Tidur adalah nikmat terbaik yang diberikan setelah lelah menangis dan meluapkan emosi. Arafah tidak tahu kapan dia mulai terlelap, tetapi yang jelas, saat ini di sebelahnya, berdiri seorang lelaki tengah melaksanakan ibadah—salat.
Arafah tidak salah lihat, gerakan yang sudah lama tak dia tengok selama di negeri orang itu kembali dia saksikan.
Pria yang dipanggil komandan Bima begitu khusuq' bermunajad kepada Tuhan. Membuat hati Arafah berdesir hangat. Otot–ototnya yang tegang, jantungnya yang berdetak kencang, seketika mendamai.
Sesuatu yang tidak pernah Arafah bayangkan akan terjadi. Dimana dia pada akhirnya kehilangan perasaan untuk kesal dan marah pada pria yang baru dikenalnya ini.
"Apa yang kamu pinta pada Tuhan?" tegur Arafah tepat setelah Bima menyelesaikan doanya.
Lelaki yang rambutnya masih basah sebab air wud'hu itu menoleh sekilas, kemudian menggumamkan jawaban. "Yang saya pinta pada Allah Subhanawata'ala maksud kamu?" koreksinya pada panggilan Arafah, lantas tersenyum teduh.
Tidak memakan waktu lama Bima kembali melanjutkan. "Saya minta banyak hal karena sejatinya saya hanyalah makhluk lemah biasa yang tidak bisa apa–apa. Semoga Allah Ta'ala senantiasa memberi saya kekuatan dan memampukan saya."
Perkataan Bima membuat Arafah menyernyitkan kening. "Tapi kamu seorang Komandan, mengapa berpikir kamu tidak bisa apa–apa? Saya yakin kamu bahkan ahli di medan pertempuran."
Bima hampir tertawa. "Allah yang ijinkan, Arafah. Bukan saya yang hebat dan tangguh, tapi Allah yang biarkan hal luar biasa itu terjadi pada saya. Seperti halnya saat saya membantu kamu."
"Bukan saya, tapi Allah–lah yang menyelamatkan kamu dari marabahaya itu," sambung Bima yang kali ini nada bicaranya terdengar lumayan serius. "Kamu selamat karena takdirnya memang begitu."
Arafah—yang Bima kenal senang sekali menjawab bila tak setuju dengan pendapat seseorang—malam itu mendadak bungkam.
"Jadi," ucap perempuan itu setengah berbisik. "Apa kamu juga mendoakan kesembuhan dan kebaikan untuk saya?" tanyanya disertai perasaan malu dan ingin tahu.
Bima mengangguk tanpa meminta pengulangan. Sebab dia tahu akan ada kalanya Arafah yang keras terketuk hatinya. Sebab dia sadar rahmat Tuhan begitu luas untuknya.
"Berpuluh–puluh jam yang lalu kita adalah dua orang asing," kata Arafah pelan–perlahan. "Saya tidak kenal kamu, kamupun tidak kenal saya. Lalu Tuhan pertemukan kita."
"Saya tidak keberatan jika kamu mau menyebutnya takdir," potong Bima yang tiba–tiba melukis senyum di wajah. "Dan saya percaya rencana—Nya itu selalu indah dan sebaik–baiknya rencana."
Dalam hati Arafah merasa getir. Tuhan ambil keluarga tempatnya bergantung di Negri ini, namun dia hadirkan Bima sebagai bentuk pertolongan yang tak disangka–sangka.
"Kamu tidak lapar?" tanya Bima menegur lamunan Arafah. "Biar saya ke kantin dulu, cari makanan yang masih hangat."
Arafah ikut melirik sekotak wadah yang tergeletak di meja, jatah harian yang tidak tersentuh olehnya.
"Aku makan yang itu saja," sergah perempuan pucat, menunjuk benda yang ada di tangan Bima.
"Biar saya ambil yang baru, yang ini sudah dingin."
"Saya terbiasa makan–makanan seperti itu."
Bima menghentikan gerakan tubuhnya yang hendak pergi ke kantin kemudian menatap balik pada Arafah yang menunduk dalam. Raut kesedihan yang coba Arafah tutup–tutupi begitu kentara dan dapat terbaca jelas oleh Bima.
