Langit pagi itu cerah, secerah wajah Raras yang duduk santai di atas kereta kuda berhias ukiran emas. Gaun kebaya warna gading yang dikenakannya tampak tak serasi dengan sikap santainya, salah satu kaki menggantung keluar, tangannya memegang jeruk manis yang baru dikupas. Gadis itu sibuk mengoceh pada emban tua yang duduk di sampingnya.
“Aku sudah bilang, Mbok. Aku tidak mau menikah dengan pangeran mana pun. Apalagi kalau mukanya kaku, dan aku kalau ngomong harus pelan, dan jalannya kayak mau menghadiri pemakaman,” keluhnya sambil menggigit jeruk. Mbok Nini, sang emban, hanya geleng-geleng kepala. “Ya Tuhan, Gusti Putri, itu kan belum tentu. Siapa tahu Pangeran yang Gusti temui nanti justru gagah, tampan, dan bisa diajak ngobrol tentang bintang.” “Kalau dia bisa main gamelan, baru aku pikir-pikir,” cibir Raras sambil menjentikkan kulit jeruk ke luar jendela. “Atau bisa masak sayur lodeh.” Kereta melaju di antara pepohonan jati menuju pusat kerajaan Majakirana, tempat Istana Reksaputra berdiri megah. Raras dikirim sebagai salah satu putri bangsawan dari kerajaan wilayah utara untuk mengikuti Pemilihan selir, ajang tradisional yang diadakan ketika sang pangeran sudah berumur untuk membangun rumah tangga dan ajang untuk menentukan siapa di antara para gadis terpilih yang layak mendampingi sang pangeran calon putra mahkota. Tapi Raras? Ia punya rencana. “Aku mau gagal,” bisiknya ke Mbok Nini dengan penuh semangat. “Aku akan jawab semua ujian dengan ngawur. Kalau disuruh menyulam, aku bikin simpul tali tambang. Kalau disuruh menari, aku joget sableng. Kalau ditanya tentang strategi kerajaan, aku akan bilang, ‘Tanya dukun saja, saya tidak tahu!’” Mbok Nini dan dan seorang dayang bernama Alin menahan tawa dengan susah payah. “Tapi Gusti Putri, bagaimana kalau justru… Gusti berhasil?” tanya Alin. “Gagal adalah rencanaku yang paling matang, Mbok. Aku tidak sudi menjadi istri seorang pangeran kaku yang hidupnya diatur protokol!” katanya sambil melipat tangan. “Lagipula, siapa sih Pangeran Haryo Wirabumi itu? Namanya saja bikin ngantuk.” Namun, rencana Raras tidak berjalan semulus kulit mangga muda. Langit siang itu cerah seperti suasana hati Raras yang sedang dipenuhi rasa penasaran. Suara burung-burung di halaman istana pelatihan Putri menggema merdu, namun kalah nyaring dibanding suara Raras yang sedang mengeluh karena rambutnya ditarik-tarik dayang istana. “Aduh, Mbak Narsih! Ini rambutku mau disanggul atau disiksa?” keluh Raras sambil mengerutkan hidungnya. Dayang itu hanya mendecak pelan. “Putri Ayudia, panjenengan harus terlihat pantas di hadapan Pangeran Haryo. Ini seleksi istri masa depan raja, bukan pasar malam. Setidaknya kalau tidak terpilih menjadi permaisuri, terpilih menjadi Selir itu sudah anugrah." Raras, tidak peduli. Ia tidak ingin menjadi istri pangeran mana pun. Baginya, menikah berarti kehilangan kebebasan. Ia lebih suka berkeliling desa dengan kereta kuda, berbicara dengan rakyat, atau ikut menyelinap ke dapur kerajaan mencicipi kudapan panas-panas. Namun, aturan kerajaan adalah aturan. Semua putri bangsawan di usia tujuh belas tahun wajib mengikuti Seleksi Putri Permaisuri dan selir, termasuk dirinya. Dan kini, hari itu pun tiba. Dengan seragam kebesaran berwarna gading dan sanggul khas Majakirana, Raras menaiki kereta kuda kerajaan. Denting lonceng kecil di leher kuda mengiringi langkah-langkah menuju Istana Kencana, tempat ujian dan seleksi berlangsung. --- Seleksi berjalan dengan sangat ketat. Ujian pertama adalah kecakapan berbicara dalam forum diplomatik. Raras sengaja menjawab dengan ngawur. “Jika dua kerajaan berperang, kita