"Pergi dari rumahku! Kamu hanya menorehkan aib pada keluarga." Ujar Ayah Rose sambil menunjuk ke arah pintu utama.
Ayah Rose terbakar emosi ketika mengetahui anaknya telah hamil di luar nikah. Pria paruh baya tersebut begitu kecewa dengan putri satu-satunya. Dimana Rose tanpa sengaja telah menyerahkan kehormatannya pada sang kekasih.
"Maafkan aku Ayah, Rose tidak sengaja melakukannya." Gadis itu bersimpuh dibawah kaki ayahnya. Ia memohon agar sang ayah memberikan kesempatan agar Rose bisa memperbaiki semua kesalahan yang telah diperbuat.
"Percuma Kau meminta maaf pada Ayah, jika semuanya telah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, Rose!" pria berusia 45 tahun tersebut, mengangkat wajahnya. Ia tidak sudi melihat ke arah anaknya sedikitpun.
"Ayah sangat malu, Rose." Wajahnya memerah karena amarah Ayah Rose belum reda. Hingga di bagian wajahnya ada peluh yang membanjir sebesar biji jagung.
"Rose mohon Ayah, maafkan khilaf yang Rose perbuat." Rose menunduk lebih dalam, ia mencium telapak kaki ayahnya.
Gadis itu meminta simpati agar sang ayah bisa sedikit saja berbelas kasih kepadanya. Tapi sayang, hati pria paruh baya tersebut sudah tertutup oleh amarah.
"Pergi Kamu! Jangan menghalangi langkahku!"
Ayah Rose meraih tubuh putrinya dengan paksa. Ia hanya bisa menurut, ketika pria itu menyeret tubuhnya dengan kasar.
Dan tak lama kemudian, tubuh ringkihnya sudah mendarat di tanah yang basah. Sang ayah telah mengusirnya dari dalam rumah dengan paksa.
"Aku tidak sudi mempunyai anak sepertimu!"
Brak!
Terdengar bunyi pintu ditutup dengan kasar. Ayahnya membiarkan gadis itu terduduk layu di bawah guyuran air hujan.
Air mata yang keluar sudah tak terlihat karena bercampur dengan gerimis. Kepalanya menunduk, menyesali perbuatannya yang telah mencoreng nama baik keluarga.
Hingga sebuah sentuhan di bahu, menyadarkan dirinya. Rose menoleh perlahan, ia mendapati wajah yang sangat dikenalnya. Ibu Rose, melihatnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergetar karena menahan luapan emosi.
"Ibu ...." keduanya saling memeluk di bawah rintik hujan.
"Bersabarlah, Nak. Ibu sangat menyayangimu ...." perempuan berusia 43 tahun itu membelai lembut rambut putrinya.
"Maafkan Rose, Ibu ...." Rose sesenggukan, ia mengurai pelukan ibunya. Ia memandang wajah ibunya yang masih cantik itu dengan kelopak mata berkabut.
"Jangan menolak, Nak! Ambillah untuk kebutuhanmu di luar sana." Ibu Rose mengangsurkan sebuah amplop bewarna putih. Amplop tersebut tidak begitu tebal. Tapi, setidaknya bisa menyambung hidup putrinya ketika jauh dari dirinya.
"Tidak, Ibu! Rose tidak bisa menerima semua ini." Amplop tersebut diserahkan kembali pada ibunya.
"Tapi, Nak ...." Ibu Rose meneteskan air mata kembali. Ia mengusap pipi Rose yang semakin tirus.
"Doakan Rose, Ibu. Rose akan berusaha untuk membesarkan anak Rose dengan baik." Jawab gadis malang itu dengan penuh ketegsan.
"Maafkan ibu yang tidak bisa membantumu, Nak. Dari dulu watak ayahmu memang sangat keras. Semoga saja, seiring berjalannya waktu, ayahmu bisa kembali menjadi ayah yang baik."
Keduanya saling memandang, Rose mencoba untuk tersenyum meskipun terasa pahit.
"Ibu pergi dulu, takut ayahmu marahnya semakin menjadi-jadi." Perempuan itu menggenggam tangan putrinya dengan erat.
"Iya, Bu ...." Rose mengangguk tanda mengerti.
"Jaga dirimu baik-baik, Rose! Jaga cucu ibu, ibu sangat sayang padamu ...." sebuah pelukan dari ibunya membuat hatinya sedikit menghangat. Ia melihat ibunya berjalan semakin menjauh dan meninggalkan dirinya yang masih terduduk di atas tanah.