"Masalahnya, jatah makan yang ini sudah saya makan," aku Bima yang dibarengi tawa renyah. "Maaf, ya. Menunggu kamu bangun saya tiba–tiba lapar."
Pria itu pergi ke dapur setelah diijinkan Arafah. Selama perjalanan menuju kantin, Bima melamun panjang.
"Kehidupan macam apa yang sudah perempuan itu lewati?" guman Bima bicara seorang diri. Ditatapnya wadah makan yang masih lengkap—terisi.
Bima sengaja berbohong demi membesarkan hati Arafah agar perempuan yang diselamatkannya itu tidak merasa bersalah membuang jatah makanan yang sudah diberi untuknya.
"Bima?" tegur lelaki bersnelli, menyapa hangat sang komandan muda berparas tampan di sebelahnya—sedang antri makanan.
"Eh—Anda. Dokter terfavorit!" seru Bima tidak kalah semangat. "Sedang apa, Dok?"
"Orang ke kantin mau apa?" tanya Dokter beralis mata tebal sedikit sewot. "Mau makanlah."
Bima tertawa akan candaan sahabatnya. "Sudah lama tidak lihat dirimu, sehat?"
"Ya, begini–begini saja. Orang sehat yang sembuhkan orang sakit," kata Dokter itu mencoba melucu. "Omong–omong tumben kamu kemari. Biasanya hanya mengutus orang, soalnya kamu paling anti ke Rumah Sakit. Apa yang membuat Komandan Bima ini berkunjung ke sini?"
"Apalagi?"
"Kamu sakit?"
Bima menggeleng. "Tapi ada yang sakit."
"Oh, kekasihmu?" tebak Dokter muda itu dengan canda. "Kamu kenalkanlah ke aku, Bim. Jangan dirahasia–rahasiakan."
"Bukan kekasihku. Dia hanya orang yang tidak sengaja bertemu dan diberi amanah untuk ku selamatkan, Yudha." Bima bercerita.
"Biasanya setiap korban hanya diantar, apa kau jadi walinya juga?" Dokter dengan nama Yudisthira—dipanggil Yudha oleh Bima itu menerka.
"Dia orang Indonesia," ungkap Bima. "Tidak mungkin kutinggalkan dia begitu saja. Apalagi kondisinya—"
"Kondisinya?"
"Ah, betul juga. Aku mau bertanya padamu, Da. Kamukan Dokter, apa orang yang habis menjalani operasi dislokasi selamanya tidak akan bisa jalan?"
Yudha membalas cepat. "Kita bukan Tuhan, tapi memang tergantung dengan kondisi dan keajaiban. Ada banyak sekali keajaiban yang sudah kusaksikan di Rumah Sakit ini, Bim."
Bermodalkan pengalaman yang pernah dilewati oleh Yudha—sahabat masa SMA yang satu sekolah dengan Bima—membuat pria berstatuskan seorang komandan pasukan itu sumringah bertemu dengan Arafah.
Bima ingin sampaikan kabar bahwa harapan itu masih ada. Bahwa pertolongan dan bantuan Yang Mahakuasa itu sangat besar letaknya.
***
"Arafah, saya bawa berita baik!" seru Bima dengan wajah bahagia.
"Komandan," panggil perempuan yang menyela perkataan Bima. "Maaf kalau kupotong. Aku hanya ingin pastikan apa yang aku dengar sebelum aku sempat tertidur."
Wajah Arafah yang lebih banyak tertunduk dia tengadahkan. Menatap lurus pada Bima yang nampak lebih tinggi darinya.
"Komandan berjanji akan menjagaku, 'kan?" sergah Arafah. "Komandan bilang akan selalu bersamaku dan memastikan aku mampu melewati semua ini. Apa aku benar?"
Bima mengangguk, wajah tampannya sama seriusnya dengan Arafah.
"Bagaimana caranya?" tanya Arafah skeptis. Meragukan—mencurigai—dan lengkapnya tidak percaya dengan ucapan Bima.
"Bagaimanapun caranya, saya tidak akan lari dan meninggalkan kamu sendirian, Arafah. Saya sudah berjanji, dan saya tidak pernah ingkar terhadap janji saya," terang Bima.
