“Bangunlah,” ujar Atma, tangan kekarnya mengulurkan segelas air mineral untuk Clarita.
Alih-alih menerima uluran gelas Atma yang Clarita lakukan justru menatapnya dingin. Ia menatap Atma curiga. “Kau mau apa ke sini? Aku bukan wanita murahan yang akan dengan mudah memberikan tubuhku padamu.”
“Mengapa kau berpikir begitu?”
Clarita berdecih malas dan berkata, “Bukankah itu trik pria-pria kaya sepertimu, Tuan? Membantu wanita lemah semacamku, datang bak pahlawan membuat mereka seolah berhutang budi lantas meminta bayaran dengan dilayani di ranjang? Setelah itu? kalian akan mencampakkan wanita bak pakaian kotor.”
“Bukankah pakaian kotor akan dicuci dan digunakan lagi?” sahut Atma tak mau kalah.
“Benar, dan ketika pakaian itu telah lusuh kau akan membuang dan menggantinya dengan yang baru. Begitukan roda kehidupan ranjang seorang ceo seperti anda, Tuan?” balas Clarita sinis.
Tatapan Atma melembut tak sepenuhnya tetapi ia mengerti situasi yang tengah di alami Clarita, dugaannya akan fakta kehamilan Clarita semakin nyata. “Apa kau salah satu pakaian kotor itu?”
Clarita menatapnya nyalang, ia tak menyangka jika Atma akan melayangkan pertanyaan yang berhasil membuatnya terdiam. Ia sendiri tak tahu apakah ia pakaian kotor atau ia masih menjadi pakaian yang telah dicuci? Ia sendiri bingung, yang ia ingat ia hanya menghadiri pesta ulang tahun teman kampus dan ketika terbangun ia sudah berada di dalam kamar dalam keadaan tak berpakaian. Ia tak menemukan siapapun dalam kamar itu. Ia juga tak menemukan petunjuk apapun akan siapa pria yang berhasil menggagahinya.
“Diam berarti iya,” tukas Atma setelah keheningan menyelimuti keduanya.
“Aku sendiri tak tahu seperti apa aku menggambaran diriku sendiri,” akunya. “Minggir.” Clarita hendak turun dari ranjang, ia tak mau terus-terusan berbaring bak orang yang menderita sakit parah.
Namun sayang, keseimbangan tubuh Clarita goyah. Beruntung Atma yang berada di dekatnya dengan sigap menangkap tubuh mungil Clarita. Pandangan mata mereka terkunci satu sama lain, lagi-lagi perasaan tak asing menyelinap di keduanya. Clarita dengan perasaan curiga dan Atma dengan perasaan tenang, entah mengapa ia merasa tatapan Clarita mampu menenangkan hatinya. Padahal wanita itu sering melempar tatapan dingin, kesal dan juga dendam padanya.
“Permisi bapak ibu.” Pandangan keduanya segera teralih pada sosok wanita berseragam putih lengap dengan topi kecil sebagai identitasnya. “Ah maaf mengganggu,” ujarnya tak enak hati.
“Ada apa?” tanya Atma datar. Setelah ia berhasil membantu Clarita berdiri dengan tegap.
“Waktunya visit dokter, Pak. Juga memberi asi.” Atma mengangguk mendengar penjelasan perawat itu.
“Sus, bisa bantu saya ke toilet?” tanya Clarita setelah ia menahan hajatnya.
Perawat itu tampak ragu, berulang kali ia melirik Atma dari ekor matanya. Beruntung saat ia akan menyerukan pertanyaannya, dering ponsel Atma berdering. “Aku angkat telephone.”
Clarita hanya mengangguk dan kini pandangan matanya menatap perawat yang masih menundukkan kepala. “Apakah perawat di sini tak ada yang mau membantu pasiennya yang ingin ke kamar kecil?”
Sindiran Clarita ternyata membuat perawat itu tersadar dan tersenyum tak enak hati. “Ah bukan begitu, Bu. Mari saya bantu.” Perawat itu berjalan mendekati Clarita dan menuntun Clarita berjalan menuju kamar mandi.
Cukup lama Clarita menghabiskan waktu di kamar mandi. Sejak semalam ia menahan hajatnya karena ia belum sanggup turun dari ranjang seorang diri, dan pagi tadi terbukti ia belum bisa menyeimbangkan langkah kakinya.
Clarita keluar dari kamar kecil langkah kakinya terhenti kala menyaksikan pemandangan yang mungkin bagi seorang istri adalah menyejukkan, akan tetapi bagi Clarita pemandangan yang mengiris hati. Bagaimana tidak? Atma tengah menggendong sang putra ditemani dokter yang bertugas memantau kondisi Clarita.
