Home / Zaman Kuno / Asmaraloka Sang Putri Pusaka / Bab 1 Iringan Pengantin

Share

Asmaraloka Sang Putri Pusaka
Asmaraloka Sang Putri Pusaka
Author: Fei Adhista

Bab 1 Iringan Pengantin

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-08-11 21:30:12

Langit pagi itu cerah, secerah wajah Raras yang duduk santai di atas kereta kuda berhias ukiran emas. Gaun kebaya warna gading yang dikenakannya tampak tak serasi dengan sikap santainya, salah satu kaki menggantung keluar, tangannya memegang jeruk manis yang baru dikupas. Gadis itu sibuk mengoceh pada emban tua yang duduk di sampingnya.

“Aku sudah bilang, Mbok. Aku tidak mau menikah dengan pangeran mana pun. Apalagi kalau mukanya kaku, dan aku kalau ngomong harus pelan, dan jalannya kayak mau menghadiri pemakaman,” keluhnya sambil menggigit jeruk.

Mbok Nini, sang emban, hanya geleng-geleng kepala. “Ya Tuhan, Gusti Putri, itu kan belum tentu. Siapa tahu Pangeran yang Gusti temui nanti justru gagah, tampan, dan bisa diajak ngobrol tentang bintang.”

“Kalau dia bisa main gamelan, baru aku pikir-pikir,” cibir Raras sambil menjentikkan kulit jeruk ke luar jendela. “Atau bisa masak sayur lodeh.”

Kereta melaju di antara pepohonan jati menuju pusat kerajaan Majakirana, tempat Istana Reksaputra berdiri megah. Raras dikirim sebagai salah satu putri bangsawan dari kerajaan wilayah utara untuk mengikuti Pemilihan selir, ajang tradisional yang diadakan ketika sang pangeran sudah berumur untuk membangun rumah tangga dan ajang untuk menentukan siapa di antara para gadis terpilih yang layak mendampingi sang pangeran calon putra mahkota.

Tapi Raras? Ia punya rencana.

“Aku mau gagal,” bisiknya ke Mbok Nini dengan penuh semangat. “Aku akan jawab semua ujian dengan ngawur. Kalau disuruh menyulam, aku bikin simpul tali tambang. Kalau disuruh menari, aku joget sableng. Kalau ditanya tentang strategi kerajaan, aku akan bilang, ‘Tanya dukun saja, saya tidak tahu!’”

Mbok Nini dan dan seorang dayang bernama Alin menahan tawa dengan susah payah. “Tapi Gusti Putri, bagaimana kalau justru… Gusti berhasil?” tanya Alin.

“Gagal adalah rencanaku yang paling matang, Mbok. Aku tidak sudi menjadi istri seorang pangeran kaku yang hidupnya diatur protokol!” katanya sambil melipat tangan. “Lagipula, siapa sih Pangeran Haryo Wirabumi itu? Namanya saja bikin ngantuk.”

Namun, rencana Raras tidak berjalan semulus kulit mangga muda.

Langit siang itu cerah seperti suasana hati Raras yang sedang dipenuhi rasa penasaran. Suara burung-burung di halaman istana pelatihan Putri menggema merdu, namun kalah nyaring dibanding suara Raras yang sedang mengeluh karena rambutnya ditarik-tarik dayang istana.

“Aduh, Mbak Narsih! Ini rambutku mau disanggul atau disiksa?” keluh Raras sambil mengerutkan hidungnya.

Dayang itu hanya mendecak pelan. “Putri Ayudia, panjenengan harus terlihat pantas di hadapan Pangeran Haryo. Ini seleksi istri masa depan raja, bukan pasar malam. Setidaknya kalau tidak terpilih menjadi permaisuri, terpilih menjadi Selir itu sudah anugrah."

Raras, tidak peduli. Ia tidak ingin menjadi istri pangeran mana pun. Baginya, menikah berarti kehilangan kebebasan. Ia lebih suka berkeliling desa dengan kereta kuda, berbicara dengan rakyat, atau ikut menyelinap ke dapur kerajaan mencicipi kudapan panas-panas.

Namun, aturan kerajaan adalah aturan. Semua putri bangsawan di usia tujuh belas tahun wajib mengikuti Seleksi Putri Permaisuri dan selir, termasuk dirinya. Dan kini, hari itu pun tiba.

Dengan seragam kebesaran berwarna gading dan sanggul khas Majakirana, Raras menaiki kereta kuda kerajaan. Denting lonceng kecil di leher kuda mengiringi langkah-langkah menuju Istana Kencana, tempat ujian dan seleksi berlangsung.

