Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 94 – Saat Masa Lalu Datang Mengetuk

Share

Bab 94 – Saat Masa Lalu Datang Mengetuk

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 23:43:59

Hari itu sore datang perlahan. Matahari seperti segan beranjak, menyinari apartemen mereka yang bersih dan sederhana. Aroma semur dan kayu manis memenuhi dapur—masakan khas ibunya Raydan yang baru datang dari Jakarta.

Sudah hampir lima tahun sejak terakhir kali Bu Intan menginjakkan kaki ke rumah anaknya. Kini, rambutnya sudah semakin memutih, langkahnya pelan, tapi tatapannya tetap tajam. Ia membawa koper kecil, dua kardus oleh-oleh, dan selusin pertanyaan yang tak semuanya diucapkan.

Alana berlari menyambutnya, memeluk kaki neneknya dengan tawa lepas.

Dan di balik tawa itu, Nara menghela napas—bukan karena keberatan, tapi karena tahu: beberapa hari ke depan akan menjadi ujian baru.

---

Sejak malam pertama, percakapan meja makan menjadi lebih... berhati-hati.

Ada hal-hal yang tak diucapkan, tapi berdesakan di udara.

"Alana sekarang udah besar, ya. Tapi kamu nggak takut terlalu memanjakan dia, Na?"

Suara Ibu terdengar ringan, tapi matanya menusuk.

Nara tersenyum tipis. "Kami berusaha
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 98 – Tak Lagi Bisa Menebak Apa yang Ia Pikirkan

    Pagi itu seperti biasanya.Langit mendung. Aroma roti panggang memenuhi dapur. Suara lalu lintas terdengar samar dari jendela.Namun satu hal terasa janggal:Alana tak bersuara sejak bangun tidur.Ia duduk di meja makan. Tidak membaca. Tidak mencoret-coret. Tidak bercerita tentang mimpinya seperti biasa.Hanya menatap kosong ke piringnya.---Nara memperhatikan putrinya dari seberang meja.Sesuatu di dada kirinya terasa berat — seperti alarm tanpa suara.“Sayang, kamu mimpi apa tadi malam?”Biasanya, itu cukup untuk membuka keran cerita.Tapi Alana hanya mengangkat bahu.Wajahnya biasa. Terlalu biasa.“Capek aja, Ma,” katanya pelan.---Tiga hari berlalu.Alana tidak menggambar.Tidak menulis.Tidak membuka dunia digitalnya.Tablet-nya tergeletak di meja, layar mati.Dan seperti itu juga yang tampak dari matanya: padam.Raydan memanggilnya ke ruang kerja.“Kamu nggak mau cerita dunia barumu lagi ke Papa?”Alana menggeleng.“Udah bosen,” jawabnya pendek.Raydan dan Nara saling tatap.-

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 97 – Ketika Dunia Memintanya Menjadi Orang Lain

    Pagi itu datang dengan kabar gembira — atau setidaknya, awalnya terdengar seperti itu.Sebuah email resmi masuk ke alamat Nara, dengan kop surat dari panitia “Konferensi Kreativitas Anak Nasional.”Isi pesannya lugas dan penuh pujian:> “Dengan bangga kami mengundang Alana Ayuningtyas Raydan untuk menjadi salah satu pembicara termuda dalam sesi utama kami bertema:‘Suara Anak Indonesia: Imajinasi untuk Masa Depan.’”Nara membacanya berulang kali, lalu memanggil Raydan. Mereka berdua memandang layar laptop dalam diam yang hangat — sejenis keheningan yang hanya muncul saat harapan yang lama dijaga tiba-tiba tumbuh bunga.---Sore harinya, mereka menyampaikan kabar itu pada Alana.Gadis itu tersenyum lebar, matanya membulat, tangannya menutup mulutnya seperti tak percaya.“Beneran, Ma? Aku diundang? Buat bicara?” suaranya nyaris bergetar.Nara memeluk putrinya erat.“Beneran, sayang. Dunia akhirnya melihatmu.”Alana memejamkan mata.> “Akhirnya,” bisiknya. “Akhirnya ada yang bilang aku b

