"Apa kamu yakin bisa tinggal di sini hanya dengan Niko, dan Retno, Han? Kalian berdua itu perempuan. Mana Niko masih balita dan kamu tengah hamil besar. Ibu khawatir, Han."
Rianti yang tengah duduk di atas sehelai tikar, miris melihat rumah kontrakan sangat sederhana yang dipilih oleh Jihan. Perseteruan hebat Jihan dengan Syahnan kemarin dulu, berujung pada pengusiran Syahnan pada putrinya sendiri. Syahnan marah besar karena Jihan tidak bersedia kembali pada Tommy. Dan konsekuensinya adalah Jihan harus keluar dari rumah, karena telah berani membangkang. Akibatnya ya seperti ini. Jihan mengontrak rumah sendiri.
Dan hari ini Jihan pindah ke rumah kontrakannya. Sedari pagi tadi, dirinya dan Retno, salah seorang ART di rumahnya, membantu Jihan pindahan. Tidak repot memang karena putrinya memang tidak membawa apapun dari rumahnya bersama Tommy dulu. Putrinya itu keluar dari rumah hanya dengan membawa pakaian yang melekat di badan. Begitu juga dengan Niko. Makanya rumah kontrakan putrinya ini nyaris tidak ada isinya. Jihan hanya mengisi rumah kontrakan ini dengan barang-barang yang sangat penting saja. Seperti kasur lipat, bantal dan selimut.
Di dapur hanya ada sebuah kompor gas dua tungku, dispenser dan galon air minum. Peralatan masak dan makan, semuanya adalah barang-barang lungsuran dari rumahnya. Tadinya Jihan sempat menolak pemberiannya. Tetapi setelah dirinya mengingatkan akan segala kebutuhan Niko, barulah Jihan mau menerima sekardus besar peralatan masak dan makan. Begitu juga dengan televisi dan kulkas yang tadi baru saja diantar dari toko. Jihan tidak kuasa menolak saat ia mengatakan bahwa Niko dan calon cucunya yang akan lahir, pasti akan memerlukannya. Makanya Jihan terpaksa menerimanya. Selain itu, kosong. Tidak ada sofa atau pun meja kursi di dapurnya. Pakaian-pakaian yang baru saja dibeli oleh Jihan pun, hanya diletakkan di dalam kardus besar. Jihan menfungsikan kardus itu sebagai lemari. Bagaimana dirinya sebagai seorang ibu tidak sedih melihatnya?
Jihan ini tidak pernah hidup susah sedari dalam kandungan. Setelah menikah pun, ia menjadi seorang nyonya muda keluarga konglomerat Wiranata. Dan sekarang, dalam keadaan hamil besar seperti ini, putrinya ini harus berjuang hidup di rumah kontrakan yang hanya sebesar kotak sabun ini. Rianti takut kalau Jihan tidak akan sanggup menjalani kehidupan sesungguhnya di kontrakan ini.
"Insyaallah bisa, Bu. Ibu jangan khawatir. Selama Jihan masih memiliki panca indera yang sempurna, Jihan pasti bisa melewati semua ini. Ditambah dengan doa tulus Ibu tentu saja."
Sembari menyusun pakaian-pakaian bayi yang baru dibelinya, Jihan mencoba menenangkan kekhawatiran sang ibu. Ia memang hanya mempunyai budget sekian rupiah untuk mengontrak rumah. Sisa uang yang ia punya rencananya akan ia gunakan untuk membuat usaha. Dan ibunya juga tau tentang rencananya itu. Karena semua uang yang ia punya adalah pemberian dari sang ibu.
"Seandainya saja Ibu punya uang lebih banyak ya, Han? Pasti Ibu bisa membantumu lebih maksimal," keluh Rianti sedih. Setiap kali Rianti memandang seantero ruangan, semakin sedih hatinya. Keaadan Jihan di sini sangat memprihatinkan.
