Angin malam dari kaki Gunung Lawu berhembus lembut, membawa aroma pinus basah dan dupa kemenyan yang terbakar perlahan di sudut-sudut halaman istana. Namun, tak ada gending. Tak ada tetabuhan. Tak ada tarian penyambutan seperti biasanya di tanah Majakirana.
Raras melangkah turun dari kereta kuda dengan perlahan. Gaun kebaya pengantin menjuntai menyapu tanah berpasir. Matanya menyapu halaman luas Istana Mandalajati yang berdiri sunyi. Tak terlihat pasukan kehormatan. Tak ada barisan abdi dalem. Hanya seorang pelayan tua yang membungkuk kaku di anak tangga, menunggu dengan wajah yang tampak kosong. Dalam hati, Raras bertanya-tanya, “Hanya ini?” Di sampingnya, Alin berdiri dengan kepala menunduk, wajahnya memperlihatkan rasa tidak enak hati. “Den Ayu… ini sudah sesuai titah. Pangeran sedang bertugas jauh. Beliau menitipkan pernikahan pada adat.” Kata ‘adat’ itu seperti batu tajam menusuk dada Raras. Tak ada kehangatan, tak ada keindahan yang biasa mengiringi hari besar seperti ini. Pelayan tua, Kaki Prawira, mengangguk hormat. “Selamat datang, Den Ayu Raras. Maafkan hamba, penyambutan tidak semeriah di istana agung. Mandalajati ini tanah perang, bukan taman bunga.” Raras tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah pelayan itu masuk ke dalam bangunan utama. Di dalam, lorong-lorong panjang itu diterangi lampu minyak temaram, dinding batu berukir wajah-wajah leluhur panglima terdahulu. Hawa dingin menusuk tulang, membuat Raras menggigil sedikit. Ketika tiba di Pendapa Wahana Dirgantara, balai utama untuk pernikahan, suasana makin sunyi. Empat pendeta berjubah putih sudah menunggu, bersama beberapa sesepuh kerajaan yang duduk bersila. Alas kain putih digelar di tengah ruangan, bertabur bunga kenanga dan melati. Raras duduk bersimpuh, diiringi emban dan seorang dukun perempuan yang membacakan mantra pernikahan dengan suara berat dan serak. Menurut adat Majakirana. Jika lelaki tak bisa datang karena tugas negara, titahnya cukup mengikat, dan adat mengesahkannya lewat upacara penyatuan bayangan dan nama. Dan sebagai penggantinya adalah keris beronce melati. Raras mendengarkan dengan hati yang sesak. “Panjenengan Raras Ayudia Weningrum, putri Kerajaan Wanasari, dinikahkan dengan Pangeran Rakai Indradipa Adiningrat, atas restu Sri Baginda Raja Majakirana dan leluhur agung. Dengan ini, panjenengan menjadi Raden Ayu Mandalajati, istri sah sang pangeran dengan gelar Raden Ayu Indradipa Adiningrat. Maka… tirulah bumi yang sabar dipijak, dan jadilah langit yang menaungi perang.” Tak ada pasangan, tak ada pelukan atau ciuman. Hanya secarik kain putih di depan Raras dan keris pusaka Rakai yang ditancapkan di atasnya sebagai lambang kehadiran sang mempelai pria. Air mata hampir jatuh di sudut mata Raras. Namun, ia menahannya dengan tegar. Wajahnya tetap teduh, menutupi kepedihan yang bergejolak dalam diam. Setelah upacara, para pendeta mundur. Raras dibimbing menuju bangsal dalam, melewati lorong gelap dengan emban dan pelita yang membimbing langkahnya. Kamar pengantin sunyi, dihias seadanya. Tak ada kelopak bunga, tak ada dupa harum. Hanya sebuah ranjang kayu jati dengan kelambu kelabu. Di sana, malam pertamanya dihabiskan sendirian. Tak