Share

ASK-003

Panca menyingkirkan tangan Indah yang sudah menyusup dan menyentuh kelelakiannya. “Apa, sih? Aku bilang aku ngantuk.”

“Ngantuknya segimana banget sampai kayak nggak nafsu sama istri. Laki-laki normal harusnya nggak gitu. Disentuh pasti ngaruh. Apalagi udah lama nggak ketemu istri.” Indah tersinggung dengan penolakan Panca. Lagi-lagi air matanya hampir jatuh. Tapi kali itu ia tidak malu lagi menunjukkan kesedihannya di depan Panca. Ia sudah terlampau sering menangis di depan pria itu.

Panca duduk dan membetulkan pakaiannya. “Kamu tahu apa, sih, soal capek kerja? Kamu nggak pernah kerja, kan? Lulus dari universitas di luar negeri kamu nggak pernah pakai ijazah kamu buat ngelamar kerja dan makan gaji. Kamu udah nerima privilege sebagai anak tunggal yang mana semua uang orang tua kamu adalah milik kamu. Kita beda. Aku memulai semuanya sendiri dari nol.” Panca berdecak kesal dan wajahnya semakin kesal ketika melihat Indah hampir menangis.

“Bisa banget Mas ngomong gitu. Perkara capek kerja langsung merembet ke mana-mana.” Indah meninggalkan Panca di kamar dan pergi membawa sebuah bantal dan selembar selimut untuk tidur di sofa depan televisi.

Seperti kemarin-kemarin. Panca tidak ada niat membujuknya sama sekali. Ia merajuk dan pulih dengan sendirinya saat ia letih saling mendiamkan dengan suami yang baru menikahinya beberapa bulan.

Jakarta yang ramai selalu membuat Indah kesepian dengan jarangnya Panca pulang cepat dari kantor. Setiap hari paling cepat pukul sepuluh malam. Dan beberapa hari terakhir Panca bahkan pulang dini hari. Selain jam pulang kerja yang lama, hubungan Indah dan Panca kembali pulih seperti biasa. Sampai ketika suatu pagi perselisihan itu kembali dimulai.

“Hari ini aku pulang terlambat, ya. Bos dari pusat kalau datang banyak maunya. Minta dijamu di restoran, mau ngegolf-lah, mancing, bowling, banyak banget pokoknya.”

“Mas belum nyebut soal bar. Kemarin aku dapat setruk pembayaran bar di kantong celana Mas Panca.” Indah mengambil napas pelan-pelan. Khawatir kalau ia kembali menangis. Panca akan kembali mengata-ngatainya cengeng. Ketika mengatakan itu pun ia tak berani memandang wajah Panca. Dan seperti yang ia perkirakan, suaminya itu berjalan mendekat dengan santai dan melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Oh, bar yang di Kemang? Aku bawa tamunya Mister Joe. Aku belum cerita ke kamu, ya?" Panca mengendus bahu Indah dan mendaratkan ciuman kecil di leher wanita itu. “Itu cuma duduk di bar, ngebir dan ngobrol. Aku juga sebenarnya udah bosan. Tapi mau gimana lagi? Tanggung jawab pekerjaan.”

Indah memejamkan mata. “Tapi dalam seminggu ini aku selalu makan malam sendirian. Aku enggak ada teman,” ucapnya pelan.

Panca memindahkan tangannya dari pinggul ke perut Indah. Mengusap lembut perut wanita itu dan mulai mendaratkan ciuman ke telinganya. “Kamu, kan, udah tahu kalau resiko tinggal di sini bareng aku ya kesepian dan minim fasilitas. Nggak sama dengan di rumah orang tua kamu. Kalau kamu di Bandung aku juga makan sendirian. Jangan keseringan sedih juga. Kasihan yang di dalam sini. Aku enggak mau si kecil ini ngerasain Mama-nya sedih.” Panca mengecup telinga Indah cukup lama dan mengakhirinya dengan gigitan kecil.

