Ucapan Bara terus terngiang di benak Atma, kini ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Selama ini Atma tak pernah mengambil pusing identitas wanita yang dekat dengannya. Ia pria normal, ibarat kucing, mau jenis apapun jika disuguhkan daging pasti akan menikmatinya.
Sama halnya dengan Atma, wanita-wanita itulah yang menawarkan surga dunia padanya, dan ia akan menerima dengan senang hati. Tetapi jika nantinya terjadi hal di luar kendalinya, maka Bara-lah yang akan turun tangan merapikan semuanya hingga tak berbekas. Kejam? Bukan, sebagai pewaris tunggal Atma dituntut untuk selalu terlihat sempurna. Tak hanya paras, citra dan image juga harus ia jaga sedemikian rupa.
Di lain sisi, Clarita masih sibuk meratapi nasibnya setelah hari ini. Ia tak menyangka jika ia mengandung bayi kembar, selama ini ia tak pernah memeriksakan kandungannya. Bukan karena malu melainkan ekonominya yang tak bisa ia gunakan untuk sekedar mengunjungi bidan di kampung. Ia hanya mengandalkan instingnya untuk menjaga kandungannya.
Walau ia tak mengharapkan bayi itu tetapi bagi Clarita janin itu tak bersalah. Yang patut disalahkan dari semua kejadian ini adalah dirinya sendiri. Bukan orang lain apalagi janin tak bersalah.
Lamunan Clarita teralihkan oleh derit pintu yang terbuka, ia melirik sekilas. Tanpa sadar ia menghela napas berat. “Dia lagi,” lirih Clarita dalam hati kala ia melihat Atma berjalan mendekatinya.
“Tasmu.” Lengan kekar Atma terulur memberikan tas totebag milih Clarita. Satu-satunya barang yang bisa ia bawa sebelum terlempar ke kota orang.
“Hm,” deham Clarita tak berniat.
“Aku harus pulang, besuk aku akan ke mari,” ujar Atma dengan nada datar.
Clarita mendelik terkejut. “Tak perlu, kau dan aku tak memiliki hubungan se-spesial itu.”
Jawaban sarkas Clarita membuat Atma menyunggingkan smirk-nya. Ia merasa wanita di depannya ini berbeda dari yang lain, tadinya ia mengira jika Clarita tengah mengujinya akan tetapi kini ia yakin betul jika Clarita memang berbeda. “Tak perlu memiliki hubungan spesial untuk menjenguk sesama manusia.”
“Kata menjenguk merujuk pada sebuah tindakan mengunjungi orang yang dikenal ketika mereka mendapat musibah. Dan aku … merasa tak mengenalmu.” Clarita menatap lurus ke arah manik hazel Atma, ia seakan tak takut pada sosok yang tengah berdiri tegap di depannya.
“Kalau begitu anggap saja aku mengunjungi seorang wanita untuk mengenalnya lebih dekat. Clear, ‘kan?” keukeuh Atma tak mau kalah dari perdebatan sengitnya.
Clarita memutar bola mata malas. “Bukankah memang seperti itu orang kaya? Selalu bertindak dan mengambil keputusan sesuka hatinya.”
Atma tersenyum tipis teramat tipis nyaris tak terlihat, baru kali ini ada sosok wanita yang tak kehabisan akal untuk membalas setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya. “Aku pergi.”
“Aku pergi, aku akan mengunjungimu. Persetan tuan, aku tak peduli. Kau datang dan pergi sesuka hatimu. Kau pikir, kita kenal dekat? Dasar lelaki tua dan mesum!” rancau Clarita sesaat setelah Atma menutup pintu ruangannya.
“Kau bicara apa?” tanya Atma membuat Clarita terlonjak dan menutup mulutnya. “Kau bicara apa?” ulang Atma mendekat ke arah Clarita.
‘Mengapa ia kembali lagi?’ batin Clarita ketakutan.
Tatapan mata Atma menutut Clarita untuk membuka suara akan tetapi wanita itu seakan enggan mengeluarkan sepatah kata. Atma menaikkan alisnya menunggu jawaban dari Clarita. “A – a – aku tak berbicara apapun. Kau salah dengar. Kusarankan setelah ini periksalah ke tht. Aku yakin pria kaya sepertimu tak ada banyak waktu untuk membersihkan telinga.”
Sudut bibir Atma berkedut, tetapi pria yang dikenal dingin itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya. Bagaimanapun juga ia harus menjaga citra cool yang telah melekat padanya sejak sma. Tak lama Atma berbalik dan berjalan menuju sofa.
“Kau? Bukannya kau ingin pulang?” tanya Clarita lirih.