ada Rakai, tak ada suara selain detak jantungnya sendiri yang bergema lebih keras daripada suara gemuruh perang di luar. Keesokan paginya, dapur istana Mandalajati mulai berdenyut pelan. Uap dari tungku batu bercampur aroma nasi aron dan kuah kaldu tulang. Para pelayan perempuan sudah berkumpul di sudut belakang, di antara kendi tanah liat dan tampah berisi daun pisang. Tapi hari itu bukan pekerjaan yang menyibukkan mereka, melainkan gosip baru yang jauh lebih menarik. “Jadi, katanya dia cuma duduk diam, menatap keris?” bisik Mirti, pelayan muda yang sering menirukan gaya bicara bangsawan sambil mengupas singkong rebus. “Yah, katanya cuma ada keris di tengah kain putih. Malam pertama malah sama besi,” sahut Luri dengan dramatis, membuat tawa cekikikan pecah di antara mereka. “Eh, tapi coba lihat caranya jalan kemarin. Gayanya perempuan kampungan, bukan Raden Ayu. Angkat kainnya saja seperti orang nyebrang pasar, bukan masuk istana.” “Tapi bajunya bagus, sih,” selip seorang pelayan muda lain. “Bagus, tapi isi kepalanya? Hm. Ndoro Rakai sampai nitip orang buat ngajarin dia etika. Masyaampun… pengantin baru tapi malah kayak murid baru.” “Bentar, bentar, berarti mulai hari ini kita bisa nonton dia’? Diomelin? Aih, hiburan baru!” Luri bertepuk dada sambil menahan tawa. Sementara itu, di halaman kecil dekat kolam teratai, Raras berdiri mengenakan kain batik sogan dan blus krem sederhana. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai terlepas ditiup angin. Ia menatap angsa yang berenang pelan, mencoba menenangkan hati. Namun, ketenangan itu pecah oleh langkah tegas seorang wanita tinggi, berkebaya gelap dan selendang hitam melintang di bahu. Wajahnya dingin seperti batu candi. “Selamat pagi, Raden Ayu,” sapa wanita itu. “Saya Dyah Retna Paramita. Mulai hari ini, saya ditugaskan Pangeran untuk mendampingi Anda.” Raras menoleh cepat, raut wajahnya sedikit waspada. “Mendampingi? Dalam hal apa?” “Dalam semua hal,” jawab Retna tanpa senyum. “Berpakaian, berbicara, berjalan, menyapa, duduk, makan, menulis surat, menerima tamu, menaiki kuda, bahkan… tersenyum. Pangeran ingin Den Ayu memahami tata krama dan nilai luhur seorang istri bangsawan. Karena saat ini… maaf, Anda belum menunjukkan tanda-tanda itu.” Raras membeku, tak percaya. “Maaf?” “Contoh kecil,” Retna melirik tajam, “cara Anda berdiri sekarang. Kaki terlalu lebar, tidak anggun. Lengan terlalu bebas, tak ada ketenangan. Rambut berantakan. Istri bangsawan tak menyambut pagi seperti pedagang sayur baru pulang dari pasar.” Raras membuka mulut, hampir ingin protes. Retna melanjutkan, “Dan cara Anda menatap angsa dengan ekspresi kosong. Kalau memang harus menatap, lakukan dengan martabat. Pangeran tak ingin istrinya terlihat seperti perawan kikuk tersesat di dalam lukisan.” “Baik,” jawab Raras pelan, mencoba menahan nada sinis. “Dan satu hal lagi, dilarang melotot,” tambah Retna dengan nada tegas. Raras memalingkan wajah ke angsa, mulutnya terbuka sedikit seperti ingin tertawa atau menjerit. Ia menarik napas panjang, lalu menoleh kembali. “Apa saya juga harus diajari cara mencicipi bubur dengan keanggunan sakral?” Retna mengangguk datar. “Tentu. Mulai besok pagi, bubur Anda jadi ujian