"Ibu jangan bilang begitu. Uang seratus juta Ibu ini sudah sangat membantu Jihan. Jihan janji, setelah keadaan Jihan stabil, Jihan akan mencicilnya pelan-pelan sampai lunas," tekad Jihan.
"Astaga Jihan. Ibu ikhlas memberikan uang itu padamu. Ibu sama sekali tidak minta dikembalikan, Nak," tolak Rianti lekas-lekas. Mendengar penolakan sang ibu, Jihan segera menghampiri sang ibu yang tengah duduk selonjoran di atas sehelai tikar. Dikarenakan perutnya yang besar, Jihan tidak bisa bersimpuh di hadapan sang ibu. Jihan hanya duduk bersila di depan ibunya. Menggenggam tangan tuanya hangat.
"Ibu jangan menolak uang cicilan Jihan nantinya ya, Bu? Ibu kemarin dulu mendengar sendiri 'kan apa yang Jihan janjikan pada ayah? Jihan bilang kalau Jihan akan berusaha dengan kedua tangan Jihan sendiri untuk bertahan hidup di luar. Bantu Jihan untuk membuktikan pada ayah kalau Jihan akan mempertanggungjawabkan kata-kata Jihan sendiri. Jihan tidak ingin berbuat curang. Bantu Jihan berjuang dengan doa ya, Bu?" Rianti tidak menjawab. Ada sesuatu hal yang masih mengganjal di pikirannya. Ia ingin menuntaskan rasa penasarannya dulu, sebelum memberi jawaban pada putrinya.
"Han, apa kamu tidak mau memberikan kesempatan kedua pada Tommy? Tommy 'kan bilang kalau hubungannya dengan Diana belum terlalu jauh. Mereka tidak pernah berhubungan intim bukan? Ingat, Han. Menjadi seorang janda itu tidak mudah." Menanggapi kata-kata ibunya Jihan hanya tersenyum kecil.
"Itu 'kan menurut pengakuan Tommy. Kita belum mendengar pengakuan dari Diana bukan? Lagi pula, apa Ibu percaya kalau laki-laki dan perempuan dewasa seperti Tommy dan Diana itu hanya berselingkuh sebatas saling berpandangan dan pegangan tangan saja?"
Rianti terdiam. Kalau ia mau jujur, ia memang tidak percaya. Tetapi mau bagaimana lagi. Sebagai seorang perempuan, ia sudah terbiasa bermain dengan perasaannya sendiri. Membohongi dirinya sendiri dan menyelingkuhi hati nuraninya sendiri. Ia melakukan hal itu agar bisa tetap waras. Karena jikalau tidak, mungkin ia sudah bunuh diri sejak lama.
"Sebenarnya Jihan tidak ingin mengatakan hal ini pada Ibu. Karena bagi Jihan aib suami Jihan, sebisa mungkin akan Jihan tutupi. Tetapi dengan Jihan terus menutupi kebusukan Tommy, Ibu menjadi salah persepsi. Makanya hari ini, Jihan akan membuka semuanya."
"Apa itu, Jihan? Hal apa yang kamu tutup-tutupi dari kami semua?" ucap Rianti penasaran.
"Bu, Jihan ingin bercerai dengan Tommy bukan hanya karena masalah perselingkuhan Tommy dan Diana saja. Tetapi karena Tommy suka jajan di luar sesekali, Bu." Dengan apa boleh buat Jihan pun mengatakan alasan yang membuatnya keukeuh ingin bercerai dengan Tommy.
"Astaghfirullahaladzim! Mengapa kamu tidak mengatakannya sedari dulu, Han? Sungguh, Ibu tidak mengira kalau Tommy berkelakuan seperti itu." Rianti kaget. Sungguh, ia tidak pernah menduga kalau menantu laki-lakinya yang santun itu mempunyai kebiasaan sejelek itu.
