“Bapak gimana sih bawa mobilnya?” cerca warga setempat yang melihat seorang wanita tergeletak tak berdaya di panasnya aspal siang itu.
“Daripada anda memarahi atau mencaci saya, lebih baik bantu saya bawa wanita ini ke dalam mobil dan saya akan segera membawanya ke rumah sakit.” Pria itu berkata dengan nada yang sangat datar.
Pria tua itu menatap ia curiga. “Anda tak berniat membuang wanita ini, ‘kan?”
“Ck, apa tampang saya terlihat bak kriminal?” tanyanya dengan memutar bola mata kesal.
“Tampang tak selalu menjadi jaminan,” balas pria tua itu tak kalah sengit.
“Jadi bagaimana? Mau membiarkan ia tergeletak di sini atau membawanya ke rumah sakit?” tanya pria berjas lengkap itu membuat warga sekitar bergegas menggotong tubuh Clarita ke dalam mobil mewah milik pria yang tertuduh sebagai penabrak.
Mobil melaju membelah keramaian Kota Semarang. Berjalan menuju rumah sakit ibu dan anak dengan cepat, entah kenapa feeling pria itu mengatakan jika ia harus mencari rumah sakit bersalin secepatnya. Beruntung dari lokasi kejadian ke rumah sakit bersalin tak menyita waktu lama. Ia sendiri sebenarnya bingung, ia merasa tak menabrak wanita yang kini tengah berbaring di kursi penumpangnya, tetapi mengapa wanita itu terjatuh?
“Suster‼” pekiknya mengalihkan pandangan setiap pengunjung rumah sakit. Mereka tak berkedip menatap pria yang datang dengan terburu-buru belum lagi di dalam gendongannya terdapat wanita tak sadarkan diri dengan kondisi tengah mengandung.
“Suster‼” ulangnya karena tak kunjung mendapatkan respon sesuai keinginannya. Teriakan kedua pria tampan itu berhasil menyadarkan para perawat dari lamuanan liar mereka.
Suara roda brankar beradu dengan kerasnya lantai keramik, derap kaki yang berlari pun menambah suasana panik. “Silakan tunggu di luar, Pak. Kami akan memeriksa istri bapak.”
“Istri?” tanya pria itu tak percaya.
Perawat yang berada di depannya hanya tersenyum tipis dan berkata, “Bapak silakan selesaikan pendaftaran pasien jika sewaktu-waktu dibutuhkan penanganan lebih lanjut.” Belum sempat ia menjawab kini tubuh mungil sang suster telah menghilang digantikan dengan pintu putih bertuliskan “UGD.”
Mau tak mau pria itu melangkahkan kakinya menuju ruang administrasi, setidaknya ia tak mau dicap sebagai penabrak tak bertanggung jawab walau sejujurnya ia sendiri tak yakin jika telah menabrak Clarita.
“Dengan bapak siapa?” tanya petugas administrasi pada pria kaku di depannya.
“Adyatma. Tulis saja Atma.”
“Istri bapak bernama?” tanyanya sekali lagi.
Kening Atma mengerut, ia sendiri tak tahu siapa wanita yang ia bawa jangankan tahu namanya melihatnya tidak pernah.
“Sejujurnya sus dia itu –“
“Pak maaf, istri bapak harus segera dioperasi,” ujar seorang suster berjalan menghampirinya dengan tergesa-gesa memotong ucapan Atma pada petugas administrasi.
“Operasi?” tanya Atma tak mengerti.
Atma mengikuti langkah kaki suster tersebut dan meninggalkan bagian administrasi begitu saja. Ia seakan lupa jika ia bukanlah suami dari wanita yang tengah mengandung itu, namun jiwa kemanusiaannya lebih tinggi.
“Maaf pak, istri bapak mengalami benturan hebat di perutnya. Maka dari itu kami menyarankan untuk melakukan operasi caesar sesegera mungkin. Bukan apa-apa pak, saya hanya takut jika tidak dilakukan sekarang maka akan berdampak pada nyawa ketiganya,” jelas dokter yang Atma temui di depan ruangan IGD.
