Share

BAB 9

last update Huling Na-update: 2025-04-18 12:51:27

Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.

Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.

Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu.

“Kau baik-baik saja?”

Suara lembut itu berasal dari Grace, rekan kerjanya yang duduk tepat di sebelahnya. Nada suara perempuan itu terdengar penuh kekhawatiran, seolah-olah ia bisa merasakan betapa gelisahnya Elena saat ini.

Elena dengan cepat mendongakkan kepalanya, menatap Grace dengan sedikit terkejut, sebelum akhirnya mengulas senyum kecil yang dipaksakan.

“Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing saja. Jangan hiraukan aku, lanjutkan saja pekerjaanmu. Maaf jika aku mengganggumu,” ucapnya dengan nada berusaha terdengar santai, meskipun pikirannya masih berantakan.

Grace menatapnya sejenak dengan ekspresi ragu, tetapi akhirnya mengangguk kecil sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.

Elena bersandar di kursinya dan memejamkan mata dengan lelah. Hari ini, sebagian besar pekerjaannya ditangani oleh Mr. Caiden, memberinya banyak waktu luang. Tapi bukannya merasa tenang, ia justru makin gelisah. Waktu luang itu membuat pikirannya terus kembali pada mimpi aneh tadi malam. Ia sudah mencoba mengalihkan perhatian dengan membantu pekerjaan Grace dan Tony, tapi tetap saja, pikirannya selalu kembali ke adegan dalam mimpi itu.

Seolah ada sesuatu yang terus-menerus berusaha menariknya kembali ke dalam sensasi ciuman dan belaian penuh gairah pria itu.

‘Apa aku mengalami frustasi seksual?’ pikirnya dengan kesal.

Elena menggelengkan kepalanya dengan cepat, mencoba mengusir segala macam pikiran aneh yang mulai merayap di otaknya. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dari kursinya, lalu berjalan dengan langkah cepat menuju toilet, berharap bahwa sedikit air dingin di wajahnya dapat membantunya kembali berpikir jernih.

Begitu tiba di dalam toilet, ia segera memutar keran dan membiarkan air dingin mengalir deras. Ia menangkupkan kedua tangannya di bawah aliran air, lalu mencuci wajahnya dengan kasar, seolah berharap bahwa dengan cara itu, ia bisa menghapus segala pikiran yang mengganggu pikirannya sejak pagi.

Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya, menatap bayangannya sendiri di cermin yang sedikit berkabut akibat udara lembap di dalam ruangan itu. Namun, di saat itulah, sesuatu menghantam pikirannya begitu kuat.

Sebuah kilasan ingatan muncul—sekelebat bayangan dari mimpi itu kembali menyergapnya.

Otak Elena masih bisa merasakan dengan sangat jelas bagaimana pria dalam mimpinya itu membungkukkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Elena, lalu membisikkan sesuatu dengan suara yang begitu lembut, begitu dalam, dan begitu familiar.

“Ha... Sial!” runtuknya dengan suara pelan. “Ya Tuhan, kumohon enyahkan pikiran kotor ini dari otakku.”

Elena menghela napas panjang, meremas tepi wastafel dengan erat. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, seolah tubuhnya masih bereaksi terhadap mimpi itu. Ia tidak mengerti mengapa dirinya begitu terguncang oleh sesuatu yang bahkan tidak nyata.

“Kenapa hanya karena sebuah mimpi, aku sampai seperti ini?” gumamnya, menatap bayangannya sendiri di cermin. Pipi tirusnya terlihat sedikit memerah, entah karena air dingin atau efek dari mimpi yang masih membekas di pikirannya.

Ia mencoba mengingat kembali suara yang berbisik di telinganya dalam mimpi itu. Suara yang dalam, tenang, dan anehnya terasa sangat familiar. Rasanya seperti suara yang pernah ia dengar dalam kehidupan nyata, tetapi dari siapa?

Pikirannya melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak masuk akal. Apakah itu seseorang yang dikenalnya? Ataukah hanya sekadar bayangan dari alam bawah sadarnya? Jika benar ia pernah mendengar suara itu di dunia nyata, maka siapa pria itu sebenarnya?

Elena menggelengkan kepalanya, menertawakan dirinya sendiri. “Ini gila,” katanya pelan. “Aku bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan pria, apalagi sampai terobsesi dengan seseorang yang bahkan tidak nyata.”

Namun, sekeras apa pun ia mencoba mengabaikannya, sesuatu di dalam dirinya terus berbisik bahwa mimpi itu bukan sekadar mimpi biasa.