Atma menoleh dengan sebelah alis terangkat tatapan matanya masih sama tajam dan menusuk, jika boleh jujur Clarita nyaris kehilangan seluruh tulangnya ketika berhadapan dengan pria dingin berkemeja itu.
Sama halnya dengan Atma, Clarita tengah berusaha terlihat dingin dan tak tersentuh, bukan karena jabatannya, jangankan jabatan kini satu-satunya jabatan yang melekat ditubuh Clarita adalah ‘Ibu tanpa suami dan pekerjaan’ tetapi egonya yang tinggi membuat ia bersusah payah membangun itu semua.
“Kau ingin aku menginap?” tanya Atma dingin.
Manik mata Clarita membulat sempurna ia nyaris mengeluarkan sumpah serapah pada pria yang berada di dekatnya kurang lebih enam jam itu. “Jangan gila! Pergilah, dan aku berharap tak lagi bertemu denganmu setelah ini.” Atma tak menjawab ia hanya tersenyum miring dan berlalu meninggalkan Clarita dengan segala kekesalannya.
Kini tinggallah Clarita seorang diri di ruangan vvip, sejak tadi Clarita terus sibuk mengamati ponselnya. Ia masih bersikeras mencari pekerjaan yang tepat untuknya namun sayang, semua pekerjaan yang tersedia membutuhkan ‘Penampilan yang menarik’ jelas saja Clarita tak akan lagi masuk ke dalam kategori itu. jika dulu Clarita merupakan primadona kampus sekarang semua seakan bertolak belakang.
Sejak mengandung tubuhnya semakin melebar, wajahnya kusam, rambutnya? Jangan tanyakan lagi, rambut yang biasanya setiap minggu terjamah obat-obatan salon itu kini jangankan pergi ke salon, bisa membeli sayur dan beras untuk makan sehari saja ia sudah bersyukur.
Clarita menghela nafas berat, kala jemari lentiknya tanpa sengaja membuka sebuah postingan yang menunjukkan kebahagian sebuah keluarga kecil. Di mana ada ayah, ibu dan sosok wanita muda yang begitu anggun dengan balutan gaun pink. Yah hari ini adalah hari anniversarry orang tuanya, tetapi sialnya Clarita justru terjebak di situasi di mana ia dibuang dan disingkirkan jauh-jauh. Jangankan mengirimkan bantuan, menanyakan kabar saja tak pernah Clarita terima.
“Tak apa, Cla. Kau pasti bisa bangkit. Setelah ini mari kita mulai semuanya dengan lebih baik. Kau tak boleh lemah. Ingat ada dua nyawa yang kini menggantungkan masa depannya padamu. Kau harus bangkit!” ujarnya dengan nada parau. Clarita tertawa miris di sela tangisan kecilnya.
Ia menyimpan ponselnya dan menarik selimut hingga sebatas leher ia membungkus tubuh rapuh itu agar tak semakin hancur. Kini tak ada yang menyemangatinya, tak ada yang menariknya untuk sekedar dapat merasakan kehidupan yang layak lagi. Ia harus berjuang seorang diri.
“Tak ada yang harus disesali, tak ada. Bangkit Cla, bangkit.” Clarita berkata lirih seraya jemarinya memukul-mukul dadanya berharap dapat memacu semangat yang mulai surut. Tanpa sadar Clarita terhanyut dalam kesedihan hingga ia memejamkan mata dalam keadaan menangis. Ia selalu berharap ketika ia bangun nanti semua yang terjadi hanyalah bunga tidur, akan tetapi harapan tetaplah harapan. Tak ada yang bisa ia rubah, kecuali dirinya sendiri.
Malam datang, Clarita semakin hanyut dalam mimpinya. “Tidak ayah ibu tidak‼! Aku tidak mau‼” rancau Clarita dalam tidurnya.
“Hai bangunlah, hai Cla. Cla bangunlah.”
Tepukan halus di pipi chuby Clarita ternyata berbuah manis. Manik mata wanita yang baru saja merancau tak jelas itu terbuka lebar nafasnya masih tersenggal-senggal.
