"Ini bukti suratnya!" petugas rumah sakit itu menyodorkan surat yang dimaksud kepada Seno dengan kasar.
Setelah membaca surat itu sebentar, Seno kembali menatap petugas rumah sakit itu dengan rahang mengeras dan lalu berujar, "Baik. Akan kulunasi sekarang semua tunggakannya selama satu minggu dengan menggunakan kartu ini!" Usai berkata, Seno mengeluarkan kartu hitam dari dalam saku jaketnya dan meletakannya di atas meja. Seketika mata petugas rumah sakit itu melebar! Bukan kah itu black card? Akan tetapi, mengingat Seno yang menunggak biaya, membuatnya berpikir kalau pria itu adalah orang miskin! Petugas rumah sakit itu pun buru-buru mengkondisikan diri. Dan yang terjadi selanjutnya adalah tawa menghina darinya menggelegar. "Kau mau membayar dengan menggunakan kartu mainan itu?" cibirnya. Seketika wajah Seno berubah. Kartu hitam itu katanya adalah kartu mainan? "Sebaiknya anda coba gunakan terlebih dahulu untuk melakukan pembayaran sebelum anda berkata seperti itu–" "Tidak usah mengguruiku, miskin! Aku lebih tau banyak tentang black card dibanding dirimu. Aku juga tau mana black card asli dan yang mana mainan hanya dengan melihatnya sekilas saja!" Petugas rumah sakit itu langsung memotong perkataan Seno dengan sengit. Seraya melipat tangan di depan dada, petugas itu lanjut berkata, "Dan buat apa aku coba kartu itu yang jelas-jelas adalah kartu mainan? Cih, membuang-buang waktuku saja!" Tangan Seno mengepal. Petugs itu sungguh keterlaluan! "Aku itu hendak membayar, bukannya mengatakan tidak sanggup atau lebih parahnya kabur begitu saja!" tegas Seno emosi, "Tapi, kenapa anda langsung meremehkanku? Tidak mau mencoba kartu itu?!" Petugas itu balik menatap Seno dengan tajam, kentara tersinggung akan perkataan pria itu barusan. "Kalau kau memang bisa membayar sejak awal, kenapa kau harus menunggak?" "Bilang saja tidak memiliki uang. Kenapa harus berlagak menggunakan black card selayaknya orang kaya? Ckck, memalukan sekali!" Di saat yang sama, seorang pria dengan pakaian rapi kebetulan melewati keributan itu. Ternyata pria itu adalah manager rumah sakit, dilihat dari name tag yang tertambat di dadanya. Melihat seseorang itu adalah manager rumah sakit, petugas itu pun buru-buru keluar dari area kerjanya seraya memanggil namanya, "Pak Darren!" Panggilan itu membuat manager rumah sakit bernama Darren menghentikan langkah dan menoleh ke arah sumber suara. "Dia orang yang telah menunggak biaya perawatan anaknya selama satu minggu itu, Pak dan katanya dia akan membayar dengan menggunakan kartu mainan ini. Jelas, ini penghinaan bagi kita. Dia mau main-main dengan kita!" jelas petugas itu geram sambil memperlihatkan kartu hitam di tangannya kepada Darren. Sesekali menatap ke arah Seno dengan perasaan jijik. Sama seperti respon petugas itu tadi, Darren harus membelalakan matanya saat melihat kartu hitam itu. Setelah terdiam untuk beberapa saat, Darren merebut kartu itu dari tangan sang petugas. Jika dilihat dengan saksama, kartu hitam ini tampak seperti asli! Selagi Darren terdiam kaget masih mengamati kartu tersebut, sang petugas lanjut bicara, "Kita tidak perlu mencoba kartu itu, bukan, Pak? Karena kartu itu jelas adalah kartu mainan! Mana mungkin pria miskin sepertinya memiliki black card? Mustahil sekali!" Perkataan petugas itu membuyarkan lamunan Darren. Kemudian, ia menoleh ke arah petugas itu sembari mengangguk dan lalu beralih menatap Seno. Dari matanya terpancar perasaan muak sekaligus jijik. Darren pun berjalan menghampiri Seno sambil berkata, "Semestinya kau berusaha untuk mendapatkan uangnya bagaimana pun caranya. Seorang Ayah pasti tidak akan tega terhadap anaknya," "Tapi, apa yang malah kau lakukan? Mempermalukan diri sendiri? Apakah kau sudah setres dan berkhayal menjadi orang kaya?" Mendengar itu, Seno mendengus kesal. Niat hati mau membayar meski ia sendiri masih ragu tentang keaslian kartu itu, tapi ia malah mendapatkan perlakuan tak mengenakan! Kini Seno menatap tajam Darren dan petugas itu secara bergantian. "Kenapa tidak dicoba terlebih dahulu untuk membuktikan apakah kartu itu mainan atau tidak? Jika terbukti black card itu cuma kartu mainan, silahkan saja, kalian bebas mengatai dan melakukan apa saja padaku! Tapi, ini