Share

BAB 2 Demi Anak atau Demi Kewarasan?

Tubuh Zeta tiba-tiba melemas dan tak kuat lagi kedua kakinya untuk berdiri, membuat dirinya jatuh tersungkur ke lantai dalam keadaan terduduk lemas.

"Zeta!" Sofia panik melihat sahabatnya yang tengah terduduk sambil menangis sesenggukan di lantai.

Resepsionis yang melihat hal itu pun merasa serba salah dibuatnya, apakah seharusnya ia tak berkata dengan jujur?

Hingga seorang satpam hotel menghampiri tiga wanita tersebut, yang satu sedang menangis dan dua lainnya panik serta sibuk menenangkan temannya.

"Ada apa ini? kok ribut-ribut," tanya seorang satpam hotel tersebut, ia melirik ke arah sang resepsionis, namun ia malah mendapat gelengan kepala dari sang resepsionis, dan satpam itu diperintahkan untuk tidak perlu ikut campur.

Mendapat isyarat dari rekan kerjanya tersebut, akhirnya sang satpam kembali ke tempatnya berjaga, entahlah apa yang terjadi sebenarnya, untungnya hotel ini tidak dalam kondisi yang ramai.

"Ta? kamu ga mau ngecek dulu? siapa tau engga seperti yang kamu pikirin," bujuk Anni, mencoba memberikan suntikan positif pada sahabatnya.

"Enggak, An! enggak! aku ga sanggup kalo liat langsung An, udah sakit ...." ucap Zeta dengan tubuh yang sudah bergetar hebat menahan tangisnya, hancur lebur sudah hatinya saat ini.

Mau berpikiran positif pun, memangnya apalagi alasannya? kondisi Zeta yang begitu menyedihkan membuat Anni ikut menangis melihatnya.

"Kita pulang, yuk! anak-anak sebentar lagi pulang sekolah, inget Ta! masih ada Aziel, Lo harus kuat!" tutur Sofia mencoba memberi motivasi pada sahabatnya yang tengah hancur itu.

Kini dengan bantuan Anni dan Sofia, Zeta kembali berdiri tegap. Entah sebagaimana menyedihkan dirinya jika tak ada kedua sahabatnya ini.

"Mbak, saya minta untuk tolong rahasiakan kedatangan saya, ya? jangan beritahu orang itu," ucap Zeta, meski tak menyebutkan namanya, resepsionis itu nampaknya tau betul siapa yang dimaksud oleh Zeta.

"Baik Nona, akan saya jaga rahasia ini," ujar sang resepsionis dengan senyuman.

****

Tampak tiga ibu-ibu muda itu tengah menunggu anak-anak mereka pulang dari sekolah, mereka menunggu sambil memakan sebuah es krim di kursi taman sekolah.

"Ta, lo mau gimana terusan?" tanya Sofia, memecahkan keheningan.

"Aku mau cerai," ucap Zeta dengan datar.

Sontak kedua sahabatnya kini membulatkan matanya karena saking terkejutnya.

"Sebaiknya jangan gegabah, Ta. kamu ga inget? kalian masih punya Aziel, masih terlalu kecil baginya untuk menjadi anak broken home, Ta!" tutur Anni, ia mencoba menasehati sahabatnya.

"Terus, aku? aku gimana, An?" tanya Zeta dengan wajah penuh pilu pada Anni, tentu itu membuat hati Anni juga merasa pedih.

"Coba bicarakan ini baik-baik, siapa tahu hanya salah paham, Ta," timpal Anni, kini Sofia hanya diam saja mendengarkan percakapan dua temannya itu, ia hanya fokus pada es krim yang ada di tangannya.

"Membayangkan apa yang mereka lakukan berdua di kamar hotel saja sudah membuatku merasa mual An, baik-baik yang bagaimana? mereka hanya bermain ular tangga di kamar hotel? ga mungkin kan?" ucap Zeta dengan frustasi.

Kini Anni bungkam, memang benar apa yang dikatakan oleh Zeta. Memangnya ada hal positif lain yang dapat dilakukan oleh sepasang pria dan wanita di sebuah kamar hotel? dan hanya berdua? bahkan tak mengabari sang istri.

Jangankan mengabari, beberapa kali Zeta mencoba menelfon suaminya pun tak di-angkat, beberapa pesan yang ia kirim juga tak ada balasan, bahkan dilihat saja tidak.

"Kalo mau pisah, pisah saja! toh lo bukan seorang istri yang bergantung pada suami brengsek lo itu, lo punya toko butik yang besar, dan itu cukup untuk membesarkan Aziel dengan baik. Iya, kan?" Kini Sofia mulai membuka suara, ia pun setuju akan keputusan Zeta untuk berpisah.

