"Jadi apa kamu serius minta menikah dengan saya?" tanya Bima penuh kesungguhan. Menjaga postur tubuh tetap tegap, yang dapat membuat terlihat lebih berwibawa.
"M–menikah? Memangnya aku tadi bilang bersedia dinikahi?" Arafah berpura–pura lupa, enggan balik menatap Bima yang fokus memandangnya.
Sedang yang ditanya tersenyum getir. "Allah Subhanawata'ala menjadi saksi apa yang baru kamu ucapkan pada saya sesaat lalu, Arafah."
"Komandan sendiri berkenan menikah denganku?" tutur Arafah yang terdengar serius. "Kita bahkan belum mengenal satu sama lain."
Pria berseragam itu diam sebentar, berpikir cukup lama sebelum menjawab. "Bila kamu adalah wanita yang baik agamanya—baik akhlaknya, dan bila pada akhirnya Allah takdirkan serta membawa saya pada keputusan itu, saya bersedia."
Arafah merasa jantungnya berdegup kencang, jatuh ke perut kala Bima menerima permintaannya. "A–aku hanya bercanda tadi!" katanya beralasan.
Sejujurnya perempuan berkerudung itu hanya ingin menguji keseriusan Bima dan janjinya kala mengatakan akan menjaga Arafah yang kini sebatang kara.
Maka Arafah sama sekali tidak berharap Bima akan menanggapi serius ucapannya. Yakni berupa permintaan tak masuk akal terkait pernikahan.
"Komandan!" seru seseorang menghentikan obrolan Arafah dan Bima.
Sontak dua manusia yang mulanya tengah asik bercengkrama itu menoleh pada sumber suara. Dimana tergopoh–gopoh prajurit bersimbah darah menemui Bima dengan raut wajah takut dan paniknya.
"Kopral Arga, kau—kenapa?" Bima bertanya dengan bibir bergetar. "Apa yang terjadi, kenapa kau berdarah–darah begini?"
"Komandan, K–kopral Wisnu tertembak!" jerit yang dipanggil Arga. "D–dia, dia mencoba melindungi saya sampai akhirnya terkena peluru."
Raut wajah Bima lantas berubah. Dari yang semula tenang dan lembut memandang Arafah, berubah tegang dan cemas bukan main.
"Di mana Wisnu?"
"Sedang bertemu dokter. Keadaannya tidak bagus."
"Kau sendiri tidak apa–apa?"
"Aku aman, t–tapi Kopral Wisnu, saya takut mereka tidak bisa menyelamatkannya."
Bima tidak menunggu sampai bawahannya tersebut selesai bicara, buru–buru pergi meninggalkan Arafah yang sejak tadi ikut merasakan kepanikan dan kegentingan yang ada.
Rupanya menjadi seorang Pemimpin merupakan hal yang sulit. Arafah menyesal membercandai Bima dengan lelucon pernikahan hanya demi memastikan keamanan masa depannya.
Padahal yang menjadi tanggung–jawab Bima bukan cuma satu—dua orang saja. Puluhan bahkan ribuan nyawa berada di tangan keputusannya.
Diantara banyaknya beban dan tugas prajurit tangguh itu, Arafah mustinya bersyukur dia mendapat kesempatan mengenal dan dibantu oleh Bima. Bukanya membangun keragu–raguan dan curiga pada niat asli yang dimiliki lelaki berparas tampan tersebut.
Sejak hari di mana Arafah mengetahui kalau prajurit bawahan Bima tertembak, maka sejak hari itu pula Arafah tidak pernah bertemu lagi dengan Bima di rumah sakit.
"Sudah hampir seminggu," gumam Arafah. "Dia tidak ada kabar sama sekali."
"Apa?" tegur perawat yang tengah menyuapinya, tertarik sebab mendengar Arafah bicara seorang diri. "Tadi bilang apa, Fah?"
Arafah kaget saat menyadari apa yang dia pikiran rupanya terucap juga oleh bibirnya. "E–enggak, Sus. Bukan apa–apa," bual perempuan berlesung pipi tersebut.
Sonya hanya mengangkat bahu, menganggap gumaman Arafah angin lalu. Perawat yang diamanahkan Bima memantau dan menjaga Arafah untuk menggantikan pria itu mulai akrab dan menjadi teman baik Arafah di rumah sakit ini.