---

Seleksi berjalan dengan sangat ketat. Ujian pertama adalah kecakapan berbicara dalam forum diplomatik. Raras sengaja menjawab dengan ngawur.

“Jika dua kerajaan berperang, kita sebaiknya kirimkan makanan enak supaya mereka sibuk makan dan lupa bertempur!” katanya polos, membuat para sesepuh tergelak namun para penilai hanya saling melirik dengan tatapan dingin.

Ujian kedua, menjahit dan merangkai bunga. Raras menusuk jarinya tiga kali dan membuat rangkaian bunga berbentuk ayam goreng. Lagi-lagi para putri lain menahan tawa. Tapi saat sesi pemecahan masalah, seorang putri hampir pingsan karena insiden gas di dapur istana. Raraslah yang cepat tanggap dan menutup sumber api, menyelamatkan keadaan.

“Dia bodoh, tapi... selalu muncul saat dibutuhkan," bisik salah satu juri.

Namun, seperti yang sudah bisa diduga, Raras tidak lolos menjadi calon istri Pangeran Haryo, pangeran pertama yang tenang dan kalem, yang katanya menginginkan istri yang anggun dan lembut. Bahkan untuk menjadi selirnya pun Raras tidak masuk kriteria.

Raras hanya tersenyum puas. “Syukurlah, tidak jadi.”

Tapi nasib berkata lain.

Karena aksi-aksinya yang dianggap menyelamatkan rekan-rekannya, kerajaan memutuskan untuk tetap menjodohkan Raras, bukan dengan Pangeran Haryo, tapi dengan Pangeran Rakai Indradipa, adik dari Pangeran Haryo, seorang jenderal kerajaan yang kini tengah memimpin perang di perbatasan di kadipaten Mandalajati

“Kenapa bukan ditunjuk jadi kepala dapur saja, sih?” keluh Raras sambil menahan air mata saat mendengar keputusan raja.

Tapi perintah kerajaan tidak bisa ditolak. Hari pernikahan pun tiba.

Iring-iringan pengantin dari istana pun berangkat. Kereta kuda berhias melati, pasukan berkuda berbaris, dan genderang dibunyikan. Di dalamnya, duduk Raras dalam balutan kebaya pengantin, memandangi jalanan menuju rumah Adipati Rakai Indradipa.

“Aku bahkan belum pernah bertemu dia. Parahnya aku baru dengar namanya," bisiknya. “Apa dia juga belum pernah dengar tentang aku?”

Angin sore menyapa wajahnya.

Dan perjalanan menuju takdir yang tak pernah ia rencanakan… pun dimulai.

Langit Kerajaan Majakirana menggantung muram. Awan kelabu menggulung pelan, menelan cahaya mentari dan menaburkan bayangan ke atas tanah suci kerajaan.

Derap kaki kuda menggema keras di gerbang utama istana. Barisan pengawal berkuda melaju rapi, mengapit satu kereta utama berhiaskan lambang Kerajaan Wanasari, bunga melati dan kenanga bersilang keris. Kereta itu menjalar perlahan di atas batu-batu yang telah disiram air mawar sejak fajar. Di belakangnya, pasukan pengiring dan para abdi dalem menundukkan kepala, menyiratkan hormat atau mungkin penyesalan.

Di balik tirai kereta berhias benang emas dan kaca patri, duduk seorang gadis dengan gaun kebaya krem pucat menjuntai ke bawah lantai kereta. Raras Ayudia Weningrum, kini bergelar Raden Ayu Raras, duduk dengan tubuh tegak tapi dada sesak. Cadar tipis membingkai wajahnya yang masih remaja, menyisakan hanya matanya mata yang bersinar nyaris keemasan, tajam dan resah.

Ia bukan lagi putri manja dari Wanasari. Hari ini, ia adalah pengantin titipan negara.

“Kenapa harus pakai cadar segala?” gumamnya pelan, dengan suara yang lebih menusuk daripada pertanyaan. Nada tak rela.

Dayang pengiringnya, Alin, hanya tersenyum, tenang seperti embun pagi.

“Tradisi, Den Ayu. Titah dari istana Mandalajati. Kanjeng Pangeran Rakai Indradipa menghendaki pengantinnya disembunyikan dari pandangan rakyat hingga ia sendiri yang membuka tabirnya.”

Raras menghela napas tajam, menahan kata kasar di ujung lidahnya.

