Home / Romansa / Arimbi / Arimbi 9 - Teman karib Sultan

Share

Arimbi 9 - Teman karib Sultan

Author: Indkhrsya
last update Last Updated: 2021-05-24 10:05:35

Dengan penuh semangat Hanna membongkar isi lemari milik Arimbi. Senyuman terus terukir di bibirnya membayangkan kencan pertama mereka di luar. Beberapa saat lalu Marlina memberi kabar bahwa Sultan ingin Hanna segera bersiap-siap, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Sebenarnya seluruh pakaian Arimbi bagus semua, tapi tidak ada yang cocok di hati Hanna. Hingga akhirnya Hanna memegang sebuah gaun berenda yang menurutnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya.

"Hmm, semoga saja Mas Sultan menyukainya," kata Hanna setelah berhasil mencobanya. Meski terlihat agak kuno dan kusam, tetapi cukup menutup tubuhnya sampai bawah.

"Arimbi, aku pulang!" teriak Sultan dari luar, sambil menenteng bingkisan.

"Ah, iya. Sebentar, Mas." Dengan cepat Hanna merapikan dan menyimpan kembali pakaian Arimbi ke lemari.

Setelah itu dia berlari membuka pintu.

"Kenapa lama sekali?" tanyanya curiga.

Di detik berikutnya Sultan melotot saat melihat penampilan Hanna yang aneh. Tanpa berkata apapun Sultan menyeret Hanna menuju kaca rias yang memantulkan dirinya sendiri. Hingga tampaklah sesosok wanita sederhana tengah menatap bingung.

"Kamu tidak menyukainya ya?" tanya Hanna saat mengetahui alasannya.

"Sangat tidak suka." Tekan Sultan.

"Maaf, aku tidak tahu."

"Ya, kamu harus tahu. Aku membeli gamis itu lima tahun yang lalu saat kami masih berpacaran. Bagaimana bisa kamu memilihnya untuk tampil di depan kerabat dekatku? Gamis itu sudah jelek dan ketinggalan zaman."

Hanna menggigit bibirnya menahan tangis. Perkataan Sultan terdengar menyakitkan, tetapi memang benar adanya. Selera Hanna sangat buruk. Untuk pakaian saja Hanna tertinggal jauh bahkan dirinya tak tahu model.

"Paman selalu mengajarkanku untuk berpakaian sopan dan tertutup. Maka dari itu aku memilihnya, karena aku tidak mengenakan gaun yang pendek."

"Baiklah! Kali ini kamu aku maafkan. Kita tidak memiliki banyak waktu, dan temanku sedang menunggu. Sekarang kamu bisa gunakan sepatu ini. Ukuran kaki kalian berbeda sehingga aku harus membeli baru." Sultan menyerahkan bingkisan yang dibawanya pada Hanna, lalu berbalik.

Namun, baru tiga langkah berlalu Sultan menghentikannya. Tanpa berbalik dia berkata cukup tegas. "Poleslah sedikit wajahmu yang pucat itu, sementara aku bersiap-siap."

Tanpa berpikir panjang Hanna pun mematut dirinya. Ada banyak produk kecantikan yang tersedia di depannya, tapi cukup banyak juga yang tidak Hanna pahami fungsinya apa. Hanna jadi teringat Arimbi, wanita itu pasti sangat pandai memoles wajah. Wajar saja Sultan sangat mencintainya. Sambil mengingat-ingat wajah cantik Arimbi, Hanna menggunakan sedikit bedak berikut lipstik bewarna soft pink. Tidak lupa Hanna menyisir rambut panjangnya, dan menambahkan pita.

"Hmm, ternyata aku cantik juga." Hanna kagum melihat penampilannya yang baru.

Apalagi setelah mengenakan sepatu yang Sultan berikan, Hanna merasa seperti wanita tercantik di dunia. Di depan cermin wanita itu berputar-putar sehingga kedua sisi gaunnya mengembang. Saking girangnya Hanna sulit mengontrol gerakannya sendiri sampai melayang. Tepat di saat kaki Hanna terkelit Sultan datang dan menangkap tubuhnya yang nyaris terjatuh. Jantung Hanna berdebar kuat sekali, menatap sepasang mata Sultan.

"Masa kecilmu kurang bahagia ya?" Pertanyaan Sultan tidak Hanna hiraukan.

Wanita itu masih menatapnya tanpa berkedip. Sultan berdecih, lalu membenarkan posisi Hanna. Waktu mereka tidak banyak, Sultan sudah telat dari waktu yang ditentukan.

"Hmm, apa aku sudah terlihat cantik?" Hanna menatap penuh harap, sementara Sultan melirik jam tangannya.

"Ayo! Kita sudah terlambat."

"Jawab pertanyaanku dulu, Mas." Kali ini Hanna kekeuh, sedikit memaksa.

"Kamu cantik, tapi masih lebih cantik Arimbi istri pertamaku," jawabnya.

Hanna melotot. Rasanya kecewa sekali. Bahkan, Hanna menyesal telah bertanya demikian. Sultan memang tidak pernah tahu bagaimana perasaannya yang selalu dihempaskan.

