Share

Bab 6. Pendonor. 

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-24 08:48:21

Arafah merasa pendengarannya seketika peka saat panggilan urgent itu membawa nama Komandan Bima—sosok yang sedari tadi tinggal dan mengusik pikirannya.

Bukan hanya Arafah, perawat Sonya juga sama terkejutnya. Respon sebagai seorang nakes membuat wanita itu tidak perlu pengulangan untuk tahu siapa yang jadi korban dan membutuhkan bantuan dokter bedah secepatnya.

"Fah, aku tinggal dulu—"

"Tadi itu Komandan Bima yang kita kenal, Sus?" Arafah buru–buru bertanya, memotong kalimat perempuan di sebelahnya yang lebih dulu bicara.

Arafah tahu kalau dia tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk memastikan berita yang baru didengarnya. Karena Arafah yakin Sonya juga mendengar teriakan sang rekan sejawat di luar sana.

Perawat Sonya terlihat was–was, mata dan bibirnya bergetar walau samar. "Biar aku pastikan dulu, ya, Fah. Bisa jadi salah dengar," ucap ragu si perawat cantik.

Arafah menahan pergelangan tangan Sonya yang berniat meninggalkannya, memaksa untuk ikut dan memeriksa.

"Fah, nanti saja, ya. Setelah aku pastikan apa dia benar Komandan Bima atau bukan, baru nanti aku temui kamu lagi," tolak halus Sonya. "Panggilan yang diserukan tadi itu darurat, aku harus ke sana secepatnya."

Yang sebetulnya, Sonya sudah tahu kalau hal buruk—sesuatu yang tidak beres memang sudah terjadi. Tidak ada nama Bima yang lain di rumah sakit ini.

Seperginya Sonya, yang bisa dilakukan Arafah hanya berdoa. Dia menunggu dengan gelisah di hati yang tak kunjung mereda.

Arafah tidak bisa bertanya pada siapa–siapa, tidak pula bisa minta bantuan karena memang tak mengenal siapapun ditempat yang tergolong baru baginya.

Hampir setengah jam Arafah cuma bisa diam di ruangan sembari menunggu kepastian. Makin lama pikirannya makin tak tenang. Untuk pada akhirnya Arafah memutuskan keluar, susah payah dia dorong sendiri kursi roda dengan gerakan terbatas.

Suasana rumah sakit yang terlampau sibuk tidak pernah gagal membuat Arafah dilanda cemas. Dia tatap satu persatu orang yang sekiranya bisa dan punya waktu untuk diajak bicara—paling tidak yang bersedia ditanya letak ruangan operasi berada.

Arafah yakin pasien darurat dengan nama mirip Bima itu pasti sudah dibawa ke ruang operasi, ditindak secepatnya di sana.

Setelah berputar–putar, penuh peluh keringat sebab lelah luar biasa, Arafah akhirnya menemukan tempat tujuannya.

Gerakan tangan Arafah yang tengah bersusah payah menjalankan kursi roda seketika terhenti dikala matanya beradu pandang dengan sejumlah prajurit TNI.

"T–tidak mungkin," ucapnya serak lagi tercekat. "Itu tidak mungkin dia, tidak mungkin Komandan Bima!" tolak perempuan yang masih terus denial.

Leher Arafah seperti tercekik—nafasnya sampai di ujung tenggorokan. Perempuan yang pandangannya mengabur karena air mata itu juga kesulitan mencerna apa yang terjadi di depannya.

'Benarkah lelaki yang tertembak itu—adalah sosok yang sama yang mengucap janji akan menjadi walinya?'

'Mengapa Tuhan lakukan ini pada orang sebaik Bima?'

Melihat orang asing menatap ruang operasi dengan wajah basah—sembab sebab menangis membuat salah seorang bawahan yang ikut duduk di kursi tunggu menghampiri Arafah.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda berbadan tegap, memerhatikan Arafah begitu lekat.

Pandangan Arafah yang kosong sukses menjelaskan betapa terpukul dan shocknya perempuan berparas ayu tersebut.

"Nona, ada keperluan apa—"

"Apa dia Komandan kalian?"

