anggun hingga lantai. Desainer pribadi keluarga Arsinaga yang memilihkan—katanya, supaya ia “seimbang” dengan Raydan di acara gala amal malam ini. Tapi Nara tahu, yang sesungguhnya diminta bukan hanya keindahan luar—melainkan pencitraan yang nyaris sempurna.Di depan cermin, ia menarik napas. Malam ini, bukan hanya tentang menghadiri acara. Ini tentang mempertahankan posisi, membungkam bisik-bisik yang kini mulai menggerogoti rumah tangganya.Raydan datang beberapa menit sebelum mereka berangkat. Mengenakan setelan gelap klasik, dasi perak, dan aura dingin yang biasa. Tapi saat melihat Nara, ia berhenti sebentar.“Kamu terlihat… luar biasa.”Nara tak menanggapi. “Kita akan main peran malam ini, kan? Ayo kita pastikan panggungnya megah.”Raydan menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Mereka berjalan ke mobil dengan keheningan yang lebih tajam dari percakapan mana pun.—Gedung opera tempat gala berlangsung bagaikan istana

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 11 – Retakan yang Halus

    Nara berdiri di balkon kamarnya, menyandarkan kedua tangan di pagar besi yang mulai berembun karena sisa hujan subuh tadi. Di dalam pikirannya, kata-kata Raydan terus terulang—"Seseorang dari masa laluku yang belum selesai." Dan kini, masa lalu itu punya nama dan wajah: Nadine.Angin berembus pelan, membawa aroma mawar dari taman bawah. Tapi aroma itu tak mampu menenangkan kegundahan dalam dada Nara. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini dibangun dari kesepakatan, bukan cinta. Tapi setelah semua langkah mereka, setelah pelan-pelan mereka membuka ruang kejujuran dan rasa, kenapa bayangan perempuan lain harus muncul saat ia mulai percaya?Raydan masuk ke kamar, tak mengetuk seperti biasanya. Mungkin karena ia tahu tak ada lagi dinding formalitas di antara mereka—yang tersisa hanya diam yang menggantung, seperti benang tipis yang nyaris putus.“Nara…” katanya lirih, mendekat.Nara tak menoleh. “Apa maksudmu belum selesai?”Raydan mendesah, duduk di tepi ranjang. “Nadine… dia dulu tunan

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 10 – Menjadi Kita

    Setelah semua kepergian, yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi keheningan kali ini tidak menyakitkan—ia seperti jeda yang dibutuhkan setelah tangis panjang. Nara duduk di kamar, di kursi dekat jendela, menyaksikan hujan tipis menghapus sisa debu di kaca. Di belakangnya, Raydan berdiri tanpa suara, membawa secangkir teh hangat."Masih hangat," katanya, meletakkan cangkir di meja kecil. “Katanya, teh bisa menenangkan detak jantung yang terlalu sibuk berpikir.”Nara menoleh, memberi anggukan kecil. “Terima kasih.”Raydan tak langsung pergi. Ia duduk di karpet, bersandar pada ranjang, sementara hujan menyanyikan lagu tenangnya sendiri.“Dulu,” ujar Raydan tiba-tiba, “aku pikir pernikahan cuma soal kesepakatan dan tanggung jawab. Tapi hari-hari denganmu... ternyata bukan cuma soal itu.”Nara membiarkannya bicara. Ini pertama kalinya Raydan membuka ruang di antara mereka tanpa topeng atau formalitas.“Aku lihat cara kamu menghadapi keluargaku. Cara kamu menyimpan kesedihan tapi tetap berdi

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 9 – Ujian Pertama

    Ruang tamu keluarga Wijaya pagi itu terasa seperti ruang sidang tak resmi. Para kerabat berkumpul—beberapa dengan tatapan tajam, sisanya menyembunyikan bisik-bisik di balik cangkir teh. Nara berdiri tegak di antara mereka, sementara Raydan duduk di sisi lain, diam seperti batu karang yang siap menahan gelombang.“Apa benar lelaki itu datang mencarimu semalam?” tanya Tante Lydia, nada suaranya setajam pisau dapur.Nara menahan napas. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja, ia tidak pernah siap menghadapi pertanyaan yang menggugat integritasnya sebagai seorang istri—meskipun pernikahan itu sendiri dibangun dari skenario yang tak sepenuhnya tulus.“Dia datang tanpa undangan. Dan dia bukan siapa-siapa lagi,” jawab Nara tegas.“Lucu,” sahut seorang sepupu Raydan. “Tapi bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kamu pikir keluarga ini akan diam saja setelah melihatmu menangis semalam?”Nara menoleh pada Raydan. Sekilas, ia mencari sandaran—tanda bahwa dirinya tid

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status