“Malam ini bakal pulang jam berapa?” Kali ini Indah tak menutupi keinginannya untuk disentuh. Sejak tiba tempo hari dan ditolak mentah-mentah menyentuh suaminya sendiri, ia dan Panca belum ada melakukan hubungan suami-istri. Ia rindu sentuhan Panca.

“Enggak lama, tapi kamu jangan tungguin aku. Tidur aja. Ibu hamil harus cukup tidur. Minggu depan jadwal periksa kandungan, kan? Kalau sempat aku bakal temani kamu.”

“Bukannya lebih baik kalau kalimatnya, ‘Minggu depan jadwal periksa kandungan dan kita bakal pergi sama-sama.’ Bukan ngomong pakai kata kalau sempat bakal menemani aku. Ini bukan kepentingan aku sendirian. Ini anak kita,” ucap Indah pelan. Ucapan yang walau sudah diusahakan sepelan dan selembut mungkin tapi tetap membuat Panca melepaskan pelukannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa, sih? Kayanya aku salah terus. Memangnya aku minta kamu ngapain? Kerja? Kamu cuma duduk santai di rumah dan nerima yang aku cari di luar sana. Masih kurang?” Suara Panca meninggi.

Indah meletakkan sisir dan memutar tubuh. “Mas Panca … aku ngomong dengan suara pelan. Kenapa harus bersuara sekeras itu? Aku cuma mau negasin kalau periksa kehamilan itu bukan urusanku aja. Tapi urusan kita. Memangnya salah?” Sorot mata Indah teduh memandang pria yang sejak dulu diidam-idamkannya menjadi pasangan hidup.

Panca menggeleng. “Enggak salah. Tapi entah kenapa aku selalu merasa kamu enggak percaya kalau aku serius jalani pernikahan ini.”

“Tapi Mas memang terlihat enggak serius,” potong Indah.

“Terlihat, kan? Kamu ngomong terlihat? Kamu selalu ngomong berdasar dengan apa yang kamu lihat? Kamu nggak mau tahu apa yang aku rasa? Kamu kira apa yang aku rasa sewaktu menyanggupi pernikahan kita? Kamu cuma lihat, kan? Kamu enggak ada mikir. Tiap dikonfrontir jawabannya selalu karena hormon kehamilan. Itu terus. Ck. Sukanya ngerusak suasana pagi.” Panca menyambar ponselnya dari nakas dan keluar dari kamar.

“Mas Panca enggak pulang malam. Jam empat itu pagi! Suami mana yang hampir setiap hari pulang pagi padahal istrinya sedang hamil? Kita itu masih pengantin baru, Mas!” Teriakan Indah ditelan pintu yang perlahan menutup.

Indah duduk tercenung dengan satu tangan mengusap perut. “Apa memang harus selalu berakhir begini, Nak? Pernikahan kami baru sebentar tapi kenapa rasanya udah lama banget? Kenapa Mama udah ngerasa capek?”

Lalu semuanya pasti akan sama seperti kemarin, seperti minggu lalu, atau bahkan sama seperti bulan lalu, Indah dan Panca melalui pagi dalam diam berhari-hari.

Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Indah merasa perdebatan pagi selalu dijadikan alasan bagi Panca atas ketidakpeduliannya.

Indah sudah duduk menghadapi sarapannya dan Panca berdiri menunggui mesin printernya yang masih menyala. Setelah meraih lembaran yang diperlukan pria itu bergegas menuju meja makan.

“Aku enggak bisa lama-lama.” Panca meletakkan sendok. “Kamu lihat sendiri aku ngerjain sebagian pekerjaan kantor di rumah.” Panca menunjuk seperangkat PC di sudut ruang makan yang memang biasa dipakai. Setelah menyeka sudut mulut, Panca bangkit dari kursi.

“Mau pergi sek—” Pertanyaan Indah tidak selesai. Panca melewatinya begitu saja. Kali ini ia tidak mau seperti kemarin. Panca pergi begitu saja tanpa memeluk atau mencium pipinya dan pria itu kembali dini hari. Ia ikut bangkit dan setengah berlari mengejar suaminya. “Mas … jangan gitu. Jangan ngambek terus. Aku belum selesai ngomong kenapa langsung pergi?” Indah berhasil menahan tangan Panca sesaat sebelum pria itu mencapai pintu.

