Share

Ayah Untuk Anakku
Ayah Untuk Anakku
Penulis: bigelbul

01. Kemarahan Raihan

"Siapa yang memperbolehkan membawa anak ke dalam kantor ini!" teriaknya di depan wajah Rania, membuat Rania tersentak dan sedikit memundurkan tubuhya. Di belakang Rania, si anak bungsu yang sibuk memegangi pergelangan tangan bunanya dan mengajak untuk pulang.

"Aku sudah diberi kebebasan membawa anak jauh sebelum kau kembali kesini," jawab Rania masih dengan penuturan kata yang sopan.

Raihan mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau membuat kantor ini seolah-olah milikmu."

Rania menggeleng. "Tidak. Aku sadar siapa aku disini, aku hanya memberitahu bahwa aku diberi kebebasan untuk membawa anak-anakku."

"Cih! Aku ingin sekali menyayat bibirmu itu! Lihat apa yang telah anak sialanmu itu perbuat!"

Rania mengepalkan kedua tangannya menahan emosi atas makian yang dikeluarkan dari mulut laki-laki itu. "Anakku terlahir suci, bukan anak sialan," balasnya dengan sedikit dingin.

"Anak mana yang sangat nakal dan tidak tahu diri berkeliaran di saat semua orang sedang bekerja. Lalu, menumpahkan kopi di atas dokumen-dokumen penting yang telah aku tanda tangani."

"Aku akan ulang untuk print-nya serta aku minta maaf dan tolong jangan memarahi anakku." Kini, mata Rania sudah mulai berkaca-kaca.

"Aku tidak butuh air matamu!"

Gres!

Renan meremat kaleng minumannya yang telah kosong dan melemparkannya mengenai tempat sampah. Matanya yang tajam menatap nyalang si sulung, Raihan.

"Rania, selesaikan pekerjaanmu, ini perintahku sebagai atasanmu," kilah Renan, lalu tangannya bergerak mengambil lengan Vano kecil.

"Siapa yang berani menyuruh wanita sialan ini untuk pergi! Aku masih ada perlu dengan dia!" Raihan menunjuk-nunjuk Rania bagai sampah.

"Kenapa! Aku juga anak ayah Haru, bukan kau saja. Walau kau yang akan menggantikan ayah nanti, tetap saja kau hanya seorang manager sekarang. Dan yang berhak mengatur Rania disini adalah aku." Renan menggendong Vano yang gemetaran.

"Bunaaaaa …," panggil Vano lagi sampai mengangkat tangannya agar Rania melihat.

"Ano sama Handa Renan dulu, ya. Buna akan pergi bekerja …," bujuk Renan pada Vano kecil yang malang. Anak itu tidak sengaja menyenggol kaki Raihan yang sedang berdiri, membuat Raihan oleng dan menumpahkan cangkir kopinya ke dokumen-dokumen pentingnya.

"Cih!" desis Raihan saat melihat bagaimana Renan menyayangi anak Rania.

"Rania, pergilah, aku atasanmu," titah Renan sekali lagi.

Rania pun membungkukkan badannya pada Renan. Lalu, pergi dari sana. Membiarkan anak bungsunya bersama dengan pria itu.

***

"Mas! Tidak baik ah membuat orang-orang menunggu …," bisik Jihan yang sedang duduk dipangkuan calon suaminya. Pria itu hanya terkekeh dan asik mencium punggung tangan Jihan dengan lembut. Matanya masih fokus dengan katalog di hadapannya. Memilih baju pengantin bersama calon istri. Rania yang berada disitu sesekali menggigit bibir bawahnya. Sudah sekitar 15 menit dia berdiri bersama Ardila, membuat kaki mereka berdua pegal. Selama itu pula, mereka menjadi saksi kisah percintaan salah satu makhluk Adam dan Hawa yang sedang berbagi kemesraan.

"Baiklah, demi ratuku …," balas Raihan sembari mendongak menatap Rania dan Ardila yang wajahnya sudah mulai memucat.

Rania reflek menaruh dokumen yang telah di-print ulang di hadapan Raihan dan diikuti oleh Ardila. "Ini Pak, dokumen baru. Maaf atas kesalahan anak saya. Lain kali saya akan mendidik anak saya dengan baik lagi."

Raihan dengan wajah datarnya hanya diam dan mulai menandatangani dokumen-dokumennya. Jihan pun berdiri dan membawa katalog-nya dan duduk di sofa yang menghadap jendela.

Setelah semua selesai, Rania dan Ardila pun keluar. Rania menarik dan membuang napas lega. "Akhirnya …," gumamnya sambil menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.

***

Tidak tahu kenapa, Raihan seperti memiliki dendam yang amat mendalam pada Rania. Wanita itu berkali-kali dibentak olehnya hari ini.