“Ah nyonya sudah keluar, mari saya bantu,” tawar sang dokter seraya meraih sebelah tangan Clarita.
Clarita tersenyum tipis dan berkata lirih, “Terima kasih.”
Dokter dan perawat rumah sakit mulai menjalankan tugasnya, mulai dari mengganti infus, memeriksa tekanan darah dan juga memeriksa bekas jahitan yang belum sepenuhnya mengering. Jika boleh jujur, Clarita lebih memilih untuk melahirkan normal ketimbang ceasar, karena ia tak sanggup menahan sakit akibat jahitan yang mengganjal itu. Tetapi apa boleh buat, andai saja pagi itu ia sarapan dengan baik tentu ia tak akan pingsan di jalan dan melahirkan dadakan begini.
“Jika semuanya stabil hingga besuk hari, maka besuk sudah bisa pulang ya bu,” ujar sang dokter pada Clarita yang tampak tak senang.
“Terima kasih, Dok.” Bukan, itu bukan suara Clarita, melainkan Atma yang menjawab menggantikan Clarita. Sang dokter tersenyum tipis dan setelah itu wanita yang mengenakan jas putih berpamitan karena harus visit ke beberapa kamar lainnya.
“Silakan bu, untuk asinya.” Clarita mengangguk dan menerima uluran sang perawat.
Ia mulai memberikan asi setelah terdengar pintu kamar tertutup. Kini lagi dan lagi ia harus terjebak berdua bersama Atma, dalam situasi ia harus memberikan asi. “Bisakah kau menunggu di lain tempat,” pinta Clarita lirih.
Atma terkejut dengan nada bicara wanita yang baru saja berdebat dengannya. Namun, ia tak berniat menanyakan hal itu, ia lebih memilih untuk mengabulkan permintaan wanita itu dan bergegas menyingkir ke sisi lain dari ruangan itu.
Ruangan vvip yang dipesan Atma dapat dikatakan lengkap. Terdapat sofa panjang, tv, kulkas mini, almari pakaian, bed khusus untuk penunggu, dispenser dan ruang tamu mini. Pikiran Clarita melayang membayangkan seberapa besar biaya yang harus ia kocek untuk menebus dirinya dan juga anaknya agar dapat keluar dari rumah sakit semewah itu.
Ia tak bisa fokus memberikan asi-nya, pikirannya tak tenang. Ia gundah apakah harus keluar dari rumah sakit atau berdiam lebih lama di sana. Dua-duanya bukanlah pilihannya yang mudah, keduanya sama-sama berisiko. Keluar dari rumah sakit tanpa membayar biaya administrasi pun sama saja membiarkan sang putra dan putri tertahan. Berdiam diri lebih lama pun membuat biaya yang harus ia bayar semakin membengkak tak menentu.
“Kau memikirkan apa?” tanya Atma yang muncul dari balik gorden biru. “Clarita!” Untuk pertama kalinya, Atma mengucapkan nama wanita itu.
“Hah? Ada apa?” tanya Clarita terkejut.
Atma tak menjawab ia hanya menunjuk bagian dada Clarita menggunakan dagunya. Otak Clarita seketika berhenti berfungsi, butuh sekian menit untuk ia memproses apa yang Atma maksud.
Atma menghela nafas dan berkata, “Putramu.”
Sontak Clarita menunduk dan terkejut melihat apa terjadi. Namun, entah mengapa berada di dekat Atma membuat otaknya tak dapat berfungsi dengan baik. Bukannya membenarkan posisi sang Putra yang Clarita lakukan justru sebaliknya, ia memandang dada dan Atma bergantian hingga beberapa kali. Sebelum akhirnya ia berteriak kencang dan melemparkan bantal ke arah Atma.
Bukannya meredakan masalah kini ruangan berukuran 8x10 itu dipenuhi dengan suara tangisan yang saling bersahutan satu sama lain.
“Atma!‼!”