"Kamu sedang memikirkan seseorang, ya?" tebak Sonya, si cantik yang senantiasa berseragam putih dan mengenakan nurse cap.
Arafah buru–buru menggeleng, berusaha setenang mungkin agar tidak ketahuan tengah kedapatan melamuni tentang Bima.
"Sepertinya saya tahu siapa," goda Sonya disertai senyum jahil. "Orang yang kamu tunggu–tunggu kehadirannya itu, saya rasa saya bisa menduganya."
Sebelum Sonya menyebut nama Bima, Arafah segera menyanggah segala yang dipikirkan perawat itu tentangnya.
"Aku gak lagi nunggu siapa–siapa, Sus. Lagipula buat apa aku menunggu orang yang memang kelihatannya tidak peduli padaku," sarkas Arafah dengan suara sedikit bergetar.
Walau tidak mengakui secara langsung serta terus–menerus denial, Arafah sadar dia mulai merasa kehilangan sosok Bima padahal kehadiran pria itu juga tak terlalu berkesan untuknya.
Bima seperti kenalan lama yang tiba–tiba lenyap—kemudian menimbulkan ruang kosong yang tidak mampu dia jelaskan. Kesepian, kesendirian.
"Bukan dia tidak peduli, Arafah." Sonya mengutarakan pendapatnya, mengoreksi kesimpulan yang ditarik mentah–mentah oleh perempuan cantik itu. "Namun memang ada kondisi–kondisi tertentu yang memaksa seseorang untuk pergi. Entah sementara atau selamanya."
"Benar juga, apalagi dia pasti lumayan sibuk." Arafah bermonolog sedih.
"Sebetulnya tidak sibuk–sibuk amat, sih. Tapi tanggung–jawabnya saja yang banyak." Sonya mengoreksi.
"Menjadi seorang Komandan memang bukan hal yang mudah," sepakat Arafah.
Sonya tertawa. "Ya begitulah. Komandan Bima punya banyak yang harus dia jaga dan urusi. Aku yakin dia bukan tidak peduli, tetapi memang terpaksa tidak bisa kemari."
"Eh? K–kenapa tiba–tiba menyebut nama Komandan Bima?" seru Arafah yang terkejut menyadari pembahasan mereka begitu terang–terangan.
"Kamu yang pertama kali berceletuk ini tentang Komandan, Fah." Sonya mengejek dengan matanya yang menyipit jahil. "Lagipula semuanya sudah dijawab sama wajahmu. Mengaku saja!"
Demi menyembunyikan salah tingkahnya, Arafah membuang muka dan abai pada Sonya yang asyik tertawa.
"Padahal dia sudah berjanji akan selalu di sini," ucap Arafah setengah berbisik. "Sekarang aku bahkan tidak tahu kabarnya, dan dia juga tidak tahu kemajuan apa terkait kondisiku—orang yang sudah dia selamatkan dan bantu."
Sonya tersenyum teduh. Dia ingat pertama kali Arafah dinyatakan tidak bisa berjalan usai tindakan operasi dislokasi yang dilewati, perempuan malang itu menyalahkan semua orang akan apa yang menimpanya ini.
Namun segala perspektif itu berubah. Tidak tahu apa yang dikatakan Komandan Bima sampai menyentuh hati Arafah hingga perlahan–lahan dia bisa menerima dengan ikhlas dan optimis menjalani rehabilitasi.
"Mau tau satu hal, Fah?"
"Tentang apa, Sus?"
"Komandan Bima adalah orang yang paling tahu sejauh mana perkembangan dan kemajuan kondisi kakimu. Bahkan tanpa perlu kamu ceritakan detailnya ketika nanti kalian bertemu."
Arafah tertegun cukup lama mendengar pernyataan yang diutarakan oleh Sonya. "Tapi dia tidak ada di sini," sanggahnya tak percaya. "Bagaimana dia bisa tahu?"
"Meskipun dia tidak ada di sini, dia selalu punya mata dan telinga yang bisa melapor padanya, Fah." Sonya mengedipkan sebelah mata. "Aku juga dengar kalau banyak kenalan yang sengaja dia pesankan untuk menjaga dan membantumu di rumah sakit ini. Kau sekarang terkenal, Fah."