“Tiga?” Kerut di kening Atma semakin dalam, ia tak mengerti maksud dari sang Dokter.
“Benar pak, istri bapak mengandung bayi kembar. Maka dari itu kita harus segera melakukan tindakan agar –“
“Lakukan saja apa yang terbaik,” potong Atma tak sadar. Setelah itu beberapa perawat membawa wanita yang disebut ‘Istrinya’ menuju ruangan operasi. Atma berjalan mengikuti perawat dari belakang dengan langkah tenang namun pasti. Auranya tak pernah surut, ia selalu berhasil memikat siapa saja yang melihatnya.
Satu jam telah berlalu, Atma masih duduk dengan tenang di depan pintu ruangan operasi. Setelah tadi ia berhasil menyelesaikan urusan administrasi dan mengetahui nama wanita yang tanpa sengaja tertabrak olehnya. Dering di ponsel Atma mengalihkan perhatiannya namun, entah mengapa ia enggan menjawabnya.
Atma bersyukur karena harus direpotkan mengurus keperluan Clarita, karena dengan begini ia bisa terbebas dari jerat wanita yang menyandang status sebagai calon tunangannya. Atma melepas jas hitamnya dan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku membuka dua kancing teratasnya membuat kesan cool semakin tercetak jelas di auranya. Tak jarang pengunjung yang melintas di depannya menatap ia kagum dan liar.
“Dengan bapak Atma?” panggil seorang suster dari balik pintu operasi.
Atma bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati sang suster. “Selamat pak, bayi dan istri anda selamat. Jika Bapak ingin melihat sang bayi dan meng-adzaninya silakan masuk.”
“Adzan?” tanya Atma lirih. Dalam hati ia merutuki kebodohannya ia tak terpikirkan hal itu. Selama ini ia sholat saja jarang bagaimana bisa ia meng-adzani bayi?
“Silakan pak,” ujar suster itu dan membukakan akses pintu semakin lebar seakan memaksa Atma untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Sesaat netra Atma melirik wanita yang terbaring tak sadarkan diri, wanita yang baru saja ia ketahui namanya. Dan juga status pernikahannya. Dalam hati ia bertanya-tanya bagaimana bisa seorang wanita berstatus belum menikah tetapi melahirkan 2 bayi sekaligus? Apakah ia korban hamil di luar nikah? Atau ia korban pemerkosaan?
“Kalau begitu bayinya akan kami bersihkan dan ibu Clarita akan segera kami pindahkan ke ruang rawat ya pak, terima kasih. Bapak bisa kembali menunggu di luar.” Tanpa banyak kata, Atma melangkahkan kakinya keluar dari ruangan yang membuatnya menjadi pribadi yang berbeda.
Saat menunggu Clarita dipindahkan ke ruang rawatnya, Atma menyempatkan diri menengok ponsel yang sedari tadi terus berdering menandakan panggilan telephone. Pria dengan kemeja putih gading itu mendesah kasar, kala ia mendapati puluhan panggilan tak terjawab juga ribuan pesan dari nomor yang tak pernah ia harapkan. Perhatian Atma teralihkan kala suara roda brankar dan lantai beradu, ia menoleh dan mendapati Clarita tengah berbaring lemah.
“Ibu Clarita sudah selesai kami bersihkan, Pak. Kini tinggal menunggu efek samping dari obat biusnya habis. 1 atau 2 jam lagi Ibu Clarita akan sadar.” Atma hanya mengangguk pandangan elangnya tak lepas dari wajah Clarita yang tengah terlelap dengan begitu tenang. Hidung mancung, bibir tipis, dan bulu mata yang lentik terasa tak asing bagi pria berusia 26 tahun itu.
Sepeninggalan suster dan juga dokter yang merawat clarita, Atma hanya diam menatap wanita dengan wajah polos yang tengah tertidur dengan pulas, walau ia sendiri tahu jika wanita itu tertidur karena obat bius akan tetapi ia menyukai ekspresi tidur wanita yang baru saja melahirkan bayi kembar.