"Tenanglah, Nak. Meski tidak ada yang menginginkanmu tapi mama akan berusaha kuat untukmu."
Rose mengusap perutnya yang masih rata, ia bertekad untuk mempertahankan benih yang sudah berkembang di rahimnya. Ia akan membesarkan sang anak, meski tanpa adanya dukungan dari siapapun.
***
"Nggak mau, Mama. Dania maunya pakai baju princess!" Ujar gadis cilik itu dengan wajah yang masam.
"Iya sayang, besok akan mama belikan baju princess seperti yang Dania mau." Rayu Rose pada putri kecilnya yang tengah rewel ketika hendak memasuki ruangan kelas.
Gadis cilik itu bernama, Dania Anastasya Dimitri. Gadis berpipi chubby itu kini berusia 4 tahun. Dan pagi ini, Dania merajuk hanya karena tidak mau memakai seragam sekolah.
"Maunya sekarang, bukan besok Mama!" gadis cilik itu berteriak dan menarik perhatian salah satu pengajar di sana.
"Selamat pagi, Dania. Aduh, kenapa ini? Kenapa anak cantik marah-marah?" sapa salah satu pengajar Pra Tk di tempat Dania belajar.
"Miss, Dania mau pakai baju princess sekarang." Gadis itu mengadu dengan wajahnya yang menggemaskan.
"Wah, begitu ya? Miss tahu, pasti Dania akan semakin cantik jika memakai baju princess." Disentilnya hidung anak itu yang tidak seberapa mancung. Gadis cilik tersebut tersenyum senang.
"Bagaimana kalau sekarang Kita gabung bersama teman yang lain? Ayuk!" pengajar yang bernama Miss Andini tersebut mengulurkan tangannya ke arah, Dania.
Untung saja, Dania langsung menyambut uluran tangan Miss Andini. Sehingga Rose bisa bernapas lega, mengingat ia sudah terlambat untuk berangkat ke tempat kerja.
"Terima kasih banyak, Miss Andini." Rose sedikit membungkukkan badan, sebagai ucapan terima kasih dan juga peintaan maaf karena sudah menjaga Dania.
"Sama-sama, Mama ...."
Rose pun melihat keduanya pergi menuju barisan di depan lorong sekolah. Lekas Rose pun bergegas pergi dari aula sekolah putrinya.
"Kenapa sifatnya harus sama persis dengan ayahnya ....?" guman Rose ketika membuka pintu mobil. Lekas ia memacu kuda besinya agar bisa secepatnya sampai di PT. Garmen Angkasa Jaya.
Untung saja, jalanan tidak macet saat jam kerja. Rose bisa datang tepat waktu meskipun harus bersusah payah berlari kecil mengenakan sepatu hak tinggi.
"T-Tunggu ....!"
Rose memaksa untuk bisa mencapai pintu lift. Tangannya berhasil menggapainya dan ia berusaha masuk dengan napas yang terengah-engah.
Saat ia berhasil menenangkan kembali dirinya. Rose memandang sekeliling, ada beberapa orang di dalam lift yang bersamanya. Ia berusaha menyunggingkan senyuman yang manis.
Deg!
Pandangannya berhenti pada salah satu orang di sudut pintu lift. Dimana orang tersebut tidak membalas tatapan matanya. Wajahnya begitu dingin dengan garis rahang yang tegas. Ia terlihat dewasa dengan jambang halus di sekitar dagunya.
'Kenapa dia ada di perusahaan Garmen Angkasa Jaya?' (Tanya Rose dalam hatinya).
Hingga pintu lift terbuka, perempuan itu masih terpaku di tempat. Otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Rose, tubuhnya seakan benar-benar melayang ke angkasa.