***

Kerap kali Hanna tertinggal mengikuti langkah Sultan yang besar, menuju meja bundar yang menyediakan banyak makanan. Seorang lelaki sudah menunggu kedatangan mereka, dan dia tersenyum begitu melihat pengantin baru itu. Tenyata dugaan Hanna salah. Sultan tidak mengajaknya kencan, melainkan makan malam di salah satu ruangan rumah mereka sendiri.

"Selamat malam, Bro." Lelaki itu memeluk singkat Sultan. Keduanya tampak begitu akrab.

"Whoa, malam. Apa kami sangat terlambat?" tanya Sultan dengan cengirannya yang khas.

"Eum, tidak terlalu lama. Aku baru saja menunggu setengah jam lalu," jawabnya diiringi tawa.

Sepertinya mereka sudah lama tidak bertemu, Hanna jadi merasa tidak berguna. Selama keduanya asyik mengobrol dan saling bertanya kabar, Hanna melangkah mundur. Pada saat itulah temannya Sultan menyadari jika ada Hanna yang berdiri kikuk.

"Apakah dia wanita yang kamu ceritakan itu?" tanyanya pada Sultan, sambil melirik ke arah Hanna.

"Ya, betul. Kemari Arimbi, ini teman karibku." Sultan memanggilnya lembut.

Perlahan, Hanna datang mendekat. Matanya mengarah pada teman lelaki Sultan yang terus menatapnya intens. Bahkan Hanna dapat melihat dia sama sekali tidak berkedip. Dengan terpaksa Hanna mengulurkan tangannya, dan mereka berjabat tangan.

"Leonardo Dicaprio, kamu bisa memanggilku Leo." Lelaki itu tersenyum manis. Hanna mengangguk, buru-buru menarik tangannya.

"Maafkan sikap istriku. Dia memang agak pemalu." Sultan menarik kursi untuk Hanna, lalu memintanya duduk.

Leo tertawa hambar. Dari tempat duduknya yang bersebrangan dengan Hanna, dia terus menatapnya. Sultan tidak menyadari itu, karena Leo melakukannya dengan sangat baik. Sementara Hanna yang ditatap tentu saja merasa risih. Harapannya semoga acara makan malam mereka segera berakhir. Dia benar-benar muak.

"Kalau aku boleh tahu, di mana kamu menemukannya?" tanya Leo secara terang-terangan. Sultan terkekeh.

Menaruh kembali gelas yang baru saja diambilnya, Sultan pun berdeham. "Jangan bilang dia terlalu buruk untukku."

"Lebih baik dari sebelumnya." Leo berkata tegas, melirik Hanna yang kini menunduk.

Mendengar kedua lelaki itu membicarakannya Hanna terus menunduk, semakin enggan mendongak. Keduanya begitu santai membicarakan Hanna seolah dirinya tidak ada. Meski rasanya ingin menangis, Hanna mencoba untuk bertahan. Dia tidak mungkin meninggalkan Sultan, apalagi sampai membuat nama baiknya tercoreng.

Saat Hanna berhasil menghabiskan makan malamnya, dia memberanikan diri menegur Sultan yang masih asyik mengobrol. "Mas, apa kamu masih lama?"

"Ya, ada apa?" tanya Sultan, tatapannya begitu tajam.

"Eum, aku ingin balik duluan. Boleh?" Dengan hati-hati Hanna menyampaikan keinginannya, sontak Sultan melotot.

BraakSultan menggebrak meja di depannya, tampak sangat marah. Leo pun bangkit, meski tidak kaget lagi. 

"Kamu tidak menghargai tamuku ya?"

"Bro, santai. Biarkan dia balik duluan." Leo berusaha mengembalikan emosi Sultan.

"Dia sudah tidak sopan."

"Biarkan saja. Lagipula ada yang ingin aku bicarakan padamu, hal penting."

Sultan terdiam, dengan napas yang tidak beraturan dia berpikir. Cukup lama ditatapnya Hanna, sebelum akhirnya Sultan mengangguk yakin.

"Pergilah! Jangan kunci pintunya, malam ini aku tidur denganmu." Sultan memberi pesan, lalu kembali duduk.

Menyeka air matanya yang sempat menetes, Hanna mengangguk patuh. Sebelum beranjak Hanna menatap Sultan sekali lagi, berharap suaminya itu menoleh dan memastikannya kembali. Namun, bukan Sultan yang melakukan hal itu, melainkan Leo. Dia menatap Hanna kasihan. Matanya terus memperhatikan Hanna, sampai istri sahabatnya itu keluar melewati pintu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Arimbi   Arimbi 41 - Sultan frustrasi

    Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un

  • Arimbi   Arimbi 40 - Dipatahkan oleh kenyataan

    Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha

  • Arimbi   Arimbi 39 - Awal kebahagiaan

    Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap

  • Arimbi   Arimbi 38 - Melaporkan Ratih

    Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat

  • Arimbi   Arimbi 37 - Arimbi meninggal dunia

    Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga

  • Arimbi   Arimbi 36 - Wajah Hanna menjadi Arimbi

    Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status