Tak ada yang sanggup berlama-lama dengan luka yang tercipta tanpa anestesi.
.
"Oh, ini toh orang yang ninggalin noda lipstick di baju suami orang!"
"Sok-sok an nuduh istrinya selingkuh. Padahal, dia sendiri yang ketahuan main perempuan."
"Iih, jahat banget sih, jadi lakik! Istrinya sibuk rawat anak di rumah sakit. Dia malah sibuk selingkuh. Pake fitnah Senja, lagi."
Mendengar cemohan orang-orang yang masih setia bergerombol di depan rumahnya. Gibran merasa hampir gila. Dalam hati, laki-laki itu merutuki Natasya yang nekat menyusul ke rumahnya segala.
"Heh, Gibran. Harusnya kamu itu berterima kasih sama Fais, yang udah mau bantu bawain anak kamu ke rumah sakit, di saat bapaknya sendiri sibuk bermaksiat."
"Eh, tau nggak sih, Ibu-ibu. Biasanya orang yang selingkuh, kalau sampe zina bakalan terkena penyakit kelamin. Ih, amit-amit, deh. Kalau aku jadi Senja, sih, u
Bu Maria segera berlari ke arah Danish, dan membawanya masuk untuk melihat Senja. Disusul, Fais."Ya Allah, Senja! Kenapa kamu sampai seperti ini, Nak?!" pekik wanita paruh baya itu panik, kala mendapati Senja terbaring di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di samping jendela."Senja," panggil Fais mendekat dan berjongkok di samping Bu Maria. Sementara si kecil Danish, adalah yang paling takut di antara mereka."Bundaa ...! Bangun, Bunda. Huhuhu!""Senja, bangun, Nak." Bu Maria menyentuh pipi dan tangan Senja. Telapak tangan mungilnya terasa basah oleh keringat. Dingin.'Mungkinkah, Senja mendengar semuanya?' batin Bu Maria."Bu, ayo kita pindahin dulu ke sofa!""Iya. Awas dulu, Sayang." Wanita paruh baya segera menarik Danish menjauh, agar Fais bisa mengangkat Senja.&
Melihat tingkahmu, membuatku mendadak ingin menjadi orang tua.~Fais.Tok. Tok. Tok."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam! Sebentar!"Fais yang masih berada di belakang, berjalan dengan sedikit tergesa ke pintu utama, setelah mendengar ada yang memberi salam."Danish? Tumben ke sini, malam-malam?" tanya Fais yang baru menyembul dari balik pintu.Bagaimanapun, laki-laki dalam balutan kaos polos dan bawahan jogger pants itu sedikit kaget mendapati bocah yang kini berdiri di depan pintu rumahnya dengan sebuah buku bersampul gambar di tangan."Jadi, nggak boleh ya, Yah?" tanya Danish polos.Tergambar sedikit kekecewaan. Mungkin, tak pernah mendapat penolakan dari laki-laki yang dipanggil Ayah itu sebelumnya. Bukan penolakan, sebenarnya, hanya pemahaman si kecil Danish masih terlalu polos saja. Sebab ayah kandung selalu merespon dengan penolakan atas usahanya. Ketika ... mencari perha
"Hah?" "Mas Fais, ngomong apa barusan?" sambung Senja bertanya bingung, karena ucapan laki-laki itu tidak terdengar jelas olehnya. "Eum, itu maksudnya.. Danish mau aku taro di mana? Berat. Hehe." Fais menyengir sembari mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang sepersekian detik yang lalu. "Oh, iya, Mas taro aja di sofa. Nanti biar aku yang pindahin ke kamar," tutur Senja sedikit menjauh dari pintu. Memberi ruang untuk Fais membawa putranya ke sofa panjang di ruang tamu. Setelah meletakkan Danish dengan hati-hati, Fais menoleh ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh di sana. Bermaksud pamit untuk pulang, namun, lagi-lagi malah melumpuhkan tatapannya. Mirat mata keduanya terkunci dalam keheningan dan keterdiaman. Keterasingan seolah mulai sirna. Seketika pendengaran keduanya tak berfungsi dengan benar. Riuh suara jarum jam yang berd