"Tunggu!"Rose sedikit berlari mengejar pintu lift agar tidak tertutup. Napasnya tersengal karena mengejar waktu. Hampir saja ia terlambat pergi ke kantor hanya karena putrinya tengah merajuk."Terima kasih," ucapnya pada seseorang yang sudi menunggu dirinya masuk ke dalam lift.Ia berusaha mengatur napasnya. Kening Rose berpeluh, ia mengusapnya dengan selembar tisu."Fiuh …." ia menghembuskan napas perlahan untuk membuang penat.Rose, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia berdiri di barisan belakang bersama dengan beberapa rekan kerjanya. Deg!Perempuan yang kini mengenakan setelan blouse berwarna putih tulang tersebut, tertegun. Ia memicingkan kedua matanya saat melihat sosok di sudut pintu lift. Jantungnya terasa lepas dari bingkai. Rose menunduk lalu mencuri pandang pada sosok yang kini terlihat lebih berwibawa.'Seperti Zain, kenapa ia ada di perusahaan Garmen ini?' (Tanya Rose pada hatinya).Ia menyembunyikan wajahnya, Rose takut jika ia salah dalam melihat.Pintu lift pun t
"Saya ingin Anda menginput dokumen-dokumen yang ada di gudang." Ujar Zain sambil melihat Rose sekilas, lalu menunduk kembali mengerjakan dokumen yang ada di depannya."Baik, akan saya lakukan Pak!" Rose tidak membantah. Ia takut jika Zain masih mengenalinya.Buru-buru ia keluar dari ruangan CEO, setelah tubuhnya sedikit membungkuk saat berpamitan.Rose berlari kecil menuju meja kerjanya. Ia mengambil sesuatu yang akan dibutuhkan di gudang. Lekas ia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh sang atasan. Sepertinya, hari ini Rose akan terlihat sangat sibuk. ***"Kamu lagi ngerjain apa, Rose?" tanya manager divisi saat melewati kubikel milik, Rose."Tugas dari bos besar, Pak!" jawabnya dengan mengangguk sekilas. Buru-buru ia meminta izin untuk melanjutkan kembali pekerjaannya."Tugas? Tugas apa? Proyek Kita masih baru jalan, Rose. Belum ada kelanjutan untuk masalah marketing, iklan dan lain-lain." Penjelasan dari manager tersebut membuat Rose memanyunkan bibirnya."Saya diberikan tugas un
"Cari tahu tentang keberadaannya!" Dengan tegas, Zain memberi perintah pada salah satu bodyguard pribadinya. Pria berbadan besar tersebut mengangguk patuh dengan penuh rasa hormat.Zain menatap lurus kedepan dengan tajam. Jari tangan kanannya memutar sebuah pulpen. Dari balik meja kerjanya yang kokoh, ia menyuruh bodyguard tersebut segera pergi dengan satu kali kibasan tangan.Tok, tok, tok ….Setelah kepergian pengawal pribadinya. Pintu berkusen besar dan megah tersebut diketuk dari arah luar. Zain terkesiap dari lamunan, ia pun menggeleng kecil agar bisa kembali fokus pada dunia nyata."Masuk!" ucapnya dengan suara yang berwibawa."Permisi, Pak! Saya membawa laporan hasil kerja kemarin." Rose menyerahkan sebuah file yang sudah disalin dalam bentuk tulisan."Hem, bagus!" ia berkata tanpa melihat ke arah, Rose. Zain berusaha terlihat sibuk dengan berkas yang ada di hadapannya kini.Zain menautkan kedua alisnya. Ia memeriksa kembali beberapa poin yang sepertinya tidak pernah dilapork
Ting!Pintu lift terbuka, seorang pengawal pribadi Zain berjalan keluar dan berjalan menuju lobi PT. Global Angkasa Jaya. "Sial! Kenapa dia datang di saat yang tidak tepat?" Ramon, pengawal tersebut hendak berbalik arah. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika suara seseorang menghentikannya."Mau kemana, Ramon?" sapa perempuan berusia 25 tahun tersebut dengan culas.Ramon lekas mendekat dan mengangguk patuh. Perempuan yang memakai riasan flawless tersebut terlihat sangat serasi dengan dress bunga selutut. Di pinggangnya tersemat ikat pinggang kecil berwarna hitam. Rambutnya yang terurai bebas, menampilkan sisi glamor seorang crazy rich ternama. Derap langkahnya terdengar menggema ketika sepatu hak tinggi itu menghampirinya. Tepat di hadapan Ramon, perempuan cantik itu mengulas senyuman tipis."Maaf Nona Muda, kenapa datang dengan tiba-tiba?" Ramon mencoba untuk mencairkan suasana."Kenapa? Aku berhak datang dan pergi sesuka hati, ini perusahaan suamiku." Ujarnya dengan tatapan tak su