belum dicoba! Jadi, aku tidak terima diperlakukan seperti ini!" "Kalian ini orang berpendidikan! Seharusnya memutuskan sesuatu berdasarkan fakta dan bukti, tidak hanya berdasar spekulasi dan dugaan saja!" Mendengar hal tersebut, wajah Darren dan petugas itu kompak mengeras. Berani sekali Seno mengatakan hal demikian kepada keduanya? Seketika wajah keduanya berubah buruk lantaran sindiran Seno. "Baik. Akan kami coba gunakan untuk melakukan pembayaran. Kita lihat, apakah kartu ini bisa digunakan atau tidak!" ucap Darren geram. Dia kemudian menuding muka Seno, "Awas saja jika kartu ini terbukti cuma kartu mainan. Aku...akan melaporkanmu ke polisi!" ancamnya. Mendapatkan ancaman seperti itu, Seno sedikit cemas. Bagaimana jika kartu hitam itu ternyata palsu? Namun, ia tidak menampakannya di depan mereka. Tetap bersikap tenang dan mengangguk tanda setuju. Seno berani mendesak mereka untuk mencoba kartu itu sebab sempat mendapati respon terkejut dari petugas mau pun manager rumah sakit begitu pertama kali melihat kartu hitam tersebut. Juga sebelumnya, ia sempat mengeceknya sendiri dan memang tidak seperti kartu mainan. Sementara itu, Darren menyerahkan kartu hitam itu kembali kepada petugas dan menyuruhnya untuk mencoba melakukan transaksi. Selagi petugas itu masuk kembali ke area kerjanya, Darren kembali menghadap Seno dengan senyum licik. "Siap-siap saja kau akan mendekam diri di penjara, miskin!" Setelah berkata seperti itu, Darren menyusul petugas itu ke bagian administrasi. Sambil mencoba melakukan transaksi dengan menggunakan kartu hitam itu, sang petugas tidak lupa vocal mencemooh Seno. "Dasar Ayah yang bodoh! Anaknya sedang sakit parah, bukannya berusaha mencari pinjaman, tapi malah mencari masalah!" "Mampus kau orang miskin yang berlagak kaya! Setelah ini, kau akan masuk penjara dan anakmu tidak akan terselamatkan!" Meski sedikit khawatir, tapi Seno tidak mempedulikan cemoohan itu. Kini ia malah berharap kartu hitam itu benar-benar asli. Jika tidak, ia akan malu bukan main dan berakhir di penjara. Dan lebih buruk lagi, nyawa anak kesayangannya akan… Tidak, Seno tidak boleh berpikir demikian! Beberapa saat kemudian... Tiba-tiba... "Apa?! Pem-pembayaran berhasil?!" teriak petugas itu seraya refleks berdiri, membuat semua orang kompak menoleh ke arahnya, bertanya-tanya. Dengan mulut ternganga lebar, petugas itu menggeleng tidak percaya dan berkata, "In-ini tidak mungkin! Ba-bagaimana bisa berhasil?!"Ratna menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Lalu, ia menatap Ronald kembali dengan ekspresi wajah datar. "Kalau itu kami pun tahu. Apalagi kami berasal dari keluarga berada dan nomor satu di kota yang dipimpin Ayah," ujar Ratna dengan nada sengau. Kesan angkuh ia tunjukan. Ratna sengaja berkata dan bersikap demikian, sebab ingin membungkam mulut kakaknya Shinta itu. Ia benar-benar tidak suka melihat bagaimana pria itu menghina Seno tadi! Namun, ia berhenti sejenak, seolah memberi kesempatan pada Ronald untuk mencerna kata-katanya. "Jadi, kuminta pada anda untuk tak perlu ikut campur dengan masalah keluarga kami. Kami yang lebih paham dengan apa yang akan kami lakukan terhadap kepala keluarga kami!" Perkataan Ratna yang menohok juga seakan tidak mengindahkan sarannya barusan terang saja membuat Ronald naik pitam. "Anda..., " Ronald menunjuk Ratna dengan jari gemetar dan wajah mengeras. "Kenapa bisa anda sebegitu percayanya dengan penipu ini, hah!?" Tersenyu
Dengan pandangan memicing, Ratna berujar, "Siapa dari anggota keluarga kami yang telah meminjamkan uang kepada Seno, Nona?" Shinta terdiam sejenak sebelum kemudian menjawab, "Soal itu aku tidak tahu, Nona. Seno hanya mengatakan jika dia dapat pinjaman uang dari temannya yang dulu ia tinggal di rumah keluarganya ketika masih bersekolah." Shinta buru-buru menambahkan. "Tapi akan kutanyakan kepada Seno saat dia sudah pulang nanti." Jika Seno mengatakan dari temannya, itu berarti kakaknya! "Baik lah." Ratna akhirnya bicara, "Aku tidak tahu soal hal itu. Makanya, aku kaget dan bingung begitu mendengarnya." Shinta, dengan rahang mengeras berkata, "Kami janji, Nona. Kami akan kembalikan uang itu secepatnya setelah kondisi keuangan perusahaan keluarga kami membaik dan kembali sehat." Dua puluh menit lebih, akhirnya seseorang yang ditunggu-tunggu sampai juga. "Nona Ratna," ucap Seno terkejut begitu melihat wanita itu. "Maaf sudah menunggu lama. Ada acara mendadak di kantor tadi dan baru
