Tikta menatap ponselnya, ini sudah kesekian kalinya dia menghubungi Gata namun pria itu tidak menjawab. Beberapa kali ponselnya tidak aktif.Sudah mau sebulan lebih sejak kejadian Gata nekat mengiris nadinya sendiri di Restauran, dan sejak saat itu belum ada pertemuan maupun kontak darinya.Tikta khawatir.Dia merasa takut Gata melakukan hal-hal bodoh seperti kemarin.Dia tidak ingin pria itu menghancurkan hidupnya sendiri hanya untuknya. Sepuluh tahun memang tidak sebentar, Tikta mengerti hal itu. Ada banyak yang terjadi ketika mereka bersama, terutama hal-hal manis.Isi hubungan mereka tidak melulu menyakitkan, Gata adalah supporter nomor satu Tikta untuk meraih mimpi yang tidak pernah dipikirkan Tikta sebelumnya.Namun, obsesi Gata akan dirinya mengusik Tikta. Dia hanya ingin hubungan seperti dulu yang mereka jalani, saling percaya.“Pak Tikta..” Suara Wisnu memecah ingatan akan kenangannya bersama Gata di dalam kepala, dia menoleh dan mendapati sekretarisnya berjalan menuju pada m
Enam bulan telah berlalu semenjak Ragnala Thomi Sahasika lahir ke dunia.Perjalanan Tikta dan juga Nina penuh dengan kejutan sejak kelahiran bayi itu. Mulai dari bergantian begadang untuk mengganti popok dan menyusui, keduanya juga belajar bekerja sama untuk membagi waktu bermain dengan Ragnala.Pada bulan ketiga Ragnala lahir, Nina bersiap untuk kembali bekerja. Dia tidak bisa melanjutkan lebih lama cutinya karena Julie sedang dalam posisi tidak baik, Julie tengah proses cerai dan mencari tempat tinggal baru untuknya serta Kiran.Nina dan Tikta terkejut mendengar kabar tersebut, berusaha membantu Julie untuk tinggal di salah satu apartemen milik Tikta namun wanita itu menolak.“Leo selingkuh dari gue Nin..” Julie terisak ketika ada saat dimana dia harus mengirimkan berkas untuk Nina tanda tangani.Nina terdiam mendengarnya kala itu, berpikir dia juga akan seperti itu dalam hitungan tahun. Bercerai. Apakah dia akan sama seperti Julie? Menangisi kepergian Tikta?Perdebatan Tikta dan Ni
Remo menatap suaminya yang dalam tiga bulan terakhir mengalami penurunan kesehatan. Pria itu sudah tidak mampu berdiri dan duduk sendiri, ini sudah kelima kalinya dalam sebulan suaminya menjalani rawat inap.Semakin lama semakin tidak ada perubahan.“Minum..” Suara pria itu begitu lemah, matanya mulai tidak fokus, dia menatap Remo yang buru-buru mengambilkan minum.“Bapak ayo sehat, katanya mau ketemu Aga lagi?” Remo memulai pembicaraan, suaminya kini terjaga dan menatap langit-langit kamar.“Bapak gak kuat..” Ucapnya lemah, napasnya begitu berat.“Aga masih pengen main sama bapak. Sekarang dia sudah bisa duduk pak, ‘kan sudah tujuh bulan.”Ega mengalihkan pandangannya ke arah Remo dan tersenyum, wajah Ragnala terbayang di benaknya. Bayi gemuk berkulit putih susu dengan lesung pipi itu membuatnya bahagia. Setidaknya di sisa hidupnya.“Akhirnya kita bisa lihat cucu kita ya bu..”Remo terdiam sebentar kemudian mengangguk kecil, dia tidak memberitahukan Ega perihal apa yang dia temui ket
Tikta dengan segera keluar dari kamar ketika sambungan telepon baru saja dimatikan.Dia sedang tertidur ketika ponselnya berbunyi. Ini hari rabu dan dia baru saja tidur lepas tengah malam karena Ragnala sedikit rewel. Ketika dia mengangkat telepon itu, Nina juga ikut terbangun karena mendadak dari baby monitor jeritan tangis Ragnala terdengar.Begitu Tikta menoleh padanya, Nina tahu ada yang tidak beres.Dia beranjak menuju kamar Ragnala, mengambil bayinya dan Tikta membereskan pakaian seadanya.“Aku ikut..” Kata Nina, Tikta melirik ke arah Ragnala yang masih terisak dalam dekapan istrinya.“Kamu disini aja dulu ya, aku lihat dulu keadaan bapak. Nanti aku kabari.”Tikta melesat pergi keluar apartemen.Ibunya baru saja menelepon karena mendapat kabar dari Rumah Sakit kalau ayahnya mengalami serangan jantung secara mendadak. Tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi, dokter meminta persetujuan RJP kepada ibunya, wanita paruh baya itu tengah bersiap pergi ke Rumah Sakit ketika dia menel
