'Mas Diaz, bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Apa memang benar aku ini hanya istri pajanganmu saja? Atau hanya istri yang mendompleng kesuksesan bisnismu. Kenapa kamu sungguh kejam, Mas?'
Diana menghapus air matanya begitu melihat suaminya — Ardiaz Megantara keluar dari ruang ganti. Dengan cepat ia menyimpan ponselnya agar suaminya tidak curiga. Sebagai istri yang selama ini mengurus suaminya dengan baik, Diana langsung berdiri dan membantu memasangkan dasi suaminya.
"Di, kamu nangis?" tanya Diaz — sapaan untuk sang suami.
Diana langsung menyeka air matanya kemudian ia tersenyum manis. "Hanya kemasukan debu," kilahnya, ia kemudian kembali melanjutkan tugasnya.
Diaz menjadi tidak tenang setelah mendengar jawaban ambigu dari istrinya. Mana mungkin di kamar mereka yang super bersih ini — sebab Diaz sangat menerapkan kebersihan itu bisa memiliki debu.
Diana mengambil jarak dua langkah mundur dari Diaz setelah ia selesai merapikan penampilan suaminya. Ia tersenyum dan sangat jelas terlihat di mata Diaz kalau senyuman itu sangat dipaksakan.
"Kamu kenapa? Kalau ada masalah kamu harusnya cerita padaku, jangan dipendam sendiri. Kamu tahu aku sibuk dengan pekerjaan tapi aku pasti sempatin waktu untuk mendengarkan keluh kesahmu," ucap Diaz lagi. Hatinya menjadi tidak tenang karena melihat raut wajah penuh duka istrinya, wanita yang ia nikahi hampir lima tahun ini.
Mati-matian Diana menahan air mata dan bibirnya yang bergetar hendak menangis ia gigit sekuat mungkin agar tetap terlihat baik-baik saja.
'Haruskah aku mengatakan kepada mas Diaz? Aku takut tidak bisa membendung rasa kecewa dan amarahku. Aku sangat mencintainya, tapi aku juga sadar lima tahun pernikahan kami, disini hanya aku yang jatuh cinta. Sedangkan mas Diaz, cintanya ada dimana-mana. Aku harus bagaimana?'
Diana bermonolog dalam hati. Rasa cinta dan kecewa melebur jadi satu hingga ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri. Rasa sakit ketika tadi menemukan pesan dari seorang yang tidak dikenal dimana ia mengirimkan foto dirinya tengah tidur bersama dengan selimut sebagai penutup tubuh mereka, serta bagian dada suaminya yang terekspos sudah jelas menyiratkan bahwa mereka baru saja menghabiskan malam bersama.
"Diana, kamu cinta sama aku, 'kan?"
Lagi, pertanyaan itu selalu menjadi pertanyaan pamungkas Diaz saat melihat Diana tengah memendam masalah.
'Dan kamu bahkan tidak pernah memanggilku dengan panggilan sayang, Mas. Sebenarnya aku ini siapa bagimu, Mas? Istri atau hanya alat pemuas nafsumu saja jika kamu bosan dengan rasa para wanita diluar sana?'
Lagi dan lagi Diana hanya bisa membatin. Berbicara dengan Diaz yang manipulatif itu membutuhkan kecerdasan yang tinggi, sedangkan Diana saat ini tidak mampu walau hanya untuk sekadar berpikir jernih.
"Mas juga tahu apa jawabannya. Bukankah aku sudah membuktikannya selama ini? Bagaimana jika aku yang bertanya demikian, Mas Diaz cinta nggak sama aku?" Entah mendapat kekuatan dan keberanian dari mana, Diana mampu berkata demikian.
Diaz tersenyum, istri kecilnya yang ia nikahi ketika berusia dua puluh tahun sedangkan saat itu ia sudah berusia dua puluh delapan tahun kini sudah berani bertanya tentang perasaan terhadapnya. Sebuah kemajuan bagi Diaz yang selama ini selalu mengumbar kata cinta kepada Diana namun entah itu berasal dari hatinya atau tidak.
