Share

ASK-004

Author: juskelapa
last update Last Updated: 2023-07-12 00:48:18

Mual muntah di awal kehamilan membuat berat badan Indah hampir tidak mengalami kenaikan. Tubuhnya masih kecil mungil seperti gadis. Acara malam yang sudah ia bayangkan akan menjadi waktu melakukan romantisme pengantin baru menguap begitu saja. Ia membutuhkan pakaian masuk ke club secepatnya.

“Ada diskon, kan? Saya lihat di banner depan.” Indah menunjuk banner yang menawarkan potongan harga cukup lumayan. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia masih dijatah Panca, jadi pengeluaran pakaian ke klub tentu tidak masuk dalam perhitungannya.

Indah membeli satu dress dengan harga cukup murah. Dress selutut dengan harga yang dulu dengan mudah dibelinya tanpa harus menunggu diskon.

‘Mas Panca pulang jam berapa? Malam ini aku kepengin makan bareng.’

Sekali lagi Indah memastikan jawaban Panca dengan mengirimkan pesan untuk keempat kalinya. Besar sekali harapannya Panca akan membalas dengan ucapan manis. Nyatanya jauh dari harapan.

‘Belum berubah, In. Aku ada acara kantor. Kamu makan sendiri aja. Pokoknya aku usahakan pulang cepat malam ini meski kayaknya berat.’

Selepas Maghrib dan harusnya ia berbaring meluruskan kaki di ranjang seraya menanti suaminya pulang kerja. Nyatanya kunjungannya ke Jakarta malah berubah menjadi inspeksi dadakan. Indah sudah selesai berdandan dan mengenakan dress yang ia beli. Berdiri di depan cermin lemari dan mengusap perutnya.

“Gimana kalau malam ini Mama menemukan sesuatu yang kita nggak suka? Apa kita bisa memaafkan Papa?” Indah menatap cermin.

Tentu saja batinnya tidak siap. Tapi Indah merasa harus menemukan hal yang begitu disukai Panca di luar rumah. Dalam perjalanan menuju hotel tujuannya Indah menyusun alasan kalau-kalau Panca malah pulang lebih awal dan mendapatinya tidak di rumah.

“Pesan meja untuk berapa orang?” Seorang pria langsung mendatangi Indah sebegitu kakinya tiba di pintu masuk.

Indah pernah beberapa kali pergi ke klub di Singapura zaman ia masih duduk di bangku kuliah. Pengetahuan soal klub di ibukota malah nol. Belum pernah sama sekali.

“Meja untuk dua orang,” kata Indah pada paham pria. Bergidik membayangkan dirinya akan didatangi orang asing kalau duduk seorang diri, Indah memutuskan memesan semuanya untuk dua orang. Ia langsung membalik-balik menu dan memesan minuman yang biasa diminum pria.

“Pacarnya nyusul ya, Mbak? Nggak mau sekalian ambil paket untuk tengah malam? Ada show two in one. Yang bawa pacar biasa suka nonton.”

Sebenarnya Indah tidak mengerti show apa yang ditawarkan pelayan pria itu. Ia mengiyakan tanpa bertanya soal harga. Alhasil dadanya sedikit sesak saat melihat harga show yang dikenakan untuk dua orang. Katanya terbatas dan cuma orang pilihan yang ditawarkan menonton show itu.

“Minumannya saya taruh di sini ya, Mbak. Pacarnya belum datang juga ya?” Pelayan pria menyusun minuman di depan Indah.

Dengan mata yang terus mencari di mana Panca, Indah menjawab acuh tak acuh. “Sebentar lagi pacar saya datang. Minuman saya taruh di situ aja.”

Menuju pukul sepuluh malam Indah merasa dirinya bagai pecundang. Tengah hamil empat bulan dan duduk terkantuk-kantuk di dalam klub yang musiknya memekakkan telinga. Ia meminta maaf berkali-kali pada bayinya.

