Sebuah hal yang membuatku merasa tidak nyaman, seharusnya tidak seperti itu apapun dalih dan alasannya. Bukankah mereka sudah berpisah, sudah bercerai tidak seharusnya mereka tinggal bersama meski bersama yang lainnya. Dugaanku tentang perasaan Aleya pada mas Satria sepertinya mendekati kebenaran. Perempuan itu menyimpan rasa suka mungkin juga cinta pada Mas Satria.“Mbak … ketemu lagi.” Baby Sitter Ayra menyapaku terlebih dahulu, aku membalasnya dengan mengulas senyum.“Wah … dekat sini ya rumahnya?” Aleya yang berjalan sedikit di belakang Baby Sitter Ayra ikut menyapaku.“Iya, dekat sini.” Aku menjawab sambil berdiri, karena saat bersamaan Bang Ole mengatakan pesananan sotoku sudah selesai. “Saya duluan,” pamitku kemudian. Tidak ada yang salah dengan mereka, aku hanya sedang malas untuk berbicara meski hanya basa-basi. Rasa kesal dan jengkel pastinya pada Mas Satria, pastinya juga rasa cemburu. Wajar saja bukan, bagaimanapun mereka pernah hidup bersama. Tidak ada jaminan bagiku mer
Kegiatan rumah sejenak mengalihkanku dari pikiran tentang Mas Satria, sengaja aku tidak melihat ponsel. Pasti banyak panggilan masuk dari pria itu, sengaja biarkan saja. Biar Mas Satria tau kalau aku tidak suka dengan keberadaan Aleya di sana. Aku rasa setiap orang juga akan merasakan hal yang aku rasakan apabila ada mantan pasangan tinggal bersama dengan dalih apapun.“Satria nunggu di depan.”Aku baru saja selesai bersiap untuk ke kantor saat Mama masuk ke dalam kamar dan memberi tahu kalau ada Mas Satria di depan. Wanita itu sejenak terlihat mengamati wajahku, mungkin Mama merasa ada yang berbeda dengan sikapku hari ini. Biasanya aku terlihat senang saat Mas Satria menjemput, tapi, pagi ini aku memang berbeda. Sisa rasa kesal semalam masih aku rasakan sampai sekarang.“Kalian baik-baik saja?” tanya Mama terlihat hati-hati.“Iya, Mah. Ya biasalah berantem dikit-dikit,” aku-ku kemudian.“Iya begitulah, bicarakan baik-baik kalau ada masalah. Jangan pernah dipendam sendiri, nanti jadi
“Dah jangan mikir aneh-aneh, kebiasaan pasti dah jauh mikirnya.” Mas Satria mengacak rambutku gemas. “Aku berjanji pada diriku waktu itu akan menyentuhnya saat aku telah benar-benar memiliki perasaan pada Aleya. Aku tidak ingin ada perasaan lain yang melandasi untuk melakukan hal itu.”“Misalnya?” tanyaku sambil merapikan rambutku.“Sungkan, kasihan, atau apalah selain cinta. Dan sampai akhirnya rasa itu memang benar-benar tidak ada. Aku melihat dia ya seperti aku ke Liana, hanya itu yang ada dan tertanam dalam pikiranku.” Mas Satria memberikan penjelasan.Aku tidak menimpali apa-apa lagi, aku juga percaya dengan apa yang Mas Satria sampaikan adalah hal yang sebenarnya. Waktu delapan tahun sedikit banyak kami cukup mengenal akan karakter kepribadian satu dengan yang lainnya meskipun dalam waktu itu kami tidak selalu bersama. Mas Satria memang orang yang selalu bisa memegang prinsipnya.Mobil masih berjalan dengan lambat meski akhirnya kami sudah lebih dari setengah perjalanan. Untuk
“Ish … itu cincin kawin Maseh,” ucapku kemudian.“Memangnya kenapa?” tanya Mas Satria sambil menoleh ke arahku.“Ini Mas.” Mbak pelayan toko itu memberikan kepada Mas Satria cincin yang baru saja dia ambil dari etalase.Cantik memang bentukannya dan terkesan elegan, simpel alias sederhana, tapi, terlihat mahal. Sesaat Mas Satria mengamati detail benda berkilau di tangannya, aku pun merapat mendekat untuk melihat detail dari cincin yang Mas Satria pegang.“Ukurannya pas nggak coba?” Mas Satria menarik tanganku dan mengamati jemariku. “Cantik kan? Kamu suka nggak?”Kenapa aku jadi deg-degan padahal cuma diminta ngepaskan ukuran saja, berasa akan dilamar. Kan unik juga kalau ngelamarnya disini, rencana beli kado untuk ibunya itu hanya alasan saja. Terus tiba-tiba Mas Satria melamarku di sini, pura-puranya ngepas ukuran cincin padahal mau melamarku. Lalu Mas Satria bilang ‘Will you marry me’ duh … aku harus jawab apa coba.“Yang … kok malah bengong.” Aku kaget saat Mas Satria menyentil uj
