Share

Duda Menyebalkan

Duda itu Mantan Pacarku

Part 3

Oleh : LinDaVin

"Mas Satria ada waktu? Aku mau bicara serius." Aku menoleh ke samping kiri, tempat dimana Mas Satria duduk.

"Nggak ada, aku sibuk," jawab pria berbadan tegap, berkaos putih itu sambil mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang ada di pangkuannya.

"Sibuk ngapain? Kan nggak ngapa-ngapain." Aku sedikit mencembik mendengar jawabannya.

"Apa?" tanyanya ketus sambil melihat ke arahku. "Aku sibuk, kurang jelas jawabanku."

Aku menelan saliva melihat wajah jutek pria yang pernah berbagi hari denganku dulu itu. Tidak ada yang berubah dari wajahnya tetap tampan. Hanya sikapnya yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Dulu jangankan marah bicara keras saja tidak pernah.

"Apa?" tanyanya lagi galak dengan alis yang hampir menyatu. "Ngapain liatin kayak gitu?"

"Ish …." Aku mengalihkan wajah dengan bibir manyun kesal. Aku sadar aku salah, tapi, aku juga kesal dia jutek seperti itu.

Untuk beberapa saat kami saling diam, Mas Satria terlihat sibuk dengan ponselnya. Aku memilih sibuk dengan minuman di tangan sambil menebar pandangan ke sekeliling yang cukup ramai. Sesekali melihat Rey dan juga Al yang masih asyik bermain.

Jiwa kepo yang ada dalam diriku mendorong untuk mencari tahu apa yang pria di sampingku sedang kerjakan. Aku memundurkan sedikit tubuh hingga aku bisa melihat layar ponselnya. Ya Tuhan 'Bubble Shoot' … jadi dia sibuk dan tak memberi waktu aku bicara karena sibuk main Bubble Shooter.

Aku merasa sangat kesal, bagaimana bisa dia lebih memilih bermain tembak bola itu daripada bicara denganku. Ah … sudahlah untuk apa aku memberi penjelasan. Lagian jelas-jelas dia sudah berubah, tidak ada gunanya juga. Belum tentu juga dia percaya dengan apa yang aku ceritakan.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Satria tiba-tiba sambil melihat ke arah genggaman tanganku. Aku sedang meremas ujung baju, kebiasaan yang aku lakukan saat aku begitu kesal.

"Nggak ada," jawabku ketus, tanpa melihat ke arah pria di sampingku.

"Kenapa kesal?" tanyanya langsung, karena dia memang sangat hafal dengan kelakuanku. "Dah tua juga masih kayak anak ABG aja."

"Siapa tua? Mas yang tua bukan aku. Dah tua main bubble shoot," balasku kesal.

"Kamu ngintip?" tanyanya kemudian, aku langsung menoleh dan menggeleng. 

"Nggak gimana? Tau darimana kalau nggak ngintip?" cecarnya lagi. 

"Udah ah … nggak penting juga dibahas. Katanya sibuk, ya udah. Ngapain peduliin aku." Entah kenapa aku yang menjadi kesal sekarang.

"Peduli? Siapa yang peduli. Jangan ge-er, cuma tanya dibilang peduli. Hah," kilah Mas Satria dengan senyum sinis.

Aku hanya diam menahan kesal dengan menyatukan gigi atas dan bawahku. Menahan untuk tidak bicara apa-apa lagi. Fix … dia sekarang berubah dan menjadi sangat menyebalkan. 

"Ayok ngomong! Malah diam." Aku kembali menoleh saat pria itu menyuruhku bicara.

"Apa?" tanyaku tidak paham dengan maksudnya memintaku bicara.

"Kamu bilang tadi mau bicara serius, gimana sih." Masih dengan wajah jutek dan dagu terangkat pria itu bicara padaku.

"Nggak jadi," jawabku kesal.

"Lah … kenapa kamu yang jadinya kesal?" Masih dengan nada sinis pertanyaan itu keluar dari mulut Mas Satria.

Apakah ada bendera putih disini, sepertinya aku menyerah sebelum berperang. Hatiku sangat kesal, teramat sangat kesal sekali. Kalau ada ungkapan yang lebih dari itu, itulah penggambaran rasa kesalku sekarang.

"Ran …." Suara Kak Sisil terdengar memanggil namaku. Aku langsung menoleh dan mendapati kedua kakak perempuanku itu berjalan mendekat.

"Dah selesai?" tanyaku sambil berdiri menyambut keduanya.

"Sudah, anak-anak mana?" tanya Kak Regina sambil menoleh ke area bermain.

"Itu." Aku menunjuk ke arah Al dan Rey yang bermain di dekat perosotan. 

"Siapa?" tanya Kak Sisil setengah berbisik sambil mengangkat alisnya. Setengah berbisik karena jarak yang dekat sepertinya Mas Satria mendengar suara Kak Sisil.

"Nggak kenal," jawabku sambil melihat ke Mas Satria yang langsung melotot mendengar jawabanku.

"Ya udah, panggil anak-anak," suruh Kak Sesil kemudian aku mengangguk dan segera beranjak.

Beruntung kedua kakak perempuanku itu cepat selesai dengan belanjanya. Tidak seperti biasanya yang betah berlama-lama. Mungkin karena masih pertengahan bulan, mungkin. Apa peduliku, yang penting aku bebas dari pria menyebalkan itu.

"Yakin nggak kenal?" tanya Kak Regina disela waktu menunggu pesanan makanan di sebuah gerai fast food.

"Kayaknya kalian sudah saling kenal." Kak Sisil menambahkan.

Meskipun aku lama berhubungan dengan Mas Satria aku memang belum pernah mengenalkan dia pada keluargaku. Aku dilarang pacaran sebelum selesai kuliah. Jadilah aku tidak pernah bercerita pada siapapun termasuk kedua kakak perempuanku ini.

"Ngapain dibahas sih?" tanyaku merasa risih dan tidak nyaman.

"Yah … gimana yah. Dah waktunya loh, umur kamu dah waktunya nikah." Kak Sisil beralasan.

"Masih dua lima juga, di kantor banyak yang di atas aku belum nikah," balasku, sama-sama beralasan.

"Roni gimana?" tanya Kak Sisil lagi dengan senyum usil dan alis terangkat.

Roni teman satu kantor, dia bekerja dengan posisi  marketing head. Beberapa kali mengantarku pulang, dan kedua kakakku ini sudah cukup mengenalnya dengan baik.

"Apaan cuma teman," jawabku manyun.

Kedua kakakku itu malah tertawa melihat respon yang aku berikan. 

"Ehh … tapi, Kakak lihat sepintas kalian mirip loh," ucap Kak Regina tiba-tiba.

"Mirip siapa?" tanyaku bingung.

"Pria yang tadi, yang duduk di samping kamu," jelas Kak Regina.

"Oh … duda jutek itu? Mirip dari mananya," protesku.

"Kok tau kalau duda?" tanya Kak Sisil kemudian, kedua kakak perempuanku itu saling berpandangan.

Ampun aku keceplosan, lagian kenapa juga pria itu berada disana. Apa yang dia lakukan disana tadi? Apa menunggu anaknya? Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status