Televisi menyala, namun bukan Aurora yang menonton nya melainkan televisi yang menonton diri nya. Sean yang baru masuk langsung mematikan televisi lalu menghampiri Aurora yang masih terlelap. Sungguh, wajah polos itu mampu membuat hati Sean menghangat.
Sean berlutut, mengusap lembut pipi putih milik Aurora. Bibir Sean melengkung, memancarkan senyum yang tak di lihat oleh Aurora. Gadis itu tiba-tiba menggeliat, Sean buru-buru berdiri.
"Sudah bangun?" tanya Sean membuat Aurora langsung duduk.b
"Maaf, aku ketiduran." ucap gadis itu dengan suara serak khas bangun tidur.
"Ayo pergi, sekarang jam makan siang. Cuci dulu wajah mu." perintah Sean lalu bergegas Rora pergi mencuci wajah nya.
Sean dan Aurora juga Julian pergi makan siang di restoran langganan mereka. Gadis itu tidak banyak bicara, seakan hidup nya sangat membosankan.
Sean memesan banyak makanan, mereka makan saling mengobrol terkecuali Aurora. Gadis itu tidak mengerti apa yang di bicarakan oleh Sean dan Julian."Sean...." sapa Alice dari arah belakang.
Sean memutar bola mata nya malas lalu bertanya, "Mau apa kau?"
"Bisa kita bicara sebentar? bisakah kau menyuruh mereka pergi?" pinta Alice pada Sean membuat Julian menghardik perempuan itu.
"Seperti nya tidak ada yang harus di bahas." sahut Sean membuat Alice mengepalkan ke dua tangan nya.
Alice menoleh ke arah Aurora, "Mata mu buta, kenapa kau menikahi gadis kampungan ini?" tanya Alice mencibir.
Aurora hanya diam, gadis itu tak ingin mencari keributan. Namun berbeda dengan Julian yang tidak terima. "Yang kampung itu adalah kau!" hardik Julian "Sudah tahu Sean sudah menikah memiliki istri, masih saja mengharapkan suami orang." kata-kata Julian membuat Alice terdiam.
Sean menyunggingkan senyumnya, pria itu dengan sengaja menyuapi istri nya. "Makan yang banyak, jika perlu aku akan membeli restoran ini untuk mu." ucap Sean semakin membuat Alice cemburu. Gadis itu memutuskan untuk pergi, harga diri nya sudah terinjak-injak.
Selesai makan siang, Sean dan Aurora langsung pulang ke mansion sedangkan Julian kembali ke perusahaan. Masih sama, gadis itu hanya diam saja sepanjang perjalanan Pulang.
"Apa kau ingin membeli sesuatu?" tanya Sean membuyarkan lamunan istrinya. "Katakan saja, aku akan membelikan nya untuk mu." timpal Sean membuat Aurora berpikir sejenak.
"Aku suka melukis, bisakah kau membelikan ku alat lukis?" gadis itu meminta.
"Apa kau benar-benar bisa melukis?" tanya Sean tidak percaya.
"Ya, aku belajar melukis dari barang-barang peninggalan almarhum ibu ku." jawab nya, ada nada sedih ketika Aurora menekan kata almarhum ibu.
Tak terasa mobil Sean sudah berhenti di depan toko yang menjual peralatan melukis. Sean mana tahu benda-benda itu, lelaki itu hanya mengekor di belakang istri nya.
"Ambil apa yang kau mau dan kau butuhkan." kata Sean agar gadis itu tidak sungkan. Setelah mendapatkan alat lukis nya, Sean langsung membayar semuanya."Ada yang ingin kau beli lagi?" tanya nya menawarkan kembali.
"Tidak ada...!" jawab singkat Aurora.
Mereka akhirnya pulang, sungguh sangat membosankan. Entah gadis ini memang pendiam atau takut kepada Sean? Aurora akan bicara jika Sean yang mengajak nya bicara terlebih dahulu.
"Di mulai hari ini dan seterusnya, kau akan ikut aku pergi ke kantor." Sean memberitahu.
"Iya..." sahut Aurora sesingkat mungkin.
"Ck....bisakah kau berbicara atau mengobrol?" Sean berdecak kesal pada istri nya.
"Apa yang harus di obrolkan?" tanya Aurora bingung.
