Clarita menoleh dengan mata sembab dan pipi yang masih basah kala mendengar suara Atma yang berdiri tak jauh darinya. “Apa!” pekik Clarita.
Atma mengernyitkan kening bingung, ia tak tahu asal usul wanita di depannya begitupun sebaliknya. Tetapi ia tak mungkin diam saja melihat seorang wanita yang baru saja melahirkan bayi kembar tengah menangis tersedu-sedu, terlebih lagi wanita itu tengah merengkuh tubuh putrinya.
Entah setan mana yang merasuk ke dalam tubuh Atma, tangan kekarnya terulur mengambil alih bayi yang baru beberapa jam merasakan dunia luar itu. Bak membawa sebuah barang yang mudah rapuh, Atma menggendongnya dengan hati-hati, seakan sedikit saja ia salah langkah maka bayi yang ada di dalam gendongannya akan hancur lebur.
Terlalu berlebihan untuk pria sekelas Atma, pria tak tersentuh yang entah mengapa begitu peduli pada bayi kembar dan juga wanita yang ada di depannya. Setelah berhasil meletakkan kembali sang putri ke keranjangnya, ia bergegas keluar memanggil perawat.
Tak lama Atma kembali bersama dengan dua orang perawat yang sama dengan yang mengantarkan bayi tadi. Atma memberikan kode agar perawat membawa kembali bayi itu. Atma memang tak tahu bagaimana meluluhkan hati wanita atau menenangkan tangisan wanita.
Atma menarik kursi mendekat ke arah Clarita. Ia hanya diam dan tak bergeming menatap punggung wanita yang sama sekali tak ia kenal. Begitu juga dengan Clarita, ia masih menangis dalam diam, punggungnya bergetar tak karuan.
Ia sendiri tak tahu mengapa air matanya tak mau berhenti. Padahal ia merasa jika ia baik-baik saja, kecuali masa depan yang sudah tak berbentuk lagi. Clarita mencoba menenangkan diri dan berusaha menghentikan tangisannya tetapi, semakin ia berusaha, semakin kencang pula bulir bening itu mengalir. Tangis wanita itu bukanlah tangisan biassa, Atma menyadari itu. Ada yang berbeda dari tangisan wanita dengan rambut sepunggung itu.
“Menangislah tak perlu ditahan. Tetapi setelah ini –“
“Kau tak boleh menangis lagi,” potong Clarita dengan suara parau. “Klasik, semua pria brengsek akan berkata begitu.” Atma terkejut mendengar ucapan Clarita, ia menyimpulkan jika wanita itu ditinggalkan oleh kekasihnya.
Atma kembali terdiam, ia benar-benar payah dalam hal merayu wanita, karena selama ini wanitalah yang merayu dirinya dan dengan senang hati menyerahkan tubuhnya untuk digagahi oleh pria berpangkat ceo itu. Atma hanya perlu berbaring di atas ranjang dengan raut wajah dingin maka para wanitalah yang akan dengan senang hati bergerak di atas tubuhnya.
Namun, selama ini hanya ada satu wanita yang terus mengganggu pikirannya hingga ia tak bisa lagi menikmati setiap gerakan wanita liar di luaran sana. Seorang wanita yang datang padanya saat ia ‘on fire’ dan hingga kini Atma berusaha menemukannya tetapi bak ditelan bumi wanita yang ia gagahi sama sekali tak ditemukannya. Ia telah mencari dari ujung kota hingga ke ujung negara tak pernah lagi ia temukan wanita itu.
“Bisa kau keluar?” tanya Clarita masih dengan suara parau.
“Kau tak mau bercerita?” tanya Atma tanpa sadar. Ia seketika merutuki mulutnya yang dengan lancang menawarkan sesuatu pada wanita yang baru beberapa jam ia kenal.
Clarita berbalik, ia menatap Atma dengan wajah sembab belum lagi bulir bening yang masih menetes membasahi pipinya. Ia menatap Atma dingin terlampau dingin bahkan baru kali pertama ada perempuan yang berani menatapnya begitu dingin, selama ini ia selalu mendapatkan tatapan memuja. “Aku rasa kita tak sedekat itu untuk saling berbagi kisah hidup.”
Final, Clarita telah mendirikan tembok tinggi untuk pria berkemeja putih itu. Atma menatap Clarita dalam-dalam, entahlah bagi Atma netra wanita itu terasa tak asing dan teduh walau wanita itu menatapnya dingin. Saat menatap Clarita, Atma mendapati sebuah guratan kesedihan dan kebingungan di dalamnya.
“Kau belum lumpuh, ‘kan?” sarkas Clarita karena pria di depannya tak bergerak barang 1 mili pun.
Atma mendengus kasar, kemudian mendorong kursi hingga menimbulkan bunyi gesekan yang memilukan hati. Clarita memejamkan mata sejenak menetralkan perasaan aneh yang bergelayar di hatinya. Atma melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan Clarita. Tak lama, terdengar bunyi pintu terbuka dan tertutup secara bergantian, menandakan jika pria yang berada 1 ruangan dengannya telah keluar.