"Kamu kok nanya gitu? Jelas aku cinta sama kamu. Kamu itu istri aku, mana mungkin aku nggak cinta sama kamu. Bahkan sekarang pun aku siap bercinta bersamamu," seloroh Diaz, ia kemudian menarik kembali Diana ke dalam pelukannya.
"Kalau ada masalah itu diomongin, jangan dipendam sendirian. Ada aku, bukankah kamu cinta sama aku, kamu pasti percaya padaku," lanjut Diaz.
Bukannya tenang, Diana justru tidak bisa lagi membendung tangisannya. Ia sedih dan sangat hancur mendengar ucapan cinta dari mulut Diaz, cinta yang hanya datang dari ucapan saja tapi bukan dari hatinya. Selama lima tahun ini ia berjuang mencintai suaminya, akan tetapi semuanya terasa sia-sia karena ternyata suaminya bermain dengan perempuan lain di luar sana.
Diaz melepaskan pelukannya, perasaannya yang sedari tadi tidak enak semakin tidak menentu saja. Untuk pertama kalinya ia melihat sang istri menangis, namun ini bukan pertama kalinya bagi Diana yang sudah sering kali menangis karena perilaku suaminya di luar sana.
"Di, kamu sebenarnya kenapa? Jangan nangis gini dong, aku nggak ngerti bahasa air mata, serius!" ucap Diaz dengan perasaan tak menentu. Jika istrinya yang selalu terlihat elegan dan dewasa dalam bersikap ini sudah sampai menangis di hadapannya, ia yakin ada hal yang tidak baik-baik saja.
"Sudahlah Mas, tidak perlu bermulut manis lagi padaku. Aku lelah menutupi setiap skandalmu, Mas. Berhenti mengucapkan kata cinta karena aku tahu itu tidak dari hatimu. Ada berapa banyak wanita yang datang padaku dan mengaku sebagai cintamu, puluhan Mas!" Nada suara Diana naik satu oktaf dengan air mata yang berderai di pipinya.
Mata Diaz terbelalak, bagaimana bisa istrinya berkata demikian sedangkan selama ini yang ia tahu istrinya itu terlihat tenang dan sangat bahagia bersamanya? Bagiamana bisa Diana mendadak tahu dengan kegilaannya diluar sana dengan meniduri banyak wanita cantik yang dijumpainya sedangkan ia begitu apik menyembunyikan semuanya? Dan bagaimana bisa semua itu sampai pada Diana yang hanya sibuk di rumah mengurus rumah tangga dan urusan yayasan keluarga mereka?
"Di, kamu tahu dari ma—"
"Cukup Mas! Nggak usah membuat cerita bohong lagi padaku. Aku bahkan sangsi jika diluar sana benih yang kamu buang sembarangan itu tidak membuahkan hasil!" sambar Diana hingga membuat Diaz terdiam.
"Di nggak gitu. Kamu salah paham, aku nggak mungkin kayak gitu. Aku cinta kamu dan istriku cuma kamu, tidak ada wanita lain Di. Dan bagaimana bisa kamu menuduhku sekejam itu sedangkan aku punya wanita cantik dan hebat untuk aku menyalurkan hasrat," bantah Diaz, wajahnya terlihat tenang, suaranya pun begitu lembut namun tidak dengan sorot matanya.
Diana tidak menanggapi ucapan Diaz yang menurutnya sangat manipulatif. Ia sibuk berjalan ke arah lemari dan mengambil koper tua miliknya yang dulu ia bawa ketika memasuki kediaman keluarga Megantara.
Diaz memperhatikan istrinya itu dan ternyata Diana sedang mengambil beberapa pakaiannya, secepat kilat Diaz mendekati dan melempar sembarang koper tersebut.