Ketika ia berhasil menetralkan detak jantungnya, Clarita menoleh mencari pelaku yang membantunya keluar dari mimpi kelam itu. Manik mata Clarita membulat sempurna kala mendapati sosok yang tak ingin ia temui lagi. “Kau‼”
“Bangunlah,” ujar Atma, tangan kekarnya mengulurkan segelas air mineral untuk Clarita.Alih-alih menerima uluran gelas Atma yang Clarita lakukan justru menatapnya dingin. Ia menatap Atma curiga. “Kau mau apa ke sini? Aku bukan wanita murahan yang akan dengan mudah memberikan tubuhku padamu.”“Mengapa kau berpikir begitu?”Clarita berdecih malas dan berkata, “Bukankah itu trik pria-pria kaya sepertimu, Tuan? Membantu wanita lemah semacamku, datang bak pahlawan membuat mereka seolah berhutang budi lantas meminta bayaran dengan dilayani di ranjang? Setelah itu? kalian akan mencampakkan wanita bak pakaian kotor.”“Bukankah pakaian kotor akan dicuci dan digunakan lagi?” sahut Atma tak mau kalah.“Benar, dan ketika pakaian itu telah lusuh kau akan membuang dan menggantinya dengan yang baru. Begitukan roda kehidupan ranjang seorang ceo seperti anda, Tuan?” balas Clarita sinis.Tatapan Atma melembut tak sepenuhnya tetapi ia mengerti situasi yang tengah di alami Clarita, dugaannya akan fakta k
Kini Atma dilanda kebingungan, pasalnya 3 orang menangis di waktu yang bersamaan. Ia memandang Clarita dan dua bayi tak bernama itu secara bergantian. Pikirannya buntu, ia tak pernah berada di situasi sepelik ini. Niatnya datang ke rumah sakit hanya untuk menyampaikan fakta bahwa ia telah melunasi semua biaya sehingga Clarita tak perlu khawatir.Tetapi yang terjadi justru di luar kendalinya, Atma melihat sesuatu yang sebenarnya sudah tak asing lagi baginya. Karena nyaris tiap malam ia menikmati pemandangan itu secara cuma-cuma tetapi entah mengapa melihat ‘milik’ Clarita mampu membangkitkan sisi nakal darinya. Beruntung kali ini ia dalam mood yang baik sehingga ia tak berniat mengambil alih hak dua bayi tak bernama itu.Setelah menenangkan diri dari pikiran nakalnya, Atma berjalan mendekati Clarita yang masih menangis dengan sebelah tangan ia jadikan bantalan bagi sang Putra dan sebelahnya ia gunakan menutup wajah. “Daripada menangis, lebih baik kau menutup ini,” ujar Atma seraya menu
“Apa maksudmu?” tanya Clarita menyorot Atam tajam.Pria itu mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauhi Clarita. Tak berselang lama setelah kepergian Atma, dua orang wanita dengan pakaian putih khas perawat memasukki kamar Clarita. Mereka terkejut melihat apa yang tengah wanita itu lakukan.“Permisi Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang perawat membuat Clarita terkejut.“Hah? Ah itu tidak, aku hanya ingin merapikan pakaianku saja.” Clarita bergegas membetulkan posisinya.Ia kini lebih leluasa pasalnya sejak pagi tadi, tangannya telah terbebas dari jarum suntik yang mengganggu pergerakannya. Wanita berusia 22 tahun itu tampak senang karena semua rencana yang telah ia susun akan segera terlaksana.“Maaf Sus, jika saya keluar nanti berapa biaya yang harus saya tanggung?” tanya Clarita berhati-hati.“Biaya?” Suster yang tengah memeriksa tekanan darah Clarita tampak terkejut mendengar pertanyaan polos Clarita.Clarita mengangguk pelan seraya melayangkan tatapan takut. “Te
“Wah nak Clarita sudah lahiran. Kapan? Kok ndak bilang sama ibu?” sapa sang pemilik kos ketika berpapasan dengan Clarita yang hendak masuk ke kamarnya.“Iya bu, kemarin saya kecelakaan dan terpaksa melahirkan. Alhamdullilah orangnya bertanggung jawab.”Ibu kos tersenyum ramah dan berkata, “Syukurlah kalau begitu, yang penting kamu dan anakmu sehat ya.”Clarita hanya mengangguk dan tersenyum tipis, setelah berpamitan Clarita bergegas masuk ke dalam kamar kosnya. Ia membaringkan Yara dan Yandra dengan hati-hati ke atas bed tidurnya. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Ia mulai merapikan barang-barang pribadinya. Ia yakin betul jika setelah ini warga tak akan menerimanya lagi, karena ia pernah berkata jika suaminya akan kembali ketika ia telah melahirkan nanti. Dan sekarang jangankan suami ia saja tak tahu persis siapa ayah dari bayi kembar yang tengah tertidur pulas itu.“Loh kok langsung bersih-bersih, harusnya jangan banyak gerak dulu, Nak,” tegur ibu kos kep
