"Kalau kau sedang gugup, maka kau akan jatuh. Mungkin terjerembab atau tersuruk ke depan. Itu yang bisa kulihat," jelas Biru dengan suara begitu tenang. Sangat tenang sehingga aku merasa begitu ngeri.Entahlah, aku merasa seperti dikuliti di sini. Bisa jadi malah merasa ditelanjangi. Diletakkan di bawah mikroskop, lalu Biru atau what the hell—CEO JMTV ini mengamatiku dengan begitu cermat.Aku diteliti. Seperti subyek penelitian di sebuah lab ilmuwan gila yang mungkin tidak pernah kukenal sebelumnya.Oh, my God. Apa Biru mau balas dendam karena kemarin di pesta Winda aku tidak ramah padanya?Oh, No!Jangan dong."Kenapa Anda ingin bekerja di media visual, Bu Anjani?" itu pertanyaan Biru, tanpa menghiraukan diriku yang seperti terpaku di atas kursi ini.Ini tentu pertanyaan yang begitu mudah bukan?Jadi aku dengan santainya (untuk menutupi kegugupanku) berkata bijak, "Dulu saya bekerja di radio, saya menyukai jurnalisme elektronik. Di media visual ini pun, saya bisa bekerja sesuai passi
"Argo?"Mataku melotot memandanginya.Aku melangkah terburu-buru begitu turun dari lift, dan bergegas melewati lobby kantor. Sudah malam, jadi tidak seramai saat jam kantor biasanya. Hanya saja, kalau studio televisi seperti ini, tentu saja selalu ada yang bekerja hingga pagi. Shift kerja tentu saja.Aku sudah memesan taksi online, agar cepat sampai di tempat kosku. Sayangnya, hingga sekarang aku belum mendapatkan balasan.Sepertinya sudah sangat malam. Apa saja yang kulakukan seharian ini sih? Sampai begini larut?Mana jantungku masih berdebar tak karuan gara-gara menemukan Biru dengan versi yang terasa begitu berbeda.Pikiranku masih penuh dengan bayangan Biru. Oh, mukaku seperti kepiting rebus, begitu meninggalkan Pak CEO dengan nada dering ala kuntilanak. Oke, aku memang aneh, sedikit absurd.Aku sudah berulang kali mengganti nada dering itu. Tapi, selalu saja kembali ke asalnya. Jadi, mau bagaimana lagi?Tiba-tiba kesadaran mengembalikanku ke tempat semula. Aku tertegun begitu la
"Ini sudah cepat, Jani. Lalu lintas agak padat. Tenang ya, kamu mesti sabar."Aku mengenyakkan tubuhku di kursi penumpang. Mengamati keramaian metropolis dari balik jendela gelap."Sudah lama ya sepertinya, kita tidak semobil seperti ini?"Apa sih maksud Argo ini?"Iya.""Kamu tadi sudah makan belum?"Oh, ya Tuhan. Aku lupa, tadi aku belum makan. Pantas saja badanku gemetaran seperti ini. Jadi, ini bukan efek Biru ataupun Argo kan? Ini semata karena aku setelah seharian beraktivitas tadi, belum makan malam. Makan malam yang terlambat."Kita ke rumah makan sebentar, Jani. Aku lapar," kata Argo membelokkan mobilnya, menjauh dari rute menuju kosku.Aku berpikir, betul juga.Aku juga harus membeli makanan, tidak mungkin dalam keadaan perut kosong seperti ini aku pulang dan tidur. Aku tak akan bisa memejamkan mata, jika tidur dalam keadaan begini."Kamu masih suka bebek goreng?"Membayangkan si bebek dalam kondisi begini bagaimana ya. Secara adab, aku sebenarnya tidak pantas bersama Argo d
Biru telah mengganti pakaiannya. Ia mengenakan kemeja berwarna biru, dengan garis-garis tipis yang tidak kentara. Tapi, tidak selicin saat laki-laki itu di kantornya, menduduki singgasana CEO yang menyeramkan bagiku. Tentu saja, siapa sih aku ini?Pegawai baru yang berani-beraninya memberinya suara kuntilanak di hari pertama bekerja. Aku bersyukur dia tidak menegurku. Atau apa karena aku berlari begitu kencang ke arah lift saat itu, sehingga tak bisa melihat matanya mendelik dan wajahnya berkerut marah.Ia sungguh menakutkan.Tapi, dari jarak 10 meter dari mejaku yang membosankan, tetapi mengenyangkan dan melezatkan, aku bisa melihat Biru telah berkencan dengan demikian cepat.Apa perempuan yang bersamanya itu simpanan yang lainnya? Atau bagaimana? Jelas sekali kalau perempuan itu bukan model kuntilanak-berambut awut-awutan dengan gerak mencurigakan—yang kulihat di kantor CEO yang penuh dengan kaca dan granit halus.Oh, uang bisa membeli segalanya, bukan?Pandangan Biru tiba-tiba me