sebaiknya kirimkan makanan enak supaya mereka sibuk makan dan lupa bertempur!” katanya polos, membuat para sesepuh tergelak namun para penilai hanya saling melirik dengan tatapan dingin. Ujian kedua, menjahit dan merangkai bunga. Raras menusuk jarinya tiga kali dan membuat rangkaian bunga berbentuk ayam goreng. Lagi-lagi para putri lain menahan tawa. Tapi saat sesi pemecahan masalah, seorang putri hampir pingsan karena insiden gas di dapur istana. Raraslah yang cepat tanggap dan menutup sumber api, menyelamatkan keadaan. “Dia bodoh, tapi... selalu muncul saat dibutuhkan," bisik salah satu juri. Namun, seperti yang sudah bisa diduga, Raras tidak lolos menjadi calon istri Pangeran Haryo, pangeran pertama yang tenang dan kalem, yang katanya menginginkan istri yang anggun dan lembut. Bahkan untuk menjadi selirnya pun Raras tidak masuk kriteria. Raras hanya tersenyum puas. “Syukurlah, tidak jadi.” Tapi nasib berkata lain. Karena aksi-aksinya yang dianggap menyelamatkan rekan-rekannya, kerajaan memutuskan untuk tetap menjodohkan Raras, bukan dengan Pangeran Haryo, tapi dengan Pangeran Rakai Indradipa, adik dari Pangeran Haryo, seorang jenderal kerajaan yang kini tengah memimpin perang di perbatasan di kadipaten Mandalajati “Kenapa bukan ditunjuk jadi kepala dapur saja, sih?” keluh Raras sambil menahan air mata saat mendengar keputusan raja. Tapi perintah kerajaan tidak bisa ditolak. Hari pernikahan pun tiba. Iring-iringan pengantin dari istana pun berangkat. Kereta kuda berhias melati, pasukan berkuda berbaris, dan genderang dibunyikan. Di dalamnya, duduk Raras dalam balutan kebaya pengantin, memandangi jalanan menuju rumah Adipati Rakai Indradipa. “Aku bahkan belum pernah bertemu dia. Parahnya aku baru dengar namanya," bisiknya. “Apa dia juga belum pernah dengar tentang aku?” Angin sore menyapa wajahnya. Dan perjalanan menuju takdir yang tak pernah ia rencanakan… pun dimulai. Langit Kerajaan Majakirana menggantung muram. Awan kelabu menggulung pelan, menelan cahaya mentari dan menaburkan bayangan ke atas tanah suci kerajaan. Derap kaki kuda menggema keras di gerbang utama istana. Barisan pengawal berkuda melaju rapi, mengapit satu kereta utama berhiaskan lambang Kerajaan Wanasari, bunga melati dan kenanga bersilang keris. Kereta itu menjalar perlahan di atas batu-batu yang telah disiram air mawar sejak fajar. Di belakangnya, pasukan pengiring dan para abdi dalem menundukkan kepala, menyiratkan hormat atau mungkin penyesalan. Di balik tirai kereta berhias benang emas dan kaca patri, duduk seorang gadis dengan gaun kebaya krem pucat menjuntai ke bawah lantai kereta. Raras Ayudia Weningrum, kini bergelar Raden Ayu Raras, duduk dengan tubuh tegak tapi dada sesak. Cadar tipis membingkai wajahnya yang masih remaja, menyisakan hanya matanya mata yang bersinar nyaris keemasan, tajam dan resah. Ia bukan lagi putri manja dari Wanasari. Hari ini, ia adalah pengantin titipan negara. “Kenapa harus pakai cadar segala?” gumamnya pelan, dengan suara yang lebih menusuk daripada pertanyaan. Nada tak rela. Dayang pengiringnya, Alin, hanya tersenyum, tenang seperti embun pagi. “Tradisi, Den Ayu. Titah dari istana Mandalajati. Kanjeng Pangeran Rakai Indradipa menghendaki pengantinnya disembunyikan dari pandangan rakyat hingga ia sendiri yang membuka tabirnya.” Raras menghela napas tajam, menahan kata kasar di ujung lidahnya. Rakai Indradipa. Nama itu sudah lama mengendap di kepalanya, kini menggumpal jadi bayang hitam. Ia bukan sekadar pangeran. Ia adalah senapati agung, panglima tertinggi garis timur, yang konon pernah menaklukkan dua perbatasan dalam satu