Semenjak kepergian Atma, Clarita terus memikirkan petunjuk yang mungkin bisa ia ingat tentang siapa pria yang telah merengggut mahkotanya. Hanya 1 petunjuk yang Clarita ingat, pria itu memiliki kalung berbentuk gading dan juga tato bunga mawar hitam di dadanya. Namun, pria dengan ciri seperti itu bukan hanya 1 atau 2 di dunia ini. Bahkan kalung itu terasa pasaran, mungkin ada lebih dari ribuan pria yang memiliki kalung tersebut dan belum lagi tato, Clarita semakin frustasi memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.
Di lain sisi, Atma semakin penasaran dengan siapa sosok wanita yang berada di dalam ruangan sana, wanita yang memandangnya berbeda. “Aku harus cari tahu.” Jemari Atma bergerak megetikkan beberapa huruf di layar ponselnya, tak lama ponselnya kembali berdering singkat Atma bergegas membuka kembali ponselnya dan membaca pesan yang baru saja ia terima.
Bibir Atma berkedut lirih kala ia membaca sederet informasi Atma yag baru saja Bara –tangan kanan Atma— berikan padanya, lengkap dengan alamat rumah, ukuran sepatu, hobi, makanan kesukaan dari Clarita. Atma dengan penuh antusias membaca seluruh informasi yang Bara berikan padanya, akan tetapi kening Atma berkerut kala ia tiba di lembar terakhir dari laporan Bara. Pria dengan jambang tipis itu tak menemukan informasi apapun tentang asal usul Clarita, tak menemukan siapa suaminya, kapan ia menikah, dan juga siapa keluarganya. Ia hanya menemukan nama lengkap Clarita yaitu Clarita Inggit Devina M.
Atma mendial nomor ponsel Bara. Tak sampai hitungan kelima, sambungan telepon telah berganti sapaan sopan dari Bara. “Datamu tidak lengkap. Kau mau dipecat?” tanya Atma tanpa basa-basi dan tanpa salam.
Terdengar helaan nafas kasar di seberang sana, Bara sendiri sudah hafal dengan tabiat Bosnya, bagaimana tidak, selama 8 tahun sudah Bara menemani Atma memimpin perusahaan keluarga. Belum lagi jika tanpa sengaja Atma menanamkan benih ke janin wanita di luar sana, Atma akan menyerahkannya pada Bara untuk menyelesaikan setiap masalah yang akan terjadi.
[“Aku sudah bilang padamu. Wanita itu tak memberikan informasi apapun pada sosial media maupun warga setempatnya. Kau tahu dia bak alien yang datang secara tiba-tiba di kampung itu. Tak ada yang tahu siapa suaminya dan siapa keluarganya. Ia hanya berkata jika ia sengaja tinggal di sini untuk menenangkan diri.”] Atma mendesah kesal mendengar penjelasan Bara.
Tak ada yang bersuara baik Atma maupun Bara, seperti biasa Bara akan menunggu Atma memutuskan sambungan telepon jika ia masih mau bekerja di perusahaan ternama itu.
[“Lagi pula, tumben kamu mencari tahu tentang wanita? Ada apa?”]
“Saya sebagai orang tua kandung Danila Ayudia tentu menyerahkan semua keputusan di tangan putri kami. Kebahagiannya adalah kebahagian kami juga,” sahut Ganesha mengabaikan pertanyaan Danila. “Apa? Orang tua kandung? Maksudnya?” tanya Danila bingung ia pun melemparkan tatapan menuntut ke arah Bram. “Sayang, Tante Ratasya dan Om Ganesha adalah orang tua kandung kamu, yang selama ini disembunyikan oleh Pak Brahma, mereka –“ “Apaa‼” pekik Danila tak percaya. “Jadi? Yang kalian bicarakan saat persidangan itu aku?” tanya Danila tak percaya. “Iya sayang, kami memang orang tua kandungmu. Semua bermula dari … .” Ganesha mulai menceritakan awal mula Brahma merebut Danila darinya. Mulai saat Brahma merebut harta miliknya hingga ke kasus penculikan juga penyekapannya. Danila menyimak ucapan orang tuanya dengan begitu seksama, ia tak mau terlewatkan barang satu kata pun. Hingga ia sampai pada cerita tentang percobaan pembunuhan yang Brahma lakukan pada mereka, Danila mengeram tertahan, selama
