Share

Dia Lagi

"Nomor pesanan 129." 

Panggilan di pengeras suara sementara menyelamatkanku. Karena pesanan kami beberapa kosong tadi sehingga tidak bisa langsung kami bawa ke meja.

"Tuh … bentar." Aku langsung berdiri sambil menunjukkan struk pesanan kepada kedua kakak perempuanku itu.

"Silahkan Kakak, mohon maaf dan terima kasih sudah menunggu," sambut pegawai resto dengan seragam berwarna kuning ketika aku sampai di meja pemesanan.

"Makasih," balasku dengan senyum dan langsung mengangkat  nampan berisi pesananku dari meja kemudian beranjak. 

"Makan … makan," ucapku pada kedua keponakanku yang pandangannya sudah mengarah padaku.

"Nasinya dulu baru es krim," ucap Kak Sisil menjauhkan tiga cup es krim dari anak-anak.

"Dikit aja, Bunda." Rey terdengar merayu Kak Sisil yang langsung dijawab dengan gelengan.

"Cuci tangan dulu yuk," ajakku kepada kedua ponakanku itu. Keduanya langsung turun dari kursi dan aku mengiring mereka ke wastafel yang berada di bagian samping.

"Aunty es klimnya," rengek Rey sambil mencuci tangannya.

"Iya, Aunty. El, juga mau." Al yang berada di sisi lain menambahkan.

"Iya … iya, makan dulu nasi sama ayamnya. Abis itu baru es krimnya. Dari pada Aunty diomelin sama Bunda kalian. Mau Aunty diomelin?" ocehku pada kedua keponakanku itu. 

"Enggak," jawab Al yang diamini Rey dengan gelengan.

"Sana duluan." Aku meminta keduanya untuk lebih dulu kembali ke meja. "Nggak boleh lari! pelan aja jalannya," ingatku lagi saat melihat gelagat keduanya yang tengah bersiap mengambil ancang-ancang.

Aku menahan tawa saat keduanya sepintas melihat ke arahku dan kemudian beranjak dengan langkah yang sengaja dibuat sangat lambat. Gemas sekali rasanya melihat polah tingkah kedua bocah itu.

"Enggak gitu juga kali, Dek." Aku menggelengkan kepala yang disambut cekikikan keduanya, dan dalam sekejap langsung 'Wus' berlari ke meja. Beruntung selamat sampai tujuan kalau menabrak pelanggan lain atau meja kan bisa lain urusannya.

Fokus Kepada kedua bocah itu pecah saat aku merasakan ada yang menarik ujung bajuku. Pandanganku beralih pada sosok kecil yang berada di bawahku. Seorang gadis kecil berdiri dan mendongak bicara padaku.

"Hei, ada apa sayang?" Aku langsung jongkok menurunkan badanku demi menyamakan tinggi kami dan mendengar apa yang anak perempuan itu katakan.

"Iya ada apa?" tanyaku kemudian dengan senyum terkembang.

"Uci angan," ucap gadis kecil itu sambil menunjukkan telapak tangannya padaku. Aku baru ingat kalau dia sosok kecil yang aku lihat di arena bermain tadi.

"Cuci tangan?!" Aku mengulang ucapannya dan gadis kecil itu mengangguk.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dan tidak mendapati baby sitter yang tadi bersamanya. Ceroboh sekali bagaimana bisa anak sekecil ini dibiarkan berjalan sendirian. 

"Alhamdulilah Ayra." Aku baru selesai membantu gadis kecil itu mencuci tangannya saat Baby Sitter yang bersamanya tadi datang dengan wajah memerah.

Wanita itu langsung mengambil gadis kecil yang dipanggilnya Ayra tersebut dariku lalu menggendongnya. Terlihat sekali wajah cemas dengan mata yang basah. 

"Bu, lain kali hati-hati," ucapku pelan pada wanita itu.Aku tidak tega ingin bicara lebih dari itu, saat melihat wanita itu menangis. 

Entah dengan alasan apapun tapi, dia sudah sangat ceroboh. Beruntung dia berjalan ke wastafel untuk cuci tangan. Tidak bisa aku bayangkan kalau gadis kecil itu berjalan keluar. Apalagi kalau sampai ke eskalator. Aku bergidik membayangkan apa jadinya kalau hal itu sampai benar-benar terjadi.