"Terserah apa pun itu...! masa kecil mu atau apa lah...!" seru Sean mulai merendahkan intonasi nya.
"Tidak ada yang bisa aku ceritakan tentang diri ku. Aku tidak punya kenangan apa pun, ibu meninggal di saat aku masih bayi, ayah tega menjual diri ku pada diri mu." Aurora berkata dengan nada sedih.
Sean langsung mati ucap, diri nya tahu jika kehidupan Aurora sangat lah menyedihkan. "Kalau pun bunuh diri tidak berdosa, sudah sejak lama aku melakukan nya." ucap gadis itu membuat Sean menghentikan laju mobil nya. Aurora langsung tertunduk takut."Jangan mengatakan hal apa pun tentang kematian. Aku tidak suka!" ujar Sean kemudian melajukan mobil nya kembali.
"Apa aku salah?" lirih Aurora namun tidak di tanggapi oleh Sean.
Sesampainya di mansion, Aurora bergegas masuk ke dalam kamar nya tanpa mengingat barang belanjaan nya. Sean hanya membuang nafas kasar, kemudian menyusul.
"Paman, bawa masuk barang belanja Rora." perintah Sean pada paman Smith.
Sean membuka pintu kamar istri nya, ia melihat Aurora yang sedang menghapus air mata nya kasar. Tanpa kata-kata bahkan izin dari Aurora, Sean masuk lalu memeluk gadis itu. Sejenak tubuh Aurora kaku, saat kesadaran nya kembali, gadis itu mendorong tubuh Sean namun tenaganya kalah kuat.
"Menangis lah jika kau ingin menangis." bisik Sean di telinga gadis itu hingga membuat air mata yang sempat terhenti kini membanjiri kembali pipi mulus nya.
Gadis itu terisak, tangis nya pilu. "Kenapa ayah tega menjual anak kandung nya sendiri?" gadis itu tanpa sadar mempertanyakan hal itu.
"Kau masih beruntung di jual ayah tiri mu pada ku, bagaimana jika kau di jual pada orang lain?" Sean membuka suara, namun ia tidak sadar telah menekan kata ayah tiri.
Aurora melepas pelukan Sean lalu gadis itu bertanya. "Ayah tiri...!" Aurora mengulang perkataan Sean. "Apa maksud mu?" tanya Rora bingung.
Sean yang tersadar akan ucapan nya hanya bisa berkata jujur, "Ya, dia bukan ayah kandung mu. Ayah kandung mu telah meninggal sejak kau berumur satu bulan." Sean memberitahu apa yang sebelumnya di beritahu oleh Frans.
"Dari mana kau tahu?" tanya Aurora tidak percaya.
"Ayah tiri mu yang menceritakan semua nya pada ku!" ujar Sean membuat gadis itu terduduk lemas di lantai. Ada duri yang tiba-tiba menancap di ulu hati nya.
"Kenapa kau tidak memberi tahu ku?" suara Aurora terdengar dingin.
"Aku tidak ingin membuat mu sedih!" seru Sean.
Aurora mengangkat wajah nya, ada kemarahan dan kebencian yang terpancar jelas lewat sorot mata nya. "Bukankah kau telah membuat hidup ku menjadi menyedihkan ketika hari itu? lalu apa beda nya kau dan dia?" Aurora memaksakan senyumnya.
"Aku minta maaf, tapi kenyataan itu juga aku baru tahu sahari sebelum kita menikah." Sean mulai merasa bersalah.
"Tinggalkan aku sendiri. Aku butuh waktu!" pintanya tanpa menatap wajah Sean. "Ku mohon...." timpal Aurora.
Mau tidak mau Sean keluar dari kamar Aurora, pria itu dapat mendengar dengan jelas suara tangis pilu dari gadis itu. Sean mulai menerawang kebelakang, lelaki ini mulai merasa bersalah sekarang.
Hingga menjelang makan malam, gadis itu tidak keluar dari kamar nya. Bahkan perintah Sean untuk memasak pun di abaikan oleh gadis itu.
Sean mulai gelisah, pria itu menyuruh paman Smith untuk membujuk Aurora namun gadis itu masih dia di dalam kamar nya. Sean semakin khawatir, mau tidak mau Sean mengeluarkan kunci cadangan. Sean menghela nafas lega ketika melihat istri nya tertidur. Gadis itu meringkuk, wajah nya merah mata nya sembab.