Kini Atma dilanda kebingungan, pasalnya 3 orang menangis di waktu yang bersamaan. Ia memandang Clarita dan dua bayi tak bernama itu secara bergantian. Pikirannya buntu, ia tak pernah berada di situasi sepelik ini. Niatnya datang ke rumah sakit hanya untuk menyampaikan fakta bahwa ia telah melunasi semua biaya sehingga Clarita tak perlu khawatir.Tetapi yang terjadi justru di luar kendalinya, Atma melihat sesuatu yang sebenarnya sudah tak asing lagi baginya. Karena nyaris tiap malam ia menikmati pemandangan itu secara cuma-cuma tetapi entah mengapa melihat ‘milik’ Clarita mampu membangkitkan sisi nakal darinya. Beruntung kali ini ia dalam mood yang baik sehingga ia tak berniat mengambil alih hak dua bayi tak bernama itu.Setelah menenangkan diri dari pikiran nakalnya, Atma berjalan mendekati Clarita yang masih menangis dengan sebelah tangan ia jadikan bantalan bagi sang Putra dan sebelahnya ia gunakan menutup wajah. “Daripada menangis, lebih baik kau menutup ini,” ujar Atma seraya menu
“Apa maksudmu?” tanya Clarita menyorot Atam tajam.Pria itu mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauhi Clarita. Tak berselang lama setelah kepergian Atma, dua orang wanita dengan pakaian putih khas perawat memasukki kamar Clarita. Mereka terkejut melihat apa yang tengah wanita itu lakukan.“Permisi Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang perawat membuat Clarita terkejut.“Hah? Ah itu tidak, aku hanya ingin merapikan pakaianku saja.” Clarita bergegas membetulkan posisinya.Ia kini lebih leluasa pasalnya sejak pagi tadi, tangannya telah terbebas dari jarum suntik yang mengganggu pergerakannya. Wanita berusia 22 tahun itu tampak senang karena semua rencana yang telah ia susun akan segera terlaksana.“Maaf Sus, jika saya keluar nanti berapa biaya yang harus saya tanggung?” tanya Clarita berhati-hati.“Biaya?” Suster yang tengah memeriksa tekanan darah Clarita tampak terkejut mendengar pertanyaan polos Clarita.Clarita mengangguk pelan seraya melayangkan tatapan takut. “Te
“Wah nak Clarita sudah lahiran. Kapan? Kok ndak bilang sama ibu?” sapa sang pemilik kos ketika berpapasan dengan Clarita yang hendak masuk ke kamarnya.“Iya bu, kemarin saya kecelakaan dan terpaksa melahirkan. Alhamdullilah orangnya bertanggung jawab.”Ibu kos tersenyum ramah dan berkata, “Syukurlah kalau begitu, yang penting kamu dan anakmu sehat ya.”Clarita hanya mengangguk dan tersenyum tipis, setelah berpamitan Clarita bergegas masuk ke dalam kamar kosnya. Ia membaringkan Yara dan Yandra dengan hati-hati ke atas bed tidurnya. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Ia mulai merapikan barang-barang pribadinya. Ia yakin betul jika setelah ini warga tak akan menerimanya lagi, karena ia pernah berkata jika suaminya akan kembali ketika ia telah melahirkan nanti. Dan sekarang jangankan suami ia saja tak tahu persis siapa ayah dari bayi kembar yang tengah tertidur pulas itu.“Loh kok langsung bersih-bersih, harusnya jangan banyak gerak dulu, Nak,” tegur ibu kos kep
"Kau sendiri yang tahu isi hatimu. Apakah kau nyaman dekatnya atau kau hanya kasihan?”Atma menatap Bara bingung. “Kasihan?”Bara tertawa renyah, kemudian ia meraih kopi hitam yang masih mengepulkan asap menyeruputnya secara perlahan. “Kasihan karena ia melahirkan tanpa kehadiran suami. Mungkin.”“Yang pasti hatiku sudah mati akan cinta!” tegas Atma, Bara hanya mengendikkan bahu cuek.Detik berganti menit, menit berganti jam. Pagi ini, Clarita direpotkan dengan kedua bayinya yang menangis bersamaan. Clarita mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan ia melakukannya berulang kali, berusaha untuk menetralkan pikirannya. Clarita selalu melakukan hal itu jika ia tengah dilanda kebingungan.“Ada apa, Cla?” tanya Ibu kos yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu kostnya.“Ah ini bu, maaf kalau mengganggu penghuni kos lain. Saya juga gak tahu kenapa Yara dan Yandra menangis begini. Padahal mereka sudah saya beri asi.”“Boleh ibu bantu? Sepertinya kamu kesulita