"M-Maaf, Pak! Ada apa, ya?" Rose mencoba untuk menenangkan hatinya. Sentuhan itu membuat dirinya bagai tersengat aliran listrik 1000 volt."Kamu sudah menunda hasratku. Aku menuntutmu untuk menuntaskan keinginanku yang tertunda." Zain mendekat, hingga Rose bisa merasakan deru napasnya yang tidak teratur."J-Jangan, Pak! Aku mohon …." Rose tidak bisa berlari, ia sudah berada di bawah kungkungan sang CEO. Dimana ia harus menggantikan peran istrinya, Nadia."Apa Kamu sudah melupakan masa lalu Kita, Diana Rosalina?" "A-Apa? Apa yang Anda bicarakan? Saya tidak mengerti, Pak." Rose, berusaha untuk meredam detak jantungnya. Ia bisa mendengar dengan telinganya sendiri, betapa cepat ritme yang berpacu saat ini."Jangan berpura-pura, Rose! Angkat wajahmu jika sedang bicara denganku." Tubuh Rose terhimpit di tepi meja. Ia menatap takut ke arah, Zain. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Perempuan itu sebisa mungkin mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Aduh! Mati aku ….' (Batin
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah jendela. Rose mengerjapkan matanya berulang kali. Lalu ia terbangun dan mendapati putri kecilnya masih tertidur pulas.Sengaja ia tidak membangunkan Dania lebih awal seperti biasanya. Hari libur kali ini dimanfaatkan oleh Rose untuk beristirahat di dalam rumah.Lekas ia bangun dan membersihkan diri. Rumah kontrakan yang tidak begitu luas membuat dirinya tidak memerlukan jasa seorang pembantu. Di atas meja makan, Rose sudah menyediakan roti bakar dengan selai strawberry dan susu hangat untuk putrinya kecilnya.Tok, tok, tok ….Rose mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia menoleh ke asal suara, sepertinya ada tamu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membangunkan, Dania. Rose meletakkan susu hangat di sebelah piring roti. Lalu ia berjalan menuju ke depan, untuk mencari tahu siapa yang sudah datang bertamu sepagi ini."Maaf, Anda mencari siapa?" Rose, melihat di hadapannya kini sudah berdiri seorang wanita berusia 50 tahun. Pe
Rose langsung menenggak segelas air putih. Nadine melongo melihat sahabatnya yang datang-datang langsung main serobot. Hingga bola mata dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. "Fiuh …." ia mengipas wajahnya dengan sebelah tangan. Rose merasa dirinya sedang terbakar. Ada hawa panas yang menjalar hingga sampai ke puncak ubun-ubunnya. "Rose!" Suara menggelegar itu sampai di telinga, Nadine. Perempuan muda itu tersentak kembali. Ia menemukan sang CEO sudah berada di ambang pintu ruangannya. Nadine menoleh ke arah, Rose. Sahabatnya tersebut memutar bola matanya dengan malas. Baru saja Rose menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi. Zain sudah mengejutkannya dengan sebuah teriakan yang nyaring. "Ada apalagi, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Rose berdiri dan menunjukkan cara kerjanya yang profesional. Ia tidak boleh mencampuradukkan perasaannya pada, Zain. Zain sedikit gugup, bibirnya ragu ketika hendak bicara. Ia melihat ke arah samping dan mendapati ada Nadine di sana. "
"Rose, tunggu sebentar!" Rose menoleh ke asal suara, ia menghentikan langkahnya di depan lobi Global Angkasa Jaya.Perempuan itu diam dan menunggu. Perdebatan dengan sang CEO seharian ini membuat Rose terserang jantung dadakan. Meskipun begitu, ia harus bisa tetap bisa tenang dalam segala keadaan. Terutama di hadapan semua klien dan teman kantornya, tak terkecuali—Brian Aditama."Kok buru-buru? Sudah mau pulang?" Brian sudah berdiri di depannya.Ia mengangguk kecil, Rose memaksakan diri untuk tetap menarik garis smirk di bibirnya."Mau jemput Dania dulu di rumah ibu, Martha." Sahut Rose dengan bersedekap, di lengannya tersampir sebuah mantel yang sengaja tidak dikenakan."Ooo, begitu ….?" Brian mengangguk dengan perlahan. "Bagaimana kalau Kita makan dulu?" Brian mulai menjalankan aksinya, pria muda berusia 27 tahun itu tetap tidak menyerah untuk mendapatkan hati, Rose.Rose menghembuskan napas panjang. Sebenarnya ia enggan untuk menerima tawaran dari, Brian. Sudah bosan rasanya Rose