Gaun biru malam yang dikenakan Nara terasa terlalu pas di tubuhnya. Bukan karena ukurannya, tapi karena malam ini, segalanya harus terlihat sempurna. Tatanan rambutnya ditarik ke belakang dalam sanggul longgar, memperlihatkan leher jenjang dan sorot mata yang ia latih di depan cermin sejak dua jam lalu—mata yang harus terlihat bahagia, tidak ragu, tidak bertanya.
Di lantai bawah, ballroom Hotel Seraphine dipenuhi lampu kristal dan deretan meja bundar berlapis linen putih. Para tamu datang satu per satu, dengan jas mahal dan gaun-gaun yang berkilau seperti musim penghargaan. Ini bukan hanya gala amal—ini adalah panggung unjuk kekuasaan, tempat reputasi dibangun dari sorotan dan bisikan.
Raydan datang menjemputnya di pintu ruang rias. Mengenakan setelan hitam berpotongan tegas dan dasi perak tipis, ia terlihat seperti pria dalam iklan parfum mewah—dingin, tak tersentuh, dan menyimpan rahasia dalam diam.
“Kamu siap?” tanyanya, menawarkan lengan.
Nara menatapnya sejenak. “Siap terlihat seperti istri sempurna, jika itu yang dimaksud.”
Raydan tak tersenyum, tapi sorot matanya melunak sepersekian detik. “Malam ini penting. Akan banyak mata. Termasuk yang ingin melihat kita gagal.”
“Kalau begitu, mari kita beri mereka pertunjukan,” balas Nara, menyematkan tangannya di lengan Raydan.
Mereka turun ke ballroom dengan langkah yang selaras, seolah sudah berlatih bertahun-tahun. Kamera-kamera dari media yang diundang menyorot tanpa henti, kilatan lampu menyapu gaun dan dasi seperti badai cahaya. Di tengah gemuruh itu, Nara berusaha tersenyum—tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk terlihat alami.
Di tengah ruangan, seorang wanita setengah baya dengan mata tajam dan rambut disanggul tinggi menyambut mereka.
“Tante Dira,” sapa Raydan datar. “Ini Nara.”
Tatapan wanita itu menusuk, menelusuri dari kepala hingga ujung kaki, seolah ingin mencari celah pada kulit Nara yang tampak sempurna di permukaan.
“Akhirnya, bisa melihat perempuan yang membuat keponakanku berpikir cepat-cepatan menikah,” ucapnya dengan nada menggantung. “Kau cantik. Tapi aku harap kecantikanmu tidak menutupi hal-hal lain.”
Nara menahan napas, membalas dengan senyum tipis. “Terima kasih, Tante. Saya akan berusaha jadi bagian dari keluarga ini—setidaknya, sebaik yang saya bisa.”
“Semoga ‘berusaha’ itu cukup.”
Raydan menyentuh punggung Nara pelan, memberi isyarat untuk lanjut ke tamu-tamu lain. Setelah beberapa menit berbasa-basi, mereka duduk di meja utama. Nara mencoba mengenali wajah-wajah penting yang diperkenalkan Raydan—CEO, komisaris, duta lembaga sosial. Semuanya bersuara lembut tapi penuh makna ganda.
“Bagaimana rasanya jadi Nyonya Dirgantara?” tanya salah satu tamu, wanita muda dengan gaun merah menyala dan bibir merah merona.
Nara tersenyum, mengambil napas sejenak. “Seperti membaca novel yang tak kau pilih sendiri, tapi entah kenapa... kamu tak bisa berhenti membacanya.”
Jawaban itu membuat wanita itu terdiam, dan Raydan menoleh ke arah Nara, alisnya terangkat samar. Bukan marah. Lebih seperti... terkesan.
Beberapa jam berlalu. Makanan disajikan dalam porsi kecil yang terlalu mahal untuk ukuran yang bisa membuat kenyang. Musik kuartet mengalun. Para tamu menari dalam gaya klasik yang diharapkan dari kalangan mereka.
Raydan mengulurkan tangan. “Kita harus menari. Setidaknya satu lagu. Mereka memperhatikan.”
Nara menatap ruangan sebentar. “Aku tidak terlalu bisa.”
“Aku bisa.”
Mereka melangkah ke tengah lantai dansa. Tangan Raydan menyentuh pinggang Nara. Tangan Nara berada di pundaknya, ringan tapi tegang. Gerakan mereka tidak sempurna, tapi cukup menyatu untuk menyamarkan ketegangan itu.