“Eungghh,” lenguh Clarita seraya mengerjapkan kedua bola matanya pelan. Ia merasa kepalanya begitu berat dan sekujur tubuhnya terasa kaku.
Setelah berhasil menyamakan sinar yang masuk ke netranya, kini manik mata hitam pekat Clarita berhasil terbuka dengan jelas. “Kau siapa?” tanya Clarita pada sosok pria dengan garis wajah tegas yang duduk dengan tenang di samping ranjang rumah sakit.
“Kau baru saja melahirkan anak kembar,” jelas Atma seakan tahu rentetan pertanyaan yang akan dilayangkan wanita itu padanya.
“Anakku? Di mana?” tanya Clarita panik dan meraba perutnya. Ia lantas bergerak ingin turun dari ranjang akan tetapi perutnya masih terasa sakit.
“Jangan banyak bergerak, kau baru saja selesai menjalankan operasi. Tunggu sebentar biar aku panggilkan dokter.” Atma membantu Clarita untuk kembali tidur dan merapikan selimutnya. Pada saat Atma menunduk Clarita melihat sebuah kalung berlionting gading yang menggantung di leher pria itu, ia lantas mendelik tak percaya.
Ia menggeleng cepat dengan nafas tercekat. “Tak mungkin,” lirihnya.
Hai teman-teman, jangan lupa tinggalkan komentar jika kalian menyukai cerita ini yah!! Hope you like it, Guys!!
“Saya sebagai orang tua kandung Danila Ayudia tentu menyerahkan semua keputusan di tangan putri kami. Kebahagiannya adalah kebahagian kami juga,” sahut Ganesha mengabaikan pertanyaan Danila. “Apa? Orang tua kandung? Maksudnya?” tanya Danila bingung ia pun melemparkan tatapan menuntut ke arah Bram. “Sayang, Tante Ratasya dan Om Ganesha adalah orang tua kandung kamu, yang selama ini disembunyikan oleh Pak Brahma, mereka –“ “Apaa‼” pekik Danila tak percaya. “Jadi? Yang kalian bicarakan saat persidangan itu aku?” tanya Danila tak percaya. “Iya sayang, kami memang orang tua kandungmu. Semua bermula dari … .” Ganesha mulai menceritakan awal mula Brahma merebut Danila darinya. Mulai saat Brahma merebut harta miliknya hingga ke kasus penculikan juga penyekapannya. Danila menyimak ucapan orang tuanya dengan begitu seksama, ia tak mau terlewatkan barang satu kata pun. Hingga ia sampai pada cerita tentang percobaan pembunuhan yang Brahma lakukan pada mereka, Danila mengeram tertahan, selama
“Aku ingin selalu seperti ini selamanya? Bisa ‘kan?” “Kamu ini bikin mas hampir jantungan saja. Sayang, hanya maut yang bisa memisahkan kisah cinta kita. Aku akan selalu berusaha selalu berada di sampingmu,” tutur Byan membuat hati Clarita menghangat dan kupu-kupu si perutnya berterbangan. “Mas nanti malam kita pakai ini saja ya? Acaranya kan di tepi pantai, aku juga gak bisa kalau pakai baju terbuka, alergi dingin. Untung suami aku gak dingin,” canda Clarita seraya menatap sang Suami manja. “Sayangg,” ujar Byan salah tingkah, pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal itu. Matahari pun mulai bergeser, menyisakan langit berwarna jingga dengan suara hiruk pikuk mobil yang berlalu lalang. Clarita baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya, sedangkan sang Suami masih berkutat di meja kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur mereka, Byan sengaja mendesain ruang kerjanya di dalam kamar hanya dengan memberi sekat kaca yang membatasi antara kama
