Home / Zaman Kuno / Asmaraloka Sang Putri Pusaka / Bab 2 Pengantin Pusaka

Share

Bab 2 Pengantin Pusaka

Author: Fei Adhista
last update Huling Na-update: 2025-08-11 21:34:40

Angin malam dari kaki Gunung Lawu berhembus lembut, membawa aroma pinus basah dan dupa kemenyan yang terbakar perlahan di sudut-sudut halaman istana. Namun, tak ada gending. Tak ada tetabuhan. Tak ada tarian penyambutan seperti biasanya di tanah Majakirana.

Raras melangkah turun dari kereta kuda dengan perlahan. Gaun kebaya pengantin menjuntai menyapu tanah berpasir. Matanya menyapu halaman luas Istana Mandalajati yang berdiri sunyi. Tak terlihat pasukan kehormatan. Tak ada barisan abdi dalem. Hanya seorang pelayan tua yang membungkuk kaku di anak tangga, menunggu dengan wajah yang tampak kosong.

Dalam hati, Raras bertanya-tanya, “Hanya ini?”

Di sampingnya, Alin berdiri dengan kepala menunduk, wajahnya memperlihatkan rasa tidak enak hati. “Den Ayu… ini sudah sesuai titah. Pangeran sedang bertugas jauh. Beliau menitipkan pernikahan pada adat.”

Kata ‘adat’ itu seperti batu tajam menusuk dada Raras. Tak ada kehangatan, tak ada keindahan yang biasa mengiringi hari besar seperti ini.

Pelayan tua, Kaki Prawira, mengangguk hormat. “Selamat datang, Den Ayu Raras. Maafkan hamba, penyambutan tidak semeriah di istana agung. Mandalajati ini tanah perang, bukan taman bunga.”

Raras tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah pelayan itu masuk ke dalam bangunan utama.

Di dalam, lorong-lorong panjang itu diterangi lampu minyak temaram, dinding batu berukir wajah-wajah leluhur panglima terdahulu. Hawa dingin menusuk tulang, membuat Raras menggigil sedikit.

Ketika tiba di Pendapa Wahana Dirgantara, balai utama untuk pernikahan, suasana makin sunyi. Empat pendeta berjubah putih sudah menunggu, bersama beberapa sesepuh kerajaan yang duduk bersila. Alas kain putih digelar di tengah ruangan, bertabur bunga kenanga dan melati.

Raras duduk bersimpuh, diiringi emban dan seorang dukun perempuan yang membacakan mantra pernikahan dengan suara berat dan serak.

Menurut adat Majakirana. Jika lelaki tak bisa datang karena tugas negara, titahnya cukup mengikat, dan adat mengesahkannya lewat upacara penyatuan bayangan dan nama. Dan sebagai penggantinya adalah keris beronce melati.

Raras mendengarkan dengan hati yang sesak.

“Panjenengan Raras Ayudia Weningrum, putri Kerajaan Wanasari, dinikahkan dengan Pangeran Rakai Indradipa Adiningrat, atas restu Sri Baginda Raja Majakirana dan leluhur agung. Dengan ini, panjenengan menjadi Raden Ayu Mandalajati, istri sah sang pangeran dengan gelar Raden Ayu Indradipa Adiningrat. Maka… tirulah bumi yang sabar dipijak, dan jadilah langit yang menaungi perang.”

Tak ada pasangan, tak ada pelukan atau ciuman. Hanya secarik kain putih di depan Raras dan keris pusaka Rakai yang ditancapkan di atasnya sebagai lambang kehadiran sang mempelai pria.

Air mata hampir jatuh di sudut mata Raras. Namun, ia menahannya dengan tegar. Wajahnya tetap teduh, menutupi kepedihan yang bergejolak dalam diam.