“Duduk sini mba.” Clarita mendongak pelan. hingga ditatapnya sosok wanita muda.“Hai mba, apa sudah ada yang dipanggil untuk interview?” tanya Clarita mencoba bersahabat kepada sosok wanita muda di sampingnya. Ia memprediksi jika usia wanita itu baru 19 tahun. Terlihat dari penampilan lugunya dan juga map coklat yang ia bawa.“Hai juga mba, sudah ada beberapa mba. Tersisa segini,” sahutnya sopan.“Segini?” tanya Clarita memastikan.“Iya mba, tadi pagi jauh lebih banyak. Oh iya mba, saya Deandra, panggil saja Dean.”Clarita membalas uluran tangan Dean dan berkata, “Aku Clarita, senang berkenalan denganmu, Mba.”Clarita dan Dean terlibat pada obrolan sederhana namun keduanya terlihat nyaman dan akrab. Tanpa sadar kini hanya tersisa ia, Dean dan 5 pelamar lainnya. Mereka berbincang mulai dari makanan kesukaan hingga pengalaman kerja. Ia tak menyangka jika diusia Dean yang masih muda itu ia telah memiliki banyak pengalaman kerja, sangat berbeda dengannya. Yang hanya berkerja beberapa kali
Di sana jelas berdiri dua sosok wanita dengan penampilan sederhana, tinggi tubuh mereka pun tak berbeda jauh. “Siapa At?” ulang Bara karena Atma tak memberi respon apapun pada pertanyaannya.Tanpa banyak kata, Atma menyalakan mesin mobilnya dan bergerak mengikuti angkutan umum di depannya. Bara mengernyitkan keningnya bingung, namun ia enggan bertanya pada pria di sampingnya. Lengan kekar Atma mencengkram erat stir mobil, sorot mata elang miliknya menatap lurus ke arah angkutan di depannya seakan ketika ia berkedip maka angkutan itu akan menghilang dari pandangannya.Bara tampak mendengus kasar, ia tak tahu ke mana Atma akan membawanya. Terlebih lagi beberapa pekerjaannya belum selesai. Kini Bara menyesali keputusannya untuk berangkat meeting satu mobil dengan Atma, seharusnya ia membawa mobilnya sendiri, sehingga ia tak perlu terjebak pada situasi yang membingungkan.Berbeda dengan Clarita, wanita itu tampak bercengkrama bersama dengan Dean. Setelah berbincang cukup lama dengan Dean,
“At!” panggil Bara yang mendapatkan tatapan tajam dari sang pemilik nama. Bara yang mengerti jika saat ini Atma sedang tak ingin mendengarkannya pun memilih untuk diam dan menikmati setiap adegan roman yang mungkin akan tersuguh.Clarita berjalan tertatih, di belakangnya turut serta gadis dengan rambut sepinggang. Jendela kaca Atma yang tak ditutup sepenuhnya membuat ia berhasil mencuri dengar perbincangan keduanya. “Mba, mba tuh nyari siapa?” tanya Dean bingung.“Dean gak akan tahu siapa!” pekik Clarita tanpa sadar.“Ya makanya mba kasih tahu dong! Kalau mba diam saja bagaimana Dean tahu!” teriak Dean tak kalah tingginya.Bahu Clarita melemah, ia gelisah. Apakah ia harus berkata yang sesungguhnya pada Dean?“Mba, Dean sudah anggap mba seperti kakak Dean sendiri walau kita baru kenal. Dean sudah menceritakan semuanya, Mba masih gak percaya?”“Kita baru saja kenal, De.”Dean mendesah pasrah. “Memangnya kenapa, Mba? Bukannya mba sendiri yang bilang mba di sini seorang diri? Mba sendiri
“Bu Ranti, Kembalikan anak saya!”“Kalau kamu mau anakmu kembali bayar tunggakanmu dulu, baru ambil anakmu. Lagi pula aku butuh anak kecil ini untuk mempertahankan harta keluarga suamiku, haha.”Clarita dan Dean tampak terkejut mendengar ucapan wanita paruh baya di depannya. Ia tak menyangka jika sosok yang ia kira baik ternyata memanfaatkan dirinya. “Bu Ranti gak bisa begini dong, Bu!” pekik Clarita kesal.“Apa sih Cla. Kamu ini hamil nganggur, daripada jadi aib lebih baik anak kamu sama saya!”Bola mata Clarita membulat sempurna mendengar ucapan dari sang pemilik kost yang selama ini telah ia anggap sebagai sosok pengganti ibunya. Wanita berusia 44 tahun itu memang tak punya anak, tetapi apakah ia harus berkata sedemikian rupa?“Anak tanpa bapak? Ibu pengangguran? Daripada anak ini besar sama kamu dan cuman jadi perempuan penghibur sepertimu lebih baik sama saya, lebih terjamin!” ujar Bu Ranti sinis.“Maksud ibu apa ya?” tanya Clarita tak terima.“Hamil tanpa suami? Memang kamu kira