Home / Zaman Kuno / Asmaraloka Sang Putri Pusaka / Bab 7 Aku Di Jual Ke Majakirana

Share

Bab 7 Aku Di Jual Ke Majakirana

Author: Fei Adhista
last update Huling Na-update: 2025-08-14 19:42:19

Di barak, Raras tengah duduk di kursi bambu sambil memutar-mutar gelang perak di tangannya. Malam itu udara terasa dingin, aroma kayu terbakar dari tungku meruap samar.

Seorang prajurit berlari menuju barak, dengan tergesa-gesa, "Kanjeng Putri ... Kanjeng Putri!" Begitu melihat Raras mendekat dan saling pandang, lalu buru-buru menunduk.

"Kanjeng Putri, mohon maaf. Saya mau ambil barang atas perintah Kanjeng Gusti."

"Hmm, ambil saja barangnya.''

“Kanjeng Putru… ini barang permintaan Gusti Pangeran untuk dibawa ke ruang interogasi. Saya—” pria itu tiba-tiba meringis, memegangi perutnya. “Aduh… maaf, perut saya… tidak kuat…”

Raras berdiri, menatap bingung. “Lho, terus ini siapa yang antar?”

“Mohon… kanjeng putri saja. Gusti Pangeran sedang menunggu. Penting sekali. Dan tidak boleh dibawa orang lain!"

Belum sempat Raras bertanya, prajurit itu sudah kabur sambil menahan perut.

“Duh Gusti…” gumam Raras. “Aku ini istri pangeran atau kurir?”

Dengan langkah mantap, ia membawa kotak itu menuju
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 104

    Benteng Wiru masih basah oleh hujan ketika kabar itu jatuh seperti petir di ruang pribadi Putri Wening.Pintu kamar dibuka terburu-buru. Dua pengawal masuk sambil berlutut.“Gusti Putri… Putri Ajeng tidak ada di penginapan.”Suara pengawal itu gemetar.“Kereta yang membawa Arya dan rombongannya… disergap. Mereka menghilang.”Wening berdiri perlahan dari kursi riasnya.Gerakan itu begitu pelan hingga udara seakan menahan napas.Wajahnya tetap cantik.Tetap anggun. Namun matanya kosong.“Ulangi.”Suaranya datar. Berbahaya.Pengawal kedua menelan ludah. “Gusti… wanita bernama Ajeng—”“Ajeng…!!” Wening menjerit mendadak.Cermin di meja rias bergetar.Pengawal langsung tersungkur semakin rendah.Wening melangkah maju, gaunnya menyapu lantai batu.“Apa tadi kau bilang? Ajeng menghilang?”Pengawal mengangguk dengan tubuh sepenuhnya gemetar.Tangan Wening terangkat—BRUK!Ia menyapu segala isi meja riasnya hingga berjatuhan ke lantai, sisir perak, wadah bedak, perhiasan kecil, semua hancur ber

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 103

    Hujan semakin deras. Api unggun kecil yang tadi menerangi wajah Arya kini hampir padam, menyisakan cahaya jingga yang goyah.Rakai belum sepenuhnya melepaskan Raras dari pelukannya ketika suara langkah lain terdengar dari balik pepohonan.Suara serak Alin memanggil pelan:“Gusti… Raras…”Raras menoleh cepat, mata membesar lega.“Alin!”Tapi kelegaannya langsung berubah kaku begitu ia melihat siapa yang berdiri di samping Alin.Reyas.Dengan pakaian basah kuyup, rambut berantakan, dan tatapan penuh kewaspadaan.Seolah bersiap jika ada yang menyerangnya.Dan memang… ada.Rakai mematung sedetik. Napasnya terputus.Tatapannya turun ke tangan Alin. Lalu ke wajah Reyas yang berdiri menjaganya.Tatapan itu berubah gelap.Seperti bayangan badai.“Kau…” suara Rakai rendah, hampir seperti geraman binatang yang terpojok.Reyas menegakkan badan. “ Gusti!"Hanya satu kata, tapi cukup untuk membuat amarah Rakai meledak.Tanpa aba-aba, Rakai menerjang.Tinju pertamanya melesat ke pipi Reyas.BRAK!R