“Kalau yang disana itu pasar juga, tapi, untuk hewan peliharaan kayak ikan, burung, kura-kura, kucing dan banyak lagi lainnya.” Aku kembali menambahkan sambil menunjuk jalan turun kea rah pasar hewan. “Kayak tour guide jadinya,” celetukku kemudian.“Kalau tour guidenya kayak kamu yang ada malas pulang, mau netep disini aja.” Mas Satria tertawa sambil meraih tanganku dan mengandengnya.“Ibu suka tanaman, ntar kapan-kapan ajakin sini pasti beliau senang,” ucap mas Satria kemudian.“Ap aitu salah satu jurus menaklukkan hati calon Ibu mertua?” tanyaku dengan senyum.“Ya begitulah kira-kira,” jawab Mas Satria kemudian.Akhirnya kami tiba disalah satu kios penjual bunga yang biasanya menjadi langanan kantor. Berbagai macam bunga potong terpajang di wadah mulai dari depan kios sampai ke dalam. Untuk bunga mawar saja ada beberapa warna, mulai dari warna merah, putih, merah muda dan beberapa warna yang aku sendiri tidak bisa menyebut itu warna apa.Selain itu juga ada beberapa jenis bunga pot
Akhirnya setelah menunggu untuk beberapa saat bunga yang kami pesan selesai juga. Biasanya pesan bunga di tinggal terus akan dikirim oleh penjualnya ke rumah. Bahkan seringnya juga pesan hanya lewat telepon atau hanya chat WA. Sejumlah uang Mas Satria bayarkan untuk rangkaian mawar cantiknya, cukup mahal. Tapi, memang barang yang digunakan juga semua berkualitas dan masih segar.“Mas … aku deg-degan,” kataku pada Mas Satria saat kami dalam perjalanan ke rumah pria itu. Jujur aku benar-benar deg-degan dan takut. Yah … takut, takut kalau ternyata Ibunya Mas Satria tidak menyukaiku atau dia lebih menginginkan anak laki-lakinya itu tetap merujuk Aleya. Bagaiamana juga Aleya adalah sosok yang baik dan Ibu Mas Satria terlihat sangat menyayangi mantan istri anaknya itu. Apa aku bisa mendapatkan tempat, sedangkan masi ada Aleya disana.“Aku juga,” tutur Mas Satria seraya mengenggam tangan kananku.Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam dan sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bukan ha
Duda Itu Mantan PacarkuPart 32Oleh : LinDaVin“Rania?” ulang Ibunya Mas Satria saat mendengar aku menyebutkan namaku. Mata wanita paruh baya itu menyipit dengan kening berkerut, dia lalu menoleh pada Mas Satria. “Ra … Rania.”“Iya Rania,” jawab Mas Satria disertai anggukan kemudian melihat ke arahku dengan raut wajah yang terlihat tegang. Aku tidak bisa berpikir apapun dan detak jantung ini kian cepat saja sepertinya. Debarannya semakin mengencang membuat perasaanku semakin tegang. Telapak tanganku terasa semakin dingin, napasku tertahan untuk sesaat.“Rania yang dari Jogja?” tanya wanita itu lagi seperti ingin memastikan apa yang dia maksud itu adalah orang yang sama.Mas Satria mengangguk pelan mengiyakan apa yang Ibunya maksud. Raut wajah wanita paruh baya yang tadi terlihat penuh tanya itu kini berubah. Aku menelan saliva melihat perubahan wajah wanita itu, merasa takut dan tidak nyaman. Yah … pasti dia mulai menginggatku dengan segala hal yang pernah aku lakukan dulu pada Mas
“Ibu tidak menyukaimu sebagai gadis yang Satria sukai, tapi, Ibu menyukaimu sebagai gadis yang Ibu kenal sewaktu di taman.” Ibu kembali melanjutkan kata-katanya.Apa yang ibu sampaikan membuatku semakin menjadi semakin bingung, dia tidak menyukaiku, tapi, dia juga menyukaiku. Lalu apa maksud dari perkataannya, aku tidak mengerti apa yang ibu maksud dan yang dia inginkan sebenarnya. Mas Satria juga terlihat mengernyitkan dahi seperti sedang mencari pemahaman atas apa yang Ibunya sampaikan.“Maksud Ibu?” tanya Mas Satria kemudian.“Maksud ibu? Maksud Ibu agar Rania tau ibu kecewa padanya dan belum bisa lupa atas apa yang pernah dia lakukan dulu.” Ibu menjawab pertanyaan dari Mas Satria. “Lalu?” tanya Mas Satria lagi.“Lalu apa?” Ibu balik bertanya pada anak laki-lakinya itu.“Satria dan Rania?” “Kalian kenapa? Kan tadi sudah ibu bilang, andai pun ibu melarang kalian berhubungan, apa itu akan lantas membuatmu mengakhiri hubungan dengan Rania, tidak kan?” Ibu terdengar menarik napas dal