"Jihan juga baru tau sekitar dua minggu belakangan ini, Bu. Waktu itu ponsel rahasia Tommy ketinggalan. Dan Jihan membaca seluruh chat panasnya dengan Diana. Jihan memang emosi sekali waktu itu. Jihan mendatangi mereka berdua di Starbuk*, dan mengatakan ingin berpisah dengan Mas Tommy. Namun setelah Ibu nasehati dan emosi Jihan sedikit mereda, Jihan sempat ingin memberi Mas Tommy kesempatan. Tapi kebenaran lain akhirnya muncul. Keesokan harinya masuk beberapa chat lagi dari beberapa wanita yang pernah Mas Tommy pakai. Mereka menanyakan kapan Mas Tommy membooking mereka lagi. Sejak saat itu, Jihan telah mengambil satu keputusan. Bahwa Jihan memang harus bercerai dengan Mas Tommy. Karena kalau pun Jihan bertahan, lama-lama Jihan pasti akan mati juga. Kalau tidak mati karena bunuh diri, mungkin mati karena tertular berbagai macam penyakit kelamin. Ibu sekarang mengerti 'kan mengapa Jihan ingin bercerai?" tutur Jihan pelan.
Selama ia bercerita tanggul air matanya terancam akan membanjir. Sungguh tidak mudah sebenarnya ia menceritakan aib suami sendiri. Ada rasa sedih, sakit hati, terutama rasa malu, karena merasa suami lebih menyukai kehangatan wanita entah siapa lainnya di luar sana, dibandingkan dirinya. Jihan merasa kalah.
"Itulah masalah yang sebenarnya, Bu. Mana mungkin Jihan ujug-ujug meminta cerai tanpa alasan yang kuat." Kali ini Jihan tidak sanggup lagi menahan lajunya air mata. Sungguh bukan hal mudah baginya untuk mengambil keputusan cerai. Istimewa telah hadir bakal dua malaikat kecil di dalam rumah tangganya. Sebelum keputusan itu ia ambil, matanya setiap malam kuyub oleh tangis tertahan. Hatinya berdarah setiap kali mengingat chat-chat panas Tommy dan Diana. Sungguh tidak mudah baginya menerima kenyataan pahit ini. Selama dua minggu ini, ia menahan segala perasaannya seorang diri. Berusaha kuat dan tegar, agar ia tidak mudah diintimidasi oleh ayahnya maupun pihak dari Tommy.
Ibunya sendiri pun heran melihat ketegarannya. Ibunya mengatakan biasanya bila seorang perempuan bersedih, bisa diketahui dari bantalnya yang basah oleh jejak air mata. Sementara bantalnya selama ini tetap kering tak bernoda. Padahal ia tidaklah sekuat itu. Memang bantalnya tidak pernah basah. Tetapi setiap malam, sajadahnya lembab oleh tetesan air matanya. Hanya diujung sajadahnya sajalah dirinya meminta kekuatan kepada Yang Maha Kuasa. Setiap kali ia gamang akan masa depan, ia akan berdoa di sajadahnya. Berusaha meyakinkan diri bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkannya sendirian. Dan cobaan tak kan pernah Dia berikan, di luar kemampuannya. Doa adalah satu-satunya kekuatannya dalam menghadapi semua permasalahannya hidupnya.
"Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi. Mulai detik ini, Ibu tidak akan pernah lagi memaksamu untuk rujuk kembali dengan Tommy. Ibu juga tidak akan mempedulikan omongan orang. Karena bagi Ibu, kebahagiaanmu adalah segala-galanya. Jangan menangis lagi, Anakku. Ada Ibu bersamamu, selalu." Rianti memeluk putrinya erat. Luka menganga di mata Jihan melukai perasaan keibuannya. Cukup dirinya saja yang hampir gila karena selalu diselingkuhi suami. Jangan pada anak-anaknya lagi. Karena ia tau sakitnya diduakan, tigakan dan entah berapa lagi, perihnya tak terucapkan.