Rakai Indradipa. Nama itu sudah lama mengendap di kepalanya, kini menggumpal jadi bayang hitam.

Ia bukan sekadar pangeran. Ia adalah senapati agung, panglima tertinggi garis timur, yang konon pernah menaklukkan dua perbatasan dalam satu musim. Dingin. Diam. Pangeran perang yang kabarnya jarang berbicara dan tak pernah tersenyum.

Dan sekarang, lelaki itu... akan menjadi suaminya.

Sungguh aneh jalan nasib. Raras datang ke istana Majakirana bukan untuk dipersunting, tapi untuk gagal. Ia ingin nilai rendah, ingin dikeluarkan dari pemilihan permaisuri maupun selir, agar bisa pulang dan hidup bebas seperti sedia kala.

Tapi takdir mengendalikannya seperti wayang di ujung jemari dalang. Nilainya memang buruk, namun keberaniannya, kepintarannya, dan kejadian-kejadian ajaib selama seleksi membuatnya dijodohkan. Bukan dengan pangeran pewaris tahtanyang awalnya menjadi tujuan sayembara. Melainkan dengan Rakai Indradipa, pangeran senyap yang kini menjadi tumpuan pertahanan kerajaan.

Dan kini, iring-iringan pengantin berjalan menuju perbatasan timur.

Bukan menuju rumah. Tapi menuju benteng batu, tempat sang pangeran menunggu... seperti bayangan malam yang tak pernah hangat.

Raras menggenggam lipatan gaunnya, menenangkan debar jantung yang tak karuan. Hatinya menjerit, tapi wajahnya tenang. Karena seorang perempuan yang melangkah ke dalam pernikahan kerajaan... harus bisa mengubur air mata dengan senyuman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 104

    Benteng Wiru masih basah oleh hujan ketika kabar itu jatuh seperti petir di ruang pribadi Putri Wening.Pintu kamar dibuka terburu-buru. Dua pengawal masuk sambil berlutut.“Gusti Putri… Putri Ajeng tidak ada di penginapan.”Suara pengawal itu gemetar.“Kereta yang membawa Arya dan rombongannya… disergap. Mereka menghilang.”Wening berdiri perlahan dari kursi riasnya.Gerakan itu begitu pelan hingga udara seakan menahan napas.Wajahnya tetap cantik.Tetap anggun. Namun matanya kosong.“Ulangi.”Suaranya datar. Berbahaya.Pengawal kedua menelan ludah. “Gusti… wanita bernama Ajeng—”“Ajeng…!!” Wening menjerit mendadak.Cermin di meja rias bergetar.Pengawal langsung tersungkur semakin rendah.Wening melangkah maju, gaunnya menyapu lantai batu.“Apa tadi kau bilang? Ajeng menghilang?”Pengawal mengangguk dengan tubuh sepenuhnya gemetar.Tangan Wening terangkat—BRUK!Ia menyapu segala isi meja riasnya hingga berjatuhan ke lantai, sisir perak, wadah bedak, perhiasan kecil, semua hancur ber

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 103

    Hujan semakin deras. Api unggun kecil yang tadi menerangi wajah Arya kini hampir padam, menyisakan cahaya jingga yang goyah.Rakai belum sepenuhnya melepaskan Raras dari pelukannya ketika suara langkah lain terdengar dari balik pepohonan.Suara serak Alin memanggil pelan:“Gusti… Raras…”Raras menoleh cepat, mata membesar lega.“Alin!”Tapi kelegaannya langsung berubah kaku begitu ia melihat siapa yang berdiri di samping Alin.Reyas.Dengan pakaian basah kuyup, rambut berantakan, dan tatapan penuh kewaspadaan.Seolah bersiap jika ada yang menyerangnya.Dan memang… ada.Rakai mematung sedetik. Napasnya terputus.Tatapannya turun ke tangan Alin. Lalu ke wajah Reyas yang berdiri menjaganya.Tatapan itu berubah gelap.Seperti bayangan badai.“Kau…” suara Rakai rendah, hampir seperti geraman binatang yang terpojok.Reyas menegakkan badan. “ Gusti!"Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat amarah Rakai meledak.Tanpa aba-aba, Rakai menerjang.Tinju pertamanya melesat ke pipi Reyas.BRAK!R