"Jika bukan karena Renan, anak sialanmu itu sudah aku hukum sampai dia jera," ujarnya mengapit dagu Rania dengan jari-jarinya.

Rania menepis lengan Raihan dan menatap nyalang. "Anakku hanya membuat kesalahan sedikit, kenapa kau sebegitu marahnya dengan dia? Aku tahu bagaimana aku harus mendidik anakku. Anakku hanya tidak sengaja telah menyenggolmu."

Raihan mendorong bahu Rania, sampai tubuh wanita itu terbentur tembok. "Kau!" cakapnya dengan sedikit menarik rambut Rania ke belakang. "Tidak akan aku biarkan hidup tenang!" Lalu, matanya beralih memandangi tubuh Rania. "Murahan, cih!" Raihan mendorong kembali dengan tangannya hingga Rania tersungkur ke lantai.

Raihan berlalu begitu saja meninggalkan Rania. Rania menepikan tubuhnya ke pojok ruangan dan menangis dalam lengannya. "Tidak, tidak. Rania kuat. Rania akan bertahan demi David dan Vano," lirihnya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri yang kian sesak.

Dengan langkah gontai, Rania berdiri dan pergi menuju toilet untuk membasuh wajahnya. Di sana ada Jihan yang sedang berkaca dengan alat make up-nya. Rania membungkuk hormat dan disertai dengan senyum tipis yang manis.

"K-kau Rania, kan?" tanya Jihan ragu-ragu.

"Iya, saya Rania, Nona."

"Dulu, satu kampus dengan calon suamiku, kan?"

Rania sedikit tercekat lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi normal dan mengangguk sopan. "Benar, beliau adalah seniorku semasa kuliah dulu."

Jihan pun mengangguk-angguk paham dan kembali men-touch-kan make-up ke wajahnya yang cantik dan jelita.

Handphone Rania berbunyi, menampilkan nama wali kelas David disana. Buru-buru Rania keluar dan mengangkat teleponnya.

"Ibu, David memukul temannya. Sekarang, dia berada di ruanganku untuk ditenangkan."

"Apa? Ibu, bagaimana bisa David memukul temannya?"

"Ada kesalahpahaman yang terjadi, mereka bertengkar sedikit. Saya harap, Ibu akan segera menjemput David."

"Baik, saya akan segera kesana."

Rania menutup telponnya dan tergesa-gesa ingin ke sekolah David. Putra sulungnya tengah berkelahi dengan teman sekelasnya.

Brugh!

Rania tersungkur sampai hak sepatunya copot dan terlepas begitu saja. Lututnya perih dan sikunya terasa ngilu. Saat dia menoleh siapa yang telah menjahilinya, dia mendapatkan Hana yang sedang tertawa terbahak-bahak. Rania pun menarik nafasnya dalam - dalam dan berdiri kembali, memunguti hak sepatunya yang copot. Dia tidak menggubris perlakuan Hana, dia sangat lelah sekali hari ini. Di sisi lain, Raihan melihat semuanya. Bagaimana Hana yang menjulurkan kakinya, sehingga Rania tersungkur dan membentur lantai tanpa ampun.

"Cih! Ceroboh," gumamnya tanpa sadar dan berlalu begitu saja.

***

"Mas, aku sudah tidak apa-apa kok, hehe," tutur Jihan sembari tersenyum manis, dia berusaha turun dari ranjang pemeriksaan. Namun, Raihan menahannya. Laki-laki itu tidak akan membiarkan telapak kaki calon istrinya menyentuh lantai yang dingin sedikitpun.

"Eh-eh tidak boleh turun dulu, Mas yang akan menggendongmu. Wanitaku tidak boleh lecet." Raihan mengangkat tubuh Jihan dan didudukkan di atas kursi roda.

"Mas. Maaf, telah merepotkanmu tengah malam begini …," lirihnya karena merasa bersalah.

Raihan mencium puncak kepala Jihan dan diusapnya lembut. "Tidak, Jihanku tidak merepotkan, lain kali jangan memakan samyang dengan bubuk cabe yang banyak, ya. Apa kau rela tiap malam ke rumah sakit dan merusak ususmu?"

Jihan menggeleng sebagai jawaban. "Tidak lagi, sudah cukup kok," jawab Jihan sambil mengerucutkan bibir bawahnya, membuat Raihan mencubit pipinya karena gemas. Iya, Jihan memakan samyang di tengah malam. Hampir mendekati pukul satu dia menelpon Raihan karena perutnya sakit dan menjadi keram, berakhir pria itu membawanya ke IGD.

Saat Raihan mendorong kursi roda Jihan untuk keluar dari ruangan, dari sisi yang berlawanan dia mendapati sosok Rania. Rania berlarian dengan menggendong Vano, diikuti David di belakangnya sambil membawa tas kecil Rania di tubuhnya. Wanita itu terlihat panik sekali dan seringkali sesenggukan.