“Aku ingin selalu seperti ini selamanya? Bisa ‘kan?” “Kamu ini bikin mas hampir jantungan saja. Sayang, hanya maut yang bisa memisahkan kisah cinta kita. Aku akan selalu berusaha selalu berada di sampingmu,” tutur Byan membuat hati Clarita menghangat dan kupu-kupu si perutnya berterbangan. “Mas nanti malam kita pakai ini saja ya? Acaranya kan di tepi pantai, aku juga gak bisa kalau pakai baju terbuka, alergi dingin. Untung suami aku gak dingin,” canda Clarita seraya menatap sang Suami manja. “Sayangg,” ujar Byan salah tingkah, pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal itu. Matahari pun mulai bergeser, menyisakan langit berwarna jingga dengan suara hiruk pikuk mobil yang berlalu lalang. Clarita baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya, sedangkan sang Suami masih berkutat di meja kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur mereka, Byan sengaja mendesain ruang kerjanya di dalam kamar hanya dengan memberi sekat kaca yang membatasi antara kama
“Perusahaan koleps, seluruh perusahaan besar menunda penanda tangannya MOU. Harga saham menurun drastis, beberapa vendor menagih pelunasan segera, kau ke mana saja?” ucap Mahen seraya membiarkan putranya membaca seluruh isi mapnya.“Kita bisa menangani ini sem –““Dengan cara apa? Sekarang saja perusahaan sudah tak ada kerja sama, oke masih ada tetapi itu hanya project remahan, kamu pikir itu bisa membayar semua tagihan? Belum lagi gaji pegawai. Seharusnya kamu memikirkan itu, kamu fokus membesarkan perusahaan ini bukan justru sibuk mengurus wanita dan anaknya yang penyakitan itu!”“Shut up, Pah! Apa papah tahu aku jadi seperti ini karena siapa? Karena anda! Anda yang selalu mengagalkan percintaanku anda yang selalu menghancurkan urusan hidupku sendiri. Kenapa? Karena anda terlalu ingin terlihat sempurna, padahal anda jauh lebih busuk daripada bangkai tikus.” Atma ber
“Gak papa kok, ya sudah kita masuk lagi yuk? Kayanya sudah waktunya mulai lagi persidangannya.” Mereka pun mengangguk setuju dengan ucapan Byan. Mereka pun kembali berjalan beriringan memasuki ruang sidang, siang ini mereka akan mendengar keputusam hakim atas perbuatan Brahma bertahun-tahun lalu.“Mas,” lirih Clarita mencekal lengan Byan. Pria itu menoleh dan menatap teduh sang Istri. “Aku takut.”“Pasrahkan semua ke Allah, ya. Semua akan baik-baik saja.” Clarita menghela napas seraya mengeratkan genggamannya di tangan sang Suami.Hakim dan seluruh jajaran pun mulai memasuki ruangan, setelah itu Brahma selaku tersangka utama telah hadir kembali di ruang sidang. Setelah persidangan kembali dibuka Jaksa penuntut umum kembali membacakan dakwaannya.“Dengan ini, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Brahma Wijaya dengan pasal tersebut selama 25 tahun kurungan.”Bola mata Clarita nyaris terlepas dari tempatnya kala mendengar putusan hakim kepada pria yang selama ini anggap sebag
“Kita hanya bisa berpasrah diri, Dan. Kita sudah berusaha menegakkan keadilan semoga semua sesuai dengan harapan kita ya.”Waktu seakan begitu cepat berlalu, hari-hari berlalu begitu cepat. Sejak persidangan pertama kemarin kehidupan Danila terasa begitu nikmat dan ringan. Ia masih bekerja di toko kue milik sang Kakak. Sedangkan hubungan asmaranya masih terjalin dengan baik. Bram tak pernah menuntut hubungan ranjang pria itu justru mengarahkan Danila menjadi wanita yang lebih elegant.Lain halnya dengan Atma, pria itu justru semakin gencar mendekati Hanna. Ia bahkan tak peduli dengan penolakan yang terus Hanna berikan padanya. Hanna adalah harapan terakhir untuknya mendapatkan warisan dari sang Nenek, ia pun tak menyerah untuk mendapatkan Hanna kembali.“Han, percayalah padaku. Aku tak hanya membutuhkan Bayu, sejujurnya aku masih menyimpan rasa padamu, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Apa tida
“Katakan apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Hanna dengan tatapan penuh selidik.“Begini, aku dituntut untuk memiliki seorang anak. Dan kamu butuh sumsumku bukan? Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dan Bayu tetapi menikahlah denganku.”Hanna pun tersenyum miring. “Jadi benar ‘kan dugaanku? Kamu mengejarku dan berbuat baik padaku itu tidak tulus dari dalam hati, apa ini memang sifat aslimu?”“Ayolah, Han. Aku butuh kerja sama ini, agar aku bisa terlepas dari ayahku. Aku akan menghidupi kalian dengan baik, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya butuh Bayu dan status ini agar warisan nenekku bisa segera aku miliki.”“Kamu berubah, At! Ini bukan Atma yang aku kenal!” pekik Hanna seraya berjalan menjauhi pria itu.“Han aku berubah begini karenamu! Aku tak lagi p