Menjelang pukul sebelas Indah hampir saja menyerah. Tidak ada penampakan Panca membuatnya sedikit menyesal karena uang yang ia habiskan malam itu dan menyesal karena pikiran buruknya pada sang suami. Namun suara seorang DJ pria yang mengumumkan pertunjukan two in one menarik perhatiannya ke satu sudut gelap yang sejak tadi luput dari pantauannya.

Indah mengenali siluet tubuh seorang pria yang sedang berdiri memeluk pinggang wanita. Sontak ia merasa jantung memukul-mukul dadanya.

“Dan sebagai puncak acara malam ini …. Pertunjukan yang ditunggu setiap malam. Hanya untuk orang-orang pilihan. Buat yang belum memesan show silakan menuju meja kasir atau silakan menuju sisi timur club untuk memisahkannya diri dari pertunjukan yang sebentar lagi dimulai.”

Puluhan kepala yang duduk di ruangan gelap sarat musik dan aroma alkohol riuh bertepuk tangan. Semua melongok ke panggung. Bersorak-sorai menyambut dua penari wanita dan seorang penari pria yang berbusana setengah telanjang. Hanya Indah yang sibuk mengawasi seorang pria yang hampir yakin dikenalnya sebagai Panca.

“Mas Panca …,” gumam Indah dengan mata memanas. Ia memalingkan wajah dari pemandangan yang membuat hatinya bergemuruh. Bergidik memandang pria yang ia cintai menyentuh tubuh wanita lain dengan gerakan yang sangat liar. Panca sangat menikmati meremas pinggul dan bokong wanita di depannya.

Bertahan dengan pertunjukan yang memprovokasi syahwat ditambah sosok Panca yang setengah mabuk menempeli tubuh wanita membuat Indah dengan cepat mual di tempat itu. Ketahanan dirinya mulai runtuh. Ia meninggalkan meja dan berjalan keluar klub.

Di luar, Indah menelepon Panca berkali-kali namun tak ada satu pun panggilannya dijawab. Air mata kesedihan dengan cepat berganti dengan raut emosi. “Berarti selama ini selalu kayak gini. Setiap pulang dini hari beralasan sibuk pasti begini. Kayaknya harus dipanggil ke dalam.” Indah meremas ponsel di tangannya dan melangkah masuk. Langsung menuju sudut tempat di mana tadi Panca berada.

“Gimana, Mbak? Pacarnya sudah datang?” Pelayan yang dari pertama melayani Indah bertanya di dekat pintu masuk. Namun, wanita itu mengabaikannya.

Penglihatan Indah yang buram karena air mata membuatnya tidak melihat orang lain, selain Panca.

“Mas,” panggil Indah pada sosok Panca. Suaranya hilang ditelan hiruk-pikuk musik dan gemuruh suara manusia bersorak untuk penari two in one. Panca masih asyik tertawa dengan satu tangan memeluk pinggang wanita dan tangan lainnya memegang gelas minuman.

Indah mendekat seraya mengusap air matanya. Sosok Panca semakin jelas tapi pria itu membelakanginya. “Mas!” jerit Indah.

Beberapa orang pria di sekitar meja Panca menoleh ke arah Indah bersamaan. Termasuk Panca yang sontak melepaskan wanita yang sedang ia peluk. Indah mulai menangis dengan tangan memegangi perutnya. “Mas Panca …,” panggil Indah.

“Indah! Ngap—Berengsek,” umpat Panca, mendatangi Indah dan menyeret wanita itu keluar. “Rese ya kamu! Ngapain kamu ke sini? Perempuan hamil mana yang masuk klub? Ngapain, sih? Norak!”

Dengan air mata berurai Indah menghempaskan tangan Panca yang menggandengnya. “Berengsek? Rese? Norak? Apa lagi? Suami mana yang nggak pernah ada di rumah tiap istrinya ada di rumah? Siapa perempuan tadi? Siapa?!” Indah tak bisa menahan dirinya untuk tidak menjerit.