Penampilannya pun bahkan sangat berantakan. Bermodalkan baju kaos biasa, dibaluti dengan celana trening yang dimana bagian celana satunya terangkat sebelah, menampilkan betis mulusnya. Bahkan, rambutnya juga diikat acak.

Raihan berdecak kesal. "Cih," decaknya saat melihat Rania hanya memakai sandal satu bagian. Kaki yang satunya tidak memakai sandal dan sekarang kaki itu lecet dan terdapat noda darah karena tidak diberi alas kaki.

Vano kecil tidak sadarkan diri dengan tangan kiri yang memegangi dada sebelah kirinya. Melihatnya tertidur di atas brankar seperti itu, membuat sedikit rasa iba pada hati Raihan. Pasalnya, tadi siang Raihan memarahi anak kecil itu dan ibunya, bahkan mengatainya dengan anak sialan. Tapi, terlepas dari itu, Raihan Atmadja adalah putra Haru Atmadja, tidak akan mau hanya sekedar membungkukkan kepalanya kepada orang yang berderajat rendah seperti Rania.

"Mas, aku akan masuk dulu untuk menemui dokterku. Mas tunggu disini saja, ya," ucap Jihan yang tahu bahwa Raihan memperhatikan Vano kecil yang sekarang sudah didorong masuk ke dalam ruang IGD.

"Eo-eoh, y-ya. Mas akan tunggu disini."

Perawat mendorong kursi roda Jihan dan menyisakan Raihan yang diluar sendirian.

Rania mengusap wajahnya dengan kasar, sesekali ia merasa lelah bertahan. Namun, dia teringat wajah David dan Vano ketika kedua putranya itu sedang tertidur lelap. Hanya Rania yang mereka miliki saat ini.

"Bunaaa ...," lirih David pelan dan bergerak menyentuh lengan ibunya secara hati-hati.

"Tidak apa-apa …." Rania memeluk putra sulungnya dengan erat. "Ano anak yang kuat, dia hanya sedikit kelelahan. Buna yakin itu ...." ucap Rania yang berpikir bahwa David akan menangisi adiknya.

"Kaki B-buna …."

Rania melepaskan pelukan pada David, dirinya menatap ke bawah dan mendapati kaki kanannya tanpa sandal dan penuh lecet. "Oh … ini, tadi putus talinya, Buna tinggalkan saja di jalan. Buna tidak apa-apa kok." Rania menarik tangan David lagi untuk duduk di bangku panjang di depan ruangan IGD tersebut.

Anak laki-laki itu memeluk ibunya dengan erat. "Maafkan David Buna …. David selalu membuat Buna susah. Padahal, Buna juga sangat kesusahan mengurusku dan Ano. David bukan anak yang baik, Buna ...."

"Tidak, sayang. David anak Buna yang baik, Buna mengerti perasaanmu. Buna bangga padamu, sayang." Rania mencium dahi anaknya dan membawa David kedekapannya. "Buna sangat menyayangi David. David adalah anak pemberani dan abang yang penyayang untuk Ano."

David melepaskan sandalnya untuk Rania. "Buna pakai sandalku, kaki Buna lecet."

Rania tersenyum sendu melihat kebaikan hati putra sulungnya. "Kaki David lebih Buna sayangi dari pada kaki Buna sendiri."

"Bunaaaaa, jangan seperti itu. David sedih jika begini …."

"Ahahaha, mana muat Buna pakai sandal David, nanti Buna beli sandal di kantin rumah sakit ini. David tenang saja, ya."

"Euhm, baiklah." David kembali memeluk ibunya. Dia sangat sayang pada Rania dan tidak ingin dipisahkan dengan alasan apapun.

Tak lama, Raihan menghampiri Rania dan David. Anak laki-laki itu pun berbisik pada bunanya. "Buna, ada bos Buna ...."

Rania menoleh ke samping dan mendapati Raihan yang tersenyum remeh kepadanya.

"Kau mendapatkan karmamu karena pernah merusak rumah tangga orang lain. Harusnya kau sadar, anakmu mendapatkan kesengsaraan berkat kelakuan bejatmu dulu." Sungguh, ucapan Raihan sangat menyayat hati seorang ibu seperti Rania. Rasanya, dirinya adalah sosok ibu yang buruk dan tidak becus menjaga sang buah hati.

Andai ia bisa berteriak, maka ia akan memilih memekik di telinga Raihan dan berharap agar lelaki itu diam dan tidak perlu mencampuri urusannya. Namun, sayang, pria itu adalah atasannya di kantor.

"Buna …," lirih David kembali. Dia khawatir dan merasa sakit sama seperti bunanya. Rania berusaha untuk tetap tersenyum dan menampakkan wajah yang teduh agar David tidak perlu khawatir lagi.