"Raa...." panggil nya lembut. "Rora bangun..." Sean mentoel pipi istri nya.
Aurora yang terkejut langsung bangun dan mundur ke belakang. "Dari mana kau bisa masuk?" tanya gadis itu panik.
"Aku pemilik rumah ini, sudah pasti aju banyak menyimpan kunci." sahut Sean dengan santai nya. "Kau belum makan, ayo makan malam." ajak Sean.
"Aku tidak lapar!" sahut Aurora.
Tanpa berkata-kata lagi, Sean langsung mengangkat tubuh gadis itu lalu membawa nya ke meja makan. Paman Smith yang melihat kejadian itu menahan tawa nya.
"Jika kau tidak makan, aku akan menyuapi mu." ancam Sean.
Aurora yang kesal langsung memakan makanan nya. Sean hanya melirik, menahan tawa apa lagi wajah gadis itu seperti badut sekarang.Selesai makan malam, Aurora langsung kembali ke kamar. Pergi mandi dan berendam air hangat untuk membuang kenyataan hidup nya. Mau marah pun percuma, semua sudah terjadi.
"Cepat katakan pada ku, Jhon. Apa tujuan mu yang ingin menghabisi keluarga ku?" Sekali lagi Andreson bertanya pada Jhon yang sampai saat ini masih tidak mau membuka suara. "Papi,.....!!" Lirih Alice memalingkan wajahnya saat melihat tuan Andreson menginjak bekas luka tempak di kaki Jhon. Cuiiiiih............Jhon yang tidak memiliki rasa takut meludahi sepatu milik Andreson. Anderson menoleh ke atas bawah, pria ini merasa jijik lalu mengusapkan sepatunya ke arah wajah Jhon. Emosi Andreson telah memuncak, pria paruh baya ini dengan bringas menembaki tubuh Jhon. Dor.....Dor.....Dor.....Dor......Empat peluru bersarang tepat di dada Jhon, Alice yang melihat hal tersebut tentu saja histeris. Jhon di tembak mati tepat di depan mata anaknya. "Papi,....papi......papi.....!!" Alice berteriak histeris, ingin rasanya wanita ini menghampiri tubuh Jhon tapi apa daya ia sendiri di kurung di kurungan yang berbeda. "Kedua anak ku telah merasakan kehilangan salah satu orang tua. Bagaimana A
"Oh, badan ku sakit semua. Apa ini yang di rasakan Aurora saat aku menyuruhnya menguras kolam renang?" Batin Sean. Sean memijat sendiri tangan dan kakinya yang terasa lelah. "Pegal ya?" Tanya Aurora yang sebenarnya sudah tahu jawabannya."Aku minta maaf karena aku pernah menyuruh mu menguras kolam renang waktu itu," ucap Sean merasa bersalah. "Makanya, kalau mau melakukan sesuatu itu di pikir dulu. Tidak semua orang memiliki tenaga yang kuat." Sean menggesekkan kepalanya di pundak Aurora. "Aku benar-benar lelah. Tangan dan kaki ku sakit sekali, aku tidak bisa tidur!" Keluhnya. "Berbaringlah, aku akan memijat mu!" "Tapi sudah malam, kau harus segara tidur!" "Tidak apa-apa. Baru jam sepuluh malam,aku akan memijat mu setengah jam!" "Seriusan?" Tanya Sean memastikan. "Tapi tidak gratis!" Ujar Aurora yang mencari kesempatan. "Katakan, berapa yang harus aku bayar?" "Tidak mahal, cukup ajak aku pantai. Aku rindu suasana laut!" "Hanya itu?" "Ya," jawab Aurora singkat. "Baiklah,
"Di mana Daddy dan kak Sean?" Tanya Allena penasaran. "A-ada,...!" jawab Rora gugup. "Mereka sedang ada pekerjaan!" Allena mengerutkan keningnya heran dengan sikap Aurora yang terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. "Kak, apa kakak sakit?" Tanya Allena penasaran. "Aku baik-baik aja. Allena, apa aku boleh bertanya sesuatu pada mu?" "Katakanlah, apa kak?" "Tentang kakak mu, apa dia tidak memiliki kekasih?" Tanya Aurora membuat Allena tertawa. "Kulkas delapan pintu seperti kak Sean tidak akan ada perempuan yang bisa meluluhkan hatinya. Percayalah!" "Kulkas delapan pintu, apa dia sedingin itu?" "Kak, lihatlah kehidupan kak Sean. Hidup menyendiri di tengah hutan, kakak saja yang mau jadi istrinya!" Allena mengupas menertawakan kakaknya sendiri. Menurut Allena, Sean sangat aneh yang tidak mau tinggal di tengah keramaian. "Jangan takut untuk jatuh cinta dengan kak Sean. Dia adalah tipe laki-laki setia," ucap Allena. "Dia pernah menyiksa ku," adu Aurora. "Hah? menyiksa bagaimana
