Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 79 – Menghitung Ulang Harga Rumah yang Pernah Dibangun

Share

Bab 79 – Menghitung Ulang Harga Rumah yang Pernah Dibangun

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-13 23:02:19

Setelah email demi email, pesan demi pesan, akhirnya Raydan menulis pesan singkat:

“Na...

Jika kamu bersedia, bisakah kita duduk lagi?

Bukan sebagai mantan.

Bukan sebagai nostalgia.

Tapi sebagai dua manusia yang ingin bicara:

Masihkah ada rumah baru yang bisa kita bangun?”

Nara membaca pesan itu berkali-kali, menangis lama —

lalu menjawab:

“Ya, Dan.

Aku mau.”

Mereka memilih tempat netral lagi:

Kyoto, Jepang.

Tenang, elegan, cukup jauh dari bising dunia.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat Sungai Kamo.

Saat melihat Raydan berjalan dari kejauhan, Nara nyaris gemetar.

Tangannya dingin, namun detak jantungnya hangat.

Begitu pula Raydan:

Ada gugup, ada rindu, ada takut — semuanya bercampur.

Setelah saling menatap lama, akhirnya Raydan memecah keheningan:

“Kamu baik, Na?”

Nara mengangguk pelan.

“Baik. Dan kamu?”

“Belajar baik.”

“Sama.”

“Kita… seperti dua orang asing yang tahu terlalu banyak tentang satu sama lain, ya?”

Mereka sama-sama tertawa — tawa getir yang dalam.

Raydan m
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 123 – Dalam Satu Panggung

    Undangan itu datang dalam amplop putih sederhana,dikirim langsung ke rumah oleh panitia Festival Literasi Perempuan Nusantara.Nara membacanya sambil berdiri di beranda rumah, angin sore membelai pelan helaian rambutnya.> *“Kepada Ibu Nara Ayuningtyas,Kami mengundang Ibu sebagai pembicara utama dalam diskusi panel bertema:‘Perempuan, Suara, dan Ruang yang Diciptakan Sendiri.’”Awalnya, ia tersenyum.Akhirnya… karyanya mendapat ruang.Akhirnya… suaranya didengar bukan sebagai istri atau ibu, tapi sebagai dirinya sendiri.Namun, senyum itu perlahan meredup ketika matanya sampai pada daftar pembicara lain.> “Juga hadir sebagai pembicara:Tania Dwi Paramita – Psikolog & Aktivis Literasi Anak.”Tania.Nama itu kembali menamparnya seperti angin dingin di dada.Raydan pernah menyebutnya.Dan lebih dari itu—Tania adalah bagian dari luka yang dulu nyaris merobohkan kepercayaan mereka.Perempuan itu pernah hadir di masa retak.Pernah menjadi jeda yang hampir menghapus Nara dari hidup Rayda

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 122 – Nara Bertanya: Apakah Kisahku Layak Diceritakan?

    Beberapa hari setelah membaca buku harian Sekar,Nara merasakan sesuatu yang jarang ia kenali belakangan ini—bukan luka, bukan kelegaan, tapi… kehampaan.Ia berjalan di dalam rumahnya seperti biasa:menyeduh teh, melipat baju, mengisi kulkas.Tapi tiap gerakan terasa seperti mengulang babak dalam naskah lama.Tiap hari terasa padat,namun batinnya seperti lembar kosong.---Suatu siang, ia menerima email dari penerbit indie yang dulu pernah ia kirimi esai.Isinya: tawaran untuk menulis novel panjang.Tema bebas.Tapi disarankan berdasarkan pengalaman pribadi.> “Kami percaya kisah nyata yang dilukis dengan fiksi bisa menyentuh lebih dalam daripada yang sepenuhnya dicipta.”Nara membaca berulang kali.Tangannya gemetar.Bukan karena gugup menulis,tapi karena takut menghadapi dirinya sendiri—dalam bentuk narasi.---Sore harinya, ia duduk di balkon.Raydan duduk di seberangnya, sibuk membaca proposal proyek.Udara berembus pelan.Dan akhirnya Nara membuka suara.“Dan, menurut kamu...