Setelah upacara, para pendeta mundur. Raras dibimbing menuju bangsal dalam, melewati lorong gelap dengan emban dan pelita yang membimbing langkahnya. Kamar pengantin sunyi, dihias seadanya. Tak ada kelopak bunga, tak ada dupa harum. Hanya sebuah ranjang kayu jati dengan kelambu kelabu.

Di sana, malam pertamanya dihabiskan sendirian.

Tak ada Rakai, tak ada suara selain detak jantungnya sendiri yang bergema lebih keras daripada suara gemuruh perang di luar.

Keesokan paginya, dapur istana Mandalajati mulai berdenyut pelan. Uap dari tungku batu bercampur aroma nasi aron dan kuah kaldu tulang. Para pelayan perempuan sudah berkumpul di sudut belakang, di antara kendi tanah liat dan tampah berisi daun pisang. Tapi hari itu bukan pekerjaan yang menyibukkan mereka, melainkan gosip baru yang jauh lebih menarik.

“Jadi, katanya dia cuma duduk diam, menatap keris?” bisik Mirti, pelayan muda yang sering menirukan gaya bicara bangsawan sambil mengupas singkong rebus.

“Yah, katanya cuma ada keris di tengah kain putih. Malam pertama malah sama besi,” sahut Luri dengan dramatis, membuat tawa cekikikan pecah di antara mereka.

“Eh, tapi coba lihat caranya jalan kemarin. Gayanya perempuan kampungan, bukan Raden Ayu. Angkat kainnya saja seperti orang nyebrang pasar, bukan masuk istana.”

“Tapi bajunya bagus, sih,” selip seorang pelayan muda lain.

“Bagus, tapi isi kepalanya? Hm. Ndoro Rakai sampai nitip orang buat ngajarin dia etika. Masyaampun… pengantin baru tapi malah kayak murid baru.”

“Bentar, bentar, berarti mulai hari ini kita bisa nonton dia’? Diomelin? Aih, hiburan baru!” Luri bertepuk dada sambil menahan tawa.

Sementara itu, di halaman kecil dekat kolam teratai, Raras berdiri mengenakan kain batik sogan dan blus krem sederhana. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai terlepas ditiup angin. Ia menatap angsa yang berenang pelan, mencoba menenangkan hati.

Namun, ketenangan itu pecah oleh langkah tegas seorang wanita tinggi, berkebaya gelap dan selendang hitam melintang di bahu. Wajahnya dingin seperti batu candi.

“Selamat pagi, Raden Ayu,” sapa wanita itu. “Saya Dyah Retna Paramita. Mulai hari ini, saya ditugaskan Pangeran untuk mendampingi Anda.”

Raras menoleh cepat, raut wajahnya sedikit waspada.

“Mendampingi? Dalam hal apa?”

“Dalam semua hal,” jawab Retna tanpa senyum. “Berpakaian, berbicara, berjalan, menyapa, duduk, makan, menulis surat, menerima tamu, menaiki kuda, bahkan… tersenyum. Pangeran ingin Den Ayu memahami tata krama dan nilai luhur seorang istri bangsawan. Karena saat ini… maaf, Anda belum menunjukkan tanda-tanda itu.”

Raras membeku, tak percaya.

“Maaf?”

“Contoh kecil,” Retna melirik tajam, “cara Anda berdiri sekarang. Kaki terlalu lebar, tidak anggun. Lengan terlalu bebas, tak ada ketenangan. Rambut berantakan. Istri bangsawan tak menyambut pagi seperti pedagang sayur baru pulang dari pasar.”

Raras membuka mulut, hampir ingin protes.

Retna melanjutkan, “Dan cara Anda menatap angsa dengan ekspresi kosong. Kalau memang harus menatap, lakukan dengan martabat. Pangeran tak ingin istrinya terlihat seperti perawan kikuk tersesat di dalam lukisan.”

“Baik,” jawab Raras pelan, mencoba menahan nada sinis.

“Dan satu hal lagi, dilarang melotot,” tambah Retna dengan nada tegas.