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 102

    Udara malam terasa menggigit. Embusan angin membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru diguyur hujan. Di antara keremangan dan kabut tipis, Raras melangkah lebih cepat dari seharusnya. Adrenalin yang masih tersisa membuat dada dan napasnya naik-turun, tapi justru membuat lidahnya semakin lincah.“Reyas,” gerutunya tanpa menoleh, menyibak ranting dengan satu kibasan tangan, “aku ingin memastikan satu hal.”Reyas mengikuti setengah langkah di belakang, membawa obor kecil yang cahayanya terus bergetar diterpa angin. Ia tak menjawab, karena pengalaman memberitahunya bahwa sebuah jawaban bisa memicu ceramah selama sepuluh menit berikutnya.Raras berhenti, menoleh lebar, alisnya naik sebelah.“Orang normal,” ujarnya, menekankan setiap suku kata, “kalau mau bicara, ya bicara. Bukan menyergap dari belakang, ngiket orang, terus membiarkan aku tidur di lantai dingin seperti umbi-umbian yang siap dijemur.”Alin yang berjalan di tengah hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan. Bahunya s

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 101

    Raras terbangun dengan kepala berdenyut, udara dingin dan bau tanah basah mengisi hidungnya. Tubuhnya bersandar pada tiang kayu, kedua tangan diikat ke belakang dengan tali kasar yang mengiritasi kulitnya.Alin terikat tak jauh darinya, wajahnya pucat tetapi matanya masih menyala.“Gusti Raras… Jenengan sadar?” bisik Alin pelan.Raras mengangguk kecil, menelan rasa perih di bibirnya. “Kita di mana?”“Diculik,” Alin menelan ludah. “Tapi mereka tidak menyentuh apa-apa… hanya mengikat kita dan meninggalkan penjaga di luar.”Raras memejamkan mata sejenak, mengatur napas. “Mereka bukan bandit biasa,” katanya lirih. “Tali yang dipakai ini simpulnya… simpul prajurit.”“Tapi… siapa yang ingin menculik kita? Apa Wening yang—”“Jangan sebut namanya keras-keras.”Raras melirik celah dinding bambu, memastikan tidak ada bayangan mendekat.Hujan masih tipis, menetes dari celah atap. Suara gaduh para penculik terdengar samar dari luar: mereka berbicara pelan, tidak ada tawa kasar, tidak ada ancaman…

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 100

    Kabut turun rendah, membuat suara langkah kuda terdengar lebih jelas dari biasanya. Arya menggenggam kendali kereta lebih kuat. Alin duduk di sampingnya, wajah pucat tetapi tenang. Sementara Raras berada di dalam, berusaha menenangkan napasnya yang belum juga stabil.Raras baru ingin membuka tirai ketika Arya tiba-tiba berkata pelan:“Jangan keluar. Ada sesuatu.”Alin menegakkan punggung.Arya menarik kudanya berhenti.Di depan mereka, empat lelaki berjubah gelap muncul dari balik pepohonan. Mereka tidak berbicara, hanya berdiri diam, seperti bayangan pepohonan yang tiba-tiba hidup.Arya turun dari kereta dengan gerak perlahan, satu tangan memegang gagang keris.“Punten… ada perlu apakah menghadang kami?”Tidak ada jawaban.Hanya satu gerakan kecil.Sesuatu melesat dari arah samping, anak panah kecil.“Tunduk, Alin!”Arya menangkis dengan bilah kerisnya. Dentuman logam terdengar tajam.Dari sisi lain jalan, empat orang tambahan keluar.Lalu dua lagi dari belakang.Sepuluh.Jumlah yang

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 99

    Pagi masih pucat ketika Wening membuka jendela kamar bangsawannya.Udara segar seharusnya menenangkan, tapi bukan hari ini.Ia merasa… sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya.Dan firasat itu terbukti ketika seorang pelayan terbirit-birit datang sambil membawa baki minuman. Tangannya bergetar begitu parah hingga cangkir porselen nyaris jatuh.Wening memicingkan mata.“Apa kau membawa minum atau membawa gempa bumi?”Pelayan itu segera bersimpuh ketakutan.“A—ampun Gusti… saya… saya hanya diminta menyampaikan pesan… pesan penting…”Wening mendekat perlahan, langkahnya ringan seperti angin, tapi tekanan kehadirannya membuat pelayan itu hampir menangis.“Pesan apa?”Senyum Wening tipis. Tidak nyaman. Tidak manusiawi.Pelayan itu menelan ludah.“Orang yang semalam… orang… yang Gusti temui…”suara laki-laki itu tercekat.“Dia… ingin bertemu kembali. Katanya… ‘pekerjaannya terganggu’.”Senyum Wening pun hilang seketika.Tatapannya berubah dingin, bukan dingin biasa, melainkan dingin menu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status