Arafah merasa pendengarannya seketika peka saat panggilan urgent itu membawa nama Komandan Bima—sosok yang sedari tadi tinggal dan mengusik pikirannya.
Bukan hanya Arafah, perawat Sonya juga sama terkejutnya. Respon sebagai seorang nakes membuat wanita itu tidak perlu pengulangan untuk tahu siapa yang jadi korban dan membutuhkan bantuan dokter bedah secepatnya.
"Fah, aku tinggal dulu—"
"Tadi itu Komandan Bima yang kita kenal, Sus?" Arafah buru–buru bertanya, memotong kalimat perempuan di sebelahnya yang lebih dulu bicara.
Arafah tahu kalau dia tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk memastikan berita yang baru didengarnya. Karena Arafah yakin Sonya juga mendengar teriakan sang rekan sejawat di luar sana.
Perawat Sonya terlihat was–was, mata dan bibirnya bergetar walau samar. "Biar aku pastikan dulu, ya, Fah. Bisa jadi salah dengar," ucap ragu si perawat cantik.
Arafah menahan pergelangan tangan Sonya yang berniat meninggalkannya, memaksa untuk ikut dan memeriksa.
"Fah, nanti saja, ya. Setelah aku pastikan apa dia benar Komandan Bima atau bukan, baru nanti aku temui kamu lagi," tolak halus Sonya. "Panggilan yang diserukan tadi itu darurat, aku harus ke sana secepatnya."
Yang sebetulnya, Sonya sudah tahu kalau hal buruk—sesuatu yang tidak beres memang sudah terjadi. Tidak ada nama Bima yang lain di rumah sakit ini.
Seperginya Sonya, yang bisa dilakukan Arafah hanya berdoa. Dia menunggu dengan gelisah di hati yang tak kunjung mereda.
Arafah tidak bisa bertanya pada siapa–siapa, tidak pula bisa minta bantuan karena memang tak mengenal siapapun ditempat yang tergolong baru baginya.
Hampir setengah jam Arafah cuma bisa diam di ruangan sembari menunggu kepastian. Makin lama pikirannya makin tak tenang. Untuk pada akhirnya Arafah memutuskan keluar, susah payah dia dorong sendiri kursi roda dengan gerakan terbatas.
Suasana rumah sakit yang terlampau sibuk tidak pernah gagal membuat Arafah dilanda cemas. Dia tatap satu persatu orang yang sekiranya bisa dan punya waktu untuk diajak bicara—paling tidak yang bersedia ditanya letak ruangan operasi berada.
Arafah yakin pasien darurat dengan nama mirip Bima itu pasti sudah dibawa ke ruang operasi, ditindak secepatnya di sana.
Setelah berputar–putar, penuh peluh keringat sebab lelah luar biasa, Arafah akhirnya menemukan tempat tujuannya.
Gerakan tangan Arafah yang tengah bersusah payah menjalankan kursi roda seketika terhenti dikala matanya beradu pandang dengan sejumlah prajurit TNI.
"T–tidak mungkin," ucapnya serak lagi tercekat. "Itu tidak mungkin dia, tidak mungkin Komandan Bima!" tolak perempuan yang masih terus denial.
Leher Arafah seperti tercekik—nafasnya sampai di ujung tenggorokan. Perempuan yang pandangannya mengabur karena air mata itu juga kesulitan mencerna apa yang terjadi di depannya.
'Benarkah lelaki yang tertembak itu—adalah sosok yang sama yang mengucap janji akan menjadi walinya?'
'Mengapa Tuhan lakukan ini pada orang sebaik Bima?'
Melihat orang asing menatap ruang operasi dengan wajah basah—sembab sebab menangis membuat salah seorang bawahan yang ikut duduk di kursi tunggu menghampiri Arafah.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda berbadan tegap, memerhatikan Arafah begitu lekat.
Pandangan Arafah yang kosong sukses menjelaskan betapa terpukul dan shocknya perempuan berparas ayu tersebut.