Bima sungguh tidak bisa ditebak. Ada saja kejutan yang didapati Arafah tiap kali nama pria itu disebut.
Hati Arafah berdesir hangat ketika mengetahui fakta yang jujur membuatnya tersipu. Dia merasa diperlakukan spesial oleh Bima sejak insiden penyelamatannya hari itu.
"Tidak adil! Dia tahu semua tentangku—tapi aku tidak bisa tahu apa yang terjadi padanya." Arafah membalas getir, sengaja mencucukan bibir bawahnya. "Pada siapa aku bisa tahu apakah dia baik–baik saja atau tidak?"
Sonya ikut prihatin karena dia juga tak bisa memberi jawaban atas pertanyaan Arafah. Sebab yang tahu tentang Bima—amankah dan baik–baik sajakah dia—hanya rekan militernya saja.
Obrolan Arafah dan Suster Sonya terjeda karena keduanya mendengar suara dari luar kamar.
"Dokter Pram," teriak salah seorang suster memanggil Dokter Spesialis Bedah.
"Ada apa, Sus?”
"Anda dibutuhkan sekarang juga di ruang operasi, Komandan Bima tertembak, Dok!”
Seorang wanita susah payah menggerakkan kursi roda di koridor rumah sakit yang terbilang masih sepi. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi, dimana operasi CITTO Komandan Bima tlah selesai sejak tengah malam tadi.Arafah berniat memeriksa Bima yang masih diobservasi dan dipantau oleh dokter di ruang pemulihan—recovery room— kemudian berniat mampir ke mushola kecil di dekat kantin untuk melaksanakan shalat sunnah tahajjud.Sebagaimana yang dilakukan Bima ketika dirinya terbaring lemah dan dalam kondisi terburuk, Arafah hendak berbuat hal yang sama. Bermunajad kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesembuhan dan keselamatan pria yang tlah banyak berjasa dan membantunya."Permisi," sapa pria yang tidak sengaja bertemu dengan Arafah di tempat ibadah. "Mbak Arafah?" sapanya, memanggil nama perempuan yang terkejut menatap balik ke arahnya."Ya, saya?" ucap Arafah seraya mengangguk samar. Perempuan yang tidak dapat bergerak bebas sebab keterbatasan kakinya itu lantas bersikap waspada, "Maaf, i
Arafah merasa pendengarannya seketika peka saat panggilan urgent itu membawa nama Komandan Bima—sosok yang sedari tadi tinggal dan mengusik pikirannya.Bukan hanya Arafah, perawat Sonya juga sama terkejutnya. Respon sebagai seorang nakes membuat wanita itu tidak perlu pengulangan untuk tahu siapa yang jadi korban dan membutuhkan bantuan dokter bedah secepatnya."Fah, aku tinggal dulu—""Tadi itu Komandan Bima yang kita kenal, Sus?" Arafah buru–buru bertanya, memotong kalimat perempuan di sebelahnya yang lebih dulu bicara.Arafah tahu kalau dia tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk memastikan berita yang baru didengarnya. Karena Arafah yakin Sonya juga mendengar teriakan sang rekan sejawat di luar sana.Perawat Sonya terlihat was–was, mata dan bibirnya bergetar walau samar. "Biar aku pastikan dulu, ya, Fah. Bisa jadi salah dengar," ucap ragu si perawat cantik.Arafah menahan pergelangan tangan Sonya yang berniat meninggalkannya, memaksa untuk ikut dan memeriksa."Fah, nanti saja, y
"Jadi apa kamu serius minta menikah dengan saya?" tanya Bima penuh kesungguhan. Menjaga postur tubuh tetap tegap, yang dapat membuat terlihat lebih berwibawa."M–menikah? Memangnya aku tadi bilang bersedia dinikahi?" Arafah berpura–pura lupa, enggan balik menatap Bima yang fokus memandangnya.Sedang yang ditanya tersenyum getir. "Allah Subhanawata'ala menjadi saksi apa yang baru kamu ucapkan pada saya sesaat lalu, Arafah.""Komandan sendiri berkenan menikah denganku?" tutur Arafah yang terdengar serius. "Kita bahkan belum mengenal satu sama lain."Pria berseragam itu diam sebentar, berpikir cukup lama sebelum menjawab. "Bila kamu adalah wanita yang baik agamanya—baik akhlaknya, dan bila pada akhirnya Allah takdirkan serta membawa saya pada keputusan itu, saya bersedia."Arafah merasa jantungnya berdegup kencang, jatuh ke perut kala Bima menerima permintaannya. "A–aku hanya bercanda tadi!" katanya beralasan.Sejujurnya perempuan berkerudung itu hanya ingin menguji keseriusan Bima dan j
