Macarons berwarna ungu dan dua gelas affogato di meja sudut, Ten Belles cafe milik Dio. Aku masih diam, cemberut dan mengabaikan tatapan ingin tahu dari dua netra bulat milik sahabatku. Sebab pikiran, sedang terbagi menjadi beberapa bagian. 50% di Indonesia dengan 'dia' si pemeran utama, 25 % di Belle Epouqe dengan dua Squishy yang menyebalkan dan 25 % lagi entah berada di mana. Berjalan-jalan, menghambur tak tahu arah.
Intinya, aku sedang dalam mode bodoh!
"Jadi siapa gadis kembar menggemaskan yang manggil kamu Aunty?"
Aku mendelik ke arah Dio sebagai tanda tak ingin diusik, namun laki-laki pendiam itu masih saja sibuk menelisik.
"Oke ... oke. Aku ketemu dua squishy itu kemarin pagi di bandara."
"Jadi itu cucu nenek Willie," gumam Dio.
Aku mengernyit. "Cucu?"
"Benar, cucu pemilik rumah kita," jawab Dio seraya menyesap affogato miliknya.
"Oh ... si tampan itu anak nenek Willie." Aku balas bergumam.
Kini, Dio yang mengernyit. "Anak nenek Willie itu perempuan."
"Berarti itu menantu nenek Willie," jawabku seraya mencebik.
Dio terkekeh, "Kenapa? Apa kamu mau mengganti 'target' ke menantu nenek Willie?"
Aku memukul lengannya; keras. Dio mengerang kesakitan namun tetap tersenyum. Seandainya bukan sahabatku yang mengatakan itu, mungkin aku sudah menendangnya ke Mandenhall dan membeku di sana.
Tiba-tiba, hatiku tercubit.
Apa aku semurahan itu?
"Aku bercanda," gumam Dio lirih. Ia meraih jemariku dan mengusapnya lembut.
"Aku nggak semurahan itu ya Dio," jawabku lirih. Aku masih memindai gelas affogato yang tersisa separuh. Seperti perasaan, yang masih separuh rela dan separuh lagi tidak. Terkait dia, yang menjerumuskan diriku pada satu kata bernama 'hina' dalam perspektif siapa saja.
Mungkin, dalam perspektif Tuhan sekalipun!
"Lantas, bagaimana keputusan akhirnya?"
Aku menggeleng, sebagai tanda bahwa buntu. Aku tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana.
"Entahlah."
"Dan bagaimana kariermu di sana?"
Kembali, aku menggeleng. Mata menoleh ke arah luar jendela, dengan lalu lalang orang-orang bergandengan tangan. Menikmati sore hari di Paris yang romantis.
Duh ... Anye, apa kabar hatimu?
"Aku sudah kehilangan segalanya, Dio."
Mata masih enggan beranjak dari pemandangan harmonis di luar sana. Dengan tawa ceria anak-anak kecil berlarian dan kedua orang tua mereka tersenyum bahagia di belakang. Aku dan 'dia' juga sudah memiliki rencana itu sejak lama. Jauh; sejak dulu. Sejak awal jalinan kisah yang ditanam dengan segala bumbu manis di dalamnya. Sialnya, Tuhan selalu mempunyai berbagai cara untuk membuat semuanya berbeda dengan alur yang diingini oleh manusia.
Aku kehilangan dia, lalu setelah dengan bodoh termakan ucapannya lagi, aku menemukan diriku rela menjalani sebuah hubungan yang kotor di belakang pemiliknya.
Di belakang istrinya.
"Kamu tahu, ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku," ucap Dio pelan. Aku menoleh ke arahnya. Menatap sepasang netranya yang jernih. Dia adalah salah satu orang terdekatku selama ini. Menjadi sandaran setiap kali aku merasa begitu bingung dengan apa yang terjadi. Meski, nyatanya setiap kali aku buta akan perasaan cinta 'yang salah', aku lagi dan lagi selalu melupakan dia.
Beruntungnya aku, dia tetap tak meninggalkanku.
"Kenapa?"
"Sebab aku merasa lega akhirnya hubungan terlarang kamu diketahui banyak orang. Itu berarti ... kamu akan berhenti selamanya," gumamnya seraya menatap mataku lekat.
Aku menghela napas berat. "Kamu ... jahat, Dio."
"Aku selalu pengen kamu dapat yang terbaik, Anye."
"Tapi aku mencintainya," kilahku kasar.
"Suami orang lain?"
"Dia lebih dulu jadi pacarku. Selama 6 tahun kami menjalin kasih. Laki-laki yang menemani masa-masa sulitku menjalani karir, casting di mana-mana. Dia yang selalu mengatakan kalimat-kalimat penenang tentang aku yang akan menjadi aktris hebat. Dia ... dia ... dia kekasih aku, Dio."
Aku menangis. Memejamkan mata dan luahan kekesalan terus luruh. Fakta yang aku sebutkan tetaplah tidak membantu sedikitpun. Fakta yang aku urai tetaplah tidak berarti apa-apa; kini. Sebab sejatinya, fakta itu, tak ada orang yang ingin tahu. Mereka-mereka itu hanya ingin tahu satu hal.