Dalam ruangan bercat putih susu, seorang lelaki terduduk diam di lantai, sembari menyandarkan punggung ke dinding. Menatap kosong ke depan dengan iris yang meredup.Fais merasa tidak nyaman dengan dadanya sekarang, seperti sesak, saat ucapan yang keluar dari mulut Bu Maria beberapa waktu yang lalu kembali terngiang. Danish telah pergi bersama bundanya, tanpa pamit, tanpa salam perpisahan. Tanpa laki-laki itu ketahui ke mana tujuan mereka.Pikirkan pemilik tubuh kekar itu mulai bercabang seiring dengan estimasi-estimasi aneh yang mulai bermunculan.'Tidakkah aku sedikit berarti sebagai tetangga baginya.''Aku dianggap seperti orang asing.''Tidak bisakah, dia membiarkanku mengucap salam perpisahan pada Danish.''Kenapa harus sekejam itu.Atau,'Bolehkah jika aku merasa kesal? Aku bukan siapa-siapa. Pa
"Permisi." Sebuah suara membuat kalimat Senja terpotong."Mas?" Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk dengan tatapan tidak percaya."Ayah?""Ayah Fais?!" ulang Danish girang. "Ayah kenapa ada di sini?" Bocah itu masih sibuk berceloteh di saat dua orang dewasa saling menatap tidak percaya satu sama lain.Senja membatu di balik meja, sementara Fais berdiri di seberang dengan mulut terkunci rapat."Ayah? Kok Danish dicuekin?""Eh?" Suara bocah di samping Senja akhirnya memecahkan lamunan mereka. "Danish bilang apa, Sayang? Maaf, barusan Ayah nggak denger.""Ayah mah gitu," timpal Danish dengan bibir monyong."Ih, lucu banget sih, anak Ayah kalau lagi ngambek." Fais mencoba menggoda agar anak kecil itu terkecoh, dan marahnya mereda. Namun, raut wajah mungil itu tak juga kembali ke mode s
Benar, rasa memang harus terungkap dalam bentuk kata-kata. Namun, tak juga mesti tergesa-gesa.."Kau ... menceramahiku?" Kini Senja telah berbalik dengan mata membeliak ke arah Fais."Tidak. Aku hanya sedikit belajar mengomel darimu."Laki-laki berbola mata coklat terang itu menaikkan sebelah alisnya, dan itu berhasil membuat Senja mengepalkan tangan mungilnya.Melihat wanita yang biasanya tampak lembut nan penuh keanggunan kini lebih garang dari raja rimba, Fais berusaha keras agar tawanya tak pecah. Selain lucu, ia sedikit merinding jika harus terjebak dalam suasana yang lebih horor dari sekarang."Mengomel?" tanya wanita yang pipinya sudah semerah jambu itu dengan suara tertahan.Tatapan yang masih menembus ke dalam iris coklat terang milik laki-laki jangkung di hadapannya, begitu tajam menghantam. Bersiap mengobrak abrik isi
Saat seseorang jatuh cinta, logika nyaris tidak bekerja. Seperti Fais yang tengah menggilai pesona senja.."Lo pasti tau, kan di mana istri sama anak gue?!"Fais yang baru keluar dari toilet sangat terkejut saat seseorang tiba-tiba menarik kerah kemejanya dengan kasar."Lo apa-apaan, sih? Main tuduh sembarangan? Ini kantor, sebaiknya lo jangan cari gara-gara sama gue!"Fais menghentak tangan Gibran dengan kasar. Hingga membuat lawan bicaranya terhuyung ke belakang."Alah, nggak usah pura-pura. Gue yakin, pasti lo tahu di mana Senja. Dia di mana, hah? Cepat katakan, istri sama anak gue di mana?" sergah laki-laki dalam balutan kemeja abu-abu itu emosi.Rahang yang mulai memerah itu sudah cukup untuk dijadikan bukti. Laki-laki yang masih berstatus suami dari wanita bernama Senja itu, benar-benar murka saat ini.Meliha
Telah bertekad untuk melepaskan diri, namun, tali takdir terus membelit tanpa henti.."Anak Ayah, kenapa? Kok kelihatan lesu? Danish sakit?" Di seberang sana, suara Fais terdengar khawatir."Nggak, Yah. Danish habis main hujan tadi. Ayah lagi apa? Danish kangen sama Ayah Fais. Kapan Ayah ke sini, lagi?""Ya ampun jagoan, Ayah. Jangan sering-sering main hujan ya, Nak. Nanti Danish bisa demam. Eum, Ayah baru pulang dari kantor, sekarang lagi istirahat. Ayah juga kangeennn banget sama Danish. Beberapa hari lagi Ayah ke sana, ya, sekalian jemput Danish pulang sekolah. Kan, nanti hari Senin, kata Bunda, Danish mau sekolah.""Jadi, Ayah mau jemput Danish di sekolah?""Iya, dong. Boleh nggak nih, Ayah, jemput?""Yeee! Asik! Boleh, Yah. Danish sih maunya setiap hari dijemput sama Ayah!""Kan, Ayah harus kerja