Tidur adalah nikmat terbaik yang diberikan setelah lelah menangis dan meluapkan emosi. Arafah tidak tahu kapan dia mulai terlelap, tetapi yang jelas, saat ini di sebelahnya, berdiri seorang lelaki tengah melaksanakan ibadah—salat.Arafah tidak salah lihat, gerakan yang sudah lama tak dia tengok selama di negeri orang itu kembali dia saksikan.Pria yang dipanggil komandan Bima begitu khusuq' bermunajad kepada Tuhan. Membuat hati Arafah berdesir hangat. Otot–ototnya yang tegang, jantungnya yang berdetak kencang, seketika mendamai.Sesuatu yang tidak pernah Arafah bayangkan akan terjadi. Dimana dia pada akhirnya kehilangan perasaan untuk kesal dan marah pada pria yang baru dikenalnya ini."Apa yang kamu pinta pada Tuhan?" tegur Arafah tepat setelah Bima menyelesaikan doanya.Lelaki yang rambutnya masih basah sebab air wud'hu itu menoleh sekilas, kemudian menggumamkan jawaban. "Yang saya pinta pada Allah Subhanawata'ala maksud kamu?" koreksinya pada panggilan Arafah, lantas tersenyum tedu
Dari kejauhan, Bima memerhatikan perempuan yang tengah berbaring lemah di ranjang pasien. Di sebelah wanita itu ada berdiri seorang dokter dan perawat, ketiganya terlihat berbincang banyak.Bima harusnya menghampiri mereka dan bertanya keadaan perempuan yang diselamatkan olehnya, tetapi rasa khawatir memberikan ketidaknyamanan membuat nyali komandan militer itu ciut.Ketika perawat Sonya —tenaga medis yang menghubungi Bima sesaat lalu, mengabarkan tentang Arafah— tidak sengaja beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu, barulah Bima bersedia mendekat."Suatu hal yang baik Komandan datang diwaktu visite dokter," kata Sonya menyapa. "Dokter sedang menjelaskan keadaan Mbak Arafah. Saya pikir Komandan juga perlu tau perkembangan kondisinya."Bima lantas mengambil posisi siap—sedia mendengarkan, lumayan gugup sebab dia tidak pernah menjadi wali dari siapapun.Sedang perempuan yang rupanya memiliki mata indah itu hanya menatap kosong ke arah Bima. Bibir dan kulitnya pucat, persis orang
Seorang perawat keluar dari sebuah ruangan khusus dengan senyum merekah di wajah, memegang dua kantung darah yang didapat susah payah."Sudah?” tanya Bima gegas menghampiri sahabat seperjuangan yang berjalan dengan langkah kecil, menuntun untuk duduk di kursi tunggu."Gak liat apa kau wajahku sudah pucat begini loh?! Masih tanya sudah apa belum," sindir Reno. "Habis sudah tenagaku rasanya."Sementara yang di sindir mengulum senyum. Senyum tipis segaris, namun sukses menambah pesona lelaki berapas tampan tersebut. "Terimakasih, ya. Kau memang lelaki—maksudku prajurit sejati!""Kalau sudah begini baru kau puji aku!" oceh Reno dengan bibir cemberut. "Omong-omong siapa wanita yang kau tolong itu, Bim? Kenal kau sama dia?""Hanya tau nama," balas Bima pendek."Kukira calon," cicit Reno disertai kekehan pelan, ada unsur ejekan dalam kalimatnya sebab tau selama ini sang komandan anti berpasang–pasangan.Bima mendengkus. "Calon apanya? Aku baru sampai di sini loh kalau kau lupa."Reno lantas