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 102

    Udara malam terasa menggigit. Embusan angin membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru diguyur hujan. Di antara keremangan dan kabut tipis, Raras melangkah lebih cepat dari seharusnya. Adrenalin yang masih tersisa membuat dada dan napasnya naik-turun, tapi justru membuat lidahnya semakin lincah.“Reyas,” gerutunya tanpa menoleh, menyibak ranting dengan satu kibasan tangan, “aku ingin memastikan satu hal.”Reyas mengikuti setengah langkah di belakang, membawa obor kecil yang cahayanya terus bergetar diterpa angin. Ia tak menjawab, karena pengalaman memberitahunya bahwa sebuah jawaban bisa memicu ceramah selama sepuluh menit berikutnya.Raras berhenti, menoleh lebar, alisnya naik sebelah.“Orang normal,” ujarnya, menekankan setiap suku kata, “kalau mau bicara, ya bicara. Bukan menyergap dari belakang, ngiket orang, terus membiarkan aku tidur di lantai dingin seperti umbi-umbian yang siap dijemur.”Alin yang berjalan di tengah hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan. Bahunya s

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 101

    Raras terbangun dengan kepala berdenyut, udara dingin dan bau tanah basah mengisi hidungnya. Tubuhnya bersandar pada tiang kayu, kedua tangan diikat ke belakang dengan tali kasar yang mengiritasi kulitnya.Alin terikat tak jauh darinya, wajahnya pucat tetapi matanya masih menyala.“Gusti Raras… Jenengan sadar?” bisik Alin pelan.Raras mengangguk kecil, menelan rasa perih di bibirnya. “Kita di mana?”“Diculik,” Alin menelan ludah. “Tapi mereka tidak menyentuh apa-apa… hanya mengikat kita dan meninggalkan penjaga di luar.”Raras memejamkan mata sejenak, mengatur napas. “Mereka bukan bandit biasa,” katanya lirih. “Tali yang dipakai ini simpulnya… simpul prajurit.”“Tapi… siapa yang ingin menculik kita? Apa Wening yang—”“Jangan sebut namanya keras-keras.”Raras melirik celah dinding bambu, memastikan tidak ada bayangan mendekat.Hujan masih tipis, menetes dari celah atap. Suara gaduh para penculik terdengar samar dari luar: mereka berbicara pelan, tidak ada tawa kasar, tidak ada ancaman…

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 100

    Kabut turun rendah, membuat suara langkah kuda terdengar lebih jelas dari biasanya. Arya menggenggam kendali kereta lebih kuat. Alin duduk di sampingnya, wajah pucat tetapi tenang. Sementara Raras berada di dalam, berusaha menenangkan napasnya yang belum juga stabil.Raras baru ingin membuka tirai ketika Arya tiba-tiba berkata pelan:“Jangan keluar. Ada sesuatu.”Alin menegakkan punggung.Arya menarik kudanya berhenti.Di depan mereka, empat lelaki berjubah gelap muncul dari balik pepohonan. Mereka tidak berbicara, hanya berdiri diam, seperti bayangan pepohonan yang tiba-tiba hidup.Arya turun dari kereta dengan gerak perlahan, satu tangan memegang gagang keris.“Punten… ada perlu apakah menghadang kami?”Tidak ada jawaban.Hanya satu gerakan kecil.Sesuatu melesat dari arah samping, anak panah kecil.“Tunduk, Alin!”Arya menangkis dengan bilah kerisnya. Dentuman logam terdengar tajam.Dari sisi lain jalan, empat orang tambahan keluar.Lalu dua lagi dari belakang.Sepuluh.Jumlah yang

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 99

    Pagi masih pucat ketika Wening membuka jendela kamar bangsawannya.Udara segar seharusnya menenangkan, tapi bukan hari ini.Ia merasa… sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya.Dan firasat itu terbukti ketika seorang pelayan terbirit-birit datang sambil membawa baki minuman. Tangannya bergetar begitu parah hingga cangkir porselen nyaris jatuh.Wening memicingkan mata.“Apa kau membawa minum atau membawa gempa bumi?”Pelayan itu segera bersimpuh ketakutan.“A—ampun Gusti… saya… saya hanya diminta menyampaikan pesan… pesan penting…”Wening mendekat perlahan, langkahnya ringan seperti angin, tapi tekanan kehadirannya membuat pelayan itu hampir menangis.“Pesan apa?”Senyum Wening tipis. Tidak nyaman. Tidak manusiawi.Pelayan itu menelan ludah.“Orang yang semalam… orang… yang Gusti temui…”suara laki-laki itu tercekat.“Dia… ingin bertemu kembali. Katanya… ‘pekerjaannya terganggu’.”Senyum Wening pun hilang seketika.Tatapannya berubah dingin, bukan dingin biasa, melainkan dingin menu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status