Arafah menelan ludah, lantas menimpali kalimat Bima dalam sebuah kesimpulan. "Apakah demi membuktikan janji komandan itu, salah–satu caranya adalah dengan menikah?"
Kalimat yang terlontar dari bibir Arafah begitu mengejutkan Bima. Pasalnya dia—yang yakin sekali sesaat lalu keberadaannya dibenci Arafah—mendadak mendapatkan pilihan tak masuk akal semacam itu.
Menikah.
"Apa katamu barusan?"
"Hanya dengan cara itu komandan bisa sepenuhnya menjagaku. Kita menikah."
Bima baru hendak mengoreksi, tetapi Arafah terus menyambar habis kesempatannya bicara.
"Kenapa komandan? Apa komandan takut?"
"Saya tidak pernah takut apapun, Arafah. Saya hanya takut pada Tuhan saya, Allah Subhanawata'ala."
Arafah terhenyak. Bahkan dengan cara yang menurutnya paling ampuh, dia tidak mampu membuat seorang Bima getir dan mengurungkan keteguhan–pendiriannya.
"Jadi, apa kamu serius minta menikah dengan saya?" Bima menyerang balik, ditatapnya Arafah lekat. "Demi membuktikan janji yang saya ucapkan?"
Bima berdiri mematung di depan mobil medis. Napasnya berat, meski medan hari ini tak seberat biasanya. Dia pandangi pintu putih dengan lo9go palang merah yang samar tertimpa debu sore. Kata perawat itu—Farel—perempuan yang selama ini hanya hidup dalam sisa-sisa doanya sedang ada di dalam."Kenapa saya justru takut kalau yang ada di dalam sana benar kamu, Rafah?" gumamnya lirih, was–was kala menyebut nama itu terlalu keras—karena mungkin akan meruntuhkan tembok yang selama ini dia bangun sendiri.Bima belum bergerak. Masih ada keraguan yang menahan. Dia bukan pengecut—tidak dalam perang, tidak juga dalam perintah. Tapi perkara hati, lain lagi. Hatinya tahu benar: tak semua yang dicari harus benar-benar ditemukan. Tidak semua yang kita doakan akan datang dalam bentuk yang kita harapkan.Satu langkah. Dua langkah. Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu mobil medis yang tertutup rapat.Lalu suara itu datang. Seruan dari radio komunikasinya—cepat, mendesak, dan tajam seperti sirine di
Langit menggantung kelabu di atas barak militer Turki, seolah menyerap dingin yang diam-diam merambat ke tulang. Arafah berjalan di belakang Farel, mengenakan seragam putih bersih yang kontras dengan warna kusam tenda-tenda lapangan. Bau antiseptik dan debu tanah berpadu dalam udara yang pekat oleh suara sepatu tentara dan dentingan alat medis.Tubuh-tubuh kekar dan tegap berdiri dalam diam saat mereka lewat, seperti patung hidup yang disusun Tuhan sendiri dari ketegasan dan disiplin. Arafah memandang satu per satu wajah mereka—mata tajam, rahang tegas, bahu lapang.Hatinya tergelincir.Bima.Namanya datang seperti bisikan angin gurun, lirih namun tak bisa diabaikan. Rindu itu tidak pernah benar-benar mati, hanya berpindah tempat dalam doa-doa panjangnya. Dalam tiap denyut nadi yang dia sentuh hari ini, Arafah kembali mengingat lelaki yang tidak pernah sempat pulang sepenuhnya."Teringat seseorang?" tegur Farel, rekan sejawat Arafah yang sibuk membuka senter kecil di sakunya seraya te
Udara di ruang pemulasaraan jenazah tidak berbau apa-apa, tapi bagi Bima, segalanya terasa menyengat. Bau antiseptik, bau kain kafan, bau kehilangan yang tak kasat mata. Lampu putih di atasnya terang, namun Bima merasa seperti tenggelam dalam kegelapan yang tak menyisakan arah.Di hadapannya, terbujur dua sosok yang dia kenal: istrinya, Kirana, dan buah hati mereka yang belum sempat menghirup dunia.Kirana—perempuan yang dinikahinya dalam keterpaksaan, yang berkali-kali dia tolak dengan dingin, namun tak pernah berhenti menjadi istri yang setia. Perempuan yang selalu menunduk saat dilukai, yang selalu diam saat disisihkan, namun tetap memilih mencintai dalam diam dan mendoakan dalam sunyi.Kini, Kirana berbaring tenang di atas pembaringan terakhirnya. Wajahnya tampak damai, seperti sedang tidur tanpa mimpi. Bibirnya mengulas senyum tipis. Bahkan dalam kematian, Kirana masih terlihat cantik—lebih cantik dari yang pernah Bima lihat ketika dia masih bernyawa.Bima melangkah perlahan. Tan