"Sof! jangan gitu lah, Zeta memang mampu memberikan nafkah dengan sangat baik untuk Aziel meski hanya seorang diri, tapi ... hal ini akan menjadi luka yang sangat membekas untuk batin Aziel," ujar Anni.

"Duh ... iya deh si paling psikolog anak! tapi ya ... masa Aziel doang yang punya batin? Zeta kan juga punya, An!" ucap Sofia, kini kedua sahabatnya malah saling beradu pendapat.

Memang wajar Anni sangat memikirkan tentang mental Aziel, karena ia merupakan seorang psikolog anak, sering sekali Anni mendapatkan pasien yang memiliki gangguan mental, dan mirisnya hal itu terjadi di-sebabkan karena rasa trauma dari keluarganya yang hancur.

Anna tak mau jika sampai anak sahabatnya merasakan hal yang sama seperti pasien-pasiennya. Sedangkan di sisi seorang wanita kuat seperti Sofia, ia akan lebih setuju jika Zeta menyerah saja dengan hubungannya.

Sofia tipe yang bar-bar, ia tak akan mengorbankan kesehatan mentalnya hanya untuk bertahan dengan pria yang kurang ajar. Namun kini Zeta lah yang harus menentukan pilihannya.

Karena ini adalah hidupnya, bukan Anni ataupun Sofia. dirinya sendiri yang harus memilih antara bertahan untuk kesehatan batin Aziel, atau mundur untuk kewarasan dirinya sendiri.

Tringgg ....

Suara bel sekolah berbunyi, tanda anak-anak akan segera keluar dari kelasnya. Gedung yang dipenuhi oleh gambar-gambar yang disukai oleh anak-anak dengan warna yang penuh keceriaan itu, kini tampak ramai oleh anak-anak kecil yang keluar dari gedung tersebut.

Tiga orang anak kecil tengah berjalan bersama, mereka adalah anak-anak dari Zeta, Anni, dan juga Sofia.

Anak Zeta bernama Aziel Siregar, anak lelaki yang sangat tampan dan menggemaskan, usianya baru menginjak umur 5 tahun.

Anni sendiri memiliki seorang anak perempuan bernama Mia, usianya hampir sebaya dengan Aziel, hanya beda beberapa bulan. Mia adalah anak perempuan yang cantik dan kalem, persis seperti ibunya.

Sedangkan Sofia juga memiliki anak perempuan bernama Acha, gadis kecil yang penuh ceria dan sangat aktif, ia juga cukup cerewet untuk ukuran anak kecil, tentu hal ini menurun dari sosok ibunya yang bar-bar seperti Sofia.

"Bunda!" panggil Aziel dengan senyuman ceria pada Zeta, untungnya Zeta telah menghapus air matanya sesaat sebelum putra kecilnya datang.

"Gimana sekolah mu hari ini?" tanya Zeta pada putra kecilnya, ia tak pernah absen untuk menanyakan hal ini pada Aziel setelah anaknya pulang sekolah.

"Seru Bunda! Aziel tadi dapet nilai 100 loh di matematika," ujar Aziel dengan bangga.

"Wah ... pinternya," puji Zeta pada putra tunggalnya itu.

"Iya Tante, Aziel itu emang pinter banget! cocok jadi suami masa depan Acha!" timpal anak perempuan itu dengan senyuman lebar dan tanpa beban, siapa yang mengajari anak sekecil itu untuk berbicara begini?

Sontak kalimat itu membuat semua orang yang mendengarnya menjadi terdiam, namun beberapa detik setelahnya gelak tawa tak tertahan keluar dari para ibu-ibu itu.

"Apa ini? besanan kita Ta haha...." Sofia terbahak.

"Ih, gamau ah! Aziel gak mau sama Acha! Acha cerewet!" tukas Aziel dengan wajah ngambeknya, hal itu kembali mengundang gelak tawa untuk para ibu-ibu muda itu.

****

Sesampainya di rumah, Aziel bergelayutan manja di lengan Zeta, sepertinya ia tengah merayu sang bunda untuk meminta sesuatu.

"Kenapa? hmm?" tanya sang bunda yang sudah hafal dengan gelagat sang putra

"Bunda, liburan minggu depan Aziel mau ke kebun binatang ya sama Bunda, sama Ayah juga!" pinta Aziel dengan manja pada Zeta, hal itu membuat hati kecilnya seperti teriris.

Bagaimana jika Aziel tau? jika Ayah dan Bunda tersayangnya akan segera perpisah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status