Yang ditanya Arafah itu diam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seolah sedang menimang apakah Arafah adalah orang yang pantas dan bisa diberitahu mengenai kabar besar yang terjadi. 

Tepat ketika pertanyaannya diiyakan, Arafah merasa dunianya untuk sekejap berhenti beroprasi. Hening—kosong—sepi. Sulit dia jelaskan karena hanya ada sakit dan sesak yang menghimpit dadanya kini.

"Benar dia tertembak?" tanya Arafah seraya menegarkan diri. "Komandan Bima yang ada di dalam sana?"

Prajurit tadi menundukkan kepala, menyatukan dua tangan persis bersikap layaknya orang yang tengah berduka.

Arafah tidak sadar kalau dirinya kembali terisak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasa. "Apa di dalam sana dia baik–baik saja? Apa luka tembaknya parah? D–dia pasti selamat, 'kan?"

Sebelum runtutan pertanyaan Arafah mendapat jawaban, tim bedah—yang tidak lain adalah perawat Sonya—keluar ruangan dengan wajah panik. Mata indahnya pertama kali beradu pandang dengan Arafah yang letaknya beberapa meter dari tempatnya berdiri.

Sonya berusaha profesional dengan kembali fokus pada tugas–tugasnya. Dia keluar untuk mengabarkan kalau stok darah yang sebelumnya digunakan demi membantu keberlangsungan tindakan penyelamatan nyawa Komandan Bima menipis. Ditengah kegiatan operasi itu mereka membutuhkan stok darah tambahan.

"Kami sudah cari, tapi tidak ada stok lagi, Sus." Prajurit yang bintang di seragamnya lebih banyak dari yang lain angkat suara. "Dari kami juga tidak ada golongan darah yang cocok untuk bisa jadi pendonor."

Arafah mengangkat tangannya tinggi‐tinggi dan berseru dengan suara lantang. "Aku siap jadi pendonor!" pekiknya, percaya diri.

Sonya menghampiri temannya itu. "Golongan darahmu?"

"O negatif," kata Arafah. "Cepat lakukan tes padaku, Sus!"

"Tapi, Fah—"

"Aku akan baik–baik saja. Tolong, Sus. Ambil darahku!"

Layaknya mendengar sebuah keajaiban, wajah Perawat Sonya sontak berubah—berseri‐seri. Golongan darah O– disebut sebagai donor universal karena bisa didonorkan kepada siapapun—tanpa memandang golongan darah si penerima.

Sonya meraih telapak tangan Arafah dan mengusapnya pelan. "Kamu malaikat penyelamatnya, Fah. Tuhan kirimkan kamu untuk memberi dia kesempatan kedua."

Siapa sangka kalau Arafah secara tidak langsung menjadi penyelamat untuk orang yang juga pernah menyelamatkannya.

Sepasang itu seolah ditakdirkan untuk saling ada—saling bantu—saling berpengaruh pada hidup satu sama lain. Pertemuan ditengah perang konflik dua negara menghantarkan mereka pada takdir yang tidak diduga–duga.

Selama proses pengambilan—tranfusi darah, Arafah tidak khawatir akan kondisinya yang masih belum pulih melainkan lebih mementingkan Bima yang belum selesai berjuang di ruang operasi.

Doa tidak henti–hentinya dia lantunkan, semoga Bima diberi kemudahan dan mendapat belas kasihan Tuhan.

"Jika Engkau bisa tunjukkan keajaiban dan mukjizat padaku, tolong beri hal yang sama pada Komandan Bima. Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan." Arafah bermunajat dengan kesungguhan hati.

Satu–satunya yang bisa Arafah mintai pertolongan ialah pada Sang Penguasa dan Pemilik Alam Semesta. Asy-Syafi'i—Maha Penyembuh.

"Mampukan dia mampu melewati ujian–Mu ini, Ya Allah. Sesungguhnya aku adalah saksi bahwasanya dia adalah hamba–Mu yang baik lagi tak berdaya," isak perempuan yang masih memohon pada Rabb–nya. "Bila bukan pada–Mu, pada siapa lagi kami meminta."

