Share

02. Hanya ingin nonton pombob

Rania sedang berkutik dengan layar komputer di depannya. Sesaat Vano berbisik ke telinganya.

"Buna … Ano main sana yaa …," tunjuknya ke luar pintu lantai para staf.

Rania mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa pesan Buna, jangan nakal, jangan duduk di kursi yang lebar itu, ya," ucap Rania memberi pengertian. Bahwasanya, ada beberapa tempat yang tidak boleh diduduki sembarang orang karena itu untuk kursi VIP.

Vano menganggukkan kepalanya, lalu berlari sambil membawa mobil mainan dan pesawat mainannya. Di gedung yang sama, Jihan membawa keponakannya untuk bertemu dengan Raihan. Jihan membawa tiga keponakan laki-lakinya ke perusahaan tersebut. Raihan pun menyambut kedatangan mereka. Bukankah hari yang menyenangkan bagi Raihan saat ini?

Raihan membawa ketiga keponakan Jihan untuk menonton di ruangan VIP. Ya, benar, ruangan yang dimaksud Rania pada Vano adalah ruangan itu. Disana, para keponakan Jihan menonton tv sambil duduk di atas kursi mewah, kaki mereka juga dibaluti selimut bulu tebal, mengingat sekarang sedang musim dingin. Mereka memutar film spongebob.

Vano kecil juga ikut menonton, tetapi dari luar saja, dari balik dinding yang bahannya terbuat dari kaca. Karena mengingat perkataan bunanya, bahwasanya dia tidak boleh masuk kesana atau hanya sekedar duduk di kursi mewah tersebut. Vano pikir, menonton saja tidak apa, kan? Kan tidak duduk disana. Anak laki-laki itu berjongkok dan matanya tidak lepas dari tv. Sebabnya? Film spongebob adalah film kesukaannya.

Raihan juga memberikan banyak makanan enak dan minuman hangat kesukaan para keponakan Jihan itu. Sungguh, calon suami yang baik untuk Jihan. Miris, bukan? Tidak. Itu adalah sebuah kasta. Bukankah kasta Rania sangat rendah dari Raihan? Sangat tidak pantas jika putranya ikut bergabung di dalam sana. Sudah sangat pas jika hanya berjongkok diluar, namanya menumpang, haha.

Vano itu sangat asik menonton, sampai lupa jika ada orang yang memperhatikannya. Sesekali, Vano menggaruk lengannya karena gatal. Benar saja, dia berjongkoknya di dekat tanaman hias, tanaman tersebut menyentuh tangannya dan membuat gatal. Siapa yang memperhatikan Vano? Raihan. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya melihat Vano disana. Hey Raihan, jika benci ibunya maka jangan benci anaknya. Anak kecil terlahir suci dan polos. Jika ibunya punya banyak dosa, bukan berarti anak itu ikut menampung dosa ibunya.

Raihan keluar dan berdiri di depan pintu, membuat Vano menoleh pada Raihan. Mata kecilnya beradu pandang dengan Raihan, ada getaran aneh yang menimpa jantung pria itu. "Sedang apa kau disitu?" tanya Raihan dengan wajah galaknya.

Vano menunduk dan memberi hormat, ia meniru bunanya yang selalu membungkukkan badan jika bertemu orang. "Noton pombob," ucapnya sangat polos. Manusia mana pun akan menghangat mendengar pernyataan anak polos ini, sangat imut dan manis.

"Lalu, Kenapa kau berjongkok disitu? Apa kau tidak punya tv di rumah?"

"Ada. Tapi, Ano lagi ikut Buna kelja. Jadi tidak membawa tv," jawabnya lagi dengan sangat lugu.

"Kau ini anak nakal, ya?"

Vano menggelengkan kepalanya. "Tidak … Ano t-tidak nakal …," jawabnya dengan mata yang berkaca-kaca. Kini, tangannya bergerak memeluk mobil dan pesawat mainannya erat-erat.

"Terus kenapa kesini, ingin mencuri? Apa yang ingin kau ambil?"

Tes!

Air mata Vano jatuh sebulir membasahi pipinya. "A-ano ... t-tidak menculi…. A-ano tuma noton pombob …," lirihnya pelan sekali sembari menunjuk tv di dalam sana. Lalu, dia menghapus air matanya sendiri dengan punggung tangan tersebut. Perlahan, dia menggerakkan lututnya untuk berjalan merangkak, yang jelas dia tidak ingin dituduh mencuri.

"Ano!" Panggil seseorang dari jarak yang cukup jauh. Vano menoleh diikuti oleh Raihan.

"Handa," kilah Vano dengan senyum bahagia. Dia berdiri dan berlari begitu saja mengejar Renan yang langsung berjongkok untuk bersiap membawa Vano ke pelukannya.