“Aku enggak ngambek,” sahut Panca pendek. “Malam ini aku menemani bos besar yang baru nyampe di Jakarta. Kamu jangan tunggu aku. Kayaknya aku bakal pulang terlambat lagi." Panca mengecup dahi Indah dan pergi menuju mobil.

Tangan Indah tergenggam di kedua sisi tubuh. Tadinya ia hendak memeluk Panca, tapi urung karena pria itu sangat terburu-buru. Ia hanya sempat melambaikan tangan sebelum kaca mobil pria itu tertutup.

Indah masuk dan menghampiri komputer yang tombol powernya menyala meski layarnya sudah padam. Pertanda Panca lupa mematikan komputer itu. Masih sambil berdiri ia meraih kursor dan menggesernya sampai layar itu kembali menyala sendiri. Tangannya dengan cekatan menutup beberapa window yang terbuka. Termasuk email Panca yang masih terbuka.

Tadinya Indah tidak ada bermaksud membuka email itu. Tapi sebaris email yang letaknya paling atas dan sudah dibuka menarik perhatiannya. Itu adalah email tagihan kartu kredit. Deretan tagihan itu berisi nama macam-macam restoran dan ….

“Hotel?” Indah menggigit bibir.

Bertanya pada Panca soal hotel itu pasti akan menimbulkan pertengkaran. Seminggu lebih mengunjungi suaminya jarang sekali mereka berinteraksi dengan hangat. Indah menyingkirkan kemungkinan akan bertanya langsung. Biasanya hotel akan terbuka jika memang perusahaan mengadakan acara di tempatnya secara resmi. Indah memutuskan untuk pergi ke hotel dan bertanya soal event di tanggal-tanggal yang tertera dalam tagihan kartu kredit.

Bisa saja semua tagihan itu akan direimburse ke kantor. Suaminya pasti mendahulukan uang pribadinya untuk meng-entertain para atasan yang bersenang-senang di pusat hiburan hotel. Tak ada pikiran buruk sedikit pun untuk Panca. Sampai ketika ia berhadapan dengan resepsionis hotel dan mengecek nama perusahaan di hotel.

“Tidak ada acara apa pun atas nama perusahaan ini di hotel kami. Tidak pernah ada kerja sama juga. Tapi seperti yang Ibu tanya tadi, benar bahwa di sini ada SPA dan Karaoke. Letaknya di lantai tujuh. Untuk nama yang tertera di lembaran ini saya tidak bisa memberi informasinya karena data tamu adalah confidential.” Resepsionis mengembalikan lembar tagihan kartu kredit yang ditunjukkan Indah.

Indah melihat sebuah banner yang terletak di sebelah lift. Banner itu berisi promosi pertunjukan seorang DJ ternama ibukota. Ia mengambil kertas dari tangan resepsionis. “Acara pertunjukan DJ itu selesainya jam berapa?”

“Kita tutup jam dua pagi. Biasanya jam segitu semua tamu baru pulang dan … sebagian menginap di sini.” Resepsionis wanita itu tersenyum pada Indah.

“Terima kasih informasinya, Mbak.” Indah berlalu dari resepsionis. Ia perlu mampir ke mall untuk membeli pakaian khusus. Malam nanti sepertinya ia akan masuk menonton pertunjukan DJ itu. Ia teringat bahwa pagi tadi pun Panca mengatakan tidak bisa pulang tepat waktu karena akan meng-entertain tamu kantor yang baru datang dari Rusia. “Semoga aku nggak ketemu kamu, Mas,” gumam Indah.

-TBC-

Comments (20)
goodnovel comment avatar
🇳 🇱 🇿
kok sedih yakkkkk
goodnovel comment avatar
Neee I
Thank you and stay healthy KK Njusss.........
goodnovel comment avatar
Sari 💚
nah, kamu harus benar² mencari tau
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status