Sampai sebulan lalu, Arafah dan Bima hanyalah dua orang asing yang tak saling tahu. Tapi kini rencana Tuhan membawa mereka pada hubungan saling membutuhkan—saling ketergantungan. 

Arafah sudah begitu lama tidak merasakan kekhawatiran akan perasaan kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya. Dia tidak pernah sangka kalau orang yang akan membuatnya kembali merasakan ketakutan itu adalah Komandan Bima.

Orang yang mengulurkan tangan dan menggenggam Arafah erat ditengah keterpurkan dan titik terberat.

Ucing Ucay

Selamat membaca jangan lupa masukan kepustaka ya, terima kasih sudah support author

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 9. Perasaan Bima. 

    Selama bertugas menjadi seorang prajurit yang disibukkan oleh misi dan tanggung–jawab menjaga perdamaian dunia, Bima tidak pernah segelisah dan sewas–was ini sebelumnya.Komandan pasukan khusus itu tidak tahu kapan kecemasan ini bermula, tetapi hari–hari setelah dirinya memutuskan absen dari kunjungan rumah sakit terasa berat dan begitu menyiksa untuknya.Kosong, hampa, sukar dijelaskan dengan kata–kata.Puncaknya disuatu malam Bima sampai tidak bisa tidur. Gelisah bukan main dikarenakan bayang–bayang seorang gadis berlesung pipi yang terus menghantui, memenuhi seisi kepalanya.Bima pada akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi pada Kopral Arga yang kebetulan makin dekat dengannya mengenai apa yang menimpanya. Debaran aneh di dada hingga membuatnya kurang fokus menjalani aktivitas seperti biasa."Menurutmu, apa yang membuat saya sampai sefrustasi ini?""Fix! Semua gejala tadi menjelaskan kalau Komandan sedang rindu!" celetuk prajurit bertubuh tinggi dengan senyum segaris di wajah.Keni

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 8. Pengakuan Bima. 

    "Sudah berapa hari saya tidak sadar, Arafah?" tanya Bima masih setia meminta perempuan dengan kursi roda itu duduk di sebelahnya."Tidak sampai berhari–hari," jawab yang ditanya. "Hanya hitungan jam karena efek anastesi setelah oprasi. Kenapa memangnya, Komandan?"Bima ber–oh ria. Dia menggeleng pelan seraya tersenyum. Kumis tipis di atas bibir menambah kesan maskulin yang membuatnya makin menawan. "Cuma penasaran. Pasalnya kamu banyak sekali berubah. Tidak seperti Arafah si perempuan di bawah reruntuhan yang saya temui."Arafah ingin mengungkit alasan mengapa dia bisa terlihat berbeda. Mereka berdua sudah tidak pernah bertemu hampir berminggu–minggu lamanya."Tentu saja berubah, sudah dua minggu sejak terakhir kali kita bertemu. Anda sendiri tidak pernah datang lagi ke rumah sakit sejak hari itu." Arafah menyindir dengan nada ketus. "Sekadar mengingatkan. Kilas balik karena seseorang pernah mengatakan sebuah janji, tapi tidak terlihat usahanya menepati."Bima meneguk salivanya gugup,

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 7. Menepati Janji. 

    Seorang wanita susah payah menggerakkan kursi roda di koridor rumah sakit yang terbilang masih sepi. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi, dimana operasi CITTO Komandan Bima tlah selesai sejak tengah malam tadi.Arafah berniat memeriksa Bima yang masih diobservasi dan dipantau oleh dokter di ruang pemulihan—recovery room— kemudian berniat mampir ke mushola kecil di dekat kantin untuk melaksanakan shalat sunnah tahajjud.Sebagaimana yang dilakukan Bima ketika dirinya terbaring lemah dan dalam kondisi terburuk, Arafah hendak berbuat hal yang sama. Bermunajad kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesembuhan dan keselamatan pria yang tlah banyak berjasa dan membantunya."Permisi," sapa pria yang tidak sengaja bertemu dengan Arafah di tempat ibadah. "Mbak Arafah?" sapanya, memanggil nama perempuan yang terkejut menatap balik ke arahnya."Ya, saya?" ucap Arafah seraya mengangguk samar. Perempuan yang tidak dapat bergerak bebas sebab keterbatasan kakinya itu lantas bersikap waspada, "Maaf, i

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 6. Pendonor. 