Panca membekap mulut Indah karena khawatir pertengkarannya menarik perhatian.

“Lepasin!” pekik Indah, kembali menghempaskan tangan Panca dari mulutnya. “Siapa perempuan tadi? Siapa? Panggil dia keluar atau aku masuk ke dalam!”

“Jangan rese! Di dalam banyak orang kantor. Perempuan tadi bukan siapa-siapa. Cuma orang klub. Dia kerja di sini. Ayo pulang!” Panca memegang pergelangan tangan Indah dan memaksa wanita itu menjauhi pintu masuk klub.

“Berarti Agenda setiap pulang pagi begini terus, kan? Entertain tamu dari luar negeri selalu berakhir dengan bermalam di hotel dengan wanita. Lepasin aku.  Aku mau tahu siapa wanita yang Mas pegang-pegang tadi. Mas itu suamiku!” Makeup yang dipoles Indah untuk dandanan malam mulai luruh karena air mata.

Panca berhasil membawa Indah masuk ke lift dan menekan tombol untuk langsung tiba di parkiran basement. “Diam kamu! Bikin malu suami. Otak kamu dangkal dari dulu. Apa yang bisa kamu lakukan untuk mendukung pekerjaan suamimu selain ngambek, nangis atau membuntuti suamimu sampai jam segini? Ini baju baru, kan?” Panca meremas bagian lengan dress yang dikenakan Indah.

“Lepasin.” Indah menepis tangan Panca. Sorot mata Panca yang geram membuat Indah ngeri.

Panca mencengkeram lengan Indah. Kondisi lift yang saat itu tak ada orang lain membuat Panca leluasa bicara. “Ngapain kamu ke sini? Tahu dari mana kamu? Karena kamu kangen aku? Iya? Ayo kita pulang! Ladeni aku sampai kangen kamu hilang!”

“Lepasin! Sakit, Mas!” Indah berusaha melepaskan tangan Panca di lengannya. Tapi tenaganya kalah dengan Panca yang tersulut emosi.

Ketampanan Panca malam itu sirna seiring tingkahnya yang bak orang gila. Menyeret Indah yang terseok-seok mengikuti langkah kakinya menuju mobil.

Panca diam seribu bahasa dan mengemudi seperti orang kesetanan menuju rumah. Mengabaikan tangisan Indah yang ketakutan karena kecepatan mobil membanting tubuhnya ke sana kemari.

“Aku hamil, Mas. Kasihani aku. Aku hamil anak kamu.” Indah sesegukan.

Panca diam saja. Sampai tiba di rumah, pria itu mengangkat lengan Indah dan menyeretnya masuk ke rumah. “Ayo, masuk. Kita langsung ke kamar. Kamu kangen aku, kan? Aku akan meladeni kamu semalam suntuk.”

“Aku kangen. Tapi nggak kayak gini, Mas. Lepas! Aku mau pulang ke Bandung. Mas nggak boleh gini ke aku. Aku bukan perempuan murahan yang Mas temui di klub. Lepasin aku!”

Indah berusaha melepaskan diri dan mendorong tubuh Panca yang berusaha menindihnya. Jeritannya tak berguna karena Panca meraup bibirnya dengan sangat rakus.

“Aku hamil, Mas. Jangan begini ….” Indah mengiba.

“Dari dulu kamu selalu terobsesi kepengin jadi istriku, kan? Dan kamu jauh-jauh datang dari Bandung memang untuk ini, kan?” Panca menjejalkan pinggulnya di antara paha Indah.