"Kau sendiri yang tahu isi hatimu. Apakah kau nyaman dekatnya atau kau hanya kasihan?”Atma menatap Bara bingung. “Kasihan?”Bara tertawa renyah, kemudian ia meraih kopi hitam yang masih mengepulkan asap menyeruputnya secara perlahan. “Kasihan karena ia melahirkan tanpa kehadiran suami. Mungkin.”“Yang pasti hatiku sudah mati akan cinta!” tegas Atma, Bara hanya mengendikkan bahu cuek.Detik berganti menit, menit berganti jam. Pagi ini, Clarita direpotkan dengan kedua bayinya yang menangis bersamaan. Clarita mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan ia melakukannya berulang kali, berusaha untuk menetralkan pikirannya. Clarita selalu melakukan hal itu jika ia tengah dilanda kebingungan.“Ada apa, Cla?” tanya Ibu kos yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu kostnya.“Ah ini bu, maaf kalau mengganggu penghuni kos lain. Saya juga gak tahu kenapa Yara dan Yandra menangis begini. Padahal mereka sudah saya beri asi.”“Boleh ibu bantu? Sepertinya kamu kesulita
“Duduk sini mba.” Clarita mendongak pelan. hingga ditatapnya sosok wanita muda.“Hai mba, apa sudah ada yang dipanggil untuk interview?” tanya Clarita mencoba bersahabat kepada sosok wanita muda di sampingnya. Ia memprediksi jika usia wanita itu baru 19 tahun. Terlihat dari penampilan lugunya dan juga map coklat yang ia bawa.“Hai juga mba, sudah ada beberapa mba. Tersisa segini,” sahutnya sopan.“Segini?” tanya Clarita memastikan.“Iya mba, tadi pagi jauh lebih banyak. Oh iya mba, saya Deandra, panggil saja Dean.”Clarita membalas uluran tangan Dean dan berkata, “Aku Clarita, senang berkenalan denganmu, Mba.”Clarita dan Dean terlibat pada obrolan sederhana namun keduanya terlihat nyaman dan akrab. Tanpa sadar kini hanya tersisa ia, Dean dan 5 pelamar lainnya. Mereka berbincang mulai dari makanan kesukaan hingga pengalaman kerja. Ia tak menyangka jika diusia Dean yang masih muda itu ia telah memiliki banyak pengalaman kerja, sangat berbeda dengannya. Yang hanya berkerja beberapa kali
Di sana jelas berdiri dua sosok wanita dengan penampilan sederhana, tinggi tubuh mereka pun tak berbeda jauh. “Siapa At?” ulang Bara karena Atma tak memberi respon apapun pada pertanyaannya.Tanpa banyak kata, Atma menyalakan mesin mobilnya dan bergerak mengikuti angkutan umum di depannya. Bara mengernyitkan keningnya bingung, namun ia enggan bertanya pada pria di sampingnya. Lengan kekar Atma mencengkram erat stir mobil, sorot mata elang miliknya menatap lurus ke arah angkutan di depannya seakan ketika ia berkedip maka angkutan itu akan menghilang dari pandangannya.Bara tampak mendengus kasar, ia tak tahu ke mana Atma akan membawanya. Terlebih lagi beberapa pekerjaannya belum selesai. Kini Bara menyesali keputusannya untuk berangkat meeting satu mobil dengan Atma, seharusnya ia membawa mobilnya sendiri, sehingga ia tak perlu terjebak pada situasi yang membingungkan.Berbeda dengan Clarita, wanita itu tampak bercengkrama bersama dengan Dean. Setelah berbincang cukup lama dengan Dean,
“At!” panggil Bara yang mendapatkan tatapan tajam dari sang pemilik nama. Bara yang mengerti jika saat ini Atma sedang tak ingin mendengarkannya pun memilih untuk diam dan menikmati setiap adegan roman yang mungkin akan tersuguh.Clarita berjalan tertatih, di belakangnya turut serta gadis dengan rambut sepinggang. Jendela kaca Atma yang tak ditutup sepenuhnya membuat ia berhasil mencuri dengar perbincangan keduanya. “Mba, mba tuh nyari siapa?” tanya Dean bingung.“Dean gak akan tahu siapa!” pekik Clarita tanpa sadar.“Ya makanya mba kasih tahu dong! Kalau mba diam saja bagaimana Dean tahu!” teriak Dean tak kalah tingginya.Bahu Clarita melemah, ia gelisah. Apakah ia harus berkata yang sesungguhnya pada Dean?“Mba, Dean sudah anggap mba seperti kakak Dean sendiri walau kita baru kenal. Dean sudah menceritakan semuanya, Mba masih gak percaya?”“Kita baru saja kenal, De.”Dean mendesah pasrah. “Memangnya kenapa, Mba? Bukannya mba sendiri yang bilang mba di sini seorang diri? Mba sendiri