"Kamu apa-apaan sih, Di? Kamu mau kemana? Jangan aneh-aneh dan tetaplah berada di rumah. Aku tidak pernah mengkhianati kamu, Di. Aku cinta sama kamu, sangat cinta," pekik Diaz yang bukannya terlihat bagai orang yang marah karena mendapat tudingan melainkan terlihat seperti pria frustrasi yang begitu takut kehilangan.
Diana mengusap air matanya kemudian ia menatap lekat pada kedua manik mata suaminya. "Ayo kita bercerai, Mas."
Tubuh Diana menegang begitu tahu apa yang selama ini disembunyikan mertuanya. Dia menanti mulut itu terbuka lagi untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Diaz itu adalah anak Mama yang sangat nakal tetapi menyimpan kepedulian yang hampir tidak terlihat. Semua ini salah Mama, jika saja Mama bisa menegurnya dan membuatnya berubah ...."Indria mengambil tangan menantunya yang selama ini membuatnya banyak merasa bersalah karena secara tidak langsung sudah menjebaknya dalam pernikahan toxic bersama putranya yang tidak pernah serius dalam menjalin hubungan."Dulu Mama sudah pasrah karena Diaz berkata dia tidak akan pernah menikah. Semua itu karena pengalaman pribadi keluarga kami. Sebelum rumah tangga Mama dan Papa ini terlihat harmonis, kami dulu pernah berjuang melawan badai yang hampir menghancurkan rumah tangga ini. Semua karena godaan perempuan yang memanfaatkan kekuasaan Papa."Indria akhirnya memilih membuka tabir keluarga mereka di mana dulu dia dan mendiang suamianya pernah
Pesawat yang ditumpangi Diaz dan Diana kini telah mendarat. Dengan terburu-buru pasangan tersebut keluar dan masuk ke dalam mobil yang sudah menanti mereka. Sejak di dalam pesawat Diaz tak bisa tenang. Ia khawatir terjadi sesuatu yang begitu buruk pada wanita yang telah melahirkannya itu. Diaz telah kehilangan sosok Ayah, ia tak ingin kehilangan lagi sosok Ibu.Diana juga tahu kegelisahan suaminya, tak bisa ia pungkiri pun ia sangat gelisah. Ibu mertuanya menyayanginya begitu sangat, seakan mereka bukanlah pasangan anak menantu dan mertua. Diana diperlakukan bagaikan anak kandung sehingga rasa khawatir itu tak kalah dari yang dirasakan Diaz."Di, Mama," lirih Diaz, ia meremas tangan Diana, mencoba menyalurkan apa yang tengah ia rasakan."Kita harus tetap tenang, Mas. Lebih baik kita berdoa agar Mama baik-baik saja," ucap Diana mencoba menenangkan Diaz, padahal di sini ia juga tak kalah risau.Mobil yang ditumpangi Diaz dan Diana terasa begitu lamban padahal sopir sudah mengerahkan kec
Arunika kembali menampakkan kehadirannya, debur ombak sayup-sayup terdengar menenangkan indera. Embusan angin dan sapuan lembut di pipi juga membantu Diana membuka kedua mata indahnya. Di hadapannya kini tampak seorang pria dengan pahatan wajah yang begitu sempurna mendeskripsikan bagaimana Tuhan sedang begitu bahagia saat menciptakannya. Alis tegas serta hidung mancung itu seakan begitu pantas diberikan padanya, belum lagi rahang tegas dan bulu mata uang yang lentik, semakin menambah kesan tampan padanya. Jangan lupakan senyum menawan dari bibir yang sering berkata manis tetapi menghasilkan empedu bagi Diana, ah jika mengingat semua itu rasanya ia ingin kembali tertidur dan bermimpi. Mimpi? Diana bahkan ingat yang terjadi semalam bukanlah sekadar mimpi belaka. Diaz begitu dekat dengannya seperti saat ini, saat suaminya begitu dekat dengan wajahnya. Mengingatnya membuat Diana tersipu."Selamat pagi My Wife, apakah tidurmu menyenangkan?"Sapaan Diaz tersebut semakin mempertegas keja