Pemakaman berlangsung dengan tertib, Tikta mencoba menguatkan dirinya untuk tidak jatuh menangis ketika peti mati ayahnya masuk ke liang lahat. Dari ujung matanya dia bisa melihat saudara-saudara ayahnya menangis namun dia tahu ini adalah perkara waktu mereka menginginkan jabatan yang kini sedang dia jabat.Bagaimanapun, dia belum secara resmi ditetapkan sebagai penerus perusahaan. Akan banyak sekali rapat yang akan dilakukan untuk menggulingkannya dari kursi yang sekarang tengah dia duduki.Tikta bertemu dengan beberapa petinggi perusahaannya, mereka mengucapkan belasungkawa padanya. Beberapa menyemangatinya, beberapa acuh dan lebih memilih menyapa om atau bibinya.Dari sana sudah terlihat jelas bagaimana dia akan berakhir.Tikta menatap foto ayahnya yang terpasang begitu besar di ruang keluarga. Foto keluarga ketika dia masih SMP sedangkan di sudut kanan ada foto keluarga mereka.Sebulan lalu ketika dia terakhir datang ke rumah ini, ayahnya meminta ibunya menyewa fotografer. Dia ing
Mata Nina terus mengikuti kemana Tikta pergi, ciuman hangat dan panas itu berhenti ketika tangan Tikta sudah mulai masuk ke bawah bajunya. Tangan besar itu tengah menggerayangi buah dadanya saat Ragnala menangis dengan kencang.Tikta seperti kembali pada sadarnya, meminta Nina menenangkan Ragnala sementara dia pergi keluar ruang kerja ayahnya.Sekarang mereka tengah berada di ruang keluarga, adik-adik dari ayahnya ingin berbicara dan Tikta duduk agak jauh darinya.Ragnala bersama pengasuhnya di kamar Tikta, bayi itu masih tertidur.“Om bicara mengenai hal ini bukan tidak menghargai bapakmu Ta, karena momennya sedang pas. Semuanya sedang kumpul.” Suara salah satu adik dari ayah Tikta terdengar, Nina mengalihkan pandangannya, berusaha mengikuti arah obrolan mereka.Di ruangan itu selain om dan tante Tikta, para menantu dan juga anak-anak mereka berada disana. Mereka seperti hyena yang mengintai mangsa untuk segera dihabiskan.“Tapi bapak baru saja dikuburkan beberapa jam lalu.” Kata Tik
Ragnala merengek di tengah malam, Nina terbangun, matanya masih terasa perih dan tubuhnya terasa kaku. Dia membuka matanya perlahan dan mendapati Tikta tengah berdiri, menggendong Ragnala dalam dekapannya dan memberikan bayi itu susu di botol.Tikta tidak mengenakan baju, hanya mengenakan celana boxer selutut, dadanya terbuka lebar dan terlihat begitu lapang serta seksi.Wajah Nina memerah, mengingat apa yang baru saja terjadi.Mereka melakukan hubungan intim, sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya akan terjadi. Apakah itu tandanya perasaannya bersambut pada pria itu?“Ah, giginya tumbuh lagi? Aga sudah mau delapan bulan, jam segini kebangun gak enak ya? Gusinya sakit?” Kini suara Tikta terdengar, berbicara dengan bayinya yang mulai menceracau dengan bahasa yang tidak dimengerti.“Jangan lupa sendawanya..” Ucap Nina, tersenyum lebar sambil duduk diatas kasur, tubuh telanjangnya dibalut oleh selimut.“Nah, ibu bangun tuh.” Tikta mendekat ke arah Nina, duduk di samping wanita
Remo membereskan semua pemberkasan kematian suaminya ditemani oleh Erika, semua yang berhubungan dengan rumah lama sudah dia pisahkan dan dia bersiap pindah. Seminggu telah berlalu semenjak kematian suaminya, dia berusaha mengumpulkan sisa akhir tenaganya untuk menata kehidupan baru.Tidak mudah melakukannya, namun waktu tetap berjalan meskipun dirimu sudah ditinggalkan.Dia baru saja masuk ke lobi Rumah Sakit dan disambut oleh beberapa orang petugas yang hari ini bertugas membantunya membereskan berkas-berkas.“Ada beberapa barang yang tertinggal di bawah kasur pak Ega, bu..” Salah satu petugas membawakan satu box tidak terlalu besar dan menyerahkannya pada Erika. Remo hanya mengangguk.“Berkas ini sudah keseluruhan ya?”Petugas itu mengangguk dan kemudian menjelaskan lagi pada Remo apa saja yang harus ditanda tangani dan diselesaikan.Remo melakukannya tanpa banyak bicara, perasaannya masih begitu campur aduk. Ada benarnya, pasangan kita setelah menikah adalah bagian dari diri kita