"Nona, ada keperluan apa—"
"Apa dia Komandan kalian?"
Yang ditanya Arafah itu diam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seolah sedang menimang apakah Arafah adalah orang yang pantas dan bisa diberitahu mengenai kabar besar yang terjadi.
Tepat ketika pertanyaannya diiyakan, Arafah merasa dunianya untuk sekejap berhenti beroprasi. Hening—kosong—sepi. Sulit dia jelaskan karena hanya ada sakit dan sesak yang menghimpit dadanya kini.
"Benar dia tertembak?" tanya Arafah seraya menegarkan diri. "Komandan Bima yang ada di dalam sana?"
Prajurit tadi menundukkan kepala, menyatukan dua tangan persis bersikap layaknya orang yang tengah berduka.
Arafah tidak sadar kalau dirinya kembali terisak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasa. "Apa di dalam sana dia baik–baik saja? Apa luka tembaknya parah? D–dia pasti selamat, 'kan?"
Sebelum runtutan pertanyaan Arafah mendapat jawaban, tim bedah—yang tidak lain adalah perawat Sonya—keluar ruangan dengan wajah panik. Mata indahnya pertama kali beradu pandang dengan Arafah yang letaknya beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Sonya berusaha profesional dengan kembali fokus pada tugas–tugasnya. Dia keluar untuk mengabarkan kalau stok darah yang sebelumnya digunakan demi membantu keberlangsungan tindakan penyelamatan nyawa Komandan Bima menipis. Ditengah kegiatan operasi itu mereka membutuhkan stok darah tambahan.
"Kami sudah cari, tapi tidak ada stok lagi, Sus." Prajurit yang bintang di seragamnya lebih banyak dari yang lain angkat suara. "Dari kami juga tidak ada golongan darah yang cocok untuk bisa jadi pendonor."
Arafah mengangkat tangannya tinggi‐tinggi dan berseru dengan suara lantang. "Aku siap jadi pendonor!" pekiknya, percaya diri.
Sonya menghampiri temannya itu. "Golongan darahmu?"
"O negatif," kata Arafah. "Cepat lakukan tes padaku, Sus!"
"Tapi, Fah—"
"Aku akan baik–baik saja. Tolong, Sus. Ambil darahku!"
Layaknya mendengar sebuah keajaiban, wajah Perawat Sonya sontak berubah—berseri‐seri. Golongan darah O– disebut sebagai donor universal karena bisa didonorkan kepada siapapun—tanpa memandang golongan darah si penerima.
Sonya meraih telapak tangan Arafah dan mengusapnya pelan. "Kamu malaikat penyelamatnya, Fah. Tuhan kirimkan kamu untuk memberi dia kesempatan kedua."
Siapa sangka kalau Arafah secara tidak langsung menjadi penyelamat untuk orang yang juga pernah menyelamatkannya.
Sepasang itu seolah ditakdirkan untuk saling ada—saling bantu—saling berpengaruh pada hidup satu sama lain. Pertemuan ditengah perang konflik dua negara menghantarkan mereka pada takdir yang tidak diduga–duga.
Selama proses pengambilan—tranfusi darah, Arafah tidak khawatir akan kondisinya yang masih belum pulih melainkan lebih mementingkan Bima yang belum selesai berjuang di ruang operasi.
Doa tidak henti–hentinya dia lantunkan, semoga Bima diberi kemudahan dan mendapat belas kasihan Tuhan.
"Jika Engkau bisa tunjukkan keajaiban dan mukjizat padaku, tolong beri hal yang sama pada Komandan Bima. Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan." Arafah bermunajat dengan kesungguhan hati.
Satu–satunya yang bisa Arafah mintai pertolongan ialah pada Sang Penguasa dan Pemilik Alam Semesta. Asy-Syafi'i—Maha Penyembuh.