Mendengar hal tersebut, kening Seno berkerut. "Seorang wanita? Datang ke rumah hendak bertemu denganku?" ulang Seno hendak memastikan. Dia kemudian menambahkan. "Siapa, Shin?" "Namanya Ratna, Sen dan katanya, dia adalah anaknya walikota bernama Pak Zulfikar," jelas Shinta. "Keluarga yang dulu kamu tinggali ketika kamu bersekolah itu!" Sontak, Seno tertegun. Seketika teringat dengan wanita yang barusan disebut oleh istrinya, jika memang benar adalah anaknya Zulfikar, sang walikota. Lebih tepatnya, anak kedua. Ada perlu apa Nona Ratna tiba-tiba ingin bertemu denganku? Gumam Seno. Pasalnya, Seno sudah tidak pernah berkomunikasi dengannya lagi setelah ia menikah. Pun sudah tidak memiliki nomor ponselnya. Ia hanya memiliki nomor ponsel Marchel saja, kakaknya. Yang ia jadikan seseorang yang meminjamkan uang 10 miliar untuk menyuntikan dana ke perusahaan keluarga sang istri. Seno pun bertanya maksud dan tujuan wanita itu hendak bertemu dengan dirinya dan Shinta menjelaskan kalau Ratna
Di saat ini, mulut Seno ternganga tak percaya setelah membaca selembar kertas di tangannya yang merupakan laporan hasil test DNA. Bagaimana tidak, hasil rapid DNA menyatakan bahwa Aliando Aryaprasaja adalah Ayah biologisnya! Demikian, ia benar-benar anak kandung juga pertama dari pasangan salah satu keluarga terkaya di negara ini, Aliando dan Nadine! Aliando, dengan kedua mata berkaca-kaca menepuk pundak Seno dan berkata, "Sekarang kamu percaya, Liam?" Mendengar hal tersebut, Seno seketika tersadar. Namun, ia tidak langsung menjawab. Lidahnya masih terasa kelu. Alhasil, ia hanya membalas dengan anggukan kepala pelan. Nadine, dengan terisak memeluk Seno. "Terima kasih ya Tuhan. Karena telah mempertemukan kami kembali dengan anak pertama kami yang hilang," "Mama dan papa tidak akan melepaskanmu lagi setelah ini, Liam. Kami tidak akan membiarkanmu berpisah dengan kami lagi. Kami akan terus menjagamu!" Sementara Andin juga buru-buru memeluk Seno dari belakang. "Aku senang
Mendadak, kemarahan dan kekecewaan yang beberapa saat lalu Seno rasakan terhadap keduanya langsung menguap. Seno, dengan pandangan menunduk ke bawah berujar, "M-maafkan saya T-tuan Besar Aliando. Saya tidak tahu kalau ternyata orang berpengaruh di negara ini seperti anda pernah menjalani kehidupan dari kasta, status bawah dan bernasib sama seperti saya–" "Panggil aku dengan sebutan Papa mulai sekarang, Liam! Jangan Tuan Besar Aliando!" pinta Aliando cepat menyela perkataan Seno. "Begitu juga padaku, Liam. Jangan panggil aku dengan sebutan Nyonya Besar lagi. Panggil aku dengan sebutan mama. Aku adalah mamamu!" ucap Nadine menambahi suaminya. Seno baru mendongak menatap kedua orang itu secara bergantian seraya mengangguk pelan dengan senyum kecut di bibirnya. Ia belum bisa memanggil keduanya dengan sebutan demikian sebab mereka belum melakukan test DNA. Di saat ini, Aliando merangkul pundak Seno dan berkata, "Papa paham mengapa kamu sempat marah, kecewa kepada kami tadi, Liam." S
Seno, Andin, Aliando dan Nadine tengah duduk di sofa yang sama di ruang keluarga. Wajah-wajah penuh haru terpancar sangat jelas. Sedangkan Seno justru tampak bingung sekaligus terkejut. Ia masih berusaha mencerna apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini juga perkataan semua anggota keluarga Aliando Aryaprasaja. Sebelumnya, mereka mengobrol panjang lebar. Terlebih, pasangan suami istri itu yang bercerita kepada Seno. Mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan dan kerinduan mendalam terhadap sosok anak mereka berdua yang hilang sejak masih kecil yang tidak lain adalah Seno. Aliando dan Nadine juga menceritakan mengapa Seno bisa hilang. Mereka berdua langsung menceritakan hal itu sebab begitu sedih tatkala mengetahui Seno hilang ingatan dari Andin. Demikian, mereka berdua berharap, dengan Seno mendengar cerita tersebut, dapat dengan cepat membantu memulihkan ingatannya. Namun, tiba-tiba, Seno marah sekaligus kecewa dengan mereka berdua. Mengapa ia baru ditemukan sekaran