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 121 – Warisan dari Seseorang

    Tiga hari setelah pertemuan terakhir itu,sebuah pesan masuk ke ponsel Nara.Bukan dari Sekar—tapi dari adik perempuannya, Dira.> “Kak Sekar sudah nggak ada.Tapi dia titip satu buku buat Kak Nara.Tolong kabari kapan bisa diambil.”Nara membaca pesan itu sambil duduk di ruang keluarga.Suara kartun dari televisi bergema pelan, tapi pikirannya melayang jauh.Ia tak menangis.Bukan karena tidak sedih,tapi karena sudah tidak ada lagi yang belum terucap.---Pagi harinya, ia datang ke rumah Dira.Dira menyambutnya dengan wajah lelah dan mata sembab.Di tangannya, sebuah buku berwarna merah tua, dengan tali kulit melilit.“Ini… Kak Sekar nulis selama sebulan terakhir. Katanya isinya buat Kakak semua,” ujar Dira.Nara menerimanya dengan hati yang berdebar.Buku itu tidak berat,tapi mengandung beban waktu, luka, dan kerinduan yang belum selesai.---Sesampainya di rumah,ia menaruh buku itu di meja.Menatapnya lama.Seolah tahu, membuka halaman pertama berarti membuka ulang kenangan yang

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 120 – Tiga Nama di Atas Pasir Parangtritis

    Ketika kereta berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta,angin pagi menyambut mereka dengan aroma nostalgia dan rempah-rempah dari pedagang kaki lima.Raydan menarik koper besar dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Alana.Nara berjalan di samping mereka, wajahnya menyimpan senyum tipis yang tak ia sadari tumbuh sejak turun dari kereta.Yogyakarta.Kota yang pernah mereka lewati dalam perjalanan masing-masing.Kali ini, mereka datang sebagai keluarga.Tujuan pertama: Malioboro.Alana terpukau oleh segala hal—kuda delman yang dihias pita warna-warni,pemusik jalanan dengan suara serak lembut,dan toko-toko kecil yang menjual kaus bertuliskan “Jogja Istimewa.”Nara memperhatikan putrinya seolah melihat dirinya sendiri saat masih remaja.Matanya berbinar.Langkahnya cepat.Dan tiap hal kecil menjadi cerita.Mereka makan gudeg di warung tua yang dindingnya dipenuhi foto presiden dan seniman lama.Raydan, seperti biasa, mengambil foto diam-diam saat Nara sedang tertawa

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 119 – Reuni yang Tak Pernah Benar-Benar Usai

    Nara menerima undangan itu dalam bentuk email yang nyaris terlewat.Judulnya sederhana:“REUNI ANGKATAN 2000 – SMA PELITA NUSANTARA”Subjudulnya: Saatnya Mengenang, Memaafkan, dan Melanjutkan.Ia membaca pelan-pelan, seperti sedang menelusuri kenangan—bukan sekadar baris informasi.SMA Pelita Nusantara.Tempat di mana dirinya pernah merasa menjadi versi yang tak pernah cukup.Raydan menemukan istrinya duduk di meja makan,sambil menatap layar ponsel yang tak kunjung disentuh.“Undangan reuni?”Raydan mengenali ekspresi itu—tatapan kosong ke masa lalu.Nara mengangguk.“Kenapa ya... rasanya seperti membuka kotak yang udah lama dikunci?Padahal itu cuma reuni.”Raydan duduk di sebelahnya.“Kotak itu kamu kunci, karena dulu kamu kira kamu harus berubah dulu buat bisa dilihat.”Ia diam sebentar, lalu menambahkan,“Tapi sekarang, kamu bisa datang sebagai dirimu yang utuh.”Tiga hari kemudian, Nara berdiri di depan cermin.Gaun semi-formal warna hijau sage membalut tubuhnya.Tidak terlalu

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 118 – Malam Sebelum Ijab Kabul

    Di ruang tamu rumah mereka yang sederhana,Alana duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.Ia membawa kamera kecil, tripod mungil, dan sebuah buku catatan.Hari itu, ia menyebut kegiatan ini:“Wawancara Keluarga: Cinta, Konflik, dan Cara Mereka Bertahan.”Nara dan Raydan sempat tertawa kecil mendengar judulnya,tapi begitu kamera menyala,senyap merayap perlahan.Pertanyaan pertama Alana cukup sederhana:“Apa yang paling kalian ingat dari malam sebelum pernikahan kalian?”Seketika, Nara terdiam.Raydan mengerutkan alis.Dan setelah beberapa detik, Nara berkata pelan,“Malam itu, aku ingin membatalkan semuanya.”Alana membelalakkan mata.“Serius?”Raydan menoleh pelan ke arah istrinya.Ekspresi di wajahnya seperti seseorang yang tahu cerita itu,tapi tak pernah mendengarnya sejelas ini.Nara menarik napas.“Waktu itu, sehari sebelum ijab kabul, aku duduk di depan cermin.Aku melihat wajahku sendiri,dan yang kulihat adalah seseorang yang terlalu muda,terlalu takut, dan tidak sepenuh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status