musim. Dingin. Diam. Pangeran perang yang kabarnya jarang berbicara dan tak pernah tersenyum. Dan sekarang, lelaki itu... akan menjadi suaminya. Sungguh aneh jalan nasib. Raras datang ke istana Majakirana bukan untuk dipersunting, tapi untuk gagal. Ia ingin nilai rendah, ingin dikeluarkan dari pemilihan permaisuri maupun selir, agar bisa pulang dan hidup bebas seperti sedia kala. Tapi takdir mengendalikannya seperti wayang di ujung jemari dalang. Nilainya memang buruk, namun keberaniannya, kepintarannya, dan kejadian-kejadian ajaib selama seleksi membuatnya dijodohkan. Bukan dengan pangeran pewaris tahtanyang awalnya menjadi tujuan sayembara. Melainkan dengan Rakai Indradipa, pangeran senyap yang kini menjadi tumpuan pertahanan kerajaan. Dan kini, iring-iringan pengantin berjalan menuju perbatasan timur. Bukan menuju rumah. Tapi menuju benteng batu, tempat sang pangeran menunggu... seperti bayangan malam yang tak pernah hangat. Raras menggenggam lipatan gaunnya, menenangkan debar jantung yang tak karuan. Hatinya menjerit, tapi wajahnya tenang. Karena seorang perempuan yang melangkah ke dalam pernikahan kerajaan... harus bisa mengubur air mata dengan senyuman.Langit pagi di Indragiri berwarna pucat keemasan, tapi hati Raras terasa seperti diselimuti kabut tebal.Sejak ia terbangun beberapa hari lalu, semua hal terasa asing, namun wajah-wajah di sekelilingnya memperlakukannya seolah ia adalah seseorang yang harus dikenang… dan juga dibenci.Pagi itu, seorang dayang datang menunduk dalam-dalam.“Perintah dari Istana Utama, Nimas Ajeng. Ratu Palastri ingin bertemu Anda sebelum pesta penyambutan dimulai.”“Ratu… Palastri?” gumam Raras pelan. Ia menatap jendela, hatinya bergetar tanpa tahu alasan.Dayang hanya mengangguk, wajahnya kaku. “Ya, beliau ibu dari Baginda Raja.”Raras tak punya pilihan selain menurut. Ia mengenakan kebaya halus berwarna gading yang disiapkan untuknya, lalu berjalan pelan melewati lorong panjang menuju kediaman sang ratu. Setiap langkah terasa berat, seperti sedang menapaki masa lalu yang tak ingin ia temui.Begitu memasuki ruang perjamuan kecil, aroma dupa dan mawar kering memenuhi udara. Di dalamnya duduk tiga wanita
Dayang yang semula datang untuk mengganti kain di dahi Raras tertegun saat melihat sang putri mulai bergerak. Mata Raras terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.“ Nimas Ajeng?” panggil dayang itu terbata.Raras menoleh perlahan, matanya masih samar, suaranya serak, “Siapa… yang kau panggil?”Dayang itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya jatuh tanpa sadar. Ia segera berlari keluar kamar sambil berteriak ke arah dua prajurit yang berjaga di depan pintu,“Nimas Ajeng telah sadar! Cepat laporkan pada Raden Wijaya!”Dua prajurit itu segera berlari menuju balairung. Dalam waktu singkat, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang istana. Raden Wijaya datang terburu-buru, jubahnya belum sempat diganti dari pakaian dinas. Nafasnya terengah, tapi matanya berbinar penuh harap.Begitu memasuki kamar, ia melihat Raras duduk lemah di ranjang, masih dikelilingi dayang yang berlutut dengan wajah haru.“Nimas Ajeng…” bisiknya pelan, suaranya bergetar