Raras memalingkan wajah ke angsa, mulutnya terbuka sedikit seperti ingin tertawa atau menjerit. Ia menarik napas panjang, lalu menoleh kembali.

“Apa saya juga harus diajari cara mencicipi bubur dengan keanggunan sakral?”

Retna mengangguk datar. “Tentu. Mulai besok pagi, bubur Anda jadi ujian pertama.”

Dari balik pilar, dua pelayan kecil mengintip sambil menahan tawa hingga hampir tersedak. Mereka lari kembali ke dapur, berbisik histeris, “Mulai besok, Raras harus belajar makan bubur pakai wajah bangsawan!”

“Dengan tatapan penuh martabat ke arah ayam suwir!”

Dan dapur kembali gaduh bukan karena masakan gosong, tapi karena hiburan baru di istana Mandalajati.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 63 Aku suamimu

    Langit pagi di Indragiri berwarna pucat keemasan, tapi hati Raras terasa seperti diselimuti kabut tebal.Sejak ia terbangun beberapa hari lalu, semua hal terasa asing, namun wajah-wajah di sekelilingnya memperlakukannya seolah ia adalah seseorang yang harus dikenang… dan juga dibenci.Pagi itu, seorang dayang datang menunduk dalam-dalam.“Perintah dari Istana Utama, Nimas Ajeng. Ratu Palastri ingin bertemu Anda sebelum pesta penyambutan dimulai.”“Ratu… Palastri?” gumam Raras pelan. Ia menatap jendela, hatinya bergetar tanpa tahu alasan.Dayang hanya mengangguk, wajahnya kaku. “Ya, beliau ibu dari Baginda Raja.”Raras tak punya pilihan selain menurut. Ia mengenakan kebaya halus berwarna gading yang disiapkan untuknya, lalu berjalan pelan melewati lorong panjang menuju kediaman sang ratu. Setiap langkah terasa berat, seperti sedang menapaki masa lalu yang tak ingin ia temui.Begitu memasuki ruang perjamuan kecil, aroma dupa dan mawar kering memenuhi udara. Di dalamnya duduk tiga wanita

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 62 Siapa Kamu

    Dayang yang semula datang untuk mengganti kain di dahi Raras tertegun saat melihat sang putri mulai bergerak. Mata Raras terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.“ Nimas Ajeng?” panggil dayang itu terbata.Raras menoleh perlahan, matanya masih samar, suaranya serak, “Siapa… yang kau panggil?”Dayang itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya jatuh tanpa sadar. Ia segera berlari keluar kamar sambil berteriak ke arah dua prajurit yang berjaga di depan pintu,“Nimas Ajeng telah sadar! Cepat laporkan pada Raden Wijaya!”Dua prajurit itu segera berlari menuju balairung. Dalam waktu singkat, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang istana. Raden Wijaya datang terburu-buru, jubahnya belum sempat diganti dari pakaian dinas. Nafasnya terengah, tapi matanya berbinar penuh harap.Begitu memasuki kamar, ia melihat Raras duduk lemah di ranjang, masih dikelilingi dayang yang berlutut dengan wajah haru.“Nimas Ajeng…” bisiknya pelan, suaranya bergetar

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 61 Lupa

    Langit di atas istana Indragiri malam itu seperti menahan napas. Kabut tebal menggantung di jendela, sementara lorong-lorong batu senyap di bawah langkah-langkah Rakai yang beringsut perlahan.Ia menempel pada dinding, bergerak di antara bayangan obor yang berkedip, setiap langkah diukur dengan ketelitian seorang pemburu. Sekali saja ia salah perhitungan, seluruh penjaga bisa datang menyerbu.Ketika suara pergantian jaga terdengar di ujung koridor, Rakai memanfaatkan celah itu. Ia meluncur cepat menuju pintu kamar yang dijaga dua orang pengawal.Satu penjaga berbalik, yang lain sedang menguap kelelahan. Dalam sekejap, Rakai melempar batu kecil ke arah vas bunga di seberang lorong. “Prakkk!”Suara itu cukup untuk membuat keduanya menoleh dan berlari memeriksa sumber suara. Rakai bergerak cepat, pintu kamar terbuka hanya sedikit, cukup untuk tubuhnya menyelinap masuk tanpa suara.Di dalam, udara kamar harum namun berat. Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan, menerangi wajah seorang