pertama.” Dari balik pilar, dua pelayan kecil mengintip sambil menahan tawa hingga hampir tersedak. Mereka lari kembali ke dapur, berbisik histeris, “Mulai besok, Raras harus belajar makan bubur pakai wajah bangsawan!” “Dengan tatapan penuh martabat ke arah ayam suwir!” Dan dapur kembali gaduh bukan karena masakan gosong, tapi karena hiburan baru di istana Mandalajati.Balairung utama Istana Mandalajati malam itu berdiri gagah, diterangi ratusan pelita minyak dan obor besar di setiap sudutnya. Cahaya kuning berkilauan di dinding berukir naga, memantul pada kain sutra yang menjuntai dari langit-langit tinggi. Musik gamelan berpadu dengan tabuhan genderang, menandai kemegahan pesta yang seharusnya menjadi saksi kemuliaan pengantin baru. Namun di singgasana, Raras duduk seorang diri. Kebaya ungu tua berlapis emas tersemat di tubuhnya, wajahnya terhias riasan lembut. Cantik, anggun, dan tampak tenang. Tetapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang tak terlihat orang lain, rasa hampa karena suaminya, Rakai, tak hadir di sisinya. Para bangsawan berdatangan, memberi hormat, memuji kecantikannya, dan mengucap doa. Raras membalas dengan senyum sopan, meski senyum itu tak pernah benar-benar menyentuh matanya. Di belakangnya, Alin berdiri tegak. Hanya seorang pelayan di mata orang lain, namun sikapnya berbeda. Matanya awas, terus menyapu kerumunan yang ber
Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu melewati tirai putih kamar pengantin. Rakai baru saja keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih dibalut handuk di pinggang. Matanya langsung jatuh pada sosok istrinya, Raras, yang masih terlelap di atas ranjang. Wajah itu tenang, seakan tak terusik oleh hiruk pikuk persiapan pesta yang terdengar dari luar istana.Namun ketenangan itu pecah saat seorang pengawal mengetuk pintu dan melaporkan kabar darurat, perbatasan kembali bermasalah. Rakai berdiri kaku beberapa detik, menimbang antara kewajiban sebagai panglima atau haknya sebagai seorang suami di hari pernikahan. Dengan langkah berat, ia mendekat ke ranjang, duduk di sisi istrinya.“Raras...” suaranya rendah, nyaris bergetar. “Aku harus pergi sebentar. Ada hal yang harus kuselesaikan di perbatasan. Tapi malam nanti... kita akan tetap rayakan pesta, percayalah.”Raras membuka mata, menatapnya sekilas tanpa sepatah kata. Diam. Pandangan itu membuat Rakai semakin sulit. Ia meraih tangan istrin
Langkah kaki Jendral Arya Gumelar bergema di aula istana, berat dan penuh wibawa. Rakai hanya melirik sekilas, lalu mengangkat tangan memberi isyarat agar ia duduk.“Bagaimana hasil laporanmu,” ucap Rakai rendah, tegas.Arya menunduk hormat sebelum membuka gulungan catatan. “Tentang wanita itu… Putri Raras.”Gerakan dagu Rakai menjadi tanda agar ia melanjutkan.“Dia bukan sembarang gadis,” suara Arya mantap. “Seperti yang ia akui padamu, Raras memang seorang putri… putri terbuang. Sejak kecil disembunyikan dari garis keturunan sah demi kepentingan politik. Untuk menjaga stabilitas Wanasari, ia akhirnya diserahkan mengikuti seleksi selir di Majakirana.”Rakai hanya mengangguk tipis. "Jadi benar. Bukan dongeng belaka apa yang pernah diucapkan gadis itu."Arya mengamati wajah sahabatnya, mencoba membaca sesuatu di balik ketenangan itu. “Namun sejauh penyelidikan, aku tidak menemukan tanda-tanda bahwa dia mata-mata. Bukan dari Wanasari, bukan pula Majakirana. Ia hanya korban keadaan, ters
Setelah suasana di aula mereda, Raras dan Rakai melangkah menuju kamar mereka. Rakai menutup pintu perlahan, lalu menoleh, menatap istrinya dengan mata yang dalam.“Nimas,” ucapnya serak, “kau tahu kan… aku ini pria normal.” Tangannya terulur, berusaha meraih pinggang Raras.Namun Raras menahan diri, mundur selangkah. “Kang Mas… jangan. Aku… aku masih belum siap,” katanya lirih, matanya menunduk. “Kau bukan suamiku… keris itu yang menjadi suamiku.”Rakai tersenyum, separuh geli, separuh penasaran. “Benarkah? Tapi keris itu hanya besi dingin. Sedang aku nyata di depanmu.”Raras menyilangkan tangan di dada, seperti membuat perisai. “Itulah masalahnya, Mas. Kau terlalu nyata. Dan nyata itu… kadang lebih menakutkan daripada ilusi.”Rakai melangkah lebih dekat, hingga tubuh Raras terdesak di sudut ranjang. Senyumnya melembut. “Nimas… jangan terus menjauh. Aku hanya ingin kiya merasakannya.”Raras mendongak, menatap mata suaminya dengan kilat nakal. Bibirnya bergerak pelan di telinga Rakai,
Sore itu, senja perlahan turun di langit perbatasan. Cahaya jingga menyapu pepohonan, sementara suara serangga mulai terdengar dari balik semak. Di kejauhan, Rakai berjalan menghampiri Raras yang tengah duduk di atas batu besar, menatap lembah dengan senyum tipis.“Raras,” suara Rakai dalam namun lembut, “Ayo kita pulang. Kau sudah terlalu lama di perbatasan. Udara dingin begini bisa membuat tubuhmu lemah.”Raras menoleh, matanya berkilat jenaka. “Kangmas… mengapa buru-buru pulang? Aku justru merasa nyaman di sini. Orang-orang sederhana di perbatasan ini baik hati, dan aku sudah terbiasa dengan udara dingin dan para prajurit di sini. Bukankah Kangmas yang sering berkata aku harus kuat?”Rakai menarik napas, menahan senyum kecil. Ia tahu betul Raras sedang menguji kesabarannya.“Bukan begitu, Nimas. Aku hanya khawatir. Kau ini putri seorang bangsawan, bukan prajurit penjaga perbatasan. Betah di sini sampai lupa jalan pulang, bagaimana aku tidak pusing?”Raras terkekeh, suaranya ringan
Di barak, Raras tengah duduk di kursi bambu sambil memutar-mutar gelang perak di tangannya. Malam itu udara terasa dingin, aroma kayu terbakar dari tungku meruap samar.Seorang prajurit berlari menuju barak, dengan tergesa-gesa, "Kanjeng Putri ... Kanjeng Putri!" Begitu melihat Raras mendekat dan saling pandang, lalu buru-buru menunduk."Kanjeng Putri, mohon maaf. Saya mau ambil barang atas perintah Kanjeng Gusti.""Hmm, ambil saja barangnya.''“Kanjeng Putru… ini barang permintaan Gusti Pangeran untuk dibawa ke ruang interogasi. Saya—” pria itu tiba-tiba meringis, memegangi perutnya. “Aduh… maaf, perut saya… tidak kuat…”Raras berdiri, menatap bingung. “Lho, terus ini siapa yang antar?”“Mohon… kanjeng putri saja. Gusti Pangeran sedang menunggu. Penting sekali. Dan tidak boleh dibawa orang lain!" Belum sempat Raras bertanya, prajurit itu sudah kabur sambil menahan perut.“Duh Gusti…” gumam Raras. “Aku ini istri pangeran atau kurir?”Dengan langkah mantap, ia membawa kotak itu menuju