Mendengar kalimat menyakitkan itu, membuat hati Rania tertusuk tajam. Perkataan yang sangat membuat Rania tertekan dan kian merasa bersalah.

"Buna, mulutnya sangat julid sekali, David tidak suka dengan bos Buna satu itu."

Rania menatap putranya dengan seulas senyum yang penuh makna. "Tidak apa-apa, Buna sudah kebal." Lalu, Rania kembali menatap Raihan dengan sopan. "Terima kasih sudah membuatku sadar. Aku minta maaf jika pernah merusak rumah tangga ayah dan ibumu," ucap Rania, kepala dan badannya membungkuk dengan rasa hormat. Bagi Rania, biar saja. Toh, jika terus melawan ucapan Raihan akan membuat laki-laki itu merembet ke masalah yang lain.

"Bunaaa …."

Rania menggelengkan kepalanya pada David.

"Cih, aku tidak akan lupa bagaimana kau membuat hati ibuku terluka dan membuatnya tertekan selama ini." Selanjutnya, Raihan pergi begitu saja meninggalkan Rania dan David yang masih setia duduk di bangku panjang tersebut.

***

Malam berganti fajar dan Vano sudah siuman. Anak laki-laki itu tengah menonton film spongebob di ruangan rawat inapnya. Rania sesekali mengecup punggung tangan Vano. 

"Jangan seperti ini lagi Vano, Buna sangat sakit melihatmu menjadi lemah seperti ini …," lirihnya pelan. Vano hanya fokus pada layar tv.

David keluar dari toilet, laki-laki itu menarik tali celananya untuk mengunci pinggangnya. "Buna, David hari ini tidak ke sekolah, ya. David ingin menjaga Ano juga."

"Tidak. David harus sekolah. Tidak ada kata bolos," jawab Rania dengan tegas.

"Bunaaaa …."

"Tidak ya, David." Berakhir David yang mengerucutkan bibir bawahnya. "Sekarang, kita pulang ke rumah, Buna akan menitipkan Ano pada perawat disini." Rania mencium pipi putra bungsunya. "Anak Buna berani, kan? Buna akan mengambil baju-bajumu di rumah."

Vano mengangguk kecil, tentu saja dia anak pemberani seperti super hero yang sering ditontonnya.

***

"Tuan Renan, tadi pagi aku mendapatkan telepon dari Rania."

Renan memutar tubuhnya cepat saat mendengar kalimat yang menyebut Rania. "Ya? Apa katanya? Kenapa batang hidungnya tidak ada sampai saat ini di hadapanku? Aku sudah frustasi belum melihat wajahnya pagi ini."

Yang ditanyai menahan senyum, bosnya ini budak cinta atau bagaimana, sih?

"Dia izin tidak masuk hari ini, Vano dirawat di rumah sakit, malam tadi Rania membawanya ke IGD."

"APA!!!"

"Iya, Tuan."

"Ck, kenapa dia tidak mengabariku, sih? Ya sudah, terima kasih infonya. Aku akan menghubunginya secara pribadi kalau begitu."Renan berlalu begitu saja. Pria itu langsung menelepon Rania dengan terburu-buru dan sambungan telepon terhubung.

"Kenapa tidak bilang padaku malam tadi kalau Vano sakit?" tanya Renan khawatir. Dirinya meraih kunci mobil di atas mejanya.

"Masa aku harus membangunkanmu yang sedang istirahat."

"Ck. Rania."

"Iya, maafkan aku. Vano sudah enakan kok, cuma masih lesu. Nih, sekarang lagi nonton Doraemon," jawab Rania yang sudah kembali lagi ke rumah sakit.

"Jadi, kau tidak masuk?" Renan berjalan ke arah pintu ruangannya dan hendak pergi.

"Tidak. Aku izin ya, Bos."

"Kau tidak lupa, kan? Ini hari rabu, potongan gaji hari rabu sangat besar jika kau tidak masuk. Apa kau siap?"

"Iya aku tahu. Tidak apalah ...."

Renan tersenyum tipis. "Yakin? Gajimu itu loh."

"Iya, aku sangat yakin. Anakku lebih penting."

Deg!

Hati Renan berdebar dan menghangat. Ya, pilihannya memang tepat. Tidak salah kan jika ia memilih Rania untuk dijadikan istrinya kelak? Hehe.

"Ya sudah, aku tutup."

"Baik," jawab Rania singkat.

Sambungan telepon terputus.

Renan pergi meninggalkan kantor, ia melajukan mobil bmw-nya dan pergi menyusul Rania ke rumah sakit. Baginya, Vano juga putranya dan segala-galanya bagi Renan. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu mampir ke pusat perbelanjaan untuk membelikan putra Rania buah-buahan dan mainan untuk dibawa ke rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status