Jihan tidak sanggup lagi berbicara. Keharuan menyerap semua udara di paru-parunya. Selama ini ibunya tidak pernah memeluknya seerat ini. Dan kini mendapati pelukan sehangat ini, hati Jihan lumer. Selain sajadahnya, kini ia menangis keras di dada ibunya.
***
"Waduh bagaimana ya, Mbak. Kayaknya warung ini tidak jadi saya sewakan. Mau saya jual saja."
Jihan melongo. Ia sungguh tidak menduga kalau warung yang rencananya akan ia sewa, sudah akan dijual. Padahal kemarin si pemilik warung telah setuju untuk menyewakan padanya. Harga sewa juga telah mereka berdua disetujui. Rencananya hari ini ia tinggal membayar saja. Bagaimana Jihan tidak bingung jadinya.
"Tapi kemarin 'kan sudah kita setujui bersama, Pak. Saya sudah menempah stealing dan peralatan masak lainnya lo, Pak. Masa Bapak mau membatalkannya secara sepihak begini?"
Jihan rasanya mau menangis mengingat biaya yang sudah ia keluarkan untuk membuka warung pecal lele ini. Ia memang bisa saja menyewa tempat lain. Tetapi lokasinya belum tentu sestrategis ini. Warung ini berada di jajaran perkantoran. Makanya walau pun uang sewanya mahal, tetap ia bayar.
"Ya bagaimana, Mbak. Pemilik kantor di sebelah warung menawarkan harga yang sangat tinggi. Warung saya ini akan dijadikan satu dengan kantor barunya. Maaf ya, Mbak?"
Bapak pemilik warung meminta maaf. Jihan hanya mengangguk lesu. Berarti ia harus mencari-cari lokasi mulai dari nol lagi. Padahal ia sudah sangat berharap akan meneruskan usaha warung nasi goreng Pak Imran ini. Pak Imran sudah lama menjual nasi goreng. Hanya saja sekarang Pak Imran sudah sakit-sakitan dan ingin menikmati hari tua di rumah saja. Anak-anak Pak Imran juga sudah sukses-sukses semua. Makanya warung nasi gorengnya disewakan. Dan Jihan bermaksud ingin membuka warung pecel lelenya di sini. Bagaimana pun warung ini sudah banyak diketahui pelanggan. Jadi ia tidak perlu memulai dari nol lagi.
"Nah, itu Pak Azzam Alkatiri. Pemilik kantor yang mau membeli warung saya. Panjang umur Pak Azzamnya." Air muka Pak Imran berseri saat melihat sebuah mobil mewah parkir di depan warung.
Ya sudah, Jihan. Jangan sedih. Berarti warung ini bukan rezeki kamu.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu ya, Pak Imran. Kalau Pak, siapa tadi? Pak Azzam ya?" tanya Jihan. Pak Imran mengangguk. Namun pandangannya sudah tidak fokus lagi padanya. Pak Imran tengah memandangi seorang pria gagah bersetelan jas abu-abu tua, yang melangkah mendekati tempat mereka berbicara.
"Kalau Pak Azzam tidak jadi membeli warung ini, tolong kabari saya ya, Pak?" pinta Jihan. Pak Imran mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi Jihan segera berlalu dari warung. Sungguh ia merasa sangat kecewa. Jihan memandang sekali lagi pada warung idamannya sebelum berjalan keluar. Ketika ia berpapasan jalan dengan Azzam, ia melirik sekilas. Bertepatan dengan itu sosok yang ia lirik juga memandangnya. Pandangan mereka sejenak berbenturan di udara. Namun Jihan segera membuang pandangan. Tidak pantas rasanya ia memelototi orang yang tidak punya salah apa-apa dengannya. Jihan segera mengorder taksi online. Ia ingin segera pulang dan beristirahat di rumah. Ia harus kembali mengumpulkan tenaga esok hari untuk mulai mencari lokasi-lokasi yang strategis untuk berjualan. Semoga saja esok hari semua urusannya akan dimudahkan. Aamiin.
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera