Share

BAB 8

Penulis: Cherry Whisper
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-18 12:47:44

Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.

Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.

“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.

Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”

Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”

Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”

“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”

Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah mengerjakan tugasku?”

Shannon tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Oh! Astaga, apa aku belum memberitahumu? Pekerjaan evaluasi parfum musim semi bulan depan milikmu sudah Mr. Caiden selesaikan.”

Elena masih terdiam, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. “Kenapa dia melakukan itu?” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.

Shannon mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu. Aku cukup terkejut ketika mendengarnya. Si Voldemort ternyata bisa baik juga.”

Elena mengernyit. “Apa kita harus merubah julukannya menjadi ibu peri sekarang?”

Shannon tertawa pelan.

Julukan ‘Voldemort' memang sudah lama melekat pada Mr. Caiden, seorang atasan yang dikenal dingin, tegas, dan tanpa ampun. Ia tidak segan memecat karyawan yang tidak bekerja sesuai standar yang ia inginkan. Mendengar bahwa pria itu mengambil alih pekerjaannya justru membuat Elena semakin resah.

Pintu lift terbuka, hanya mereka berdua yang masuk ke dalam.

Shannon kembali sibuk dengan ponselnya, sementara Elena tenggelam dalam pikirannya sendiri. Apakah ia akan terkena dampak dari tindakan Mr. Caiden? Apakah ini berarti ia melakukan pekerjaannya dengan buruk, sehingga sang atasan merasa perlu turun tangan?

Pikirannya bercampur aduk, ditambah lagi dengan mimpi yang terus menghantuinya sejak kepulangannya dari Kanada.

Pria itu…

Aroma musim panas yang menguar dari tubuhnya, mata yang menatapnya penuh misteri, dan sentuhan yang begitu nyata.

“Haa…” Elena membuang napas dengan kasar, tanpa sadar mengganggu keheningan dalam lift.

Shannon meliriknya dengan bingung. “Apa kau yakin baik-baik saja?”

Elena cepat-cepat mengangguk. “Ya, aku baik-baik saja. Kau telah sampai di lantaimu.”

Shannon melihat pintu lift yang telah terbuka di lantainya, lalu tersenyum cerah. “Baiklah, nanti kita makan siang bareng, ya?”

Elena hanya mengangkat ibu jari sebagai jawaban.

Saat lift kembali bergerak naik, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari apa yang baru saja didengarnya. Begitu pintu lift terbuka di lantainya, ia melangkah keluar dengan sedikit was-was.

Di ruangannya, ia langsung disambut oleh Grace, Alice, dan Tony yang menyambutnya dengan antusias.

“Elena! Kau sudah kembali!” seru Tony.

“Wow, apa kau membawa oleh-oleh?” tanya Alice dengan mata berbinar.

Elena tertawa kecil dan mengeluarkan beberapa bungkus cokelat dan permen khas Kanada dari tasnya. “Tenang saja, aku tidak lupa membawa sesuatu untuk kalian.”

Saat ia menyerahkan oleh-oleh itu, pandangannya secara refleks tertuju pada ruangan kaca di sudut kantor—ruangan milik Mr. Caiden.

Kosong.

Ia menoleh pada Grace. “Apa Mr. Caiden belum datang?”

Grace menggeleng sambil mengunyah permen. “Belum. Padahal biasanya dia datang lebih awal dari kita semua.”

Elena menggigit bibirnya. Entah mengapa, ada perasaan tidak nyaman yang menggelayut dalam hatinya.

Kenapa pria itu mengambil alih pekerjaannya?

Sebelum Elena sempat berpikir lebih jauh, suara notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatian. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel, alisnya sedikit terangkat saat melihat nama pengirim pesan.

[Mr. Caiden-Direktur R&D: Bertemu di ruanganku begitu aku tiba.]