"Mampukan dia mampu melewati ujian–Mu ini, Ya Allah. Sesungguhnya aku adalah saksi bahwasanya dia adalah hamba–Mu yang baik lagi tak berdaya," isak perempuan yang masih memohon pada Rabb–nya. "Bila bukan pada–Mu, pada siapa lagi kami meminta."
Sampai sebulan lalu, Arafah dan Bima hanyalah dua orang asing yang tak saling tahu. Tapi kini rencana Tuhan membawa mereka pada hubungan saling membutuhkan—saling ketergantungan.
Arafah sudah begitu lama tidak merasakan kekhawatiran akan perasaan kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Dia tidak pernah sangka kalau orang yang akan membuatnya kembali merasakan ketakutan itu adalah Komandan Bima.
Orang yang mengulurkan tangan dan menggenggam Arafah erat ditengah keterpurkan dan titik terberat.
Selamat membaca jangan lupa masukan kepustaka ya, terima kasih sudah support author
Bima berdiri mematung di depan mobil medis. Napasnya berat, meski medan hari ini tak seberat biasanya. Dia pandangi pintu putih dengan lo9go palang merah yang samar tertimpa debu sore. Kata perawat itu—Farel—perempuan yang selama ini hanya hidup dalam sisa-sisa doanya sedang ada di dalam."Kenapa saya justru takut kalau yang ada di dalam sana benar kamu, Rafah?" gumamnya lirih, was–was kala menyebut nama itu terlalu keras—karena mungkin akan meruntuhkan tembok yang selama ini dia bangun sendiri.Bima belum bergerak. Masih ada keraguan yang menahan. Dia bukan pengecut—tidak dalam perang, tidak juga dalam perintah. Tapi perkara hati, lain lagi. Hatinya tahu benar: tak semua yang dicari harus benar-benar ditemukan. Tidak semua yang kita doakan akan datang dalam bentuk yang kita harapkan.Satu langkah. Dua langkah. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu mobil medis yang tertutup rapat.Lalu suara itu datang. Seruan dari radio komunikasinya—cepat, mendesak, dan tajam seperti sirine di
Langit menggantung kelabu di atas barak militer Turki, seolah menyerap dingin yang diam-diam merambat ke tulang. Arafah berjalan di belakang Farel, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan warna kusam tenda-tenda lapangan. Bau antiseptik dan debu tanah berpadu dalam udara yang pekat oleh suara sepatu tentara dan dentingan alat medis.Tubuh-tubuh kekar dan tegap berdiri dalam diam saat mereka lewat, seperti patung hidup yang disusun Tuhan sendiri dari ketegasan dan disiplin. Arafah memandang satu per satu wajah mereka—mata tajam, rahang tegas, bahu lapang.Hatinya tergelincir.Bima.Namanya datang seperti bisikan angin gurun, lirih namun tak bisa diabaikan. Rindu itu tidak pernah benar-benar mati, hanya berpindah tempat dalam doa-doa panjangnya. Dalam tiap denyut nadi yang dia sentuh hari ini, Arafah kembali mengingat lelaki yang tidak pernah sempat pulang sepenuhnya."Teringat seseorang?" tegur Farel, rekan sejawat Arafah yang sibuk membuka senter kecil di sakunya seraya te
Udara di ruang pemulasaraan jenazah tidak berbau apa-apa, tapi bagi Bima, segalanya terasa menyengat. Bau antiseptik, bau kain kafan, bau kehilangan yang tak kasat mata. Lampu putih di atasnya terang, namun Bima merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak menyisakan arah.Di hadapannya, terbujur dua sosok yang dia kenal: istrinya, Kirana, dan buah hati mereka yang belum sempat menghirup dunia.Kirana—perempuan yang dinikahinya dalam keterpaksaan, yang berkali-kali dia tolak dengan dingin, namun tak pernah berhenti menjadi istri yang setia. Perempuan yang selalu menunduk saat dilukai, yang selalu diam saat disisihkan, namun tetap memilih mencintai dalam diam dan mendoakan dalam sunyi.Kini, Kirana berbaring tenang di atas pembaringan terakhirnya. Wajahnya tampak damai, seperti sedang tidur tanpa mimpi. Bibirnya mengulas senyum tipis. Bahkan dalam kematian, Kirana masih terlihat cantik—lebih cantik dari yang pernah Bima lihat ketika dia masih bernyawa.Bima melangkah perlahan. Tan