“Apa kamu... menikmati ini?” tanya Nara pelan, nyaris hanya terdengar oleh keduanya.
“Menikmati apa?”
“Menjadi tokoh utama dalam cerita yang bahkan tidak kamu tulis sendiri.”
Raydan menatap ke depan. “Aku terbiasa jadi orang yang menjalankan rencana. Tapi cerita ini... ya, kadang terasa seperti hal yang keluar dari kendali.”
Nara menarik napas. “Tapi kamu tetap melanjutkannya.”
“Karena aku tidak pernah berhenti di tengah.”
Mereka berputar pelan. Di kejauhan, Tante Dira masih memperhatikan. Wartawan memotret. Musik hampir usai.
Lagu berakhir. Nara melepaskan tangan Raydan perlahan, seperti membuka pintu setelah badai. Mereka kembali ke tempat duduk. Lalu seorang pria muda menghampiri meja mereka—Ardi, sepupu Raydan, yang dari tadi tak berhenti menatap ke arah mereka.
“Aku ingin berdansa dengan Nara. Boleh, Ray?”
Raydan menatapnya dingin. “Tanyakan pada Nara.”
Nara menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi. Ia berdiri, menolak membuat keributan. Ardi menuntunnya ke lantai dansa, tapi langkahnya terlalu dekat, terlalu cepat. Tangan di pinggangnya bukan sekadar menyentuh, tapi seperti ingin mengklaim.
“Jadi, kamu yang menjerat Raydan?” bisik Ardi, bibirnya terlalu dekat.
“Aku tidak menjerat siapa pun,” jawab Nara tenang. “Kalau dia terjerat, mungkin karena dia ingin.”
Ardi tertawa kecil. “Kau pintar menjawab. Tapi hati-hati. Keluarga ini tidak mudah menerima pendatang.”
“Aku tidak ingin diterima. Aku hanya ingin dihormati.”
Lagu selesai. Nara berbalik, melangkah ke arah Raydan tanpa berpamitan. Ia duduk, mengambil gelas air putih, dan meneguknya perlahan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Raydan.
“Ya. Hanya sedikit lelah berpura-pura.”
Raydan tak menjawab. Tapi kali ini, ketika kamera kembali mengarah pada mereka, ia menggenggam tangan Nara di atas meja. Bukan karena ada kontrak. Tapi karena, entah bagaimana, ia ingin meyakinkan bahwa malam ini bukan hanya tentang peran.
Nara membalas genggaman itu. Tak seerat yang dibayangkan orang, tapi cukup untuk membuat satu foto esok hari menghiasi halaman depan majalah bisnis—dengan tajuk:
“Pasangan Paling Misterius Jakarta: Romansa, Kekuatan, dan Rahasia di Baliknya.”
Dan di balik rahasia itu, ada dua hati yang mulai menari di ruang antara naskah dan kenyataan.
masih dalam tahap revisi
Pagi itu mendung menggantung seperti awan-awan tua yang enggan bergerak.Nara menyetir sendiri, tanpa Raydan, tanpa Alana.Hanya satu tujuan: makam ayah.Buku memoarnya ia bawa, dibungkus kain flanel abu-abu.Di dalamnya terselip surat kecil yang belum pernah ia buka—tulisan tangan ayahnya yang ditemukan ibunya di kotak berkas lama.Nara belum pernah ke sana sejak pemakaman.Bukan karena tak peduli, tapi karena belum siap menatap nisan dan mengakui:> “Aku menyalahkanmu terlalu lama.”---Makam itu terletak di bawah pohon kamboja.Tanahnya sudah mulai rata.Batu nisannya sederhana—nama, tanggal, dan doa yang singkat.Nara duduk bersila, meletakkan bukunya pelan.> “Ayah… aku menulis buku.”“Tentang hidup yang ayah tinggalkan. Tentang aku yang belajar bertahan.Tentang cinta yang datang dengan cara yang… aneh.”“Dan aku benci mengakuinya, tapi banyak hal yang kuhadapi ternyata tak jauh berbeda dengan yang ayah alami.”Ia membuka halaman terakhir, dan mulai membacanya pelan.Suaranya pe