Mengapa aku menjalin cinta dengan laki-laki yang sudah beristri?
"Tapi dia sudah jadi suami seseorang, Anye," ucap Dio pelan. Dia mengusap tanganku lembut. Perlahan, ibu jarinya menghapus air mataku.
"Sialannya kamu benar soal fakta itu." Dan aku kembali tergugu. Mengingat kembali runyamnya perasaan yang telah lama dibangun untuk kemudian mengambil alur yang salah. Hingga, saat sorot kamera dan bisik-bisik orang menghakimi; pembelaan apapun yang aku ucapkan adalah pembenaran yang tak dapat dilakukan!
"Aunty!"
Aku dan Dio kompak menoleh, ke arah jam 12 di dekat pintu masuk. Dua makhluk kecil dengan rambut panjang itu tertawa seraya berjingkat-jingkat riang. Mereka bersama ayahnya, dengan wajah dingin dan ekspresi datar khas dirinya.
"Dua keponakan lucumu datang, Nye," gelak Dio. Dia melambaikan tangan ke arah dua squishy itu hingga mereka memburu dengan tawa yang lebar.
"Ayah, ayo duduk di sini," ujar salah satu di antara mereka berdua. Nama mereka; aku hafal. Thea – Anna. Tapi yang mana Thea dan yang mana Anna, pun aku tidak tahu. Mereka seperti satu orang yang sama. Padahal, setidaknya mereka harus botak salah satu, agar aku bisa dengan mudah membedakan. Layaknya Upin dan Ipin.
Ah ... Nye, bicara apa kamu!
"Hey, squishy, duduk di kursi lain saja," pungkasku ketus.
"Benar sayang, kalian tidak boleh duduk dengan nenek sihir itu."
Aku mendelik mendengar perkataan ayah mereka. Apa dia bilang?
Ne – nenek sihir?
"Hey! Apa maksudmu nenek sihir?"
"Kamu ... seperti itu," jawabnya dingin.
Aku menghela napas kasar. Meniup sebagian poni dan berkacak pinggang.
"Nggak ada nenek sihir secantik aku, omong-omong," jawabku tak mau kalah.
"Kamu nggak cantik, omong-omong," jawabnya semakin menyebalkan.
Aku menoleh ke arah Dio. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu seraya tersenyum. Dua makhluk kecil seperti squishy itu juga terkekeh, menyaksikan perdebatan antara aku dan ayah mereka.
"Hey squishy, bilang dengan jujur dan nanti aku beri kalian izin duduk di sini. Apa aunty cantik atau cantik sekali?"
Dua squishy itu saling pandang untuk kemudian beralih memandang ayahnya. Dari interaksi yang dapat dibaca, aku melihat ayahnya menggeleng sebagai tanda bahwa mereka mungkin menjalin kerjasama untuk melawanku. Tapi kita lihat, apa squishy itu mau berkubu denganku atau ayahnya?
"Aunty cantik sekali," jawab mereka kompak seraya mengacungkan dua jempol di masing-masing tangan pendek mereka.
Aku mencebikkan bibir ke arah ayah mereka. "Kalian pintar. Aku traktir ice cream dan mintalah pada paman ini, oke." Aku menunjuk ke arah Dio yang kembali tergelak. Dua makhluk kecil itu pun terlonjak dan sibuk mengikuti Dio dan memilih menu. Biar saja, Dio yang bayar. Ini cafenya, dua cone ice cream tidak akan membuat Ten Belles cafe bangkrut, kan?
"Cara yang licik untuk mendapatkan pengakuan, Mademoiselle."
Aku tidak tahu, dia tinggal di kutub mana. Sebab nada suaranya sedingin es, juga tatapannya yang selalu nampak datar. Atau mungkin dia pernah terlantar di Mendenhall, Alaska?
"Aku memang cantik hingga tanpa harus melakukan tipu daya, pun orang akan mengakui," jawabku jemawa.
"Tapi sayangnya, cantikmu tidak kau gunakan untuk sesuatu yang baik, kan?"
Aku mengernyit dan dia hanya mengendikkan bahu. Mulai kesal, sebab nada bicara dan apa yang diucapkannya seperti mengindikasikan sesuatu.
"Apa maksud kamu?"
"Kamu nggak perlu marah, Mademoiselle."
"Kamu ngejek aku?"
"Soal?"
"Jangan berputar-putar! Kamu ngejek aku? Kamu lagi ngomongin apa sebenarnya, huh!"
"Kamu murahan, omong-omong. Perempuan-perempuan seperti kamu memang layak disebut nenek sihir, Mademoiselle."
Dan dari sekian banyaknya hujatan serta makian yang dilontarkan orang-orang, kali ini –sungguh kali ini- aku benar-benar merasa seperti dihantam gada. Kepalaku berat dan menyesakkan dada. Sebab, hinaan yang dilontarkannya –yang tidak tahu apa-apa ini- menjadi penghinaan yang menyakitkan.
Hingga, saat pergerakan tangan lepas dan mendarat di pipinya ....
Sial!
Aku memang menamparnya tepat ketika dua squishy itu berteriak.
"Aunty, kenapa menampar ayah?!"
***
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.