    Arafah merasa pendengarannya seketika peka saat panggilan urgent itu membawa nama Komandan Bima—sosok yang sedari tadi tinggal dan mengusik pikirannya.Bukan hanya Arafah, perawat Sonya juga sama terkejutnya. Respon sebagai seorang nakes membuat wanita itu tidak perlu pengulangan untuk tahu siapa yang jadi korban dan membutuhkan bantuan dokter bedah secepatnya."Fah, aku tinggal dulu—""Tadi itu Komandan Bima yang kita kenal, Sus?" Arafah buru–buru bertanya, memotong kalimat perempuan di sebelahnya yang lebih dulu bicara.Arafah tahu kalau dia tidak akan ada kesempatan sebaik ini untuk memastikan berita yang baru didengarnya. Karena Arafah yakin Sonya juga mendengar teriakan sang rekan sejawat di luar sana.Perawat Sonya terlihat was–was, mata dan bibirnya bergetar walau samar. "Biar aku pastikan dulu, ya, Fah. Bisa jadi salah dengar," ucap ragu si perawat cantik.Arafah menahan pergelangan tangan Sonya yang berniat meninggalkannya, memaksa untuk ikut dan memeriksa."Fah, nanti saja, y

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 5. Tertembak. 

    "Jadi apa kamu serius minta menikah dengan saya?" tanya Bima penuh kesungguhan. Menjaga postur tubuh tetap tegap, yang dapat membuat terlihat lebih berwibawa."M–menikah? Memangnya aku tadi bilang bersedia dinikahi?" Arafah berpura–pura lupa, enggan balik menatap Bima yang fokus memandangnya.Sedang yang ditanya tersenyum getir. "Allah Subhanawata'ala menjadi saksi apa yang baru kamu ucapkan pada saya sesaat lalu, Arafah.""Komandan sendiri berkenan menikah denganku?" tutur Arafah yang terdengar serius. "Kita bahkan belum mengenal satu sama lain."Pria berseragam itu diam sebentar, berpikir cukup lama sebelum menjawab. "Bila kamu adalah wanita yang baik agamanya—baik akhlaknya, dan bila pada akhirnya Allah takdirkan serta membawa saya pada keputusan itu, saya bersedia."Arafah merasa jantungnya berdegup kencang, jatuh ke perut kala Bima menerima permintaannya. "A–aku hanya bercanda tadi!" katanya beralasan.Sejujurnya perempuan berkerudung itu hanya ingin menguji keseriusan Bima dan j

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 4. Ini Takdir

    Tidur adalah nikmat terbaik yang diberikan setelah lelah menangis dan meluapkan emosi. Arafah tidak tahu kapan dia mulai terlelap, tetapi yang jelas, saat ini di sebelahnya, berdiri seorang lelaki tengah melaksanakan ibadah—salat.Arafah tidak salah lihat, gerakan yang sudah lama tak dia tengok selama di negeri orang itu kembali dia saksikan.Pria yang dipanggil komandan Bima begitu khusuq' bermunajad kepada Tuhan. Membuat hati Arafah berdesir hangat. Otot–ototnya yang tegang, jantungnya yang berdetak kencang, seketika mendamai.Sesuatu yang tidak pernah Arafah bayangkan akan terjadi. Dimana dia pada akhirnya kehilangan perasaan untuk kesal dan marah pada pria yang baru dikenalnya ini."Apa yang kamu pinta pada Tuhan?" tegur Arafah tepat setelah Bima menyelesaikan doanya.Lelaki yang rambutnya masih basah sebab air wud'hu itu menoleh sekilas, kemudian menggumamkan jawaban. "Yang saya pinta pada Allah Subhanawata'ala maksud kamu?" koreksinya pada panggilan Arafah, lantas tersenyum tedu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status