Masa bodoh. Mungkin aku sedang frustasi karena tekanan di hari pertama bekerja. Kau pernah kan begitu? Masuk ke tempat baru, dan merasa begitu asing, sehingga tingkahmu mirip orang-orangan sawah.Aku keluar dengan riang dari toilet perempuan, lorong yang kulewati menggema. Aku menenteng tas kerjaku yang ringan. Sudah lama aku tidak datang ke sebuah restoran dan makan berdua.Sialan benar, si Argo. Apa ia pikir aku ini bodoh? Bisa-bisanya ia pura-pura berkencan denganku di depan atasanku yang kejam—Pak Langit Yang Terhormat.Tetapi, kalau benar Langit eh Biru maksudku, seperti itu. Aku sih tidak keberatan harus merasa bosan memandang aneh wajah Argo yang seperti masih penuh minat menatap wajah jelekku ini.Aku sedang berjalan merunduk, dan menarik tali behaku agar lebih kencnag. Mungkin karena gerakanku yang terlalu aktif, posisinya jadi bergeser. Begitu asyiknya sehingga aku tak memerhatikan koridor dan dengan sangat keras—kuulangi dengan begitu keras, menabrak seseorang.Aku harap it
Aku terkejut setengah mati. Sialan. Ketahuan.Bagaimana sikapku yang cocok untuk situasi ini? Apa aku harus senang, karena terbebas dari Biru yang menakutkan, atau justru harus merasa kehilangan saat mengakhiri perdebatan tak penting yang sengit dan panas ini.Biru memicingkan matanya, menoleh ke belakang. Matanya seperti menyorot pintu yang ditutupnya begitu saja. Tatapannya seperti sinar laser milik Clark Kent si Superman.Ia bergerak, memutar badannya yang besar itu dan berjalan menuju pintu. Tangannya terulur dan menekan tombol pintu."Tadi pintunya macet," ia berbohong pada seseorang di luar.Aku melongok, dan terkaget-kaget karena menemukan wajah bulat dan rambut tipis—Bos Tisu? Apa kabar?"Oh, baik Pak Langit. Teman-teman sudah menunggu di meja."Lalu laki-laki itu pergi sebelum sempat melihatku di sini. Tolong jangan pergi, bawa Biru sekalian dong.Biru kembali memutar tubuhnya, menatap dan menyorot kepadaku."Apa-apaan? Bukannya kamu tadi yang menutup pintu itu?" kataku seper
Aku memandangnya lekat. Tapi pandanganku tembus pandang ke titik yang jauh. Mungkin titik ini akan berhenti di kutub utara sana.Aku senang ia tak bertanya mengenai jas yang kupakai."Kau tampak sedikit aneh dengan jas ini, Jani," ia mulai menginterogasi."Ya, aku tahu. Blusku sobek.""Sobek, tadi blusmu tak apa-apa saat kau di sini? Katakan, siapa yang mengganggumu di sana, ada bedebah liar?"Iya, namanya Biru. Bos CEO-ku tentu saja. Dia menakutkan, galak, dan terasa mengintimidasi. Mungkin penyakit orang kaya dan cakep. Kebanyakan kan seperti itu, ya kan, Go?Namun, aku diam saja."Tapi kau kelihatan segar, kau memakai make up di sana? Kau tampak cantik."Begitulah akhirnya, benar-benar menjadi kencan yang mendekati jurang bahaya."Jangan merayuku. Teman tidak merayu temannya," sahutku dingin. Sementara itu aku memegang tengkukku dan merasa merinding saat mendengar sayup-sayup suara Biru dan orang-orang JMTV terasa riuh dari arah 10 meter."Maaf, tapi itu benar, Jani.""Oh, iya deh.
Sepanjang perjalanan pulang, Argo hanya diam membisu.Aku pun demikian, lagi pula kalau tadi aku terjebak dalam toilet bersama Biru. Itu bukan salahku, iya kan?Yang menekan tombol pintu adalah Biru. Itu juga ada alasannya, karena kancing blusku lepas. Jadi, kenapa dia yang marah-marah begini?Dasar, laki-laki aneh.Aku memberengut dan melemparkan padangan keluar. Menembus setiap kerlip-kerlip metropolis. Hawa malam memang tidak terlalu dingin, tapi cukup untuk membuat bulu kudukku meremang.Apa aku harus mendengar suara kuntilanak lagi?"Harusnya, kau bisa jaga diri, Jani." Ia berkata, sembari matanya menatap lurus ke depan.Iya dong. Memangnya siapa yang mau jagain diriku ini selain tentu saja kuasa Tuhan lewat keluargaku?"Kamu ini kenapa sih? Dari tadi marah-marah mulu," aku melengos. Heran dengan sikapnya yang mendadak aneh dan terasa menjauh, "lagi pula, Go. Aku nggak pernah minta dijemput begini. Tolong lain kali jangan muncul di JMTV lagi.""Oke." Dia menyahut cepat.Alisku be