“Perusahaan koleps, seluruh perusahaan besar menunda penanda tangannya MOU. Harga saham menurun drastis, beberapa vendor menagih pelunasan segera, kau ke mana saja?” ucap Mahen seraya membiarkan putranya membaca seluruh isi mapnya.“Kita bisa menangani ini sem –““Dengan cara apa? Sekarang saja perusahaan sudah tak ada kerja sama, oke masih ada tetapi itu hanya project remahan, kamu pikir itu bisa membayar semua tagihan? Belum lagi gaji pegawai. Seharusnya kamu memikirkan itu, kamu fokus membesarkan perusahaan ini bukan justru sibuk mengurus wanita dan anaknya yang penyakitan itu!”“Shut up, Pah! Apa papah tahu aku jadi seperti ini karena siapa? Karena anda! Anda yang selalu mengagalkan percintaanku anda yang selalu menghancurkan urusan hidupku sendiri. Kenapa? Karena anda terlalu ingin terlihat sempurna, padahal anda jauh lebih busuk daripada bangkai tikus.” Atma ber
“Gak papa kok, ya sudah kita masuk lagi yuk? Kayanya sudah waktunya mulai lagi persidangannya.” Mereka pun mengangguk setuju dengan ucapan Byan. Mereka pun kembali berjalan beriringan memasuki ruang sidang, siang ini mereka akan mendengar keputusam hakim atas perbuatan Brahma bertahun-tahun lalu.“Mas,” lirih Clarita mencekal lengan Byan. Pria itu menoleh dan menatap teduh sang Istri. “Aku takut.”“Pasrahkan semua ke Allah, ya. Semua akan baik-baik saja.” Clarita menghela napas seraya mengeratkan genggamannya di tangan sang Suami.Hakim dan seluruh jajaran pun mulai memasuki ruangan, setelah itu Brahma selaku tersangka utama telah hadir kembali di ruang sidang. Setelah persidangan kembali dibuka Jaksa penuntut umum kembali membacakan dakwaannya.“Dengan ini, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Brahma Wijaya dengan pasal tersebut selama 25 tahun kurungan.”Bola mata Clarita nyaris terlepas dari tempatnya kala mendengar putusan hakim kepada pria yang selama ini anggap sebag
“Kita hanya bisa berpasrah diri, Dan. Kita sudah berusaha menegakkan keadilan semoga semua sesuai dengan harapan kita ya.”Waktu seakan begitu cepat berlalu, hari-hari berlalu begitu cepat. Sejak persidangan pertama kemarin kehidupan Danila terasa begitu nikmat dan ringan. Ia masih bekerja di toko kue milik sang Kakak. Sedangkan hubungan asmaranya masih terjalin dengan baik. Bram tak pernah menuntut hubungan ranjang pria itu justru mengarahkan Danila menjadi wanita yang lebih elegant.Lain halnya dengan Atma, pria itu justru semakin gencar mendekati Hanna. Ia bahkan tak peduli dengan penolakan yang terus Hanna berikan padanya. Hanna adalah harapan terakhir untuknya mendapatkan warisan dari sang Nenek, ia pun tak menyerah untuk mendapatkan Hanna kembali.“Han, percayalah padaku. Aku tak hanya membutuhkan Bayu, sejujurnya aku masih menyimpan rasa padamu, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Apa tida
“Katakan apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Hanna dengan tatapan penuh selidik.“Begini, aku dituntut untuk memiliki seorang anak. Dan kamu butuh sumsumku bukan? Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dan Bayu tetapi menikahlah denganku.”Hanna pun tersenyum miring. “Jadi benar ‘kan dugaanku? Kamu mengejarku dan berbuat baik padaku itu tidak tulus dari dalam hati, apa ini memang sifat aslimu?”“Ayolah, Han. Aku butuh kerja sama ini, agar aku bisa terlepas dari ayahku. Aku akan menghidupi kalian dengan baik, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya butuh Bayu dan status ini agar warisan nenekku bisa segera aku miliki.”“Kamu berubah, At! Ini bukan Atma yang aku kenal!” pekik Hanna seraya berjalan menjauhi pria itu.“Han aku berubah begini karenamu! Aku tak lagi p