Malam menyelimuti langit Istanbul dengan pekat yang sunyi. Angin musim dingin berhembus pelan, menggigit kulit dan membungkus jalanan kota dengan udara basah. Di antara derap langkah orang-orang yang tergesa, Arafah berjalan perlahan memasuki rumah sakit, seorang diri—tanpa pengiring, tanpa pelukan suami, hanya ditemani tas kecil berisi perlengkapan bersalin dan sebuah tasbih yang selalu dia genggam sejak pagi.Langkahnya mantap walau rasa mulas mulai menggigit dari bawah perut hingga ke tulang punggung. Arafah menarik napas dalam, menahan nyeri yang datang bergulung-gulung. Seorang perawat menyambutnya di ruang depan."Arafah?" tanya si perawat, mengenalnya.Arafah tersenyum samar, membalas menggunakan bahasa Turki. "Mohon bantuannya, kontraksi sudah terasa sejak sore. Tapi baru sekarang saya datang. Saya sempat salat dan tenangin hati dulu."Perawat itu membalas senyum dan segera membawanya ke bagian kebidanan. Mereka tahu siapa Arafah—perawat tangguh yang selama ini justru membantu
Sinar senja menyusup lewat tirai renda yang menggantung malas di jendela. Warna langit meleleh menjadi jingga, seperti lukisan yang tak selesai, dan di tengah keheningan kamar mungil itu, Arafah duduk bersila di atas permadani tipis, dikelilingi baju-baju bayi berwarna pastel dan segala persiapan melahirkan yang hampir lengkap.Tangannya yang ramping melipat satu per satu pakaian mungil dengan hati-hati, menyusunnya ke dalam tas bersalin berwarna cokelat tua—satu tas sederhana, tapi baginya, mengandung harapan dan keberanian. Setiap helai pakaian seolah diselimuti dengan doa. Setiap botol kecil dan popok sekali pakai dikemas dengan keyakinan bahwa dirinya akan cukup—bahwa cinta seorang ibu akan lebih dari cukup.Pintu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan parfum khas dokter menyusup bersama langkah ringan seseorang."Hebat juga kamu, sudah nyiapin semuanya," ujar Amira, berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan. Suaranya lembut, namun penuh kekaguman. Dokter muda itu mengenakan j
Siang itu, rumah sakit terasa lebih damai dari biasanya. Angin dari pendingin ruangan berembus lembut, membuat suasana bangsal jadi agak melamun."Alhamdulillah, Nak. Kalau kondisi aman begini, Ibu jadi bisa istirahat sebentar," gumam perempuan yang perutnya mulai menonjol, membulat indah di balik seragam longgarnya yang kini tak lagi mampu menyembunyikan kenyataan.Usia kehamilan Arafah kini telah melewati tengah semester, tetapi perawat berparas cantik itu tetap berjalan sigap di lorong rumah sakit, membawa clipboard dan stetoskop seperti biasa—seolah tak ada yang berubah.Di antara hiruk pikuk ruang IGD, panggilan darurat, dan suara monitor jantung, keberadaan Arafah tetap menjadi bagian tenang yang menyatu dalam kesibukan. Rekan-rekannya menghormatinya, memandangnya dengan simpati yang tidak berlebihan. Tak ada pertanyaan tajam, tak ada bisik-bisik yang menusuk telinga.Seluruh staff yang bekerja dengan Arafah sepakat memilih diam. Entah karena tahu diri, atau karena melihat sorot