"Astaga." 

Seketika aku langsung menoleh saat mendengar suara yang pria yang cukup akrab di telinga itu. Bergantian aku melihat ke arah Mas Satria dan Ayra yang digendong baby sitter. Wajah pria itu terlihat begitu cemas.

"Mbak terima kasih," ucap baby sitter itu kepadaku.

"I-iya … sama-sama. Permisi." Aku mengangguk pelan dan kemudian beranjak.

Aku melirik sekilas ke arah wajah Mas Satria saat melewatinya. Akan tetapi, pria itu membuang mukanya ke arah lain. Berarti gadis kecil berbaju pink dalam gendongan wanita itu anaknya Mas Satria. Ada yang sedikit menggigit di hatiku. Ah … apalah aku ini, toh semua adalah kesalahanku sendiri.

Berita di kantor mengabarkan bahwa Mas Satria sudah bercerai dengan istrinya. Sebuah hal yang pastinya menggelitik rasa ingin tahuku. Apalagi dengan adanya sosok gadis kecil berbaju pink tadi. Ada apa dengan rumah tangga Mas Satria sebenarnya.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Regina saat aku menarik kursi untuk kembali duduk.

"Nggak, emangnya kenapa?" tanyaku balik.

"Kayak orang bingung gitu, mikir apaan?" tambah Kak Regina kemudian.

"Nggak ada," jawabku sambil meraih minuman dingin di meja.

Sepanjang makan aku memilih banyak diam dan hanya mendengarkan obrolan Kak Sisil dan Kak Regina yang tetap saja menjadikanku topik pembicaraan mereka. Umur kami memang tidak selisih begitu jauh, dan diusia seperti aku sekarang mereka sudah menikah.

Mereka cukup beruntung dalam kisah percintaan. Menikah dengan pria yang dicintai dan hidup bahagia. Memiliki anak yang lucu dan pintar, meski kadang membuat kepala sedikit pusing. Kedua iparku juga terlihat cukup bertanggung jawab.

Kami sebuah keluarga yang memiliki kedekatan antara satu dengan lainnya. Sengaja kedua kakakku membeli rumah yang berada di depan dan juga samping rumah utama. Aku sendiri masih numpang di rumah orang tua bersama adik bungsuku Arya. Papa sudah meninggal beberapa tahun yang lalu saat aku masih kuliah.

Tidak seperti kedua kakak perempuanku, kisah percintaanku bisa dibilang yang paling tidak beruntung. Setelah gagal menikah aku memilih untuk fokus pada diriku sendiri. Apalagi setelah aku tidak bisa menemukan jejak cinta pertamaku. 

•••

Kembali berjumpa dengan hari senin bagi sebagian orang terkadang sangat berat. Bagiku tidak sebelum kedatangan pria menyebalkan itu. Dulu aku selalu bersemangat kembali bergelut dengan kertas dan juga berkas-berkas lainnya. Sikap dingin dan juteknya padaku seringkali membuat moodku tidak bagus.

"Kamu ketik ulang dan ganti namanya dengan daftar yang sudah aku tulis!" Sebuah panggilan dari telepon ruangan membawaku ke ruangan wakil kepala cabang. Pria itu menyodorkan dua lembar kertas yang berisi sebuah perjanjian kerja sama dan juga daftar nama.

"Maaf, Pak. Ini di luar job desk saya sebagai finance." Aku menyodorkan kembali kertas yang Mas Satria berikan.

"Aku mau kamu yang kerjakan, aku sudah bilang pada Bu Fitri tadi. Kerjakan saja!" 

Bu Fitri adalah atasanku di divisi finance. Aku tidak mengerti dengan maksud pria ini. Jelas-jelas pekerjaan yang dia berikan adalah pekerjaan divisi marketing. Bagaimana bisa aku yang harus mengerjakan.

"Mana bisa, Pak." Aku tetap bersikeras menolak.

"Kenapa?" tanya pria itu dengan songongnya. Masih menanyakan kenapa? Jelas-jelas dia sudah menyalahgunakan jabatannya.

"Kamu pindah ke divisi marketing mulai besok, menggantikan salah satu staf yang cuti melahirkan. Tidak usah membantah lagi, itu perintah Pak Agus."  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status