Raihan mengepalkan kedua tangannya saat melihat Vano berlari mengejar Renan. Dia sangat geram, entah kenapa. Renan yang sudah menggendong Vano, hanya menatap sinis Raihan. Lalu, berlalu begitu saja menuju ruangannya.

"Ano kenapa disitu, sayang? Kenapa tidak ke ruangan Handa saja?" Renan mencium pipi Vano karena gemas.

"Handa Enan kan sedang bekelja. Ano yagi noton pombob, hehe …," cengirnya dengan sangat polos, membuat Renan tersenyum. Apalagi sekarang, dia melihat mainan yang dipeluk Vano, semakin membuat senyum lebarnya tercipta. Itu kan mainan yang dibelikannya saat mengunjungi Vano sewaktu dirawat di rumah sakit. Jadi, begini ya rasa senangnya jika membelikan mainan untuk anak, pikir Renan.

"Ya sudah, nonton pombob di ruangan Handa saja, ya?"

Vano menganggukkan kepalanya. "Yeayyy!!""

Vano duduk di sofa lebar yang empuk, dengan kain selimut yang sejuk. Dia fokus menonton film spongebob sambil memakan kebab hangat dan susu coklat. Renan duduk di kursi kerjanya, menandatangani data keuangan yang baru saja terbit tadi pagi, sesekali ia melirik Vano yang fokus menonton. Lagi, hati Renan bergemuruh euphoria.

***

Dua jam berlalu ….

Rania membawa lembaran berkas baru ke ruangan Renan. Ruangannya tidak dikunci, itu artinya Renan ada di dalam sana. Rania masuk dan berjalan lebih dalam ke sana. "Astaga, jadi Ano disini ...." gumamnya berjalan ke arah sofa. Di sofa lebar itu, Renan dan Vano tertidur pulas. Vano yang dipeluk Renan sangat nyaman sekali.

Rania meletakkan berkasnya di atas meja, lalu menarik selimut tebal itu untuk menyelimuti Renan dan Vano. Setelah itu, memperbaiki posisi bantal Renan. Rania menunduk dan mengangkat kepala pria itu, lalu membenahi posisi bantal dengan benar.

"Handa Renan juga masih terlihat bayi, ya, seperti Ano," ucap Rania tanpa sadar.

Tap!

Renan membuka kedua matanya dan mendapati wajah Rania di atasnya, wajah cantik berseri yang membuat jantung Renan selalu bergemuruh. Aroma vanilla milik Rania begitu memabukkan penciuman Renan, di bawah sana sesuatu yang sesak sedang terjadi.

"K-kau! T-tidak tidur?" tanya Rania gugup. Dia terkejut, ternyata Renan tidak tidur.

Drap!

Renan memegang pinggul Rania dan membawa tubuhnya untuk duduk, sehingga Rania kini duduk dipangkuan laki-laki tersebut.

"R-ren …," ucap Rania gelagapan karena Renan tidak berhenti menatap wajahnya. Renan memeluk tubuh Rania yang ada di pangkuannya. Kepalanya ia telusupkan ke leher Rania. Laki-laki itu menghirup aroma tubuh Rania. "R-ren! Apa yang kau-"

"Syuttt!!" Potong Renan cepat. "Biarkan saja, tolong. Aku hanya ingin seperti ini lebih lama."

"T-tapi, H-hana d-dilur menu-"

"Bukan urusanku. Urusanku hanya tentang Rania."

Jleb!

Diluar sana, Hana mengepalkan kedua tangannya. Hatinya sakit dan yang paling sakit.

•••

Srak!

Raihan menaruh sebuah box berwarna biru muda di depan Rania. Rania yang sedang fokus pada layar komputernya tersentak kaget.

"Dress-mu, untuk nanti malam. Pertemuan kolega bersamaku. Renan sudah dari kemarin kan berangkat ke luar kota?"

Rania membuat ekspresi bingung. "Kenapa harus saya, Pak? Bukannya banyak karyawan lain atau sekretaris Bapak yang bisa mewakilkan. Itu bukan bagian saya."

Bukannya menjawab langsung, Raihan sedikit terdiam sambil memperhatikan wajah Rania. Dulu, sewaktu kuliah melihat wajah Rania adalah candu dan wajib dilihat setiap hari. "Karena tubuhmu memiliki nilai jual dan bisa membuat investor bermata keranjang rela berinvestasi besar," ucap Raihan dengan senyum remehnya.

Mendengarnya, membuat Rania memejamkan matanya sebentar. Apa laki-laki ini memang benar-benar menganggap Rania sebagai pelacur sekarang? "Apa Bapak menganggap saya sebagai penjual diri?"

Raihan melipat tangannya di dada. "Jadi kau tidak merasa pelacur, ya? Apa menjajakkan tubuhmu untuk ayahku bukan sesuatu yang bisa disebut jual diri?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status