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 96 – Ketika Dunia Menyerbu

    Hujan turun sejak pagi. Tak deras, tapi cukup untuk membuat jendela berkabut dan hati menjadi suram.Di ruang tengah, Alana duduk memeluk lututnya, ponsel tergeletak di sampingnya — layar menyala, komentar demi komentar masuk tanpa henti.> "Ini anak-anak sekarang makin ngelantur.""Orang tuanya ngapain sih, nggak ngajarin yang bener?""Kebebasan kok jadi alasan untuk absurd."Nara berdiri di ambang pintu. Tak bicara. Tak langsung memeluk.Tapi jiwanya sedang berusaha menahan teriakan.---Beberapa hari sebelumnya, Alana mengunggah sebuah cerita visual interaktif berjudul "Tanah Tanpa Tuhan."Kisah tentang dunia yang diciptakan oleh anak-anak yang kehilangan rumah, dan membangun sebuah sistem etika sendiri — tanpa konsep agama, tanpa penghukuman.Bagi Alana, itu hanya dunia imajinasi.Bagi sebagian pengguna internet, itu adalah blasphemy.Karya itu viral. Ribuan interaksi.Dan bersamanya, datang gelombang kritik, cercaan, bahkan ancaman.---Di meja makan, malam itu terasa berbeda.Ra

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 95 – Saat Dunia Baru Mengintip Lewat Layar

    Suatu pagi yang biasa berubah menjadi pertemuan tak biasa, saat Nara mendapati Alana duduk di meja makan, earphone terselip di telinganya, mata terpaku ke layar tablet.“Alana, makan dulu,” ucap Nara lembut, tapi tegas.Alana mengangguk tanpa menoleh. “Iya, Ma… sebentar.”Tiga menit berlalu. Lalu lima.Dan saat Nara mendekat, ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya:Layar itu menampilkan dunia virtual — bukan game, tapi dunia interaktif, tempat orang-orang berinteraksi dengan avatar, membuat cerita, menjual ide, dan… hidup."Metaland," begitu judulnya.---Di malam hari, Nara menceritakan temuannya pada Raydan.“Aku khawatir, Dan. Dia terlalu larut di dunia digital ini.”Raydan menanggapi dengan nada hati-hati.“Anak-anak sekarang… ini dunia mereka. Kita tak bisa menolaknya begitu saja.”Nara menatap suaminya, lama.“Kita dulu membangun rumah untuk dunia nyata. Tapi sekarang, dia membangun ‘ruang bermain’ di tempat yang bahkan tak bisa kita sentuh.”Raydan mengangguk.

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 94 – Saat Masa Lalu Datang Mengetuk

    Hari itu sore datang perlahan. Matahari seperti segan beranjak, menyinari apartemen mereka yang bersih dan sederhana. Aroma semur dan kayu manis memenuhi dapur—masakan khas ibunya Raydan yang baru datang dari Jakarta.Sudah hampir lima tahun sejak terakhir kali Bu Intan menginjakkan kaki ke rumah anaknya. Kini, rambutnya sudah semakin memutih, langkahnya pelan, tapi tatapannya tetap tajam. Ia membawa koper kecil, dua kardus oleh-oleh, dan selusin pertanyaan yang tak semuanya diucapkan.Alana berlari menyambutnya, memeluk kaki neneknya dengan tawa lepas.Dan di balik tawa itu, Nara menghela napas—bukan karena keberatan, tapi karena tahu: beberapa hari ke depan akan menjadi ujian baru.---Sejak malam pertama, percakapan meja makan menjadi lebih... berhati-hati.Ada hal-hal yang tak diucapkan, tapi berdesakan di udara."Alana sekarang udah besar, ya. Tapi kamu nggak takut terlalu memanjakan dia, Na?"Suara Ibu terdengar ringan, tapi matanya menusuk.Nara tersenyum tipis. "Kami berusaha

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 93 – Jika Anak Tak Seperti yang Dibayangkan

    Alana semakin besar. Di usianya yang ke sembilan, dunianya tumbuh cepat — dan bersamanya, pertanyaan-pertanyaan yang mulai tak bisa dijawab dengan "iya" atau "tidak." Bakat Alana perlahan tampak menonjol, tapi bukan dalam hal yang dulu mereka bayangkan. Ia tidak terlalu menonjol di bidang akademik. Nilainya biasa-biasa saja. Namun ia bisa duduk selama berjam-jam, menggambar sosok-sosok aneh, makhluk berwarna ungu dengan tiga mata dan sayap dari angka-angka. Ia membuat dunia dari lembar kertas, memberi nama pada planet yang ia ciptakan sendiri. Dan setiap malam, ia menceritakan kisah dari dunianya dengan semangat yang nyaris mistis. Namun, ketika rapor datang dan diskusi orang tua digelar… dunia luar tak pernah cukup sabar untuk melihat “alam semesta imajinatif” seorang anak. --- Nara membaca komentar gurunya dengan rahang mengencang. > "Alana memiliki imajinasi tinggi, tetapi kurang fokus dalam mengikuti standar pelajaran reguler. Kami sarankan program peningkatan akademik ag

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status