Malam premiere berlangsung mewah.Karpet merah.Kilatan kamera.Wartawan berbaris.Para pemain tampil glamor dalam balutan busana rancangan desainer.Poster besar terpampang di pintu bioskop utama, dengan judul yang sama: Pulang Tidak Selalu ke Rumah.Nara berdiri di tengah keramaian itu.Wajahnya tersenyum. Tubuhnya diam.Tapi batinnya bergema: hening, nyaring, sepi, padat.> “Semua ini… terasa asing,” bisiknya pelan.Raydan di sisinya, mengenakan setelan sederhana, menoleh.“Karena ini bukan tentang kita lagi.Ini tentang kisah kita… yang kini dimiliki orang banyak.”Dan memang, saat film diputar dan layar lebar menyala,Nara tidak benar-benar menonton.Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi penonton:mereka tertawa saat adegan manis.Menangis saat adegan pertengkaran.Hening saat adegan Raydan versi layar memeluk Nara versi layar setelah pulang dari Eropa.Tapi tak satu pun dari mereka tahu:betapa nyata rasa takut yang menyelimuti setiap malam Nara selama di benua lain,betapa cang
Peluncuran buku “Pulang Tidak Selalu ke Rumah” diadakan di sebuah galeri kecil di jantung Jakarta.Dekorasi sederhana. Cahaya hangat.Barisan kursi penuh wajah-wajah penasaran—beberapa pembaca setia blog Nara,beberapa teman komunitas, dan…di baris depan, duduk seseorang yang tak pernah absen dalam proses penulisan: Raydan.Dan di sampingnya, mengenakan dress kuning muda yang dipilihnya sendiri, Alana menggenggam buket kecil.---Nara membuka acara dengan senyum gugup.> “Saat pertama menulis memoar ini, aku tidak tahu apa yang ingin kuceritakan.”“Apakah tentang pernikahan yang tak direncanakan?”“Atau tentang peran yang dipaksa dimainkan sebelum benar-benar siap?”> “Tapi saat menulis bab terakhir, aku sadar…”“Ini bukan buku tentang kegagalan yang dibungkus manis.”“Ini buku tentang kejujuran yang akhirnya berani bicara.”Ia lalu membuka lembar terakhir,yang selama ini hanya ia baca sendiri—hingga malam sebelum acara ini.> “Bab 23 – Orang yang Membuatku Percaya Lagi”> “Namanya
Undangan itu datang lewat email dari universitas ternama.Acara seminar bertajuk “Pernikahan dan Pemulihan: Membangun Kembali Setelah Retak.”Mereka tak pernah mencari sorotan.Tapi kisah mereka—yang tersiar pelan dari mulut ke mulut melalui Rumah Pulang, melalui komunitas kecil, hingga media lokal—membuat nama Nara dan Raydan disebut-sebut sebagai pasangan yang layak bicara.Nara sempat ragu.Bukan karena ia malu, tapi karena ia tahu: bicara tentang masa lalu berarti membuka luka—yang bahkan belum sepenuhnya sembuh.> “Apa kita siap?” tanya Nara.Raydan menatapnya.“Kalau kita tunggu sampai benar-benar siap… mungkin kita enggak akan pernah datang.”---Di atas panggung, dengan mikrofon kecil di dada dan sorotan lampu putih,Nara membuka sesi itu bukan dengan teori. Tapi dengan kejujuran.> “Kami tidak menikah karena cinta.Kami menikah karena situasi. Karena syarat warisan. Karena rasa bersalah.Dan… kami tidak langsung jatuh cinta setelah itu.”> “Fase pertama kami adalah saling men
Nara mulai menyadari sesuatu berubah di belakang rumah.Bukan secara tiba-tiba. Tapi perlahan, seperti musim yang bergeser diam-diam.Ada deru cangkul. Ada bau tanah basah.Dan ada Raydan—yang setiap pagi, setelah subuh, menyibukkan diri di taman kecil mereka.Nara sempat mengira itu bagian dari hobi barunya.Tapi ternyata lebih dalam dari itu.---Suatu siang, saat ia hendak menjemur cucian, Nara melihat sesuatu yang aneh.Di sudut taman, tersembunyi di balik semak lili paris, ada papan kayu kecil bertuliskan:> “Dari surat yang tak pernah sampai.”Penasaran, ia menyibak daun-daun yang menghalangi, dan menemukan sebuah kotak kayu kecil yang dilapisi pelapis tahan air.Di dalamnya, ada gulungan-gulungan kertas tua.Beberapa sudah lusuh, beberapa masih rapi.Saat dibuka, Nara tercekat.Itu surat.Tulisan tangan.Tulisan tangannya sendiri.---Surat-surat itu adalah draf lama yang ia tulis saat masa awal pernikahan—saat ia tak tahu harus berbicara pada siapa,saat luka terlalu malu unt
Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa