Rakai duduk di lantai kayu, punggung menempel ke dinding. Hening. Lampu minyak berayun, bayangan wajahnya pecah di dinding. Pandangannya menajam, wajahnya kaku. Tak ada lagi tanda kebesaran seorang panglima.Ia berdiri. Mengambil sarung sederhana, warnanya kusam, sudah usang. Dipakainya tanpa ragu. Sebuah ikat kepala lusuh ia lilitkan erat, menutupi rambut yang sebelumnya selalu tersisir rapi. Pakaian itu membuat tubuh tegapnya terlihat biasa saja, seperti lelaki desa yang hidup pas-pasan.Tangannya meraih keranjang bambu. Isinya sederhana, segenggam garam dalam kain, tembakau, beberapa lembar kain perca. Barang-barang murahan, cukup untuk dijajakan di pasar. Barang itu bukan milik seorang bangsawan, melainkan milik seorang pedagang miskin yang berpindah dari dermaga ke dermaga.Ia sengaja tidak membawa senjata besar. Tombak ia tinggalkan. Keris pusaka ia sembunyikan jauh di peti kayu. Hanya sebilah belati kecil yang ia selipkan di pinggang, tertutup sarung. Nyaris tak terlihat.Rakai
Fajar baru saja merekah di langit Daha. Cahaya jingga memantul di sisa-sisa bangunan yang runtuh, juga di air sungai yang tenang. Warga mulai bangun, sebagian kembali mengantre bubur tipis yang semalam dimasak prajurit.Di dermaga, rombongan Tanah Pasren sibuk mengangkat karung kosong ke kapal. Mereka hanya singgah semalam, dan pagi itu bersiap pulang.Raras berjalan pelan mendekati dermaga, masih tampak letih tapi wajahnya cerah karena surat yang ia terima semalam. Alin setia mengikutinya, sementara Situ dan Sitira membantu warga di belakang.Di dekat tangga kapal, Lasmi—si utusan Tanah Pasren—tampak sibuk mengatur orang-orangnya, meski sebenarnya ia hanya berdiri anggun sambil bersandar pada tiang kapal. Begitu melihat Raras datang, ia menyunggingkan senyum tipis penuh arti.“Ah, Gusti Raras sudah datang. Tuan putri dari Daha yang rupanya lebih senang berkotor-kotor di dapur dan lumpur,” ujarnya setengah berbisik, tapi cukup keras untuk didengar.Raras menghentikan langkahnya, menat
Raras berdiri tegak menyambut. Ia tetap menampilkan senyum, meski dalam hati masih ada getir karena bukan Rakai yang muncul.Wanita itu menyibakkan selendangnya, tersenyum miring sambil menatap Raras dari ujung kepala hingga kaki. “Jadi ini… Gusti Raras?” suaranya lirih namun terdengar jelas oleh orang-orang sekitar. “Hmmm… aku kira istri Pangeran Rakai itu seorang bangsawan agung yang anggun. Tapi ternyata… hanya gadis desa yang dipoles sedikit.”Raras tertegun. Matanya langsung menyipit, dadanya panas. Namun ia menahan diri. Jangan… jangan terpancing. Dia membawa bantuan, jangan sampai rakyatku yang jadi korban amarahku.Lasmi melangkah mendekat, mendengus kecil seakan sedang menilai kain sederhana yang Raras kenakan. “Lihatlah, pakaiannya sederhana, wajahnya pun polos tanpa riasan. Benarkah ini yang dipilih Rakai? Padahal banyak wanita di istana yang lebih… pantas.”Beberapa prajurit di dermaga menoleh gelisah, suasana menjadi tegang.Raras menarik napas panjang, memaksakan senyum
Di dermaga Daha, aroma kayu bakar dan bubur yang mengepul memenuhi udara. Raras masih sibuk membagi bubur untuk warga yang berdesakan, tangannya gemetar halus karena kelelahan. Wajahnya pucat, namun ia tetap memaksakan senyum agar orang-orang merasa tenang.Alin berlari ke sana kemari, sibuk membagikan mangkuk batok kepada anak-anak kecil. Sementara itu, Situ awalnya ikut membagikan bubur, tapi pandangannya tak pernah lepas dari sosok tuannya. Dari tadi ia mengamati setiap gerak-gerik Raras, dan hatinya mencelos melihat pipi sang putri yang semakin pucat.“Sitira, teruskan tugasku,” ucap Situ singkat.Sitira mengangguk cepat, mengambil alih sendok kayu besar untuk menuang bubur ke batok-batok kelapa. Situ pun melangkah mendekat dengan langkah tenang, membawa semangkuk bubur hangat di tangannya.“Gusti, makanlah sebentar,” katanya datar, namun suaranya tak bisa menyembunyikan nada khawatir.Raras tersenyum samar, menggeleng pelan. “Tidak usah, Situ. Warga lebih butuh—”Namun belum sele
Tanah pasren masih sibuk meski malam telah turun. Obor-obor menyala di tiap sudut, menerangi gudang tempat bahan pokok ditumpuk. Rakai berdiri tegap, memperhatikan daftar yang digenggamnya.“Arum,” ucapnya tenang. “Beras, kacang, dan garam, apakah semua sudah siap. Besok sebelum fajar, semua harus sudah berangkat ke Daha.”Arum yang sejak tadi sibuk menghitung karung tiba-tiba menoleh dengan senyum nakalnya. Ia mengangguk, lalu bersedekap dengan gaya pura-pura serius.“Baik, tuanku. Tapi…” ia menurunkan suaranya, lalu melirik Rakai sambil menggeleng sok manja, “ada bayarannya.”Rakai mengangkat alis. “Bayaran?”“Pangeran ini tahu sendiri, tangan hamba pegal-pegal sejak kemarin angkat karung. Kalau tidak diberi imbalan, bisa-bisa besok hamba rebahan seharian,” jawab Arum sambil menahan tawa.Rakai mendengus pelan. “Imbalan apa yang kau mau?”Arum mengedip sekali, lalu berkata cepat, “Paling tidak, senyuman satu saja dari tuanku. Senyuman yang bisa bikin hamba kuat lagi sampai sepuluh k
Kabut malam makin tebal di hutan Daha. Alin, Sitira, dan Situ melangkah dengan hati-hati, cahaya obor di tangan Situ menari-nari, membentuk bayangan panjang di batang pohon. Suasana hening, hanya terdengar suara burung malam dan gemuruh air sungai di kejauhan.“Kenapa Gusti Raras berjalan sendirian?” gerutu Alin, wajahnya tegang. “Seharusnya Tuan Putri tidak boleh meninggalkan perkemahan tanpa pengawal.”Situ menanggapi dingin, “Aku sudah berusaha menahannya. Tapi Gusti Putri keras kepala. Kau kira aku tidak khawatir?”Sitira yang berjalan di belakang berusaha menengahi. “Sudahlah, yang penting kita temukan Gusti Putri dulu.”Belum sempat langkah mereka lebih jauh, tiba-tiba tanah di tepi jalan licin. Sitira yang agak dekat dengan jurang kecil terpeleset. Tubuhnya meluncur deras menuruni lereng berlumpur.“Sitira!” Alin menjerit, berlari mencoba meraih tangannya, tapi terlambat. Sitira terhanyut hingga jatuh ke sungai deras di bawah.Air bergemuruh, tubuh Sitira terbawa arus. Ia menje