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 60 Bunuh Dia

    Rakai berdiri di ambang pintu kamar Putri Wening. Lampu lilin yang hangus memantulkan bayangan panjang ke dinding, menambah kesan tegang di ruangan. Wening masih duduk di kursi tinggi, wajahnya merah padam, napas tersengal, marah, sekaligus terguncang oleh kabar tentang “tahanan misterius” yang ternyata menyangkut masa lalu keluarganya.Namun sebelum Rakai sempat bersuara, Wening bangkit tiba-tiba, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, dan tak disangka memeluknya erat.“Raksa… aku tidak menyangka… aku tidak…” suaranya terputus-putus. “Pria itu… yang terkena panah, ternyata seorang wanita… dan mantan kekasih adikku!”Rakai menegang, kaget sejenak. Sosok profesionalnya bergulat dengan perasaan yang mulai bergetar. Ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Dengan tenang, ia menepuk punggung Wening perlahan, melepaskan diri, tapi tetap menjaga jarak.“Putri Wening, saya di sini untuk urusan profesional,” kata Rakai dengan suara dingin tapi lembut. “Kemarahan Anda saya pahami, tapi saya per

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 59 Terlahir kembali

    Kabut malam menyelimuti lereng barat Indragiri. Dari celah pepohonan yang rimbun, sosok bertudung hitam muncul dengan langkah terhuyung. Rakai. Wajahnya keras, tapi sorot matanya gelap dan penuh amarah. Sejak siang tadi ia hampir kehilangan penawar untuk istrinya. Saat akhirnya sampai di basecamp rahasia di balik tebing, Sitira, Alin, dan Situ yang sedang menyalakan api unggun sontak berdiri.“Pangeran Rakai!” seru Alin cepat.Rakai hanya mengangguk. Ia terlihat kelelahan. Tubuhnya berdebu, jubahnya robek di bagian bahu, dan wajahnya dipenuhi bekas goresan ranting. Tapi matanya tajam, seperti seseorang yang menahan amarah besar.“Di mana yang lain?” suaranya berat, dingin.Sitira menunduk, saling pandang dengan Alin. “Kita… kita sempat terpisah, Pangeran. Banyak prajurit Indragiri datang menyerbu pasar. Kami berusaha kabur secepatnya…”Rakai menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, “Kalian harus kembali ke Pasren, setelah aku mengeluarkan Istriku. Setelah itu lanjutkan perja

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 58 Ajeng

    Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menembus tembok tinggi penjara Indragiri. Lorong batu yang lembap dan gelap dipenuhi aroma besi dan debu. Raja Raden Wijaya berjalan dengan langkah berat, dikelilingi pengawal dan prajurit istana, wajahnya serius namun menyimpan rasa penasaran yang membakar.Ia berhenti di depan salah satu sel. Seorang prajurit membuka pintu besi dengan perlahan.“Yang Mulia, ini narapidana yang dimaksud…”Raden Wijaya menunduk, matanya menelusuri tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Napasnya tertahan.Wajah itu… tak mungkin.Raras.Wajah yang dikenalinya dari masa lalu—perempuan yang pernah menjadi sosok penting dalam hidupnya, namun kini terlihat lemah, pucat, dan nyaris tak sadarkan diri. Luka hitam di bahunya jelas terlihat, bekas racun yang belum tersembuhkan.Raden Wijaya melangkah cepat, suaranya parau.“Ajeng…? Ajeng… ini benar-benar kamu?”Para pengawal menatap satu sama lain terkejut. Raja yang biasanya tenang, kini tampak gemetar, matanya berkilat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status