Aurota langsung menutup matanya saat Sean menunjukan keadaan Alice yang sudah tak beraturan. Wajahnya yang memar bahkan luka ada di mana-mana. Rambut Alice di potong acak-acakan, Aurora merasa kasihan pada wanita yang sudah menculiknya ini. "Aku tidak mau melihat dia,"ucap Aurora yang masih menutup kedua matanya. "Siapa pun yang berani menyentuh mu, akan ku buat dia jauh lebih menderita." Ujar Sean yang menatap tajam ke arah Alice. "Kau sudah melewati batasan mu Sean!" Ucap Alice yang masih memiliki tenaga. "Batasan mana yang aku lewati?" Tanya Sean dengan wajah dinginnya. "Bisa-bisa kau lebih memilih perempuan yang baru kau kenal di banding aku yang sudah mengenal mu sejak kecil. Kau benar-benar keterlaluan Sean!" "Kau lupa di saat keluarga mu sedang berduka aku dan anakku lah yang sudah menghibur mu dulu," ucap Jhon mengingatkan. "Dan kau pasti masih ingat yang sudah membuat aku dan anak ku berduka?" Suara berat Andreson mengejutkan mereka yang ada di dalam ruangan tersebut
Kembali pulang ke mansion, Aurora langsung masuk ke dalam kamar nga sedangkan Sean pergi ke salah satu tempat yang ada di mansion nya. Wajah nya dingin, bahkan paman Smith tidak berani untuk menyapa pria yang terlihat sedang marah sekarang. Langkah Sean yang lebar, membuat nya sedikit cepat dalam berjalan. Dua orang pria bertubuh besar membukakan pintu untuk pria itu, Sean masuk lalu pintu tersebut di tutup kembali. Yang ada dalam pikiran Sean, wajah memar Aurora yang sampai sekarang belum memudar. Benarkah laki-laki ini telah jatuh cinta pada Aurora? sedangkan pernikahan nya hanya tinggal beberapa bulan saja. "Sean, lepaskan aku!" teriak Alice ketika wanita itu melihat Sean dari balik jeruji besi. Sean tak bergeming, wajah pria itu semakin dingin. Sean memandang lekat rambut panjang Alice, bibir Sean langsung tersungging. "Apa Jhon Charles sudah mati?" tanya Sean dengan suara berat nya. "Lepaskan aku Sean, bagaimana bisa kau memperlakukan teman masa kecil mu seperti ini?" lagi-l
Alice memainkan gunting di tangan nya, wanita itu tersenyum licik memandang Aurora yang sedang ketakutan. Jhon melipat ke dua tangan nya, pria itu sangat mendukung apa yang di lakukan oleh anak nya. Alice maju selangkah, membuat Aurora mundur dengan sisa tenaga nya. "Jangan sakiti aku!" mohon Aurora namun nyata nya Alice masih mencoba menakuti Aurora. "Kau sudah menghalangi ku untuk mendapatkan Sean. Jadi, kau harus lenyap agar aku bisa menjadi satu-satu nya ratu dalam hidup Sean." ucap Alice dengan bangga nya. Sementara itu, Sean dan Julian cukup kesulitan untuk mencari Aurora. Sudah berapa kali Sean berusaha melacak keberadaan istri nya namun tidak bisa. "Seharusnya, menurut pelacakan ku Aurora ada di sekitar sini." ujar Sean bingung. "Apa kau yakin, apa chip itu bekerja dengan baik?" tanya Julian memastikan. Sean kemudian menunjukkan ponsel nya pada Julian, seharusnya Aurora ada di lorong ini namun mereka tidak menemukan siapa pun di sini. Sean kemudian melanjutkan pencarian n