"Mecca?"Diaz menyebut nama tersebut namun panggilan langsung berakhir. Sepertinya tebakannya benar, ia juga tidak akan lupa dengan suara itu. Wanita yang pernah begitu dekat dengannya."Mas," panggil Diana.Diaz terkejut, ia tidak tahu sejak kapan Diana duduk di hadapannya dan apakah ia mendengar nama yang tadi disebutkan olehnya. Oh semoga saja tidak. Diaz tidak ingin bertengkar di tempat ini dan yang pasti ia lelah jika harus memohon."Kamu sudah selesai?" tanya Diaz dan Diana mengangguk sebagai jawaban."Apakah kita akan tetapi di sini, Mas?" tanya Diana.Diaz tersenyum. "Tentu saja tidak, kita akan jalan-jalan untuk menikmati udara dan keindahan malam di sekitar sini. Oh ya, aku sudah memesankan sepatu flat yang bisa kamu pakai. Lepaskan lagi sepatumu itu," ucap Diaz seraya menyerahkan sebuah paper bag.Diana merasa tersanjung. Mengenai pakaian dan penampilan Diaz memang paling ahli. Kadang Diana bertanya dalam hati bagaimana bisa suaminya itu mengerti tentang fashion wanita dan
Dahi Diaz mengernyit. Ia merasa heran dengan sikap Diana yang mendadak berubah dan kembali menolaknya. Entah apa yang ada di pikiran istrinya itu saat ini, tetapi Diaz tidak akan memaksanya, mungkin Diana sudah begitu lelah melayaninya yang seakan tiada hentinya melakukan pergulatan tersebut."Kamu lelah, Di?" tanya Diaz sambil memasang senyuman penuh kepalsuan. Ia adalah orang yang paling tidak suka mendapatkan penolakan, namun demi tetap menjaga keberadaan istrinya di sisinya, ia akan menahan segala rasa yang menurutnya merupakan sebuah penghinaan.Diana tersadar akan ucapannya dan pikirannya yang membuat ia teringat akan kejadian beberapa waktu yang lalu. Harusnya ia tidak melakukan itu sebab suaminya ini sudah terlihat berubah semenjak kematian ayah mertua. Diana hanya terbawa suasana saja."Bu-bukan, Mas. Aku hanya ingin menikmati suasana malam di tempat ini," jawab Diana terbata, susah payah ia mencari alasan yang masuk akal agar Diaz percaya padanya.Diaz menggulum senyuman. Ru
Diaz mengajak Diana bermain di pantai, sebelumnya mereka menikmati kelincahan lumba-lumba bermain dan itu membuat Diana merasa senang. Diaz tak pernah melepaskan genggaman tangannya, Diana merasa sangat dicintai oleh sang suami. Hatinya menolak merasakan bahwa ini adalah salah satu trik suaminya untuk kembali menarik simpati dan juga perhatiannya."Mas, terima kasih sudah mengajakku ke tempat ini. Benar apa yang dijelaskan di artikel itu, tempat ini sangat indah. Jika bukan karena menikah denganmu mungkin aku tidak akan pernah datang ke tempat ini," ucap Diana saat mereka sedang berjalan-jalan di tepi pantai. Ombak dan pasir yang terasa di kaki Diana membuatnya rileks. Belum lagi rasa nyaman dan hangat dari genggaman tangan Diaz. Kali ini, untuk pertama kalinya Diana merasa dicintai oleh sang suami. Ia ingin agar hal ini selalu dan selamanya terjadi. Tidak akan ada lagi Veronika selanjutnya. Diaz adalah suaminya dan sampai kapanpun Diana akan mempertahankannya."Ngomong apa sih, Di.