Langit di atas istana Indragiri malam itu seperti menahan napas. Kabut tebal menggantung di jendela, sementara lorong-lorong batu senyap di bawah langkah-langkah Rakai yang beringsut perlahan.Ia menempel pada dinding, bergerak di antara bayangan obor yang berkedip, setiap langkah diukur dengan ketelitian seorang pemburu. Sekali saja ia salah perhitungan, seluruh penjaga bisa datang menyerbu.Ketika suara pergantian jaga terdengar di ujung koridor, Rakai memanfaatkan celah itu. Ia meluncur cepat menuju pintu kamar yang dijaga dua orang pengawal.Satu penjaga berbalik, yang lain sedang menguap kelelahan. Dalam sekejap, Rakai melempar batu kecil ke arah vas bunga di seberang lorong. “Prakkk!”Suara itu cukup untuk membuat keduanya menoleh dan berlari memeriksa sumber suara. Rakai bergerak cepat, pintu kamar terbuka hanya sedikit, cukup untuk tubuhnya menyelinap masuk tanpa suara.Di dalam, udara kamar harum namun berat. Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan, menerangi wajah seorang
Rakai berdiri di ambang pintu kamar Putri Wening. Lampu lilin yang hangus memantulkan bayangan panjang ke dinding, menambah kesan tegang di ruangan. Wening masih duduk di kursi tinggi, wajahnya merah padam, napas tersengal, marah, sekaligus terguncang oleh kabar tentang “tahanan misterius” yang ternyata menyangkut masa lalu keluarganya.Namun sebelum Rakai sempat bersuara, Wening bangkit tiba-tiba, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, dan tak disangka memeluknya erat.“Raksa… aku tidak menyangka… aku tidak…” suaranya terputus-putus. “Pria itu… yang terkena panah, ternyata seorang wanita… dan mantan kekasih adikku!”Rakai menegang, kaget sejenak. Sosok profesionalnya bergulat dengan perasaan yang mulai bergetar. Ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Dengan tenang, ia menepuk punggung Wening perlahan, melepaskan diri, tapi tetap menjaga jarak.“Putri Wening, saya di sini untuk urusan profesional,” kata Rakai dengan suara dingin tapi lembut. “Kemarahan Anda saya pahami, tapi saya per
Kabut malam menyelimuti lereng barat Indragiri. Dari celah pepohonan yang rimbun, sosok bertudung hitam muncul dengan langkah terhuyung. Rakai. Wajahnya keras, tapi sorot matanya gelap dan penuh amarah. Sejak siang tadi ia hampir kehilangan penawar untuk istrinya. Saat akhirnya sampai di basecamp rahasia di balik tebing, Sitira, Alin, dan Situ yang sedang menyalakan api unggun sontak berdiri.“Pangeran Rakai!” seru Alin cepat.Rakai hanya mengangguk. Ia terlihat kelelahan. Tubuhnya berdebu, jubahnya robek di bagian bahu, dan wajahnya dipenuhi bekas goresan ranting. Tapi matanya tajam, seperti seseorang yang menahan amarah besar.“Di mana yang lain?” suaranya berat, dingin.Sitira menunduk, saling pandang dengan Alin. “Kita… kita sempat terpisah, Pangeran. Banyak prajurit Indragiri datang menyerbu pasar. Kami berusaha kabur secepatnya…”Rakai menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, “Kalian harus kembali ke Pasren, setelah aku mengeluarkan Istriku. Setelah itu lanjutkan perja
Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menembus tembok tinggi penjara Indragiri. Lorong batu yang lembap dan gelap dipenuhi aroma besi dan debu. Raja Raden Wijaya berjalan dengan langkah berat, dikelilingi pengawal dan prajurit istana, wajahnya serius namun menyimpan rasa penasaran yang membakar.Ia berhenti di depan salah satu sel. Seorang prajurit membuka pintu besi dengan perlahan.“Yang Mulia, ini narapidana yang dimaksud…”Raden Wijaya menunduk, matanya menelusuri tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Napasnya tertahan.Wajah itu… tak mungkin.Raras.Wajah yang dikenalinya dari masa lalu—perempuan yang pernah menjadi sosok penting dalam hidupnya, namun kini terlihat lemah, pucat, dan nyaris tak sadarkan diri. Luka hitam di bahunya jelas terlihat, bekas racun yang belum tersembuhkan.Raden Wijaya melangkah cepat, suaranya parau.“Ajeng…? Ajeng… ini benar-benar kamu?”Para pengawal menatap satu sama lain terkejut. Raja yang biasanya tenang, kini tampak gemetar, matanya berkilat