LOGINFreddy, setelah kejadian itu, pulang dengan tangan gemetar. Ia seperti orang kehilangan akal. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa takut sekali. Takut jika Aluna membencinya. Takut jika Aluna tidak mau mendengarnya lagi. Takut kehilangan kesempatan satu-satunya untuk menebus kesalahannya. Freddy akhirnya mencoba menghubungi Aluna lewat nomor yang dia dapat saat Aluna membayar di minimarket, kasir tanpa sengaja menyebut dua digit terakhir nomor Aluna, Freddy kemudian mencari sisanya lewat teknik kecil, menebak melalui aplikasi penyedia nomor dan coba-coba mengontak. Freddy mengirim pesan panjang, “Aluna… maaf kalau aku bikin kamu takut. Aku cuma ingin bicara lagi. Aku cuma ingin menjelaskan semuanya. Kalau kamu tidak mau ketemu, tidak apa. Tapi tolong… beri aku satu kesempatan.” Aluna membaca pesan itu dan langsung mematikan ponselnya. Bukan karena benci, tapi karena dia takut kalau semua itu benar. Tiga hari kemudian, Aluna sudah tidak kuat lagi menyimpan semuanya
Hujan baru saja berhenti, udara sore masih lembap. Aluna keluar dari minimarket kecil dekat kos temannya, membawa dua botol minuman dan roti. Ia ingin kembali ke mobil teman-temannya yang sedang parkir. Saat berjalan melewati rak buah di depan minimarket, seseorang menabraknya pelan dari sisi kanan. Bukan keras, tapi cukup membuat botol minuman bergoyang. Suara seorang lelaki pelan terdengar, “Maaf… Luna?” Aluna menoleh. Dan di sana, berdiri pria yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya selama dua minggu terakhir. Freddy. Pakaiannya sederhana, kemeja coklat gelap, tangan masih memegang kantong belanja, wajahnya tampak lebih lelah dari terakhir kali. Ada kantung mata yang dalam, ada napas yang tertahan lama. “Om… Freddy?” Freddy tersenyum kecil, namun gugup, “Iya. Kamu sendiri? Sudah mau pulang?” “Iya, ini habis beli minum.” Ada keheningan aneh di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang menggantung… sesuatu yang tidak bisa dihindari. Freddy menelan ludah perlahan
Tiga hari setelah Freddy duduk diam di seberang Cafe Selaras, Aluna sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Mobilnya sedang berada di bengkel. Sore itu gerimis kota pesisir memiliki bau hujan yang khas, asin laut bercampur tanah basah. Aluna memeluk totebag ke dadanya, buru-buru berjalan agar tidak terlalu basah, saat menyeberang trotoar menuju halte, langkahnya terpeleset kecil karena batu jalan yang licin. Seseorang sigap menangkap lengannya. Freddy. Tangan pria itu besar, hangat, kuku-kukunya bersih tapi ada garis bekas kerja kasar. Gerakannya spontan, refleks, bukan rencana. “Ah—! Maaf, saya— hampir jatuh…” seru Aluna. Freddy melepas perlahan agar tidak membuatnya takut, “Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja?” Aluna mengangguk cepat, sedikit kikuk. Ia menatap wajah Freddy. Mata itu… tajam, tapi bukan menghakimi. Lebih seperti seseorang yang sudah terlalu banyak hidup dan terlalu banyak kehilangan. Aluna tidak mengenalnya. Tapi entah kenapa, ia merasa
Hujan akhirnya berhenti ketika senja mulai turun.Langit berubah menjadi ungu gelap, seolah menyerap seluruh kesedihan yang menggantung di udara.Freddy berjalan tanpa arah.Langkahnya berat, tidak tergesa, tidak pula yakin.Hanya berjalan.Ia berakhir di dermaga tua — tempat nelayan biasanya menambatkan perahu saat malam tiba.Papan kayu jembatan itu basah dan berderit pelan saat ia melangkah menuju ujungnya.Ia duduk.Tanpa payung, tanpa berteduh.Membiarkan sisa hujan menetes dari rambutnya dan kelembaban menyerap ke pakaiannya.Tangannya terasa gemetar.Bukan karena dingin, tapi karena kenyataan yang baru saja menghantamnya keras.“Aluna… anakku…”Suara itu keluar pelan, serak, hampir tidak terdengar.Seolah ia takut kalau dunia akan mendengar dan menertawakannya.Matanya menatap permukaan laut. Gelap, beriak, tidak memantulkan cahaya apapun.Seperti hidupnya.Selama bertahun-tahun di penjara, ia menahan marah, menahan dendam, menahan frustasi.Ia yakin Riana menghancurkan hidupn
Sore itu, langit di atas kota pesisir tampak mendung, udara membawa aroma garam laut bercampur hujan yang sebentar lagi turun. Freddy melangkah perlahan di sepanjang jalan kecil menuju Selaras Café, tempat yang sejak lama ia dengar dari orang-orang sebagai milik Dara dan Arga. Dan konon, dikelola oleh seorang wanita bernama Riana. Nama itu membuat dadanya sesak setiap kali ia dengar. Tangannya gemetar ketika hendak membuka pintu kafe. Ia tak tahu apa yang akan dikatakan jika benar Riana ada di sana. Apakah ia pantas menemuinya setelah semua yang telah terjadi? Namun hati kecilnya terus berbisik, "Setidaknya sekali saja… biar aku bisa minta maaf…" Langkahnya baru dua meter dari pintu ketika seseorang keluar dari dalam kafe. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan mata tajam, Adrian Wilson Anggara. Adrian baru saja menutup percakapan telepon dengan salah satu staf cottage-nya. Namun begitu melihat sosok pria berjaket lusuh dengan tatapan bimbang di depan pintu k
Aluna sedang liburan singkat ke kota tempat dulu ibunya pernah tinggal, bersama tiga teman kampusnya. Mereka mencari tempat nongkrong yang “vintage dan tenang”. Salah satu temannya merekomendasikan sebuah kafe yang katanya punya vibe klasik dan tenang “Cafe Purnama”. Freddy sekarang sudah jauh berubah. Rambutnya memutih sebagian, wajahnya terlihat lelah namun berwibawa. Ia bekerja sebagai pengurus kebun kecil milik seorang kenalannya di luar kota.Pak Anggara, orang tua Freddy dan Adrian sudah meninggal dunia, kemudian perusahaannya bangkrut karena di kelola oleh asistennya, yang ternyata punya niat jahat. Sehingga saat Freddy keluar penjara, semuanya sudah hancur, dan berujung malapetaka. Semua harta maupun aset yang di milikinya semuanya hilang dan tak tersisa apapun untuknya.Yang tersisa hanya pakaian di badannya saja yang dia pakai saat keluar dari penjara.Pada akhirnya, dia hanya bisa menjadi tukang kebun. Beruntung, dia bertemu dengan kenalannya dan memintanya untuk memb







