Cakrawala telah gelap saat Hazel menyalakan lampu ruang tengah. Rumah yang biasanya jadi tempat paling aman dan hangat, malam ini terasa lebih dingin dari biasanya.
"Ibu! Ibu sudah pulang? Apakah ibu terluka? Apakah mereka menyakiti ibu?" pertanyaan memberondong menyambut Hazel. Bahkan, suara itu didengar oleh Zoe yang belum sepenuhnya pergi dari sana."Hai, Boy. Ehm... Bolehkah ibu menjawabnya nanti?""Sorry, Bu. Aku terlalu cerewet dan tidak memberi kesempatan ibu istirahat. Aku hanya... Hanya khawatir padamu.""Terima kasih, Sayang." Ia tarik tubuh kecil itu dalam dekapan. Selalu meninggalkan kecupan pada pucuk kepala Arrow."Arrow. Ayo! Sudah waktunya mandi," ajak Isabel. Dia harus membawa Arrow guna memberi waktu pada Hazel.Wajah wanita itu tidak lagi mampu menutupi apa saja yang telah terjadi hari ini.Isabel prihatin dengan segala yang telah dilalui.Alam tidak pernah memberi Hazel ketenangan."Okey," jawabnya. Seraya menjaPukul 15.30. Langit menggantung kelabu di atas kaca depan mobil Luca yang melaju tanpa suara. Jalanan basah, sisa hujan siang tadi membentuk genangan kecil di sudut-sudut trotoar. Namun bukan cuaca yang membuat jarinya menggenggam kemudi terlalu kuat—melainkan nama kecil yang sejak tadi menari-nari di dalam pikirannya. Arrow.Gudang telah ditinggalkan. Rapat usai. Dunia yang berdarah dan kaku telah ditinggal di belakang. Kini pikirannya terbang ke pintu pagar berwarna biru muda bertuliskan: Keystone Kids.Luca memarkir mobil beberapa blok dari sana, memilih untuk berjalan kaki. Langkahnya mantap, tapi jantungnya tak begitu. Anak itu. Arrow. Si bocah yang membuatnya merasa seperti manusia kembali—meski hanya sekejap.Dia berdiri di seberang gerbang sejak pukul empat kurang lima menit. Tangannya disembunyikan dalam saku jaket, pandangannya menelusuri satu per satu wajah mungil yang berhamburan keluar dari bangunan sekolah. Satu... dua... lima.
Velaro Freight Co. Selalu menyimpan bau khas: karat besi, debu yang tertinggal di dalam palka, dan sisa asin laut yang tak sempat dibersihkan waktu. Tapi sore ini, ada satu aroma lain yang mengganggu Luca—entah itu kenangan, atau kekhawatiran yang menempel di kulitnya seperti peluh.Shofia duduk di atas peti kayu besar yang sejak tadi tak dipindahkan siapa pun. Ponselnya menyala sebentar, lalu mati. Ia bahkan tidak mengecek pesan yang masuk.“Luca,” suaranya datar, tapi tidak dingin. “Kau tahu kita harus membahas ini sekarang, kan?”Luca berdiri membelakangi matahari. Siluet tubuhnya panjang menutupi lantai yang mengelupas. Tangannya bersedekap, tapi jari-jarinya menggeliat resah.“Aku di sini, bukan?” jawabnya pelan.Shofia mendengus, seperti sedang menimbang apakah kalimat itu layak dibalas atau cukup diamkan saja. Akhirnya ia menatap ke arah dermaga dari celah pintu terbuka. Kapal kargo bergerak perlahan
Dalam kamar yang tidak terlalu besar namun menciptakan banyak kenyamanan dan ketenangan, Hazel terduduk tertegun menatap kalung yang baru saja dia ambil dari leher Arrow. Menatap ke empatnya secara bergantian. Semuanya mirip. Sama. Bahkan tidak dia temukan setitik pun perbedaan di sana. Matanya terus terkunci pada benda-benda yang malam tadi dia temukan. "Aku tidak pernah tahu apa di balik semua ini. Tapi... Ini jelas pesan ibu hanya untukku," racaunya.Menebak segala kemungkinan yang bisa dia pecahkan. Akan tetapi sampai jarum tepat berada di depan angka lima, tidak satu pun jawaban dia temukan. Tidak ada titik terang dari kerasnya dia berpikir semalam utuh. "Bulan sabit. Aku pernah melihatnya. Di mana? Di mana Hazel. Ingat-ingatlah. Ayo!" Suaranya terdengar berbisik pada diri sendiri. "Bu... Kau sudah bangun?""Hei. Boy, perlu sesuatu?""Aku terbangun dan tidak mendapatkan sesuatu di leherku." Mungkin sudah menjadi kebiasaan bocah itu yang