Jantungnya berdebar. Perasaan was-was yang tadi hanya samar kini berubah menjadi ketegangan nyata. Apakah ini tentang pekerjaannya? Atau ada alasan lain?

“El, kau baik-baik saja?” tanya Tony yang memperhatikan ekspresi wajahnya berubah.

Ia cepat-cepat menyembunyikan kegelisahannya dengan senyum kecil. “Ya, aku hanya… sedikit terkejut.”

Tony mencoba melirik layar ponselnya dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi Elena segera menguncinya dan memasukkan kembali ke dalam saku. Ia tidak ingin mendiskusikan ini dengan siapa pun sebelum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan bersama rekan-rekannya, tetapi pikirannya tetap terpaku pada satu hal: pertemuan dengan Mr. Caiden.

Tak lama kemudian, suasana di kantor mendadak lebih hening—sebuah tanda bahwa seseorang baru saja memasuki ruangan dengan aura dominasi yang khas.

“Mr. Caiden sudah datang,” bisik Grace memberitahu Elena, ia hanya mengangguk kecil.

Dengan mengumpulkan keberanian, ia berdiri, merapikan pakaiannya, dan berjalan menuju ruangan kaca di sudut kantor. Setiap langkah terasa berat, seakan membawa beban pertanyaan yang tak terjawab.

Begitu sampai di depan pintu, ia mengetuk dua kali sebelum mendengar suara berat dari dalam.

“Masuk.”

Elena membuka pintu dan melangkah masuk, menutupnya kembali dengan perlahan.

Di balik meja kerja yang rapi, duduklah Mr. Caiden—pria yang selama ini dijuluki ‘Voldemort’ oleh karyawannya. Dengan jas hitam rapi dan ekspresi tajam yang sulit ditebak, ia mengangkat wajahnya, menatap Elena dengan intens.

“Kau sudah kembali,” katanya, suaranya tetap sedingin biasanya.

Elena menelan ludah, lalu mengangguk. “Ya, Sir. Saya baru kembali kemarin malsm.”

Mr. Caiden tidak langsung berbicara. Ia hanya menatapnya dalam diam, seolah sedang menilai sesuatu yang tak bisa Elena pahami.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya ia bersandar ke kursinya dan melipat tangan di depan dada.

“Aku telah menyelesaikan evaluasi parfum musim semi untukmu.”

Elena menggigit bibirnya. “Ya, saya baru mendengarnya. Saya… tidak menyangka.”

Pria itu mengangkat satu alis. “Kau terdengar lebih bingung daripada berterima kasih.”

Elena mengepalkan tangannya di samping tubuhnya. “Bukan begitu, Sir. Saya hanya ingin tahu… kenapa Anda melakukannya?”

Tatapan Mr. Caiden tetap tajam, tetapi ada kilatan sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit ditebak.

“Apa itu masalah bagimu?”

Elena menggeleng cepat. “Tentu tidak. Saya berterima kasih. Hanya saja… saya ingin tahu alasannya.”

Hening.

Mr. Caiden menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara dengan nada lebih rendah.

“Kau telah bekerja cukup keras selama ini. Anggap saja sebagai hadiah? Karena telah berhasil mendapatkan tender dengan pihak Natura Davis,” lanjut perkataan Mr. Cairan. “Aku tidak ingin pekerjaan yang tertunda membuatmu semakin lelah setelah perjalanan jauh.”

Jawaban yang pertama itu seharusnya cukup, tetapi entah kenapa jawaban yang kedua, merasa ada sesuatu yang sedikit ambigu.

Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Mr. Caiden sudah beralih ke dokumen di mejanya, seolah percakapan itu sudah berakhir.

“Kau bisa kembali bekerja.”

Elena ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Terima kasih, Sir.”

Saat ia berbalik dan berjalan keluar ruangan, perasaan tidak nyaman dalam hatinya semakin bertambah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 111

    Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 110

    SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 109

    Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 108

    Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 107

    “Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 106

    Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status