Malam menyelimuti langit Istanbul dengan pekat yang sunyi. Angin musim dingin berhembus pelan, menggigit kulit dan membungkus jalanan kota dengan udara basah. Di antara derap langkah orang-orang yang tergesa, Arafah berjalan perlahan memasuki rumah sakit, seorang diri—tanpa pengiring, tanpa pelukan suami, hanya ditemani tas kecil berisi perlengkapan bersalin dan sebuah tasbih yang selalu dia genggam sejak pagi.Langkahnya mantap walau rasa mulas mulai menggigit dari bawah perut hingga ke tulang punggung. Arafah menarik napas dalam, menahan nyeri yang datang bergulung-gulung. Seorang perawat menyambutnya di ruang depan."Arafah?" tanya si perawat, mengenalnya.Arafah tersenyum samar, membalas menggunakan bahasa Turki. "Mohon bantuannya, kontraksi sudah terasa sejak sore. Tapi baru sekarang saya datang. Saya sempat salat dan tenangin hati dulu."Perawat itu membalas senyum dan segera membawanya ke bagian kebidanan. Mereka tahu siapa Arafah—perawat tangguh yang selama ini justru membantu
Sinar senja menyusup lewat tirai renda yang menggantung malas di jendela. Warna langit meleleh menjadi jingga, seperti lukisan yang tak selesai, dan di tengah keheningan kamar mungil itu, Arafah duduk bersila di atas permadani tipis, dikelilingi baju-baju bayi berwarna pastel dan segala persiapan melahirkan yang hampir lengkap.Tangannya yang ramping melipat satu per satu pakaian mungil dengan hati-hati, menyusunnya ke dalam tas bersalin berwarna cokelat tua—satu tas sederhana, tapi baginya, mengandung harapan dan keberanian. Setiap helai pakaian seolah diselimuti dengan doa. Setiap botol kecil dan popok sekali pakai dikemas dengan keyakinan bahwa dirinya akan cukup—bahwa cinta seorang ibu akan lebih dari cukup.Pintu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan parfum khas dokter menyusup bersama langkah ringan seseorang."Hebat juga kamu, sudah nyiapin semuanya," ujar Amira, berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan. Suaranya lembut, namun penuh kekaguman. Dokter muda itu mengenakan j
Siang itu, rumah sakit terasa lebih damai dari biasanya. Angin dari pendingin ruangan berembus lembut, membuat suasana bangsal jadi agak melamun."Alhamdulillah, Nak. Kalau kondisi aman begini, Ibu jadi bisa istirahat sebentar," gumam perempuan yang perutnya mulai menonjol, membulat indah di balik seragam longgarnya yang kini tak lagi mampu menyembunyikan kenyataan.Usia kehamilan Arafah kini telah melewati tengah semester, tetapi perawat berparas cantik itu tetap berjalan sigap di lorong rumah sakit, membawa clipboard dan stetoskop seperti biasa—seolah tak ada yang berubah.Di antara hiruk pikuk ruang IGD, panggilan darurat, dan suara monitor jantung, keberadaan Arafah tetap menjadi bagian tenang yang menyatu dalam kesibukan. Rekan-rekannya menghormatinya, memandangnya dengan simpati yang tidak berlebihan. Tak ada pertanyaan tajam, tak ada bisik-bisik yang menusuk telinga.Seluruh staff yang bekerja dengan Arafah sepakat memilih diam. Entah karena tahu diri, atau karena melihat sorot