Dengan enggan, ia menyeka wajahnya dengan tisu, memastikan tidak ada sisa air yang masih menempel di kulitnya sebelum merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat gerakan refleks yang ia lakukan sebelumnya. Setelah merasa cukup tenang, ia membuka pintu toilet dan melangkah keluar, berharap bahwa pikirannya bisa kembali jernih begitu ia kembali ke meja kerjanya.

Namun, saat ia keluar dari toilet, langkahnya terhenti sejenak ketika ia berpas-pasan dengan Shannon yang tampak sedang mencarinya dengan ekspresi sedikit cemas di wajahnya. “Elena! Aku mencarimu sejak tadi,” ujar Shannon dengan senyum cerah, matanya berbinar seolah ingin segera menyampaikan sesuatu yang penting. “Ayo makan siang bareng.”

Elena melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangannya yang ramping dan menyadari bahwa memang sudah waktunya beristirahat dari pekerjaan yang sejak pagi membuat kepalanya semakin penuh. “Baiklah, ayo pergi,” jawabnya sambil tersenyum kecil, merasa bahwa sedikit distraksi mungkin bisa membantunya melupakan pikirannya yang terus mengembara ke arah mimpi aneh itu.

Segera mereka berdua melangkahkan kaki menuju restoran langganan yang terletak tidak jauh dari kantor mereka, sebuah tempat yang sering mereka kunjungi setiap kali ada waktu untuk makan siang bersama. Setelah sampai di restoran, mereka segera memilih tempat duduk yang nyaman dan memesan makanan, lalu menunggu dengan santai sambil mengobrol ringan sebelum akhirnya Shannon mulai membuka pembicaraan dengan nada yang sedikit lebih serius dari sebelumnya.

“Aku ingin bercerita sedikit,” kata Shannon sambil mengaduk minumannya dengan sendok kecil yang disediakan di meja. “Aku mulai merasa bahwa hubungan jarak jauhkku dengan Ryan semakin sulit untuk dipertahankan dan aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”

Elena menatap Shannon dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap kata yang diucapkan temannya dengan seksama. “Kenapa? Apa yang terjadi di antara kalian?” tanyanya dengan nada suara lembut, ingin memberikan dukungan kepada Shannon yang tampak frustrasi.

“Dia mulai jarang memberi kabar. Dulu, walaupun sibuk, dia selalu menyempatkan waktu untuk menelepon atau mengirim pesan, meskipun hanya untuk sekadar bertanya bagaimana hariku. Sekarang, aku yang selalu harus menghubunginya lebih dulu, dan rasanya seperti aku yang terlalu berusaha dalam hubungan ini,” ungkap Shannon dengan nada kecewa dan sedikit putus asa.

“Mungkin dia memang sedang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, Shan,” kata Elena mencoba menenangkan, meskipun ia bisa memahami perasaan tidak dihargai yang dirasakan Shannon.

Shannon menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke dalam gelas minumannya. “Aku juga berpikir begitu, aku mencoba memahami situasinya, tapi entah kenapa rasanya seperti ada jarak yang semakin lebar di antara kami. Aku takut dia mulai kehilangan perasaan padaku dan tidak ingin melanjutkan hubungan ini.”

Elena menggenggam tangan Shannon dengan lembut, mencoba memberikan sedikit ketenangan dan keyakinan kepadanya. “Jangan langsung berpikir buruk, Shan. Coba bicarakan dengan dia secara jujur. Jika ada sesuatu yang mengganggunya, dia pasti akan terbuka padamu kalau dia masih peduli.”

Shannon tersenyum lemah, seolah sedikit merasa lebih baik setelah mendengar kata-kata Elena. “Ya, mungkin aku memang terlalu banyak berpikir dan membiarkan kekhawatiranku menguasai diriku. Aku akan coba bicara dengannya nanti, semoga dia bisa mengerti perasaanku.”

Saat makanan mereka tiba, Shannon menyelesaikan curhatannya dan mereka berdua mulai menikmati makan siang dengan lebih tenang. Sebenarnya, di dalam hati, Elena masih merasa bimbang. Haruskah ia menceritakan mimpi absurdnya kepada Shannon dan meminta pendapatnya? Atau lebih baik ia memendamnya sendiri dan menganggapnya hanya sebagai refleksi dari perasaan frustrasi seksualnya yang mungkin selama ini ia abaikan tanpa sadar?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 111

    Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 110

    SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 109

    Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 108

    Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 107

    “Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 106

    Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status