-TBC-

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (25)
goodnovel comment avatar
Febri Yanti
Serem banget kelakuanmu Panca
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
bojo gendeng ...
goodnovel comment avatar
Azzami
kadang males baca Novel yg cewenya kaya indah pdhal lulusan luarnegeri tp goblok kebangetan apa mungkin krn msh awal eps semoga gk smpe end. pengen skip tp sllu penasaran sm karya njus.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Atasanku, Suami Keduaku   ASK-270

    Pintu besar di ruang tamu dibuka oleh Ipul. Senyumnya lebar sekali ketika melihat siapa yang datang. Kehangatan akhir minggu itu sangat terasa.“Bu Sarah, Mas Galih!” seru Ipul. “Hmm … kalau yang ini pasti Mbak Yeni. Saya belum pernah ketemu. Cuma dengar ceritanya aja,” sambut Ipul ramah.Sarah, Yeni, dan Galih datang bersamaan. Galih tampak rapi dengan kemeja biru muda, sebuah hampers buah besar digenggam erat di tangannya. Sarah justru tampil lain dari biasanya. Sarah yang jarang terlihat berpakaian dengan warna mencolok, sore itu memakai blus bercorak bunga berwarna hijau dan bawahannya jeans. Dalam dekapannya ada sebuket bunga mawar putih bercampur lily segar. Tanpa menunggu lama, ia langsung melangkah ke arah Bu Anum yang berdiri tak jauh dari mereka.“Bu, boleh saya minta vas? Biar bunganya tetap segar di meja ruang tamu,” ucapnya cekatan.“Ada, Bu,” sahut Bu Anum.“Saya langsung ke Bapak, ya,” kata Sarah. Sikapnya menunjukkan bahwa ia memang sudah sering berada di rumah itu.Bu

  • Atasanku, Suami Keduaku   ASK-269

    Air hangat beraroma melati memenuhi bathtub. Gelembung busa lembut nyaris menutupi seluruh permukaan air. Indah perlahan menurunkan tubuhnya, lalu merapat pada pelukan Arsya yang sudah duduk di belakang. Kulit mereka bersentuhan, tanpa jarak, hanya dibatasi oleh air yang bergerak kecil.Tangan Arsya melingkari tubuh Indah dari belakang. Satu tangannya langsung menyambut perut yang berbentuk semakin menggemaskan buatnya. Satu tangannya yang lain menyambut payudara yang padat dan berat. Jemarinya tak bisa mengabaikan bentuk puting yang semakin hari amat menggodanya. Desahan tipis dari bibir Indah terdengar saat ia memilinnya.Indah menghela napas pelan dengan mata terpejam menikmati keintiman itu. Lalu, dengan penuh kelembutan, ia mengambil telapak tangan Arsya yang sedang mengusap perutnya dan menempelkannya erat di satu sisi. “Bang, rasain ini. Dia bergerak,” bisiknya nyaris tak terdengar di sela percikan air.Arsya menahan napas, lalu senyum hangat tersungging ketika terasa gerakan k

  • Atasanku, Suami Keduaku   ASK-268

    Pinggul Arsya bergerak berulang dengan ritme yang makin cepat. Suara basah beradu memenuhi kamar. Maternity dress berwarna merah itu berkibar-kibar mengikuti hentakan. Rambut Indah berantakan menempel di kening, tubuhnya bergetar hebat menahan sensasi yang terus-menerus menghantam. Desah yang semakin keras pun tak terhindarkan.Arsya menekan dalam, menyentak pinggul. Mengangkat bagian dirinya dari setiap sisi, lalu menghantam lagi sampai ke ujung terdalam. Setiap hentakan membuat Indah mencengkeram seprai lebih keras, tubuhnya tersentak dengan sensasi perutnya bergetar.Gerakan itu menjadi semakin liar. Semakin keras dan semakin basah yang bercampur dengan suara tubuh beradu. Arsya mendorong lebih dalam, lebih kasar, menahan pangkal bagian tubuhnya di dasar hingga ia bergetar, penuh, menumpahkan kehangatannya sampai selesai.Di saat yang sama, tubuh Indah menegang dengan punggung melengkung. Dengan wajah merona ia tahu kalau kehangatannya kini menyatu dengan milik Arsya. Menambah keba