Sudah sembilan hari berlalu sejak insiden penembakan itu.Di dalam kantor yang remang dan beraroma kopi basi, Migel masih menatap papan bukti di depannya. Garis-garis merah yang menghubungkan foto Ethan, sketsa pelaku, dan laporan forensik mulai tampak seperti jaring laba-laba tanpa pusat. Tak ada simpul yang jelas. Tak ada arah. Hanya frustrasi yang makin pekat.Jejak rekaman kamera pengintai juga nihil. Benaknya setuju bahwa pelaku itu adalah orang profesional... Dalam hal kejahatan. Pintu diketuk sekali.Kemudian terbuka tanpa menunggu jawaban.Alex masuk. Langkahnya pelan, namun gelisahnya tak bisa ditutupi. Ia membawa map cokelat yang terlihat sudah kusut di sudutnya, seolah terlalu sering dibuka dan ditutup dalam keraguan.“Ada waktu sebentar?” tanyanya pelan. Meminta izin barangkali Migel tak dapat diganggu untuk sekarang. Migel mendongak tanpa ekspresi. “Kalau ini soal hasil rapat pagi tadi, simpan aja. Aku tidak butuh basa-b
Langkah Hazel terhenti di sudut kamar penuh memori itu. Seolah ada yang menarik ujung jarinya, mendorongnya membuka sebuah laci tua yang sempat ditunjuk sang ibu, dulu... sebelum semua yang ada pada tempat ini berubah.Lacinya macet, penuh debu dan lapuk di bagian tepi. Dengan satu tarikan kuat, laci terbuka—dan di dalamnya, teronggok sebuah kaset kecil berlabel buram:“Untuk Hazel – jika Ibu tak sempat bicara.”Tepat di bawah kaset itu, tersimpan tiga benda identik: sebuah kalung dengan simbol bukan sabit dan bintang kompas. Hazel mengernyit. Jantungnya terasa menggantung. Lambang itu terasa bak menghantui kehidupan Hazel sejak dirinya dilahirkan ke bumi. Secepat kilat, ia berlari ke tempat di mana ia menemukan alat pemutar musik. Beruntung, pemutar kaset tua milik ibunya masih tersimpan di rak bawah. Dengan ragu, Hazel memasukkan kaset itu, menekan tombol “Play”.Suara itu muncul—serak, lemah, tapi penuh cinta.“Haze
Begitu mendongak langit telah berganti warna ketika Hazel melangkah keluar dari minimarket kecil di ujung jalan. Di tangannya tergantung plastik belanja berisi susu dan roti tawar. Udara sore itu hangat, tapi pikirannya dingin. Ia membuka ponsel saat layar menyala, ada satu pesan baru dari Isabel:"Arrow bersamaku. Jangan khawatir. Aku akan menunggunya di rumahku kalau kamu butuh waktu sendiri. Atau, kalau kamu ingin habiskan dengan Zoe~ ;)"Hazel membaca ulang kalimat terakhir dan mendesah. Isabel memang suka menggoda dengan nada setengah bercanda, tapi sore ini, lelucon itu hanya membuat jantung Hazel berdebar—bukan karena Zoe, tapi karena dirinya sendiri yang tak tahu harus ke mana membawa hubungan tanpa status itu.Motornya seakan berjalan tanpa kendari darinya, bukan ke arah rumah, bukan ke arah Zoe. Tapi ke sebuah tempat yang sudah lama ia hindari. Sebuah rumah kecil, di sudut kota tua, berdinding kayu kusam dan beratap seng yang mungkin sudah