  • Atasanku, Suami Keduaku   ASK-267

    Indah membuka mata, menoleh pelan, lalu tersenyum. “Capek sedikit, tapi seneng banget. Rumah keluarga Subianto selalu rame dan hangat. Aku beruntung bisa ada di tengah-tengah mereka … dan di samping Abang.” Ia membalas uluran tangan Arsya dengan meletakkan punggung tangan itu ke pipinya.Kata-kata itu membuat dada Arsya menghangat. Ia meremas tangan Indah lebih erat, lalu membawanya ke bibirnya, mengecup punggung tangan itu tanpa melepas pandangan dari jalan. “Abang ngerasa lebih beruntung, In. Banyak hal yang membuat Abang berpikir seperti itu. Terutama dengan yang terjadi belakangan ini.”“Aku cinta Bang Asa,” ucap Indah, menatap sendu tangannya yang masih dikecupi Arsya.“Abang lebih cinta sama kamu,” sahut Arsya, kembali mengecup punggung tangan Indah.Malam bergulir semakin larut. Setelah membereskan beberapa hal soal pekerjaannya, Arsya melepaskan jubah tidurnya dan merangkak naik ke ranjang menyusul Indah yang sudah bergulung beberapa saat yang lalu.“Jangan tinggalin Abang tid

  • Atasanku, Suami Keduaku   ASK-266

    Ari Subianto mengangguk. “Beberapa kali Ayah mendapat laporan kalau barang dan faktur tidak sesuai. Bahan kimia juga berkualitas rendah. Dipasok dari tangan entah keberapa. Akhirnya … Ayah memutuskan kalau dalam bisnis ini Ayah tidak boleh hanya bermodal kasihan. Ayah memutuskan kontrak perusahaan Ayah Mika. Saat itu … Ayah juga sedang sibuk. Jadi, bisa dibilang pemutusan itu memang bukan Ayah langsung yang melakukannya. Bukan karena Ayah pengecut, tapi secara teknis hal itu sudah benar.”“Setelah itu katanya Ayah Mika sakit dan nggak lama meninggal. Sarah yang tau informasinya. Hutang ayahnya Mika banyak sekali. Sepertinya terlibat dengan judi dan wanita. Sepertinya belakangan Mika sudah tau kalau ayahnya punya wanita lain karena pada saat meninggal ada wanita yang ikut datang. Karena berita itu … ibunya stroke. Diam-diam Ayah memberi Mika beasiswa. Sampai dia selesai kuliah dan kerja di perusahaan minyak Inggris. Lalu … kembali ke Jakarta malah kerja sama Eric.” Saat mengatakan itu,

  • Atasanku, Suami Keduaku   ASK-265

    “Punya foto begitu? Maksudnya? Foto sama almarhumah Mama?” Arsya belum mengerti maksud Indah. Istrinya itu masih tertegun di depan lemari.“Maksud aku … foto di depan gedung ini. Kayanya aku juga pernah juga foto di depan ini.” Meski mengatakan itu, dahi Indah mengernyit tak yakin. “Itu di bagian samping rumah sakit Singapura,” jawab Arsya. “Kira-kira kapan kamu foto di sana?” Raut Arsya mendadak serius.“Kapan, ya? Aku juga lupa. Ini bener di Rumah sakit Singapura? Kenapa aku jadi nggak yakin. Aku kuliah di Politeknik Singapura tiga tahun. Abang pasti pernah baca di CV-ku. Belum lama selesai. Bisa jadi aku foto di tempat lain yang gedungnya mirip dengan ini.”“Kamu punya fotonya? Di mana? Di Bandung?” Arsya jadi ikut penasaran.Indah kemudian menegakkan tubuh seraya mengusap perutnya. “Semakin didesak aku semakin nggak yakin. Nggak perlu terburu-buru, kan? Kalau kita ada waktu ke Bandung, nanti aku cari di kamar.”“Foto itu….”“Bang!” Suara Laras kembali terdengar. Ia mendekat dan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status